“Siapa yang berani mengintip informasiku?” ujar Aster, mulutnya masih setia mengunyah permen karet yang sudah tidak lagi berwarna.
“Untuk saat ini, aku tidak tahu,” jawab Ziggy santai. Perangkat yang pria itu bawa tidak akan bisa melacaknya. “Queen, izinkan aku untuk memeriksa ini di ruanganku,” lanjutnya, memandang Edbert yang berdiri tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Nampaknya sang ketua pun kesal pada orang yang berani memasuki pertahananya.
“Tidak, izinkan aku yang memeriksa--”
“Winter, kau diam di sini dan Zi, lakukan pekerjaanmu dalam sepuluh menit, lalu laporkan semuanya padaku,” sela Edbert tegas, memberikan izin pada Ziggy. Semua anak timnya memang ahli meretas dan melacak, tetapi tetap saja tugas itu sudah ia fokuskan untuk Ziggy. Lagi pula, ia harus menanyakan sesuatu pada Aster.
Ziggy tersenyum sumrigah, pria dengan baju yang sama seperti Edbert itu segera bergegas menutup laptop kesayangannya dan beranjak dari sana, meninggalkan rapat yang tengah hampir selesai.
“Oke, rapat aku selesaikan dengan hasil yang sudah kita sepakati. Semua hasil akan kuserahkan apa adanya pada direktur.” Edbert berjalan mendekati Aster yang masih berdiri. “Aku bangga dengan kalian yang masih memikirkan keadilan di situasi seperti ini. Eagle memang kelompok mafia kelas kakap yang sulit kita tembus, tetapi jika mereka tidak salah ... maka jangan pernah kita buat mereka bersalah hanya untuk memuaskan rasa dendam.”
Aster tersenyum kecut. Ini kesempatan yang sungguh sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan. Namun, seperti sumpah yang sudah mereka ucapkan saat pelantikan dulu ... bahwa tangan dan senjata hanya akan mengarah pada orang-orang yang dinyatakan bersalah.
“Winter,” panggil Edbert serius.
“Ya, bos!” Aster sontak menegakkan punggung dan menaruh siaga tangannya di belakang.
“Apa laporan terakhirmu itu benar?”
Natalie langsung mengerutkan kening mendengar itu. Apa ada yang salah dengan laporan mereka hingga sang ketua tim menahan mereka berdua sekarang?
Memang sudah menjadi keseharusan setiap kali tim menyelesaikan misi, mereka harus membuat laporan individu dan memberikannya kepada ketua tim.
“Benar, Queen!”
“Lalu, siapa pria yang kau lumpuhkan dengan cara seperti itu?” tanya Edbert.
Aster terdiam beberapa saat, menelan saliva dengan cepat. “Seperti yang aku katakan dalam laporan. Dia hanya pria mesum yang sepertinya baru menelan obat perangsang.”
“Pfft!”
Baik Aster maupun Edbert tidak menoleh pada suara yang Natalie timbulkan. Aster cukup tahu, laporannya kali ini sangat memalukan!
“Aku hanya memastikan, kau tidak membuat masa depan warga sipil itu terancam,” goda Edbert. Sudut bibirnya tertarik sedikit.
“Queen, aku hanya melakukan itu sebagai perlindungan diri!” sergah Aster.
“Hahaha!” Natalie sudah tidak sanggup lagi menahan tawa. “Maaf, atas kelancanganku. Aku, hanya cukup terkejut dengan apa yang kau alami.”
“Sialan,” gerutu Aster.
“Kau juga Walker,” sambung Edbert kembali. Sekarang ia fokus pada Natalie. Wanita dengan potongan rambut pixie cut berponi itu langsung terdiam. Natalie pasrah untuk dieksekusi di depan rekan kerjanya.
“Bagaimana bisa kau meminta akses masuk ke kediaman orang tua itu?” lanjut Edbert bertanya tentang tindakan yang muridnya. Ia bahkan tidak memberi perintah untuk itu.
Akses masuk? Maksudnya, seperti kunci? Sekarang giliran Aster yang mengerutkan kening. Tatapannya terarah pada natalie.
Natalie berdiri malas. "Beri pengecualian untuk ini, aku hanya mengambil satu langkah lebih cepat, Queen.”
“Aku tidak menyuruhmu bertindak seperti itu. Kau mau menentang perintahku?” tegas Edbert.
“Tidak, Queen!”
“Berikan barang itu,” titah Edbert.
Natalie tergugu sebentar, ini tidak adil. Ia mendapatkan akses kediaman pria tua sialan itu dengan susah payah. Bahkan harus menurunkan harga dirinya sampai ke titik paling rendah.
“Walker. Aku tahu seberapa besar kebencianmu terhadapnya, tetapi ini tidak bisa aku benarkan. Kalau kau mau bertindak semaumu, aku dengan senang hati akan mengirimmu pada tim lain.”
Natalie berdecak, kemudian merogoh saku celana panjang bermotif tentara. Mengambil sebuah kartu berwarna hitam dari sana.
“Kerja bagus untuk kalian,” ucap Edbert setelah kartu VIP calon musuh sudah berada di tangannya.
Aster memandang Natalie yang mengerucutkan bibir. Ia tahu sekesal apa rekannya itu. Namun, seperti yang dikatakan ketua mereka. Itu adalah tindakan yang tidak dibenarkan, karena belum saatnya mereka melakukan itu. Jika atasan yang lainnya tahu, Natalie akan berakhir dengan surat peringatan dan diabsenkan dari misi.
Baru saja bisa menarik napas dari eksekusi dadakan ketua tim Beta. Pintu besi yang membatasi ruangan itu terbuka. Ziggy kembali ke ruangan dengan membawa beberapa lembar kertas putih di tangannya.
“Queen. Agen Zi telah menyelesakan tugas dan melaporkan, bahwa jaringan yang meretas informasi Joy Eira Aster berada dalam wilayah yang dikuasai Eagle,” lapor Ziggy, kemudian memberikan berkas yang dibawanya pada Edbert.
Aster membulatkan matanya. Untuk apa Eagle mencuri informasi tentangnya, sudah lama sekali ia tidak bersinggungan langsung dengan kelompok Eagle.
Tiga orang di sana berdiri tegap menunggu Edbert memeriksa laporan yang baru saja tiba itu.
“Ada yang aneh,” kening Edbert mengerut membaca alamat IP yang didapatkan anak buahnya. Membolak-balikan kertas-kertas di tangannya.
Di sana ada variable tidak terduga. Dua IP yang disamarkan, sama-sama mencari informasi tentang Aster. Namun, tujuan mereka berbeda.
“Winter, apa akhir-akhir ini kau pernah berhubungan langsung dengan salah satu dari mereka?” tanya Edbert, tatapan tajamnya mengarah pada Aster.
“Tidak Queen. Misi tiga tahun lalu adalah terakhir kalinya aku berurusan dengan Eagle dan saat itu bisa aku pastikan tidak ada jejak yang tertinggal atau saksi yang mengetahui identitasku,” terang Aster percaya diri.
Kejadian itu sama sekali tidak akan pernah hilang dari memori dan hatinya. Peristiwa yang membawa kesedihan terdalam hidupnya sampai saat ini.
Edbert terdiam. Kebisuan menyelimuti tim Beta. Masing-masing dalam kepala mereka juga masih mengingat jelas peristiwa menyakitkan itu.
“Ada apa?” Aster kembali bersuara. “Mereka, hanya mencuri identitas palsuku, bukan?”
“Benar, tetapi beberapa datamu berubah. Sepertinya satu peretas mengambil data dan satu peretas melindungi datamu. Mengubah dengan cepat saat datamu diunduh oleh pihak yang lainnya.”
Natalie mengerutkan dahi. “Aku, tidak mengerti. Akses mengubah data pribadi hanya bisa dilakukan oleh orang yang bersangkutan.” Natalie pun menoleh curiga pada Aster. “Apa kau--”
“Tidak ada perintah untuk itu. Jadi, aku sama sekali tidak mengubahnya!” seru Aster membela diri.
“Aku percaya. Karena datamu diambil satu jam lalu dan saat itu kau sedang bersama kami di sini,” sambar Ziggy membuktikan bahwa Aster tidak berbohong.
“Sial, ini lebih menyeramkan dari film horor di musim dingin!” celetuk Natalie.
Masing-masing agen intelijen wajib memalsukan data mereka dan kode untuk mengakses pun hanya diketahui si pemilik data. Tidak ada yang boleh mengetahuinya, karena jika ada pihak lain yang mengetahuinya ... itu sama saja memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Lucas, dia ....” Aster mengucapkan nama tabu yang membuat ketiga orang-orang di sana menoleh tajam kepadanya. “Maksudku, Rosse. Dia tahu kode untuk mengakses dataku.”
Mendengar pengakuan Aster, Natalie sontak menajamkan tatapannya dan mencengkeram keras bahu kiri Aster. “Kau gila Winter! Memberikan kode itu sangat dilarang! Terlebih, leluconmu itu sungguh tidak lucu!” desisnya kesal.
“Gurauanmu sungguh lebih rendah dari ideku,” celetuk sinis Ziggy.
Semua orang di sana tentu tidak akan percaya dengan apa yang Aster katakan. Lucas Glenn dengan code name Rosse telah gugur tiga tahun lalu.
Tuk, tuk, tuk. Ketukan jari di atas meja membuat hati dua orang di sana merasa tak nyaman. Siku kirinya, bertengger di atas armrest dengan dua jari yang menyentuh sisi wajah. Lucas kesal karena sejak pagi, tidak ada satupun anak buahnya yang memberikan kabar gembira. Terlalu kesal sampai ia tidak tahu harus berkata apa, selain meredam kemarahannya sekarang. Mata dalam Lucas terus menatap tajam ke depan. Memandang dua pria di sana. Kekesalan semakin memuncak saat Jay--sekretarisnya--memberikan kabar kalau Abner mengirimkan pesan dan berkata, bahwa kakek tua itu sedang sangat bosan. “Dia sungguh ingin membuatku menjadi anjingnya,” gumam Lucas, mendengkus dengan hati yang panas. “Dia menyediakan panggung dan ingin membuatku menari di sana?” Lucas berdecak. Dalam mimpi! “Apa yang harus kita lakukan, bos?” tanya Alex yang belum lama ini membawa kabar buruk itu. “Apa lagi?” Lucas beranjak dari kursi dan mengambil jas yang tergantung di sana. “Kita akan ke sana dan menjemput Erica.” Sun
“Dari mana datangnya orang-orang itu?” Aster mengerutkan dahi, berbisik sambil menatap keluar jendela. Di luar sana, ada beberapa orang yang bersembunyi di dalam mobil dan memperhatikan ke arah rumah yang sedang menjadi target tim Beta. [Apa maksudmu? Ganti.]Suara wanita muncul dari alat komunikasi mungil yang menempel pada daun telinga Aster. “Lihat ke luar. Satu menit lalu tidak ada mobil di sana, sekarang rumah ini dikunjungi orang lain selain kita,” ujar Aster seraya menutup kembali tirai putih nan tipis di sana. Pakaian kemeja putih dengan rompi dan celana hitam panjang. Aster sedang menyamar sebagai seorang pelayan di rumah itu. Perintah dari atasan, meminta tim Beta untuk melanjutkan misi. Lebih tepatnya, mencari kebenaran dari pengakuan palsu tahanan yang berhasil mereka tangkap beberapa hari lalu. Dua orang kriminal yang menjajakan barang terlarang di kapal pesiar. [Kau benar. Ganti.] Suara Natalie terdengar. [Aku sudah melacak plat mobil dan identitas mereka. Semua ad
“Lucas? Huh?” Suara wanita menyapa, membuat Aster langsung melarikan diri. “Siapa wanita itu?” ucap Scarlett Bruyne--dengan kontak nama S di ponsel Lucas--wanita itu memandang punggung Aster yang sudah menjauh. “Bukankah dia pelayan di sini?” ungkap Lucas. “Pelayan?” ulang Scarlett. Meski bingung, dua matanya tetap turut mengekori Lucas yang mendekat. Lucas berjalan perlahan mendatangi seorang gadis muda. Rambut kecokelatan bergelombang yang mengembang indah sampai melewati bahu, dress putih crinkle memanjang hingga lutut, warna senada dengan sandal bertali yang terlihat nyaman di kaki jenjang itu. Erica Ashley Luke seperti burung merpati yang terlihat ringkih. Tubuhnya kurus, sinar mata pun seperti tatapan yang kehilangan harapan. Lelah. Entah apa yang telah Abner lakukan pada keluarganya. Apapun itu, Lucas akan memberikan bayaran setimpal untuk siapapun yang sudah berani melukai keluarganya. Ini pertemuan yang cukup mengharukan, meski terasa aneh dengan iringan latar musik dari
Dentuman musik dengan lampu warna warni yang menyorot indah. Suara bising dan bau alkohol turut menyerbu ke setiap sudut ruang. Sudah dini hari, tetapi lantai dansa masih saja ramai dipenuhi lautan manusia. Menari dengan tubuh yang kian memanas. Tak henti, mereka terus menggerakan semua anggota tubuh dengan bebas. "Natalie, coba lihat apa yang kutemukan," ucap Aster sambil menyeruput minuman non alkoholnya. "Hm?" Natalie menurunkan bibir gelas dari mulutnya. "Apa yang kau temukan?" tanyanya seraya mengintip laptop yang sejak tadi Aster perhatikan. Di luar pekerjaan, mereka memang akan menggunakan nama asli dan terkadang, ada beberapa kasus yang mengharuskan identitas asli mereka untuk dilenyapkan demi kepentingan tugas dan menggantinya dengan identitas baru. Bagaimana pun, agen mata-mata pemerintahan adalah boneka millik negara. Mereka pahlawan tanpa nama. "Dugaanku benar, ternyata dia pria yang sama." Aster menaruh minumannya, menyesap bibir yang sedikit menyisakan rasa lemon.
“Ibuku pernah mengatakan, pertemuan ketiga itu bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan sebuah tanda, bahwa Tuhan telah ikut campur secara langsung. Cara Tuhan mempertemukan kita cukup luar biasa, bukan?” bisik Lucas Mata dalam setajam elang itu memandang tepat ke dalam dua manik biru yang terbuka lebar di depannya. Jari jemari yang mencengkram dua pergelangan tangan itu bergerak lembut mengusap telapak tangan kiri Aster. "Dasar gila! Apa dia sedang menggodaku?" runtuk Aster dalam hati. Ingin sekali ia melayangkan tendangan tepat di kedua paha pria ini. Kenapa Tuhan mempertemukan mereka kembali. Terlebih setelah ia mengetahui identitas Lucas. Aster sungguh sedang menahan diri untuk tidak berhubungan dengan mafia Eagle. “Lepaskan!” seru Aster, memberontak dengan sekuat tenaga. Lucas tersenyum tipis. Ternyata tidak salah. Lucas juga merasakan ini saat dipertemuan kedua mereka. Perasaan seperti terbuai hanyut ketika beradu pandang dengan wanita ini. Manik biru Aster memang memberikan ef
Suara ketikan dari papan keyboard terdengar jelas. Bau kopi lebih menyengat daripada tinta dan tumpukan kertas di ruangan itu. Kembali, manik biru sebening kristal menoleh pada benda hitam mungil di atas meja. Suara walkie talkie terdengar setiap beberapa menit untuk membawa kabar informasi dari luar. Aster terus memindai, melirik tanpa terlewat sambil menjawab pertanyaan dari pria muda berseragam kepolisian. Sudah menjadi kebiasaan dirinya untuk menganalisis situasi dan tempat yang dikunjunginya. Saat ini, Aster sedang berada di kantor polisi Manhattan bagian distrik timur. Satu setengah jam lalu, Aster memutuskan untuk mengikuti saran Lucas. Meski sempat ada keraguan. Namun Aster pikir, saat Lucas meminta melaporkan kepada pihak hukum. Ia merasa itu taruhan yang cukup untuk mempercayai ucapannya. Lucas tentu juga mempertaruhkan masa depannya. Mafia tidak akan mau berhubungan dengan hukum. Meski bisa bebas dengan uang jaminan besar, tetapi tetap saja akan merepotkan. Terlebih, L
"Kerja bagus, Aster. Lain waktu, aku ingin kau menjawabku dalam satu nada tunggu."Aster bergeming. Matanya tetap terpaku pada Lucas yang tersenyum manis ke arahnya. Namun tetap saja, semanis apapun senyuman pria itu ... Aster merasa senyum itu seperti sedang meremehkan dirinya!“Hei, ada apa? Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini?” Ziggy yang sudah berhasil mengejar Aster pun langsung menelusuri arah pandang Aster dan menemukan satu-satunya mobil hitam di seberang mereka.Aster berkedip, menyudahi hati yang sempat dikejutkan Lucas. Kembali pada kesadarannya, saat ini ia harus berperan sebagai warga sipil yang pemberani. Warga sipil yang telah menyelamatkan bahkan menangkap seorang pengedar obat terlarang.“Sejak tadi aku penasaran, dari mana kau tahu namaku?” ujar Aster mengabaikan ucapan Ziggy. Aster masih harus berpura-pura bodoh. Meskipun ia tahu, bahwa Lucas sudah mengetahui dirinya. Aster hanya berharap, perubahan data identitasnya akhir-akhir ini tidak membawa kerugian
“Satu, dua! Satu, dua!”Teriakan lantang dari sepuluh orang pria berlari mengitari lapangan. Pakaian yang sama dengan warna abu-abu dan hitam. Postur tubuh yang tegap dan kekar juga keringat yang mengalir seksi.Matahari begitu kejam memberikan panas terik pada sekumpulan pria gagah di sana, meski itu juga merupakan hal yang patut disyukuri untuk satu wanita yang berdiri di pinggir lapangan.“Ah, pemandangan di tempat ini memang tidak pernah membosankan,” celetuk Scarlett Bruyne. Wanita cantik bak model itu sedang berdiri di samping pilar gedung, memandang ke tempat para bodyguard berlatih.Pakaian simple untuk bergerak di hari yang akan membuatnya berkeringat. “Kau juga tergoda melihat pria-pria seksi di sana ‘kan?” lanjut Scarlett sambil melirik pada wanita muda di sampingnya.Erica memasang wajah mengamati apa yang tersugu di tengah lapangan besar. "Seksi? Aku kurang mengerti, bagian mana yang kak Scarlett katakan seksi?"Scarlett pun menoleh sempurna pada Erica. Kurang mengerti? "