Ledakan besar menyemburkan pijar-pijar api di angkasa malam. Keindahan yang memukau di langit, membuat hampir semua mata yang berada di atas kapal pesiar terpana.
Mereka semua terbuai, menikmati suasana yang membuat adrenalin mereka semakin meningkat. Tidak peduli pada dingin angin laut yang kian menyergap renik kulit mereka.Dentuman yang berkali-kali memuntahkan warna warni di langit, menjadikan tanda bahwa operasi penting dan rahasia di sana harus segera diakhiri.[Beta, beta, perintah untuk seluruh tim.]Suara pria muncul jelas dari sebuah earphone kecil yang menempel di telinga. Suara yang terdengar tegas dan tenang.[Aku ulangi. Beta. Selesaikan semua misi dalam satu jam. Operasi naco harus segera diselesaikan. Ganti.]"Winter mengerti," balas pelan seorang wanita sambil menyelipkan helaian rambut ke daun telinga.Joy Eira Aster. Wanita dua puluh sembilan tahun itu berdiri sejauh tiga langkah dari pagar kapal. Aster nampak cantik dengan balutan gaun malam yang senada dengan warna langit saat ini. Gaun yang tergerai hingga mata kaki, terlihat seksi dengan belahan panjang di sebelah kaki kanannya. Memperlihatkan jenjang indah yang terselimuti kain tipis sewarna dengan kulit.Sudah tiga jam Aster membaur di antara orang-orang yang tengah terpukau pada semburan warna warni di langit. Mata birunya pun kembali bergerak memindai situasi di sana. Tidak ada lagi aktivitas yang mencurigakan sejauh ini.Dari jarak sepuluh meter, seorang wanita dengan gaun merah--Natalie Jessy Christy, code name Walker--menganggukkan kepala pada Aster. Gerakan yang cukup dimengerti hingga membuat Aster langsung melangkah tegas untuk masuk ke dalam ruang utama pesiar besar ini. Ruang yang akan menjadi tempat terakhir penyelidikannya malam ini.Aster adalah seorang intelijen khusus rahasia yang bekerja di bawah naungan petinggi Federal Bureau of Investigation (FBI) dengan code name Winter.Seminggu lalu, tim Beta mendapatkan misi untuk menangkap kelompok pendistribusi obat terlarang. Dikabarkan, ketua mereka juga akan hadir malam ini."Walker. Lima meter, arah jam sembilan. Seorang pria tampan mendekatimu," ucap Aster membuat Natalie menoleh senatural mungkin.[Ah, sial, kenapa pria tua itu mendekatiku?] Suara wanita pun terdengar dari earphone kecil di telinga kiri Aster. Suara yang sudah tentu milik Natalie, teman satu tim Aster.Natalie kesal pada pria paruh baya yang sedang mendekatinya. Pria itu adalah orang yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam dunia politik, pria yang juga memiliki kejahatan keji. Namun saat ini, tim intelijen khusus belum mendapatkan perintah untuk bersinggungan dengan pria tersebut."Selamat menikmati malam yang panas," ujar Aster menggoda.Aster pun masuk ke dalam aula. Ruangan besar dengan desain yang terlihat mewah. Suara musik dan ramai perbincangan pun semakin jelas terdengar.Berjalan anggun, Aster menghampiri seorang pelayan untuk mengambil gelas cantik berisi champagne."Thanks," ujar Aster tersenyum seraya memberikan selembar dolar yang dilipat ke atas nampan.Selembar uang yang menyembunyikan bungkusan tipis berisi serbuk putih. Aster berhasil mendapatkan barang itu satu jam lalu. Barang yang menjadi bukti kuat bahwa kapal megah ini memang menjadi tempat transaksi terlarang.Berbaur ke lantai dansa dengan mata yang mengawasi beberapa petugas keamanan. Inilah alasan mengapa Aster memberikan serbuk surga itu pada teman satu tim yang menyamar sebagai pelayan. Keamanan di tempat ini begitu ketat dan teliti.[Beta. Beta. Zi mengambil alih komando. Ganti.] Suara kembali terdengar dari earphone hitam, memberikan instruksi. Mendengarkan sambil menyesap sedikit sparkling water di gelasnya. Aster berdiri di samping pilar berhiaskan lampu-lampu kecil.[Hei, Winter. Bisa kau pergi ke arah jam dua? Tidak ada CCTV yang mengarah ke lorong itu. Ganti.] Zi, si peretas dari tim Beta kembali memberikan perintah dari alat pendengar."Dimengerti," jawab Aster.Melewati beberapa tamu undangan. Aster pun melempar senyum dan bertegur sapa dengan beberapa tamu lain. Aster memperkenalkan diri sebagai keponakan dari wakil menteri perdagangan. Jika tidak dengan penyamaran, tentu mereka tidak akan bisa berada di pesta eksklusif ini.Setelah beberapa menit, akhirnya Aster bisa berdiri di depan lorong yang Zi minta. Berdiri sambil kembali meneguk sedikit cairan bersoda yang memabukkan itu. Aster mengarahkan cincin bermata emerald yang melingkar di jari manis ke arah lorong. Cincin yang dirancang khusus dengan kamera pengintai.Gema pergantian suara pun terus menyerang indera pendengaran Aster. Zi masih memberikan perintah pada semua tim Beta, termasuk pada sang ketua, Queen.[Aku menemukannya. Target sudah terkunci. Walker, tinggalkan semua urusanmu dan pergilah ke tempat Queen. Ganti. Lagi, Zi memberi perintah.]Diterima. Walker menjawab tegas."Sepertinya misi ini akan segera berakhir," batin Aster senang. Ia tidak begitu menyukai pesta.Melirik kembali pada seorang petugas keamanan yang terus memperhatikan dirinya sejak menginjakkan kaki ke aula utama ini. Aster pun memberikan gelas yang sudah hampir kosong itu pada pelayan wanita.[Winter. Target akan sampai di sana. Perhatikan arah jam dua belas. Orang itu memakai pakaian kasual biru panjang, didampingi tiga bodyguard. Ikuti mereka sampai Queen menyelesaikan urusannya dan pergi ke tempatmu. Ganti.]"Ditolak. Seseorang telah mencurigaiku. Aku akan pergi untuk mengelabuinya. Ganti," ujar Aster.[Dimengerti. Pastikan kau tetap terlihat oleh Zi. Suara Queen memberi perintah. Segera datang ke belakang kapal setelah kau menyelesaikannya. Ganti.]"Baik," ujar Aster singkat. Mata cantiknya pun segera memindai sekitar.Sial! Aster langsung mengutuk dalam hati ketika seorang petugas mulai bergerak ke arahnya.Tanpa pikir panjang, Aster segera memasuki satu-satunya lorong tanpa kamera pengintai. Ia pun mengeluarkan sebuah kartu magic yang bisa mengakses semua pintu di kapal ini.Menempelkan asal pada salah satu pintu. Tidak lama, suara akses kartu telah diterima pun terdengar. Dengan cepat Aster menarik handle perak di sana, lalu melirik sebentar kepada pria yang mengikuti dirinya.“Petugas keamanan itu tidak akan menerobos masuk ke sini, bukan?” batin Aster.Memindai ruangan yang gelap. Dengan perlahan dan waspada, Aster meraba dinding mencari tombol untuk menghidupkan lampu.“Ukh!”Dorongan kuat dengan cepat membenturkan tubuh Aster ke dinding. Pupil mata semakin melebar mencari sedikit cahaya agar bisa membuatnya melihat siapa yang sudah menerkamnya.Namun sayang, pencahayaan minim itu sama sekali tidak membantu. Hanya deru napas berat dan bau alkohol yang tercium olehnya.“Siapa yang menyuruhmu?” Suara bariton yang terengah, seolah sedang menahan rasa sakit.Aster diam, dahinya mengerut heran saat tangan kuat yang menekan leher dan mengunci tubuhnya itu bergetar.“Katakan atau--”“Tidak, tidak ada yang menyuruhku,” potong Aster susah payah menjawab. Lehernya kian tercekik oleh lengan kekar.“Kau pikir aku--ugh!” pekik pria itu, menunduk dan bersandar di bahu Aster.Tanpa membuang kesempatan yang ada. Aster pun segera meloloskan tangannya dari genggaman kuat itu, lalu menendang keras perut sang pria dengan lututnya.“Ukh! Sialan!” maki si pria, membungkuk sakit.Entah seperti apa wajahnya. Aster tidak peduli, saat ini pergi dari sana adalah misinya. Meski di luar nanti ia harus kembali memutar otak untuk menghindari petugas keamanan.“Pergilah, sebelum aku membunuhmu!”Apa? Cukup membingungkan, mengapa bisa dilepaskan begitu saja setelah mencekiknya? Terlebih, sekarang pria itu meringkuk kesakitan. Rasa kasihan pun membuat Aster mengurungkan diri untuk pergi dari sana.“He-hei, apa tendanganku sangat menyakitkan?” ucap cemas Aster, bagaimanapun ia telah memukul warga sipil.“Ukh, sial! Pergi sekarang!” murka sang pria.“Bagaimana bisa aku pergi meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini. Ayo bangun, di sini ada ruang dokter. Aku akan membawamu ke sana,” ujar Aster, tidak tega. Ia pun mendekat dan mencoba menegakkan tubuh kekar yang kian terlihat kesakitan itu.[Winter. Apa yang kau lakukan? Pergi dari sana secepatnya! Ganti.]Suara Zi kembali memberikan titah. Sejenak Aster lupa pada cincin pengintai yang masih melingkar cantik di jari manisnya. Zi pasti sedang menonton asik dirinya yang tengah melakukan hal tidak berguna.Wanita itu tentu tidak bisa menjawab, karena posisinya sedang berada dekat dengan orang lain. Antara memilih pergi atau tetap di sana, hatinya lebih mengiba melihat pria di sana mengerang sakit, entah karena apa.“Damn!” gumam si pria dengan cepat mendorong Aster hingga terjatuh telentang.Kedua mata Aster pun sontak membelalak, terkejut ketika pria itu dengan cepat melahap bibirnya.“Ukh, berhenti, berengsek!” maki Aster saat cumbuan panas mereka terputus. Napasnya memburu cepat.Namun sayang, peringatan Aster tidak digubris. Pria itu justru semakin menjadi liar sampai tidak memberikan jeda untuk melepas cumbuannya pada bibir, wajah dan leher Aster.“Ha, hentikan berengsek!” seru Aster, kemudian melayangkan tendangan kuat ke alat vital sang pria.Sinar menyilaukan membuat bola mata yang terbungkus kelopak itu bergerak. Suara samar debur ombak juga ayunan pelan, mulai bisa pria itu rasakan kembali setelah beberapa jam lalu tubuhnya dikuasai oleh obat perangsang. Perlahan, mata dalam itu terbuka dan berkedip untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam manik aswadnya. “Ugh!” erang Joe Lucas Barios. Denyut nyeri menyerang kepala. Jemari tangannya pun langsung menyentuh kening yang terasa berat, perlahan meraba rambut depan dan menarik kencang helaian rambut di sana. Kepalanya benar-benar sangat sakit, terlebih bagian bawah di antara kedua paha. “Damn!” runtuk Lucas, saat ingatan samar semalam terulang. “Alex!” seru Lucas berteriak kencang, kemudian berusaha mendudukkan tubuhnya. Pintu yang berada di atas tangga pun terbuka. Seseorang masuk dan menuruni anak tangga dengan cepat. Seorang pria dengan tato elang di tengkuk leher masuk ke dalam. Pakaian kasual hitam membuat lekuk dari tubuh kekarnya nampak jelas. "Ya bos," jaw
“Luc, kau seharusnya tahu apa yang aku inginkan untuk pertukaran besar ini.” Lucas membuka kancing ketiga dari kerah atas kemejanya. Rasanya panas sekali, kalau saja keluarganya tidak menjadi tawanan Abner ... mungkin sekarang tangan gatalnya sudah memukul keras wajah tua mengesalkan itu. Mengangkat tangan kanan, Lucas mengintip jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah pukul satu siang. Artinya, barang yang ia kirimkan sudah sampai. “Apa anak buahmu belum memberitahu? Aku sudah mengirimkan kepala dari musuhmu.” Abner menyeringai licik. Mana mungkin Abner tidak tahu? Beberapa menit lalu, Abner sudah menerima kabar bahwa musuhnya telah mati tanpa kepala. “Istirahatlah, kau juga pasti merindukan tempat ini,” ujar Abner mengalihkan pembicaraan. Lucas menarik kecil sudut bibirnya. Merindukan? Ini bahkan tempat pertama yang sama sekali tidak ingin ia kunjungi. Tempat indah yang hanya merekam pahit hidupnya. “Luc, kau tahu ... aku sangat berharap besar denganmu daripada sepupu-sepu
“Siapa yang berani mengintip informasiku?” ujar Aster, mulutnya masih setia mengunyah permen karet yang sudah tidak lagi berwarna. “Untuk saat ini, aku tidak tahu,” jawab Ziggy santai. Perangkat yang pria itu bawa tidak akan bisa melacaknya. “Queen, izinkan aku untuk memeriksa ini di ruanganku,” lanjutnya, memandang Edbert yang berdiri tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Nampaknya sang ketua pun kesal pada orang yang berani memasuki pertahananya. “Tidak, izinkan aku yang memeriksa--” “Winter, kau diam di sini dan Zi, lakukan pekerjaanmu dalam sepuluh menit, lalu laporkan semuanya padaku,” sela Edbert tegas, memberikan izin pada Ziggy. Semua anak timnya memang ahli meretas dan melacak, tetapi tetap saja tugas itu sudah ia fokuskan untuk Ziggy. Lagi pula, ia harus menanyakan sesuatu pada Aster. Ziggy tersenyum sumrigah, pria dengan baju yang sama seperti Edbert itu segera bergegas menutup laptop kesayangannya dan beranjak dari sana, meninggalkan rapat yang tengah hampir selesai
Tuk, tuk, tuk. Ketukan jari di atas meja membuat hati dua orang di sana merasa tak nyaman. Siku kirinya, bertengger di atas armrest dengan dua jari yang menyentuh sisi wajah. Lucas kesal karena sejak pagi, tidak ada satupun anak buahnya yang memberikan kabar gembira. Terlalu kesal sampai ia tidak tahu harus berkata apa, selain meredam kemarahannya sekarang. Mata dalam Lucas terus menatap tajam ke depan. Memandang dua pria di sana. Kekesalan semakin memuncak saat Jay--sekretarisnya--memberikan kabar kalau Abner mengirimkan pesan dan berkata, bahwa kakek tua itu sedang sangat bosan. “Dia sungguh ingin membuatku menjadi anjingnya,” gumam Lucas, mendengkus dengan hati yang panas. “Dia menyediakan panggung dan ingin membuatku menari di sana?” Lucas berdecak. Dalam mimpi! “Apa yang harus kita lakukan, bos?” tanya Alex yang belum lama ini membawa kabar buruk itu. “Apa lagi?” Lucas beranjak dari kursi dan mengambil jas yang tergantung di sana. “Kita akan ke sana dan menjemput Erica.” Sun
“Dari mana datangnya orang-orang itu?” Aster mengerutkan dahi, berbisik sambil menatap keluar jendela. Di luar sana, ada beberapa orang yang bersembunyi di dalam mobil dan memperhatikan ke arah rumah yang sedang menjadi target tim Beta. [Apa maksudmu? Ganti.]Suara wanita muncul dari alat komunikasi mungil yang menempel pada daun telinga Aster. “Lihat ke luar. Satu menit lalu tidak ada mobil di sana, sekarang rumah ini dikunjungi orang lain selain kita,” ujar Aster seraya menutup kembali tirai putih nan tipis di sana. Pakaian kemeja putih dengan rompi dan celana hitam panjang. Aster sedang menyamar sebagai seorang pelayan di rumah itu. Perintah dari atasan, meminta tim Beta untuk melanjutkan misi. Lebih tepatnya, mencari kebenaran dari pengakuan palsu tahanan yang berhasil mereka tangkap beberapa hari lalu. Dua orang kriminal yang menjajakan barang terlarang di kapal pesiar. [Kau benar. Ganti.] Suara Natalie terdengar. [Aku sudah melacak plat mobil dan identitas mereka. Semua ad
“Lucas? Huh?” Suara wanita menyapa, membuat Aster langsung melarikan diri. “Siapa wanita itu?” ucap Scarlett Bruyne--dengan kontak nama S di ponsel Lucas--wanita itu memandang punggung Aster yang sudah menjauh. “Bukankah dia pelayan di sini?” ungkap Lucas. “Pelayan?” ulang Scarlett. Meski bingung, dua matanya tetap turut mengekori Lucas yang mendekat. Lucas berjalan perlahan mendatangi seorang gadis muda. Rambut kecokelatan bergelombang yang mengembang indah sampai melewati bahu, dress putih crinkle memanjang hingga lutut, warna senada dengan sandal bertali yang terlihat nyaman di kaki jenjang itu. Erica Ashley Luke seperti burung merpati yang terlihat ringkih. Tubuhnya kurus, sinar mata pun seperti tatapan yang kehilangan harapan. Lelah. Entah apa yang telah Abner lakukan pada keluarganya. Apapun itu, Lucas akan memberikan bayaran setimpal untuk siapapun yang sudah berani melukai keluarganya. Ini pertemuan yang cukup mengharukan, meski terasa aneh dengan iringan latar musik dari
Dentuman musik dengan lampu warna warni yang menyorot indah. Suara bising dan bau alkohol turut menyerbu ke setiap sudut ruang. Sudah dini hari, tetapi lantai dansa masih saja ramai dipenuhi lautan manusia. Menari dengan tubuh yang kian memanas. Tak henti, mereka terus menggerakan semua anggota tubuh dengan bebas. "Natalie, coba lihat apa yang kutemukan," ucap Aster sambil menyeruput minuman non alkoholnya. "Hm?" Natalie menurunkan bibir gelas dari mulutnya. "Apa yang kau temukan?" tanyanya seraya mengintip laptop yang sejak tadi Aster perhatikan. Di luar pekerjaan, mereka memang akan menggunakan nama asli dan terkadang, ada beberapa kasus yang mengharuskan identitas asli mereka untuk dilenyapkan demi kepentingan tugas dan menggantinya dengan identitas baru. Bagaimana pun, agen mata-mata pemerintahan adalah boneka millik negara. Mereka pahlawan tanpa nama. "Dugaanku benar, ternyata dia pria yang sama." Aster menaruh minumannya, menyesap bibir yang sedikit menyisakan rasa lemon.
“Ibuku pernah mengatakan, pertemuan ketiga itu bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan sebuah tanda, bahwa Tuhan telah ikut campur secara langsung. Cara Tuhan mempertemukan kita cukup luar biasa, bukan?” bisik Lucas Mata dalam setajam elang itu memandang tepat ke dalam dua manik biru yang terbuka lebar di depannya. Jari jemari yang mencengkram dua pergelangan tangan itu bergerak lembut mengusap telapak tangan kiri Aster. "Dasar gila! Apa dia sedang menggodaku?" runtuk Aster dalam hati. Ingin sekali ia melayangkan tendangan tepat di kedua paha pria ini. Kenapa Tuhan mempertemukan mereka kembali. Terlebih setelah ia mengetahui identitas Lucas. Aster sungguh sedang menahan diri untuk tidak berhubungan dengan mafia Eagle. “Lepaskan!” seru Aster, memberontak dengan sekuat tenaga. Lucas tersenyum tipis. Ternyata tidak salah. Lucas juga merasakan ini saat dipertemuan kedua mereka. Perasaan seperti terbuai hanyut ketika beradu pandang dengan wanita ini. Manik biru Aster memang memberikan ef