Hari ini kami akan pindah ke kontrakan. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk mempersiapkan kepindahan kami. Setelah memasak untuk sarapan, aku membangunkan Mas Dani.
“Mas, ayo bangun. Kita sarapan dulu!” Kutepuk pelan bahu suamiku.“Hm … sebentar lagi. Mumpung aku libur, santai dulu,” ucap Mas Dani.“Mas lupa, ya? Hari ini, kan kita mau pindahan. Katanya harus bangun pagi-pagi!?” ucapku.“Itu kamu yang harus bangun pagi-pagi. Kalau aku bebas!” Ketus Mas Dani.Astaghfirullah, kuhela napas perlahan. Lebih baik kumandikan Ari saja, sambil menunggu Mas Dani bangun. Aku pun beranjak ke belakang sambil menggendong Ari yang menggeliat menggemaskan. Untung ada kamu, Nak. Jadi ibu selalu ada hiburan.**********Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kulihat ternyata sebuah truk ukuran kecil sudah parkir di teras. Oh mungkin ini truk yang sudah dipesan Mas Dani untuk membantu kami pindahan. Kulirik jam di dinding, sudah jam 10. Astaghfirullah, jam segini Mas Dani malah belum bangun. Apalagi truk sudah datang. Duh … bakal disemprot lagi nih aku.Aku buru-buru menuju kamar, bermaksud membangunkan Mas Dani. Kulihat ranjang kosong, berarti suamiku sudah bangun. Mungkin sekarang sedang mandi. Kusiapkan saja pakaian ganti untuknya.Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Benar saja, Mas Dani baru selesai mandi.“Mawar, kok kamu gak bangunin aku?” tanya Mas Dani.“Tadi, kan sudah aku bangunin, Mas,” jawabku.“Itu, kan tadi pagi. Kenapa gak bangunin lagi? Sampai aku kesiangan begini,” ucapnya kesal.“Iya, Mas. Maaf, ya. Aku lupa,” Aku malas harus berdebat dengannya, biarlah saat ini ku mengalah.“Mawar … Mawar, itu supir truknya sudah datang. Katanya sudah dipesan untuk bantu pindahan,” ucap Ibu dari balik pintu kamar.“Oh iya, Bu. Sebentar aku keluar,” ujarku.“Siapin sarapan untukku dulu!” titah Mas Dani.“Iya, Mas,” jawabku.Sementara Mas Dani sarapan, aku, Bapak, dibantu supir truk dan kernetnya memindah barang-barang ke dalam truk. Ari digendong sama Ibu. Tidak banyak barang yang kami bawa, karena memang aku tidak punya banyak barang.Tepat hampir selesai barang dimuat ke dalam truk, Mas Dani selesai sarapan. Entah apa yang membuatnya lama sekali sarapannya. “Sudah mau selesai, War?” tanya Mas Dani.“Iya, Mas. Itu tinggal kardus pakaian Ari, ada 2 box,” jawabku.“Oh, ya sudah aku yang angkat,” ucapnya.Barang-barang sudah selesai dimuat ke dalam truk. Kami pun bersiap, berpamitan kepada Bapak dan Ibu.“Pak, Bu, kami pamit, ya. Nanti main-main ke kontrakan, ya,” Kucium kedua tangan orang tuaku dengan takzim.“Iya, Nak. Baik-baik di sana. Ingat pesan ibu!” kata Ibu.Bapak mengelus kepalaku lembut. “Hati-hati, ya, Nak. Jaga Ari baik-baik!” Bapak membisikkan kalimat itu, seraya memelukku erat.“Saya pamit, Pak, Bu,” ucap Mas Dani sambil mencium tangan orang tuaku.“Iya, Nak. Baik-baik di sana. Bapak, Ibu titip Mawar dan Ari, ya,” ucap Bapak.“Iya, Pak. Nanti kami kabari kalau sudah sampai,” ujar Mas Dani.“Assalamu’alaikum,” ucap kami berbarengan.“Wa’alaikumussalam,” jawab Bapak dan Ibu.**********Tidak lama kami tiba di kontrakan, tempat tinggal baru kami. Memang benar letaknya tidak jauh dari pabrik, tapi tetap harus menggunakan motor kalau Mas Dani mau berangkat kerja. Dibandingkan kontrakan punya Bu Sumi kemarin, kontrakan ini memang lebih jauh dari pabrik. Kalau kontrakan Bu Sumi cukup berjalan kaki saja ke pabrik.Kontrakan kami ternyata hanya terdiri dari satu kamar dan satu kamar mandi. Untuk memasak, Mas Dani meletakkan kompor di samping pintu kamar mandi. Terasa sempit, tapi aku harus bersyukur dan berusaha betah tinggal disini. Sebenarnya ini kurang nyaman untuk tempat keluarga kecil seperti kami yang memiliki bayi. Namun apa dayaku, semua keputusan di tangan suamiku.Karena barang-barang kami tidak banyak, maka cukup sebentar saja semua telah selesai dibereskan. Alhamdulillah Ari anteng, tidak rewel, jadi prose pindahan ini terasa ringan. Sudah jam 1 siang, kami belum makan dan sholat dzuhur.“Mas, ayo kita sholat dzuhur dulu, lalu makan siang. Tadi aku bawa bekal dari rumah ibu,” ucapku.“Baik, ayo!” ucap Mas Dani.**********Malam pun tiba, kami sudah sholat isya dan makan malam. Ini malam pertama kami tinggal di sini. Suasana masih terdengar ramai, mungkin karena di sini area kontrakan petakan yang banyak penghuninya. Rata-rata penghuninya adalah pekerja pabrik.“Mas, berapa biaya kontrakan per bulannya?” tanyaku.“Lima ratus ribu. Mulai sekarang kamu harus lebih hemat lagi, ya! Jangan boros-boros!” ujar Mas Dani.“Iya, Mas,” Aku mengangguk. “Mas, soal belanja keperluan bulanan dan uang listrik, gimana? Aku inginnya kita bicarakan berdua, Mas,” tanyaku.“Memangnya kira-kira berapa yang dibutuhkan untuk belanja bulanan?” tanya Mas Dani.“Aku tidak tahu, Mas. Kan, selama ini aku belum pernah belanja bulanan,” jawabku. “Bagaimana kalau besok kita belanja bersama?”“Ya sudah, kamu catat saja dulu, apa saja kebutuhan kita!” ujar Mas Dani.“Siap, Mas,” Aku tersenyum senang.Malam ini aku tidur pulas sekali, mungkin karena kelelahan. Pagi hari kubangun, badan terasa segar. Lho, ternyata Ari sudah bangun. Tumben tidak menangis, malah sedang tersenyum-senyum saat ku melihatnya. “Eh, anak Ibu sudah bangun duluan. Ayo minum susu dulu!” Kuraih Ari ke dalam dekapan. Aku berencana akan memberikan Ari asi sampai usianya dua tahun.Setelah kami sarapan, Ari juga sudah kumandikan. Aku menyerahkan catatan kecil yang kubuat tadi selepas sholat subuh, kepada suamiku.“Mas, ini catatan kebutuhan kita selama kira-kira sebulan,” ucapku.Mas Dani membaca dengan teliti. Dahinya mulai berkerut.“Ini popok segini banyak. Dikurangi saja. Atau pakai popok kain sekalian. Terus ini beras, dikurangi aja jadi 10 kg. Lalu ini kenapa bedak kamu, masuk catatan belanja?” Mas Dani memandangku judes.“Mas, kalau pakai popok kain, repot. Nanti kasur, lantai bau ompol. Apalagi sekarang tempat kita sempit, kalau bau ompol repot sholatnya.” jawabku.“Ah, kamunya aja malas. Ya kamu bersihkan, cuci!” Mas Dani berseru dengan nada tinggi.“Mas, nanti kalau sering nyuci kamu salahin aku juga bila listriknya jadi mahal,” sanggahku.“Ya cuci pakai tangan, jangan kebanyakan pakai mesin cuci!” perintah Mas Ari. “Ingat, jangan boros!”“Ya ampun, Mas. Kalau aku sedikit-sedikit nyuci, terus Ari gimana, siapa yang jaga? Mas tidak tahu, sih kalau bayi itu sering ngompol,” ujarku.“Alah … baru pindah udah bikin pusing,” geram Mas Dani. “Ya sudah, pakai popok. Tapi jumlahnya dikurangi! Kamu harus pintar atur-aturnya!”“Hh … ya sudah. Iya, Mas,” jawabku.“Ayo buruan berangkat. Nanti keburu kesiangan, panas,” ajak Mas Dani.“Iya, Mas,” Aku buru-buru meraih Ari. Menggendongnya senyaman mungkin.“Jangan lupa, itu catatannya yang ku coret-coret, dikurangi atau dihapus saja!” perintah Mas Dani lagi.Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.Kira-kira sekitar jam sepuluh pagi, kami sudah sampai di salah satu minimarket. Letaknya di seberang pabrik, lokasinya sangat strategis, jadi ramai pengunjung. Aku mulai memasukkan satu per satu barang yang sesuai ada di dalam catatanku. Namun Mas Dani tetap mengawasi, sesekali ia mengembalikan barang yang aku ambil ke rak, atau mengurangi jumlahnya. Aku cuma bisa beristighfar dalam hati. Tapi tanpa sepengetahuan Mas Dani, ada barang yang aku ambil lagi dari rak. Seperti popok, aku tidak mau jumlah popok dikurangi terlalu banyak karena akan sangat repot sekali kalau harus bolak-balik nyuci ompol.Setelah semua barang yang dibutuhkan masuk keranjang, kami pun menuju kasir. Mas Dani ternganga mendengar total harga belanjaan yang harus dibayar. Ia pun melirik ke arahku penuh makna. Aku pura-pura tidak tahu. M
Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.“Hm …,” gumamku.Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya ti
Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.Kulihat sekitar, Mas Dani tidak
“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.BRAK!Pintu didobrak dari luar.“Dani! Kamu apakan Mawar?” teriak Bapak.Ternyata warga sekitar sudah ramai berkumpul di depan pintu kontrakan. Mereka ramai berbisik-bisik.“Saya tidak ngapa-ngapain Mawar, Pak! Dia saja yang berteriak-teriak kayak orang g*la,” ucap Mas Dani sambil menunjuk-nunjuk wajahku.“Apa kamu bilang? Mawar kayak orang g*la? Kamu yang gak benar jadi suami! Tidak mungkin Mawar berteriak kalau tidak kamu apa-apakan!” Suara Bapak keras dan penuh kemarahan.“Saya sudah tidak percaya sama kamu lagi! Saya akan bawa pulang Mawar dan Ari sekarang juga!” ucap Bapak lagi. “Jangan berani kamu halangi, atau saya akan laporkan kamu ke polisi!”“Tapi, Pak. Ari itu anak saya. Saya berhak mengasuh dia. Apalagi saya ini punya gaji, sedangkan Mawar hanya pengangguran!” ucap Mas Dani keras.“Huuuu …!” Warga ramai menyoraki, mendengar perkataan Mas Dani itu.“Berapa gajimu, hah? Saya mampu memberi Mawar 2 kali bahkan 3 kali lipat
Benar-benar istri pembangkang si Mawar! Tidak pernah mau mendengar ucapanku. Sekarang gajiku mau dia atur-atur, dasar perempuan pengangguran gitu tuh, lihat duit langsung ijo matanya. Huh … geramnya aku.Lebih baik sekarang ku telepon ibu, akan kuadukan semua kelakuan menantu kesayangannya itu. Aku yakin, setelah ini ibu pasti akan membelaku dan memarahi Mawar habis-habisan.“Assalamu’alaikum, Bu,” ucapku.“Wa’alaikumussalam, Dani,” jawab Ibu. “Gimana kabar kamu, Mawar dan Ari? Betah di kontrakan baru?”“Haduh … bukannya betah, Bu. Mawar malah pulang ke rumah orang tuanya. Meninggalkan aku sendirian,” jawabku emosi.“Lho, ada apa? Kenapa Mawar pulang ke rumah orang tuanya? Kalian bertengkar?” cecar Ibu.“Iya bertengkar, Bu. Tapi kali ini Mawar yang keterlaluan, Bu. Masa dia mau atur-atur gajiku. Terus gak mau hidup hemat. Pokoknya Mawar itu boros banget, Bu!” ucapku menggebu.“Boros bagaimana, Dani? Ibu lihat Mawar tidak seperti itu? Lagipula, memangnya selama ini yang atur uang gajim
“Tapi, Bu. Aku sudah tidak bisa bertahan dengan mas Dani,” ucapku pelan.“Apa? Kamu akan bercerai?” tanya Ibu kaget.“I– iya, Bu,”“Apakah tidak bisa kamu beri Dani kesempatan lagi, Nak?” Nada suara Ibu terdengar sedih.“Entah, Bu. Hatiku telah lama memendam sakit. Begitu banyak perilaku dan perkataan mas Dani yang sangat menyakitiku,” Aku terisak.“Mawar, ibu mohon berilah Dani kesempatan! Demi ibu,” ucap Ibu.“Hm … mas Dani pun tidak meminta kesempatan padaku, Bu,” ucapku.“Apakah kamu ingin Dani meminta maaf padamu, Nak?” tanya Ibu. “Nanti biar ibu sampaikan padanya.”“Mas Dani sudah dewasa, Bu. Seharusnya dia menyadari kesalahannya. Tidak perlu disuruh meminta maaf padaku. Seharusnya dia yang meminta maaf sendiri,” jawabku. “Aku pun tidak yakin mas Dani mau meminta maaf padaku.”Terdengar suara Ibu terisak.“Mawar, bolehkah ibu besok menemuimu, Nak?” tanya Ibu.“Tentu saja boleh, Bu,” jawabku. “Ibu tetaplah ibuku,sampai kapan pun.”“Terima kasih Mawar. Sampai jumpa besok. Assalamu
“Mas … mas … itu tolong ambilkan handukku, ya!” Suara perempuan. Suara siapa itu? Mas Dani sedang bersama siapa? Suaranya seperti pernah aku dengar.“Oh … i─ iya, Mir,” sahut mas Dani kepada si perempuan.Mir? Apa itu suara mbak Mira, tetangga sebelah kontrakan? Sepertinya benar, itu suara dia. Sedang apa mbak Mira bersama mas Dani? Apa yang mereka berdua lakukan? Aah … pikiranku berkecamuk, menerka-nerka apa yang terjadi di sana.Kenapa aku harus peduli?! Bukankah aku sudah ingin bercerai dari mas Dani. Mungkin saja ini pertanda dari Allah, supaya aku mantap mengajukan perceraian.Aku putuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa mengucapkan salam. Aku tidak mau mengotori telingaku, mendengarkan pembicaraan mereka.Sekitar sepuluh menit aku melayani customer yang datang, hpku kembali berbunyi. Kulihat panggilan dari mas Dani. Aku biarkan saja, karena customerku lebih penting. Akhirnya hp ku atur ke mode hening.**********Waktu sudah hampir magrib. Aku lupa mengecek hp, barangkali
[Halo, Mbak Mawar. Sudah lihat foto yang kukirim?][Bagaimana pendapat, Mbak? Cocok, kan?!] Mbak Mira mengirim pesan diakhiri emoticon senyum.Apa harus kujawab pesannya? Aku tidak menyangka, wanita yang kulihat dari penampilannya seperti wanita baik-baik, malah berbuat hal yang seperti ini.[Maaf, ya. Ini siapa?] Aku berpura-pura tidak tahu kalau yang mengirim pesan adalah mbak Mira.[Oh … iya aku lupa memberitahu, Mbak. Aku Mira, tetangga sebelah kontrakan mas Dani,][Kalau sekarang sih, statusku calon istrinya mas Dani,] mbak Mira menambahkan emoticon hati di pesannya.Aku harus bisa mengontrol diri menghadapi wanita macam mbak Mira ini. Aku tidak mau merendahkan diri dengan marah-marah padanya. Biarlah saat ini dia merasa menang dengan perbuatannya.[Oh begitu,] jawabku singkat.[Kamu gak marah, kan Mbak? Lagipula selama Mbak gak ada, aku lho yang mengurus mas Dani. Dio sudah akrab banget sama mas Dani, sudah seperti ayah dan anak kandung,] [Kami biasa menghabiskan waktu bersama,