“Ya sudah, terserah Mas saja. Aku serahin aja semua urusan kontrakan ini ke Mas!” Kubaringkan tubuh menghadap Ari.
“Kamu ….” Masih kudengar suara Mas Dani menahan geram. Kupaksa memejamkan mata ini, walau terasa panas, menahan air mata yang nyaris meluncur bebas.**********Pagi ini Mas Dani berangkat kerja lebih awal, tanpa sarapan lebih dahulu. Ia bilang akan mampir ke kontrakan temannya dulu, mau menanyakan ada kontrakan kosong atau tidak.Ting.Kudengar bunyi notifikasi wa, tapi bukan dari hpku. Lho, ternyata hp Mas Dani ketinggalan. Sekilas kulihat pengirimannya Ahmad, kupikir mungkin teman yang akan ditemuinya pagi ini.[Emangnya mertua lo, ngusirnya buru-buru pindah, gitu?] Terbelalak mataku membaca pesan itu.Ya Allah, apalagi ini? Kenapa teman Mas Dani bisa bertanya seperti itu? Apa Mas Dani sudah memfitnah kedua orang tuaku? Astaghfirullah, berdenyut hatiku setelah membaca pesan itu.“Mawar … lihat hpku, gak?” Tiba-tiba Mas Dani muncul di depan pintu kamar. Tanganku bergetar memegang hpnya, aku memandang ke arah Mas Dani dengan tatapan penuh tanya. Kuyakin sekarang wajahku sudah memerah, mataku pun sudah berkaca-kaca.“Sinikan hpku!” Mas Dani merebut hpnya dari tanganku. Ia melihat mataku, namun buru-buru balik badan. Sepertinya ia tidak mau tahu apa yang sedang kurasakan saat ini.“Mas …,” Kupanggil suamiku pelan.Mas Dani berbalik. “Ada apa? Aku buru-buru nih. Nanti saja bicaranya kalau aku sudah pulang kerja!” Mas Dani langsung berbalik dan keluar rumah.Luruh air mataku membasahi pipi. Tak kuat lagi ku menahan rasa kecewa yang begitu dalam terhadap suamiku. Aku duduk di tepi ranjang. Bibirku terus mengucap istighfar, berharap Allah akan meredakan rasa sakit di hati ini.**********Setelah selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, aku bermain bersama Ari dan Ibu sambil menonton tv. Ari sudah mulai belajar tengkurap, tingkahnya begitu menggemaskan. Bila melihat kelucuan Ari, aku lupa semua rasa sakit hati yang diciptakan oleh ayahnya.“War … hari ini Ibu dan bapak mau ke rumah pakde Galih. Mungkin sampai sore,” ujar Ibu.“Oh iya, Bu. Memangnya ada acara apa di rumah pakde Galih?” tanyaku.“Pakde Galih dan bude Rini mau berangkat umroh. Di rumahnya ada pengajian,” jawab Ibu.“oh … alhamdulillah. Senangnya bisa umroh. Semoga nanti kita juga bisa umroh, ya, Bu,” ujarku.“Aamiin. Semoga saja, ya. Oh iya, nanti kalau ada orang datang dari toko elektronik bawa magic com dan mesin cuci, kamu terima saja, ya! Sudah ibu bayar, kamu kasih tips saja untuk yang angkat barang! Uangnya ada di atas kulkas,” jelas Ibu.“Lho, kok beli magic com dan mesin cuci, Bu?” tanyaku heran.“Itu untuk kamu. Kan sebentar lagi kamu pindah ngontrak, itu nanti buat di sana. Supaya kamu gak repot,” jawab Ibu.“Terima kasih, Bu. Ibu sampai memikirkan kebutuhanku sejauh ini. Aku mohon maaf, Bu. Selama ini belum bisa membahagiakan Ibu dan bapak,” Ku peluk erat tubuh Ibu.“Sudah … tidak apa-apa. Kamu sudah memberi ibu seorang cucu yang lucu, itu sudah membuat Ibu dan bapak bahagia,” Ibu mengusap lembut bahuku.Ting.Ku raih hp, ternyata wa dari Mas Dani. [Mawar, hari ini kamu mulai packing barang-barang kita, ya!][Aku sudah dapat kontrakan. Besok kita sudah bisa pindah]Cepat juga Mas Dani dapat kontrakan. Mungkin info dari teman yang ditemuinya pagi tadi.[Alhamdulillah. Baik, Mas] jawabku senang.“Bu, Mas Dani sudah dapat kontrakan. Katanya, besok kami sudah bisa pindah,” kataku.“Alhamdulillah. Kamu yang sabar dan ikhlas. Jadilah istri yang soleha! Kurangi pertengkaran, kasihan Ari! Baik-baik bawa diri di tempat baru!” ujar Ibu.“Baik, Bu. Aku akan mulai packing, Bu,” ucapku.“Iya. Maaf Ibu tidak bisa bantu. Tapi nanti setelah pulang dari rumah pakde Galih, Ibu akan bantu,” ucap Ibu.“Iya, tidak apa-apa, Bu,” ucapku.**********Ibu dan bapak sudah berangkat ke rumah pakde Galih, Ari sudah tidur. Aku mulai packing baju-baju yang ada di lemari. Tiba-tiba terdengar suara salam dari luar.“Assalamu’alaikum,”“Wa’alaikumussalam,” jawabku. Aku bergegas membuka pintu depan.“Ini rumah bapak Narto?” Seorang laki-laki berseragam toko elektronik berdiri di ambang pintu.“Iya betul, Pak,” jawabku.“Ini Mbak, ada kiriman magic com dan mesin cuci,” ujarnya.“Oh iya, Pak. Silahkan dibawa masuk saja!” ujarku.“Baik, Mbak,” ucapnya.Alhamdulillah ibu dan bapak memberiku magic com dan mesin cuci, jadi nanti pekerjaan rumahku tidak terlalu repot. Ah, ibu, bapak … betapa kalian menyayangiku, hingga memikirkan kebutuhanku seperti ini.Tak terasa hari sudah sore. Ari sudah kumandikan, harum dan menggemaskan melihatnya. Saat ini aku bersantai di teras rumah, menanti kedatangan suamiku pulang kerja. Dari kejauhan, kulihat motor Mas Dani mendekat.“Assalamu’alaikum,” ucap Mas Dani.“Wa’alaikumussalam, Mas’” Kuraih tangannya, kucium dengan takzim.Mas Dani mencolek dan mencium pipi Ari.“Hm … anak ayah harum banget,” ucap Mas Dani gemas.Aku tersenyum melihatnya. “Iya, Ayah. Aku udah mandi,” ucapku menirukan suara anak kecil.Mas Dani mengusap kepalaku. Ah, betapa senangnya, kelembutan inilah yang aku kangen dari suamiku.“Aku mandi dulu, ya,” ucap Mas Dani.“Iya, Mas. Nanti kusiapkan makan,” ucapku.Mas Dani mengangguk lalu masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Kuletakkan Ari di kasur. Sementara Mas Dani mandi, aku menyiapkan pakaian gantinya. Lalu kuraih Ari dan membawanya ke dapur, menyiapkan makan untuk kami.Mas Dani sudah selesai mandi, ia berjalan menghampiri. “Mari, Mas. Kita makan dulu!” ujarku.“Iya,” Mas Dani duduk di sebelahku.“Hari ini anak ayah nakal, gak?” tanya Mas Dani sambil menggoda Ari.“Tidak dong, Ayah. Aku, kan anak baik,” ucapku sambil tertawa kecil.Sejenak kami tertawa bersama. Ya Allah, aku ingin setiap hari bisa tertawa seperti ini. Jangan ada lagi pertengkaran diantara kami.“Itu magic com dan mesin cuci siapa?” tanya Mas Dani.“Itu ibu dan bapak yang beli, Mas. Untuk kita di kontrakan katanya, Mas’” jawabku.“Oh, alhamdulillah,” ucapnya.“Tadi aku sudah bayar kontrakannya. Besok kita pindah. Aku sudah ambil cuti 2 hari. Kamu packingnya gimana, sudah selesai?” tanya Mas Dani.“Tinggal sedikit lagi, Mas. Nanti malam juga selesai,” jawabku. “Kontrakan kita dimana, Mas?”“Besok kamu akan tahu dan lihat sendiri,” jawab Mas Dani sambil terus mengunyah makanannya.Aku hanya mengangguk. Aku akan berusaha menghindari pertengkaran, seperti nasehat ibu.“Ibu sama bapak, kok gak kelihatan?” tanya Mas Dani.“Oh … ibu sama bapak lagi ke rumah pakde Galih, Mas. Lagi pengajian, mau berangkat umroh,” jawabku.“Oh …,” ucap Mas Dani menganggukan kepala.**********Hari sudah malam, aku sudah selesai packing. Karena barang yang kami miliki tidak banyak, maka tidak butuh waktu lama untuk packing. Mas Dani sudah membaringkan tubuhnya di ranjang. Ari sudah terlelap dari tadi. Aku pun beranjak menunjuk ranjang, membaringkan tubuh yang agak lelah setelah seharian packing.“Mas,” panggilku.“Hm …,” gumam Mas Dani.“Kontrakannya dekat pabrik?” tanyaku.“Sudah … jangan banyak tanya! Besok juga kamu tahu sendiri. Sekarang tidur, besok harus bangun pagi-pagi!” ucap Mas dani tegas.“Hm … baik, Mas,” ucapku.Aku penasaran, kira-kira kontrakannya dimana ya? Seperti apa kontrakannya? Apakah nyaman untuk Ari?Hari ini kami akan pindah ke kontrakan. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk mempersiapkan kepindahan kami. Setelah memasak untuk sarapan, aku membangunkan Mas Dani.“Mas, ayo bangun. Kita sarapan dulu!” Kutepuk pelan bahu suamiku.“Hm … sebentar lagi. Mumpung aku libur, santai dulu,” ucap Mas Dani.“Mas lupa, ya? Hari ini, kan kita mau pindahan. Katanya harus bangun pagi-pagi!?” ucapku.“Itu kamu yang harus bangun pagi-pagi. Kalau aku bebas!” Ketus Mas Dani.Astaghfirullah, kuhela napas perlahan. Lebih baik kumandikan Ari saja, sambil menunggu Mas Dani bangun. Aku pun beranjak ke belakang sambil menggendong Ari yang menggeliat menggemaskan. Untung ada kamu, Nak. Jadi ibu selalu ada hiburan.**********Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Kulihat ternyata sebuah truk ukuran kecil sudah parkir di teras. Oh mungkin ini truk yang sudah dipesan Mas Dani untuk membantu kami
Kulihat catatanku. Hah, banyak banget yang dicoret-coret. Apalagi bedakku, dicoret sampai hampir bolong kertasnya. Ampun deh, punya suami toxic banget.Kira-kira sekitar jam sepuluh pagi, kami sudah sampai di salah satu minimarket. Letaknya di seberang pabrik, lokasinya sangat strategis, jadi ramai pengunjung. Aku mulai memasukkan satu per satu barang yang sesuai ada di dalam catatanku. Namun Mas Dani tetap mengawasi, sesekali ia mengembalikan barang yang aku ambil ke rak, atau mengurangi jumlahnya. Aku cuma bisa beristighfar dalam hati. Tapi tanpa sepengetahuan Mas Dani, ada barang yang aku ambil lagi dari rak. Seperti popok, aku tidak mau jumlah popok dikurangi terlalu banyak karena akan sangat repot sekali kalau harus bolak-balik nyuci ompol.Setelah semua barang yang dibutuhkan masuk keranjang, kami pun menuju kasir. Mas Dani ternganga mendengar total harga belanjaan yang harus dibayar. Ia pun melirik ke arahku penuh makna. Aku pura-pura tidak tahu. M
Baru saja beberapa langkah aku keluar dari kontrakan. Tiba-tiba kudengar suara Ari menangis. Aku kembali masuk ke dalam kontrakan. Mas Dani sudah menggendong Ari, tapi tetap saja Ari menangis. Mungkin dia haus ingin minum asi.“Cup … cup … sayang, ini ibu datang. Haus ya?” Kuraih Ari dari gendongan Mas Dani.“Mawar … aku belum makan,” ucap Mas Dani. “Kamu gak jadi beli makanan?”“Bagaimana aku bisa beli makanan, mas? Kan, Mas lihat, baru saja aku keluar tapi Ari menangis, haus mau nyusu. Nanti aku belikan kalau Ari sudah selesai,” jawabku.“Iya, cepat, ya!” titah Mas Dani.“Hm …,” gumamku.Sekitar 20 menit berlalu, akhirnya Ari sudah selesai menyusu. Wajah Mas Dani sudah ditekuk begitu rupa. Hh … salah sendiri, kalau lapar ya beli sendiri saja. Kayak gak lihat istrinya repot sama anak.Kuletakkan Ari di kasur dengan hati-hati, takut terbangun lagi. Ku buru-buru keluar untuk membeli makanan. Sudah lewat dzuhur, matahari terasa begitu terik. Untung saja ada warung makan yang letaknya ti
Aku memaksa tubuh dan hati ini untuk istirahat sejenak. Percuma saja meneruskan pertengkaran dengan Mas Dani, yang ada aku akan semakin sakit hati. Cara berpikirnya, tingkah lakunya, sungguh membuat aku lelah. Belum lagi semua omongan yang keluar dari mulutnya, begitu menyakiti hatiku.Aku tidak pernah membayangkan kalau orang yang kupercayakan hidup dan matiku di tangannya, justru dialah yang selalu menyakitiku. Hidup berumah tangga ternyata tidak seperti bayanganku. Kulihat rumah tangga kedua orang tuaku begitu bahagia, saling melengkapi, saling menyayangi. Kenapa rumah tanggaku seperti ini?Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku salah bila tak sanggup bertahan? Adzan ashar berkumandang. Kubuka mata perlahan, mengusap air mata yang masih tersisa. Ternyata Ari sudah bangun, tapi tidak menangis, sedang memainkan ludahnya. Senyumku mengembang melihat kelucuan anakku. Hanya Ari yang membuatku mampu bertahan, hanya Ari yang menjadi pelipur laraku.Kulihat sekitar, Mas Dani tidak
“Bapak … toloooong!” Aku berteriak lebih keras lagi.BRAK!Pintu didobrak dari luar.“Dani! Kamu apakan Mawar?” teriak Bapak.Ternyata warga sekitar sudah ramai berkumpul di depan pintu kontrakan. Mereka ramai berbisik-bisik.“Saya tidak ngapa-ngapain Mawar, Pak! Dia saja yang berteriak-teriak kayak orang g*la,” ucap Mas Dani sambil menunjuk-nunjuk wajahku.“Apa kamu bilang? Mawar kayak orang g*la? Kamu yang gak benar jadi suami! Tidak mungkin Mawar berteriak kalau tidak kamu apa-apakan!” Suara Bapak keras dan penuh kemarahan.“Saya sudah tidak percaya sama kamu lagi! Saya akan bawa pulang Mawar dan Ari sekarang juga!” ucap Bapak lagi. “Jangan berani kamu halangi, atau saya akan laporkan kamu ke polisi!”“Tapi, Pak. Ari itu anak saya. Saya berhak mengasuh dia. Apalagi saya ini punya gaji, sedangkan Mawar hanya pengangguran!” ucap Mas Dani keras.“Huuuu …!” Warga ramai menyoraki, mendengar perkataan Mas Dani itu.“Berapa gajimu, hah? Saya mampu memberi Mawar 2 kali bahkan 3 kali lipat
Benar-benar istri pembangkang si Mawar! Tidak pernah mau mendengar ucapanku. Sekarang gajiku mau dia atur-atur, dasar perempuan pengangguran gitu tuh, lihat duit langsung ijo matanya. Huh … geramnya aku.Lebih baik sekarang ku telepon ibu, akan kuadukan semua kelakuan menantu kesayangannya itu. Aku yakin, setelah ini ibu pasti akan membelaku dan memarahi Mawar habis-habisan.“Assalamu’alaikum, Bu,” ucapku.“Wa’alaikumussalam, Dani,” jawab Ibu. “Gimana kabar kamu, Mawar dan Ari? Betah di kontrakan baru?”“Haduh … bukannya betah, Bu. Mawar malah pulang ke rumah orang tuanya. Meninggalkan aku sendirian,” jawabku emosi.“Lho, ada apa? Kenapa Mawar pulang ke rumah orang tuanya? Kalian bertengkar?” cecar Ibu.“Iya bertengkar, Bu. Tapi kali ini Mawar yang keterlaluan, Bu. Masa dia mau atur-atur gajiku. Terus gak mau hidup hemat. Pokoknya Mawar itu boros banget, Bu!” ucapku menggebu.“Boros bagaimana, Dani? Ibu lihat Mawar tidak seperti itu? Lagipula, memangnya selama ini yang atur uang gajim
“Tapi, Bu. Aku sudah tidak bisa bertahan dengan mas Dani,” ucapku pelan.“Apa? Kamu akan bercerai?” tanya Ibu kaget.“I– iya, Bu,”“Apakah tidak bisa kamu beri Dani kesempatan lagi, Nak?” Nada suara Ibu terdengar sedih.“Entah, Bu. Hatiku telah lama memendam sakit. Begitu banyak perilaku dan perkataan mas Dani yang sangat menyakitiku,” Aku terisak.“Mawar, ibu mohon berilah Dani kesempatan! Demi ibu,” ucap Ibu.“Hm … mas Dani pun tidak meminta kesempatan padaku, Bu,” ucapku.“Apakah kamu ingin Dani meminta maaf padamu, Nak?” tanya Ibu. “Nanti biar ibu sampaikan padanya.”“Mas Dani sudah dewasa, Bu. Seharusnya dia menyadari kesalahannya. Tidak perlu disuruh meminta maaf padaku. Seharusnya dia yang meminta maaf sendiri,” jawabku. “Aku pun tidak yakin mas Dani mau meminta maaf padaku.”Terdengar suara Ibu terisak.“Mawar, bolehkah ibu besok menemuimu, Nak?” tanya Ibu.“Tentu saja boleh, Bu,” jawabku. “Ibu tetaplah ibuku,sampai kapan pun.”“Terima kasih Mawar. Sampai jumpa besok. Assalamu
“Mas … mas … itu tolong ambilkan handukku, ya!” Suara perempuan. Suara siapa itu? Mas Dani sedang bersama siapa? Suaranya seperti pernah aku dengar.“Oh … i─ iya, Mir,” sahut mas Dani kepada si perempuan.Mir? Apa itu suara mbak Mira, tetangga sebelah kontrakan? Sepertinya benar, itu suara dia. Sedang apa mbak Mira bersama mas Dani? Apa yang mereka berdua lakukan? Aah … pikiranku berkecamuk, menerka-nerka apa yang terjadi di sana.Kenapa aku harus peduli?! Bukankah aku sudah ingin bercerai dari mas Dani. Mungkin saja ini pertanda dari Allah, supaya aku mantap mengajukan perceraian.Aku putuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa mengucapkan salam. Aku tidak mau mengotori telingaku, mendengarkan pembicaraan mereka.Sekitar sepuluh menit aku melayani customer yang datang, hpku kembali berbunyi. Kulihat panggilan dari mas Dani. Aku biarkan saja, karena customerku lebih penting. Akhirnya hp ku atur ke mode hening.**********Waktu sudah hampir magrib. Aku lupa mengecek hp, barangkali