“Lucas? Huh?”
Suara wanita menyapa, membuat Aster langsung melarikan diri. “Siapa wanita itu?” ucap Scarlett Bruyne--dengan kontak nama S di ponsel Lucas--wanita itu memandang punggung Aster yang sudah menjauh.
“Bukankah dia pelayan di sini?” ungkap Lucas.
“Pelayan?” ulang Scarlett. Meski bingung, dua matanya tetap turut mengekori Lucas yang mendekat.
Lucas berjalan perlahan mendatangi seorang gadis muda. Rambut kecokelatan bergelombang yang mengembang indah sampai melewati bahu, dress putih crinkle memanjang hingga lutut, warna senada dengan sandal bertali yang terlihat nyaman di kaki jenjang itu.
Erica Ashley Luke seperti burung merpati yang terlihat ringkih. Tubuhnya kurus, sinar mata pun seperti tatapan yang kehilangan harapan. Lelah. Entah apa yang telah Abner lakukan pada keluarganya. Apapun itu, Lucas akan memberikan bayaran setimpal untuk siapapun yang sudah berani melukai keluarganya.
Ini pertemuan yang cukup mengharukan, meski terasa aneh dengan iringan latar musik dari cetusan senjata di luar sana.
“Erica, kau mengenalku?” lanjut Lucas, tersenyum tipis. Pandangannya menghangat. Sudah sepuluh tahun ia tidak melihat adik kecil yang saat ini terlihat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu.
Erica terdiam mencerna ucapan pria tampan di depannya. Tentu gadis dua puluh tahun itu merasa heran jika diberikan pertanyaan seperti itu. Sejak kecil, baru kali ini Erica bertemu Lucas.
“Sebelum aku dipindahkan ke sini. Ibu selalu berkata, kalau suatu hari nanti ... kakakku akan menjemput aku dan ibu.” Erica menoleh pada Scarlett. “Belum lama ini, dia juga mengatakan hal yang sama,” lanjutnya.
“Jadi, kau sudah bisa menebak siapa dia?” tanya Scarlett seraya melepaskan genggaman tangan Erica.
“Kau, kakakku. Benar ‘kan?”
Lucas pun langsung memeluk Erica dan mengecup puncak kepala sang adik. Sedikit beban hatinya membuih. “Benar. Aku kakakmu, Lucas. Sekarang, kau aman.”
Aman? Scarlett meringis mendengarnya. Mungkin itu hanya kata penghibur untuk nona kecil yang baru keluar dari sangkar. Mereka berdua tahu, selama Abner masih hidup ... selama itulah kehidupan mereka tidak akan pernah aman. Meskipun itu di dalam rumah sendiri.
“Bos!”
Seruan yang membuat keharmonisan dua kakak beradik di sana harus berhenti. Lucas melepaskan pelukan dan berbalik tanpa melepas genggamannya pada lengan Erica.
“Ada apa?” Scarlett bertanya mewakilkan Lucas. Menatap Alex yang berjalan melangkah cepat ke arah mereka.
“Ah, selamat datang Nona Erica.” Alex menunduk memberi hormat pada majikan muda. “Lapor, bos. Situasi rumah ini sudah di amankan, tetapi kita harus segera pergi dari sini. Saya mendapat informasi bahwa tuan Harry sedang berbalik arah kembali ke sini.”
Lucas menoleh pada Scarlett. “Apa Harry tahu kau di sini?”
“Tidak ada satupun yang tahu kedatanganku. Ah, kecuali penjaga ruang bawah tanah yang sudah berhasil aku lumpuhkan,” jelas Scarlett.
Satu tarikan samar pada alis Lucas. "Kau hanya melumpuhkan atau membunuh?"
"Aku tidak sekejam dirimu, Luc," balas Scarlett, sinis.
Lucas berpikir, jika penjaga di sana sadar, maka keberadaan Scarlett tidak akan aman. “Kau ikut denganku.”
Lucas pun langsung menarik lengan Erica untuk keluar dari sana. “Alex, suruh semua mundur dari sini dan berpencar. Jangan sampai Harry mengetahui kemana aku pergi membawa Erica dan, bunuh penjaga yang sudah melihat Scarlett di sini.”
“Baik, bos. Saya akan pergi lebih dulu,” ujar Alex, pria itu pun berlari untuk menjalankan perintah. Lebih tepatnya, memberitahu anak buah mereka untuk menjalankan semua titah dari Lucas.
Melangkah tegas. Lucas mengedarkan mata ke sekitar. Sepertinya ia harus meminta G untuk mensabotase kamera pengintai di rumah ini. Hanya melewati lorong saja, Lucas sudah menemukan lebih dari enam CCTV.
“Apa kita sungguh perlu membunuh penjaga yang melihatku?”
Lucas menyeringai. “Kau jadi lemah, Scar.”
“Bukan begitu. Aku tidak masalah jika mereka melaporkan pengkhianatanku pada Harry.”
“Belum saatnya kau menunjukkan pengkhianatanmu. Aku masih membutuhkanmu untuk berada di sisi Harry.”
“Ah!” Erica tersentak dan menghentikan kaki-kakinya. Menatap tubuh-tubuh bersimbah darah tergeletak seperti lalat mati di halaman yang indah.
“Kenapa? Apa kau sudah takut hanya melihat hal sekecil ini?” sarkas Scarlett. Tidak peduli pada status Erica yang merupakan adik sekutunya. Scarlett hanya suka menyampaikan apa yang ada di kepala dan hatinya dengan gamblang.
“Ti-tidak. Ini sudah biasa. Aku hanya terkejut melihat yang sebanyak ini,” akui Erica. Berada di lingkungan Abner, tentu tidak akan ada tangan yang bersih. Bahkan Erica sendiri pun pernah dipaksa untuk membunuh orang.
“Mulai nanti, aku pastikan kau tidak akan melihat hal seperti ini lagi, Erica,” sambar Lucas.
Tidak lama sebuah buggati pun menghampiri, kemudian Lucas mengisyaratkan agar sang adik segera naik ke mobil.
Pria yang masih memakai jas kerja itu pun menoleh ke belakang. Menatap jauh ke dalam pintu yang terbuka lebar. Tidak ada jejak sedikit pun dari wanita yang sudah mencuri ciumannya.
Lucas bukan pria suci yang mempermasalahkan satu ciuman. Ini semua karena wanita itu berhasil menarik perhatiannya dengan sangat cepat.
Bagaimana bisa dalam dua kali pertemuan, selalu saja ia yang berakhir kalah. Semakin dicari keberadaannya semakin Lucas dibuat pusing karena tidak ada satu pun informasi yang benar tentang Aster.
Wanita itu, seperti bukan dari dunia ini. Pergi dan datang sesuka hati. Anehnya, selalu terlibat dengan dirinya.
"Hatcim!" Suara bersin terdengar keras.
"Hais! Kau sungguh kena flu?" ujar Natalie sambil menutup hidungnya. Bukan hanya Natalie, tetapi Ziggy yang ada di belakang juga menutup hidungnya.
"Sudah kubilang, kurangi kebiasaanmu yang lebih suka tidur di taman!" celetuk Ziggy. Semalam Aster tidur di taman umum. Seperti gelandangan.
"Setelah ini kau akan mati di tanganku, Zi!" seru Aster yang duduk di sebelah kursi kemudi.
Natalie pun tertawa renyah mendengar itu, kemudian menjalankan mobil van hitam mereka untuk menjemput ketua mereka yang sudah bersiap.
Misi terpaksa digagalkan, karena tamu yang tak bisa diprediksi. Terlebih sampai memicu baku tembak.
Aster juga sudah menghubungi polisi setempat atas perintah Edbert. Meski mereka sama-sama bekerja di bawah hukum pemerintahan. Namun, tugas seorang agen intelijen dan kepolisian tentu sangat berbeda. Seorang intelijen itu seperti bayangan, sebisa mungkin tidak boleh ada yang mengetahui identitas ataupun wajah mereka.
Setiap kali ada yang mengenali. Maka identitas para agen akan dinyatakan meninggal dan diganti dengan identitas baru.
"Aku akan dengan senang hati menunggu itu," timpal Ziggy meledek.
"Sialan." Aster semakin kesal. Semua rekan-rekannya memang suka sekali meledek dirinya.
"Misi kita gagal. Atasan pasti tidak akan suka ini," ujar Natalie.
Padahal semua sudah berjalan sesuai rencana. Bahkan mereka sudah menyusup ke rumah target sejak dini hari.
"Apa kalian tidak merasa aneh?" lanjut Natalie.
Aneh? Aster melirik pada Ziggy yang juga memandang ke arahnya. "Apa maksudmu?" tanyanya tidak mengerti.
"Maksudku ...." Natalie sedikit menggigit kecil bibir bawahnya. Memutar kemudi saat arah mobil diharuskan untuk berbalik arah. "Semua misi yang kita lakukan, selalu bersinggungan dengan Eagle. Seperti operasi Naco dan misi sekarang," lanjutnya menjelaskan.
"Walker, wajar jika kita bersinggungan dengan mafia. Kau tahu, direktur PepCos itu melakukan penyelundupan bahkan menjual obat terlarang dengan harga yang bisa mencapai miliaran dalam sehari. Mafia mana yang tidak tergiur?" terang Ziggy, kemudian beralih pada layar laptop di depannya. Pekerjaannya belum selesai.
Yah, benar juga. Aster berpikir penjelasan Ziggy cukup masuk akal.
Eh? Tiba-tiba saja Aster teringat akan satu kebetulan yang ia lupakan. Ia teringat pada pria yang belum lama diciumnya.
Aster pun memegang dan meraba pelan bibir tanpa gincu. Keningnya mengerut, saat mengingat keras suara pria di pesta malam itu dengan pria yang ia temui beberapa saat lalu ... suara bahkan aroma mereka, sama?
"Tidak, tidak mungkin!" bantah Aster dalam hati. Melupakan profesi pekerjaan yang mengharuskan semua indera di tubuhnya bekerja lebih peka.
"Mereka bukan orang yang sama 'kan? Meski--"
'Semua misi yang kita lakukan, selalu bersinggungan dengan Eagle. Seperti operasi Naco dan misi sekarang.' Ucapan Natalie membujuk Aster menguatkan asumsinya.
"Zi, tolong kirim kepadaku secara pribadi. Semua rekaman CCTV saat operasi Naco dan misi hari ini," tegas Aster memerintah. Ia harus mengeceknya sendiri.
Dentuman musik dengan lampu warna warni yang menyorot indah. Suara bising dan bau alkohol turut menyerbu ke setiap sudut ruang. Sudah dini hari, tetapi lantai dansa masih saja ramai dipenuhi lautan manusia. Menari dengan tubuh yang kian memanas. Tak henti, mereka terus menggerakan semua anggota tubuh dengan bebas. "Natalie, coba lihat apa yang kutemukan," ucap Aster sambil menyeruput minuman non alkoholnya. "Hm?" Natalie menurunkan bibir gelas dari mulutnya. "Apa yang kau temukan?" tanyanya seraya mengintip laptop yang sejak tadi Aster perhatikan. Di luar pekerjaan, mereka memang akan menggunakan nama asli dan terkadang, ada beberapa kasus yang mengharuskan identitas asli mereka untuk dilenyapkan demi kepentingan tugas dan menggantinya dengan identitas baru. Bagaimana pun, agen mata-mata pemerintahan adalah boneka millik negara. Mereka pahlawan tanpa nama. "Dugaanku benar, ternyata dia pria yang sama." Aster menaruh minumannya, menyesap bibir yang sedikit menyisakan rasa lemon.
“Ibuku pernah mengatakan, pertemuan ketiga itu bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan sebuah tanda, bahwa Tuhan telah ikut campur secara langsung. Cara Tuhan mempertemukan kita cukup luar biasa, bukan?” bisik Lucas Mata dalam setajam elang itu memandang tepat ke dalam dua manik biru yang terbuka lebar di depannya. Jari jemari yang mencengkram dua pergelangan tangan itu bergerak lembut mengusap telapak tangan kiri Aster. "Dasar gila! Apa dia sedang menggodaku?" runtuk Aster dalam hati. Ingin sekali ia melayangkan tendangan tepat di kedua paha pria ini. Kenapa Tuhan mempertemukan mereka kembali. Terlebih setelah ia mengetahui identitas Lucas. Aster sungguh sedang menahan diri untuk tidak berhubungan dengan mafia Eagle. “Lepaskan!” seru Aster, memberontak dengan sekuat tenaga. Lucas tersenyum tipis. Ternyata tidak salah. Lucas juga merasakan ini saat dipertemuan kedua mereka. Perasaan seperti terbuai hanyut ketika beradu pandang dengan wanita ini. Manik biru Aster memang memberikan ef
Suara ketikan dari papan keyboard terdengar jelas. Bau kopi lebih menyengat daripada tinta dan tumpukan kertas di ruangan itu. Kembali, manik biru sebening kristal menoleh pada benda hitam mungil di atas meja. Suara walkie talkie terdengar setiap beberapa menit untuk membawa kabar informasi dari luar. Aster terus memindai, melirik tanpa terlewat sambil menjawab pertanyaan dari pria muda berseragam kepolisian. Sudah menjadi kebiasaan dirinya untuk menganalisis situasi dan tempat yang dikunjunginya. Saat ini, Aster sedang berada di kantor polisi Manhattan bagian distrik timur. Satu setengah jam lalu, Aster memutuskan untuk mengikuti saran Lucas. Meski sempat ada keraguan. Namun Aster pikir, saat Lucas meminta melaporkan kepada pihak hukum. Ia merasa itu taruhan yang cukup untuk mempercayai ucapannya. Lucas tentu juga mempertaruhkan masa depannya. Mafia tidak akan mau berhubungan dengan hukum. Meski bisa bebas dengan uang jaminan besar, tetapi tetap saja akan merepotkan. Terlebih, L
"Kerja bagus, Aster. Lain waktu, aku ingin kau menjawabku dalam satu nada tunggu."Aster bergeming. Matanya tetap terpaku pada Lucas yang tersenyum manis ke arahnya. Namun tetap saja, semanis apapun senyuman pria itu ... Aster merasa senyum itu seperti sedang meremehkan dirinya!“Hei, ada apa? Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini?” Ziggy yang sudah berhasil mengejar Aster pun langsung menelusuri arah pandang Aster dan menemukan satu-satunya mobil hitam di seberang mereka.Aster berkedip, menyudahi hati yang sempat dikejutkan Lucas. Kembali pada kesadarannya, saat ini ia harus berperan sebagai warga sipil yang pemberani. Warga sipil yang telah menyelamatkan bahkan menangkap seorang pengedar obat terlarang.“Sejak tadi aku penasaran, dari mana kau tahu namaku?” ujar Aster mengabaikan ucapan Ziggy. Aster masih harus berpura-pura bodoh. Meskipun ia tahu, bahwa Lucas sudah mengetahui dirinya. Aster hanya berharap, perubahan data identitasnya akhir-akhir ini tidak membawa kerugian
“Satu, dua! Satu, dua!”Teriakan lantang dari sepuluh orang pria berlari mengitari lapangan. Pakaian yang sama dengan warna abu-abu dan hitam. Postur tubuh yang tegap dan kekar juga keringat yang mengalir seksi.Matahari begitu kejam memberikan panas terik pada sekumpulan pria gagah di sana, meski itu juga merupakan hal yang patut disyukuri untuk satu wanita yang berdiri di pinggir lapangan.“Ah, pemandangan di tempat ini memang tidak pernah membosankan,” celetuk Scarlett Bruyne. Wanita cantik bak model itu sedang berdiri di samping pilar gedung, memandang ke tempat para bodyguard berlatih.Pakaian simple untuk bergerak di hari yang akan membuatnya berkeringat. “Kau juga tergoda melihat pria-pria seksi di sana ‘kan?” lanjut Scarlett sambil melirik pada wanita muda di sampingnya.Erica memasang wajah mengamati apa yang tersugu di tengah lapangan besar. "Seksi? Aku kurang mengerti, bagian mana yang kak Scarlett katakan seksi?"Scarlett pun menoleh sempurna pada Erica. Kurang mengerti? "
Suasana yang sepi dan dingin, beberapa tanaman hijau mengisi dan menghiasi lorong panjang di sana. Lucas yang baru keluar dari lift, langsung menuju ke tempat di mana Harry berada. Ruang tamu yang letaknya tidak jauh dari ruang kantornya.Dari kejauhan, Lucas bisa melihat sekretarisnya sudah berdiri di sana. Jay pun menundukan kepala, memberi hormat sekaligus salam kepada Lucas."Lima belas menit lagi ada pertemuan dengan perwakilan dari UCC, bukan?” tanya Lucas.“Benar Bos. Dini hari tadi, pihak mereka sudah sampai di hotel yang sudah kita persiapkan. Apa Bos ingin menunda pertemuannya?” jawab Jay sekaligus bertanya.“Tidak perlu. Sesuai yang kukatakan kemarin. Jika perwakilan dari mereka datang, antarkan mereka ke ruang meeting di lantai satu.”“Noted, Bos,” jawab Jay."Dan jika aku sedikit terlambat. Serahkan kepada mereka, dokumen yang kukirimkan lusa kemarin. Kau sudah menguasai semua?""Sudah Bos.""Good. Ingat, mereka adalah tamu penting kita. Siapkan semua dengan sempurna. Aku
Denting jam yang bergulir, tanpa sengaja menambah kecemasan hati pria di sana. Pakaian yang monoton--hitam putih--selalu menjadi ciri khas dari seorang Joe Lucas Barioz.Menghirup banyak udara di sana. Berharap wangi mint yang memenuhi ruangan itu bisa menenangkan sedikit hatinya.Lembaran-lembaran sudah Lucas perlihatkan pada orang-orang di sana. Kertas-kertas itu pun menjadi tempat matanya berlabuh gelisah. Tidak bisa Lucas percaya. Kabar yang mengatakan UCC hanya akan mengirimkan perwakilan, ternyata hanya kabar palsu.Tidak jauh di sampingnya, seorang owner sekaligus CEO dari perusahaan UCC sedang menilai proposal yang Lucas ajukan. Sebuah proposal kerja sama yang bisa dikatakan akan sangat menentukan masa depannya.“Ini proposal kerja sama yang sangat menarik,” ujar pria berkemeja biru tua. Cezar Matvey Vincent, CEO UCC. "Tetapi, bukankah lantai gedung yang kuinjak ini adalah INT?" lanjutnya. Mata dalam yang tajam itu memandang penuh arti pada Lucas. Wajah yang tidak kalah tampan
Gedung berlantai delapan dengan plakat huruf besar yang berbaris rapi di antara tanaman di sana. Security Group dengan logo dunia terlihat jelas begitu Lucas dan Cezar turun dari mobil hitam. Dua sekretaris pun sudah berjaga di luar mobil.Jovan, sebagai orang yang Lucas tunjuk untuk mengurus Security Group juga ada di sana dengan senyum ramah.“Selamat datang, Tuan Vincent. Suatu kehormatan bisa menyambut anda di tempat ini,” ujar Jovan sambil menjabat tangan Cezar.“Suatu kehormatan juga untukku, bisa bekerja sama dengan kalian,” balas Cezar yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Jovan.Beralih pandang, Jovan juga menyapa hormat Lucas, founder dari Security Group.“Kerja bagus,” ucap Lucas sambil menepuk bahu Jovan. Melihat persiapan yang begitu cepat dengan hasil yang cukup memuaskan, Lucas tentu merasa senang dengan kinerja Jovan.Mereka pun masuk ke dalam gedung. Memperkenalkan satu persatu ruangan dan memperlihatkan bagaimana cara kerja orang-orang di sana. Sesuai dengan i