“Luc, kau seharusnya tahu apa yang aku inginkan untuk pertukaran besar ini.”
Lucas membuka kancing ketiga dari kerah atas kemejanya. Rasanya panas sekali, kalau saja keluarganya tidak menjadi tawanan Abner ... mungkin sekarang tangan gatalnya sudah memukul keras wajah tua mengesalkan itu.
Mengangkat tangan kanan, Lucas mengintip jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah pukul satu siang. Artinya, barang yang ia kirimkan sudah sampai. “Apa anak buahmu belum memberitahu? Aku sudah mengirimkan kepala dari musuhmu.”
Abner menyeringai licik. Mana mungkin Abner tidak tahu? Beberapa menit lalu, Abner sudah menerima kabar bahwa musuhnya telah mati tanpa kepala.
“Istirahatlah, kau juga pasti merindukan tempat ini,” ujar Abner mengalihkan pembicaraan.
Lucas menarik kecil sudut bibirnya. Merindukan? Ini bahkan tempat pertama yang sama sekali tidak ingin ia kunjungi. Tempat indah yang hanya merekam pahit hidupnya.
“Luc, kau tahu ... aku sangat berharap besar denganmu daripada sepupu-sepupumu,” celoteh Abner kembali. Entah ingin menungkapkan isi hati atau hanya sekedar mengulur waktu.
“Dan aku tidak akan pernah mau memenuhi harapanmu apalagi alat perbudakanmu,” tukas Lucas.
“Tidak apa-apa, karena pada akhirnya kau hanya akan menjadi anjingku.”
“Sebaiknya kau gunakan waktu luangmu untuk membayar janjimu.” Lucas menelusuri pandang ke setiap sudut rumah. Inginnya membuka satu persatu pintu-pintu di rumah ini. Namun, hal itu tidak akan bisa. Abner adalah orang yang licik. Kakek tua itu tidak mungkin menyembunyikan Erica di tempat ini.
“Aku tunggu dua puluh empat jam dari sekarang. Jika kau tidak mengembalikan Erica kepadaku ... akan kuanggap kau ingin aku menjadi musuhmu!” lanjut Lucas tegas, kemudian pergi meninggalkan Abner yang tertawa puas.
Keluar dari rumah bergaya jepang, Alex mengerutkan kening. Mengikuti sang majikan dengan hati yang bertanya-tanya.
“Hubungi G. Katakan kepadanya untuk bersiap meretas semua keamanan kakek tua sialan itu,” ujar Lucas memberi titah.
Firasatnya mengatakan, Abner tidak akan memberikan ibu dan adiknya semudah itu. Seharusnya ia sudah tahu akan berakhir seperti ini. Namun, kerinduan akan keluarga membuat instingnya buta. Abner selalu membuat Lucas menaruh harapan pada permainan si kakek tua itu.
“Apa tuan besar lagi-lagi tidak mau memberikan nona?” tanya Alex. Ini sudah kesekian kali bosnya itu ditipu Abner.
“Ini yang terakhir. Aku juga sudah menyatakan perang jika dalam dua puluh empat jam ini, orang itu tidak menyerahkan Erica,” balas Lucas, jemarinya mengepal erat.
Ini sungguh membuatnya murka. Jujur saja, cara ini adalah cara yang paling tidak ia sukai. Sebab bagaimanapun, Lucas akan kalah dari Abner yang memiliki kekuasaan dan kekuatan lebih besar darinya.
Namun itu dulu, karena sekarang Lucas sudah memiliki tim dan partner yang cukup kuat untuk melawan Fredell Abner Barioz.
“Saya akan mempersiapkan semuanya, bos,” ujar Alex. Kini bukan lagi balas membalas seperti permainan anak kecil. Namun, perang besar.
“Cari orang kompeten yang ahli dalam misi senyap. Orang baru tidak akan dikenali musuh.”
“Baik, bos.”
Mereka sudah sampai pada kapal pribadi yang baru beberapa menit beristirahat di tepi pelabuhan. Lucas pun menaiki anak tangga besi, sesampainya di atas badan kapal... Lucas langsung berbalik memandang dendam pada rumah yang sudah terhalang beberapa pohon tinggi dan besar. Tidak ketinggalan, Alex yang selalu berada dekat dengannya.
Memandang punggung sang ketua. Alex merasa kasihan dengan Lucas. Bahkan tidak ada yang akan mengira, pria dengan penampakan punggung kesepian itu rela melumuri tangan dengan darah hanya demi keselamatan keluarganya.
“Tu--”
Dering ponsel membuat Alex harus menghentikan ucapannya. Mengambil ponsel dari saku celana, Alex pun memandang layar benda pipih tersebut, sebuah panggilan dari anak buahnya. Alex pun langsung menerima panggilan itu.
"Ada apa?" ucap Alex menyapa. Mendengarkan dengan mata yang tak pernah terlepas dari punggung Lucas. "Baiklah, kerja bagus. Kirimkan padaku dan terus kumpulkan informasi sebanyak apapun," ujarnya memberikan perintah, kemudian menutup teleponnya.
Alex tidak menyangka, pencarian wanita itu sangat mudah. Padahal, baru beberapa menit tadi Alex memberikan perintah pada anak buahnya. Mungkin, wanita yang Lucas maksud hanyalah orang biasa. Sehingga mereka bisa dengan cepat mendapatkan informasi wanita itu.
"Bos, mereka sudah menemukan informasi dari wanita yang anda cari." Kembali Alex berbicara, melaporkan apa yang baru saja mereka dapatkan.
Cepat juga, pikir Lucas. Bibir tebalnya pun tersenyum miring, penasaran pada wanita yang begitu berani melukainya.
Malam itu, Lucas mengira wanita itu dikirim oleh musuh. Sebab, sulit sekali membuatnya pergi. Namun, semua pikirannya berubah saat masa depan Lucas dinodai oleh wanita itu.
"Lanjutkan," titah Lucas, menginginkan informasi lebih.
"Wanita itu bernama Joy Eira Aster. Usia dua puluh sembilan tahun. Sudah sepuluh tahun bekerja di sebuah restoran Lison Park sebagai pelayan dan--”
“Seorang pelayan?” sambar Lucas. Cukup terdengar ganjil, warga sipil yang bekerja sebagai seorang pelayan. Namun bisa mendatangi acara privat malam itu? “Apa dia juga bekerja sebagai pelayan di kapal pesiar?”
Alex terdiam. Perasaannya sama seperti Lucas. Dengan cepat, ia membaca semua informasi yang dikirimkan anak buah mereka.
“Ah, maaf bos. Informasi seperti itu belum mereka dapatkan. Saya akan secepatnya mencari tahu hal itu.”
“Aku tunggu dalam lima jam. Cari tahu juga, apakah wanita itu memiliki hubungan dengan Harry atau benar-benar murni hanya seorang tamu di sana,” titah Lucas.
Niat hati hanya ingin mengetahui siapa wanita itu. Namun, merasakan keganjilan ... Lucas pun mengurungkan pikiran naifnya. Sejak kecil, ia selalu memegang prinsip bahwa, tidak akan ada orang bersih yang mendatanginya.
Joy Eira Aster, ucap Lucas dalam hati seraya memandangi gulungan-gulungan ombak di bawah sana.
Jika wanita itu bekerja sebagai pelayan, tentu tidaklah mungkin. Meski mereka bersentuhan dalam gelap, Lucas yakin yang dipakai wanita itu bukanlah pakaian seorang pelayan, melainkan gaun pesta.
Di sisi lain, wanita yang sedang dicari jejak kehidupannya sedang mengunyah permen karet sambil mendengarkan pidato dari ketua tim.
“Queen, jadi maksudmu mereka berdua adalah bagian dari mafia Eagle,” tanya Aster, sudah satu jam mendengarkan hasil dari investigasi tersangka yang mereka culik dari pesta semalam. “Apa itu masuk akal?” lanjutnya.
“Aku tahu mengapa kau berpikir seperti itu,” sambung pria bertubuh tegap dengan pakaian hitam berlogo bola dunia di dada kiri. Dia adalah Edbert Ansell dengan kode nama Queen, pemimpin tim Beta. “Kita hanya bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut mereka.”
“Dari pemantauan yang kita lakukan, sudah jelas bisa dipastikan tidak ada mata-mata atau anak buah Eagle di sana.” Natalie angkat suara. Wanita itu duduk di samping Durwin Ziggy, code name Zi yang sedang sibuk di depan laptop. “Dan riwayat dari dua orang itu pun selalu bekerja di bawah suruhan direktur PepCos!” lanjut Natalie kesal.
“Bukankah ini bagus?” Suara Ziggy menarik atensi tiga kepala di ruangan rapat itu. Ruangan yang sama sekali tidak menarik, bahkan terkesan seperti gudang daripada sebuah kantor. “Kita sangat dendam dengan mafia itu, bukan? Kali ini kita bisa menggunakan pengakuan dari pengedar obat terlarang untuk mengambil penyelidikan tentang mereka kembali.”
“Harga dirimu sangat rendah,” sindir Aster, memandang sinis pada Ziggy yang membalas ucapannya dengan tawa renyah.
“Winter, ini hanya jalan pintas,” jawab Ziggy akhirnya.
“Cih, ke mana hati nuranimu, Zi?!” sarkas Walker. Dua wanita di sana cukup menunjukkan ketidaksukaan mereka pada ide Ziggy, si peretas.
“Cukup. Aku tahu dendam kalian pada kelompok mafia itu. Namun, kita harus bergerak sesuai perintah agar kematian rekan kita tidak akan sia-sia.” Semua terdiam lesu mendengar Edbert membahas kematian rekan tercinta mereka. Kematian tidak adil yang bahkan tidak bisa mereka investigasi langsung.
“Untuk saat ini kita hanya bisa menyerahkan semua yang kita dapatkan pada atasan. Keluhan dan--”
“Queen, maaf memotong.” Ziggy mengangkat tangan, wajahnya serius memandang layar laptop.”
“Lanjutkan,” izin Edbert.
“Ada jejak peretasan menggunakan koneksi privat. Mereka mengambil informasi tentang Joy Eira Aster.”
Apa? Aster pun langsung beranjak dari kursinya dan ikut memantau layar kecil di sana. “Siapa yang berani mengintip informasiku?” ujar Aster, mulutnya masih setia mengunyah permen karet yang sudah tidak lagi berwarna.
“Siapa yang berani mengintip informasiku?” ujar Aster, mulutnya masih setia mengunyah permen karet yang sudah tidak lagi berwarna. “Untuk saat ini, aku tidak tahu,” jawab Ziggy santai. Perangkat yang pria itu bawa tidak akan bisa melacaknya. “Queen, izinkan aku untuk memeriksa ini di ruanganku,” lanjutnya, memandang Edbert yang berdiri tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Nampaknya sang ketua pun kesal pada orang yang berani memasuki pertahananya. “Tidak, izinkan aku yang memeriksa--” “Winter, kau diam di sini dan Zi, lakukan pekerjaanmu dalam sepuluh menit, lalu laporkan semuanya padaku,” sela Edbert tegas, memberikan izin pada Ziggy. Semua anak timnya memang ahli meretas dan melacak, tetapi tetap saja tugas itu sudah ia fokuskan untuk Ziggy. Lagi pula, ia harus menanyakan sesuatu pada Aster. Ziggy tersenyum sumrigah, pria dengan baju yang sama seperti Edbert itu segera bergegas menutup laptop kesayangannya dan beranjak dari sana, meninggalkan rapat yang tengah hampir selesai
Tuk, tuk, tuk. Ketukan jari di atas meja membuat hati dua orang di sana merasa tak nyaman. Siku kirinya, bertengger di atas armrest dengan dua jari yang menyentuh sisi wajah. Lucas kesal karena sejak pagi, tidak ada satupun anak buahnya yang memberikan kabar gembira. Terlalu kesal sampai ia tidak tahu harus berkata apa, selain meredam kemarahannya sekarang. Mata dalam Lucas terus menatap tajam ke depan. Memandang dua pria di sana. Kekesalan semakin memuncak saat Jay--sekretarisnya--memberikan kabar kalau Abner mengirimkan pesan dan berkata, bahwa kakek tua itu sedang sangat bosan. “Dia sungguh ingin membuatku menjadi anjingnya,” gumam Lucas, mendengkus dengan hati yang panas. “Dia menyediakan panggung dan ingin membuatku menari di sana?” Lucas berdecak. Dalam mimpi! “Apa yang harus kita lakukan, bos?” tanya Alex yang belum lama ini membawa kabar buruk itu. “Apa lagi?” Lucas beranjak dari kursi dan mengambil jas yang tergantung di sana. “Kita akan ke sana dan menjemput Erica.” Sun
“Dari mana datangnya orang-orang itu?” Aster mengerutkan dahi, berbisik sambil menatap keluar jendela. Di luar sana, ada beberapa orang yang bersembunyi di dalam mobil dan memperhatikan ke arah rumah yang sedang menjadi target tim Beta. [Apa maksudmu? Ganti.]Suara wanita muncul dari alat komunikasi mungil yang menempel pada daun telinga Aster. “Lihat ke luar. Satu menit lalu tidak ada mobil di sana, sekarang rumah ini dikunjungi orang lain selain kita,” ujar Aster seraya menutup kembali tirai putih nan tipis di sana. Pakaian kemeja putih dengan rompi dan celana hitam panjang. Aster sedang menyamar sebagai seorang pelayan di rumah itu. Perintah dari atasan, meminta tim Beta untuk melanjutkan misi. Lebih tepatnya, mencari kebenaran dari pengakuan palsu tahanan yang berhasil mereka tangkap beberapa hari lalu. Dua orang kriminal yang menjajakan barang terlarang di kapal pesiar. [Kau benar. Ganti.] Suara Natalie terdengar. [Aku sudah melacak plat mobil dan identitas mereka. Semua ad
“Lucas? Huh?” Suara wanita menyapa, membuat Aster langsung melarikan diri. “Siapa wanita itu?” ucap Scarlett Bruyne--dengan kontak nama S di ponsel Lucas--wanita itu memandang punggung Aster yang sudah menjauh. “Bukankah dia pelayan di sini?” ungkap Lucas. “Pelayan?” ulang Scarlett. Meski bingung, dua matanya tetap turut mengekori Lucas yang mendekat. Lucas berjalan perlahan mendatangi seorang gadis muda. Rambut kecokelatan bergelombang yang mengembang indah sampai melewati bahu, dress putih crinkle memanjang hingga lutut, warna senada dengan sandal bertali yang terlihat nyaman di kaki jenjang itu. Erica Ashley Luke seperti burung merpati yang terlihat ringkih. Tubuhnya kurus, sinar mata pun seperti tatapan yang kehilangan harapan. Lelah. Entah apa yang telah Abner lakukan pada keluarganya. Apapun itu, Lucas akan memberikan bayaran setimpal untuk siapapun yang sudah berani melukai keluarganya. Ini pertemuan yang cukup mengharukan, meski terasa aneh dengan iringan latar musik dari
Dentuman musik dengan lampu warna warni yang menyorot indah. Suara bising dan bau alkohol turut menyerbu ke setiap sudut ruang. Sudah dini hari, tetapi lantai dansa masih saja ramai dipenuhi lautan manusia. Menari dengan tubuh yang kian memanas. Tak henti, mereka terus menggerakan semua anggota tubuh dengan bebas. "Natalie, coba lihat apa yang kutemukan," ucap Aster sambil menyeruput minuman non alkoholnya. "Hm?" Natalie menurunkan bibir gelas dari mulutnya. "Apa yang kau temukan?" tanyanya seraya mengintip laptop yang sejak tadi Aster perhatikan. Di luar pekerjaan, mereka memang akan menggunakan nama asli dan terkadang, ada beberapa kasus yang mengharuskan identitas asli mereka untuk dilenyapkan demi kepentingan tugas dan menggantinya dengan identitas baru. Bagaimana pun, agen mata-mata pemerintahan adalah boneka millik negara. Mereka pahlawan tanpa nama. "Dugaanku benar, ternyata dia pria yang sama." Aster menaruh minumannya, menyesap bibir yang sedikit menyisakan rasa lemon.
“Ibuku pernah mengatakan, pertemuan ketiga itu bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan sebuah tanda, bahwa Tuhan telah ikut campur secara langsung. Cara Tuhan mempertemukan kita cukup luar biasa, bukan?” bisik Lucas Mata dalam setajam elang itu memandang tepat ke dalam dua manik biru yang terbuka lebar di depannya. Jari jemari yang mencengkram dua pergelangan tangan itu bergerak lembut mengusap telapak tangan kiri Aster. "Dasar gila! Apa dia sedang menggodaku?" runtuk Aster dalam hati. Ingin sekali ia melayangkan tendangan tepat di kedua paha pria ini. Kenapa Tuhan mempertemukan mereka kembali. Terlebih setelah ia mengetahui identitas Lucas. Aster sungguh sedang menahan diri untuk tidak berhubungan dengan mafia Eagle. “Lepaskan!” seru Aster, memberontak dengan sekuat tenaga. Lucas tersenyum tipis. Ternyata tidak salah. Lucas juga merasakan ini saat dipertemuan kedua mereka. Perasaan seperti terbuai hanyut ketika beradu pandang dengan wanita ini. Manik biru Aster memang memberikan ef
Suara ketikan dari papan keyboard terdengar jelas. Bau kopi lebih menyengat daripada tinta dan tumpukan kertas di ruangan itu. Kembali, manik biru sebening kristal menoleh pada benda hitam mungil di atas meja. Suara walkie talkie terdengar setiap beberapa menit untuk membawa kabar informasi dari luar. Aster terus memindai, melirik tanpa terlewat sambil menjawab pertanyaan dari pria muda berseragam kepolisian. Sudah menjadi kebiasaan dirinya untuk menganalisis situasi dan tempat yang dikunjunginya. Saat ini, Aster sedang berada di kantor polisi Manhattan bagian distrik timur. Satu setengah jam lalu, Aster memutuskan untuk mengikuti saran Lucas. Meski sempat ada keraguan. Namun Aster pikir, saat Lucas meminta melaporkan kepada pihak hukum. Ia merasa itu taruhan yang cukup untuk mempercayai ucapannya. Lucas tentu juga mempertaruhkan masa depannya. Mafia tidak akan mau berhubungan dengan hukum. Meski bisa bebas dengan uang jaminan besar, tetapi tetap saja akan merepotkan. Terlebih, L
"Kerja bagus, Aster. Lain waktu, aku ingin kau menjawabku dalam satu nada tunggu."Aster bergeming. Matanya tetap terpaku pada Lucas yang tersenyum manis ke arahnya. Namun tetap saja, semanis apapun senyuman pria itu ... Aster merasa senyum itu seperti sedang meremehkan dirinya!“Hei, ada apa? Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini?” Ziggy yang sudah berhasil mengejar Aster pun langsung menelusuri arah pandang Aster dan menemukan satu-satunya mobil hitam di seberang mereka.Aster berkedip, menyudahi hati yang sempat dikejutkan Lucas. Kembali pada kesadarannya, saat ini ia harus berperan sebagai warga sipil yang pemberani. Warga sipil yang telah menyelamatkan bahkan menangkap seorang pengedar obat terlarang.“Sejak tadi aku penasaran, dari mana kau tahu namaku?” ujar Aster mengabaikan ucapan Ziggy. Aster masih harus berpura-pura bodoh. Meskipun ia tahu, bahwa Lucas sudah mengetahui dirinya. Aster hanya berharap, perubahan data identitasnya akhir-akhir ini tidak membawa kerugian
Suasana yang romantis dengan musik yang mengalun menemani semua orang di sana. Tidak ketinggalan, makanan-makanan yang terlihat lezat tersaji di setiap meja. Semua menikmati pelayanan dari restoran ternama yang terkenal di kota Manhattan. “Kau tahu? Sepertinya bukan hanya Tuan Cezar saja, tetapi Tuhan juga benar-benar ingin menyatukan kita.” Mata biru Aster langsung memandang tajam Lucas yang duduk di depannya. Ternyata tidak semua orang di restoran itu menikmati hidangan yang disediakan. Sejak masuk ke dalam restoran, suasana hati Aster semakin buruk. Terutama ketika pria itu tidak pernah lelah memandang dirinya. Menyebalkan. “Bukan menyatukan, tetapi mereka memang senang sekali memberikan masalah padaku,” balas Aster, kedua tangannya sibuk memotong kasar steak di piringnya. Rasanya ingin pergi dari sana secepat mungkin. Namun, makanan enak ini akan menjadi sangat sia-sia jika tidak dihabiskan. Lucas terkekeh. Punggungnya ia sandarkan. Pria itu lebih memilih menikmati pemandanga
Gedung berlantai delapan dengan plakat huruf besar yang berbaris rapi di antara tanaman di sana. Security Group dengan logo dunia terlihat jelas begitu Lucas dan Cezar turun dari mobil hitam. Dua sekretaris pun sudah berjaga di luar mobil.Jovan, sebagai orang yang Lucas tunjuk untuk mengurus Security Group juga ada di sana dengan senyum ramah.“Selamat datang, Tuan Vincent. Suatu kehormatan bisa menyambut anda di tempat ini,” ujar Jovan sambil menjabat tangan Cezar.“Suatu kehormatan juga untukku, bisa bekerja sama dengan kalian,” balas Cezar yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Jovan.Beralih pandang, Jovan juga menyapa hormat Lucas, founder dari Security Group.“Kerja bagus,” ucap Lucas sambil menepuk bahu Jovan. Melihat persiapan yang begitu cepat dengan hasil yang cukup memuaskan, Lucas tentu merasa senang dengan kinerja Jovan.Mereka pun masuk ke dalam gedung. Memperkenalkan satu persatu ruangan dan memperlihatkan bagaimana cara kerja orang-orang di sana. Sesuai dengan i
Denting jam yang bergulir, tanpa sengaja menambah kecemasan hati pria di sana. Pakaian yang monoton--hitam putih--selalu menjadi ciri khas dari seorang Joe Lucas Barioz.Menghirup banyak udara di sana. Berharap wangi mint yang memenuhi ruangan itu bisa menenangkan sedikit hatinya.Lembaran-lembaran sudah Lucas perlihatkan pada orang-orang di sana. Kertas-kertas itu pun menjadi tempat matanya berlabuh gelisah. Tidak bisa Lucas percaya. Kabar yang mengatakan UCC hanya akan mengirimkan perwakilan, ternyata hanya kabar palsu.Tidak jauh di sampingnya, seorang owner sekaligus CEO dari perusahaan UCC sedang menilai proposal yang Lucas ajukan. Sebuah proposal kerja sama yang bisa dikatakan akan sangat menentukan masa depannya.“Ini proposal kerja sama yang sangat menarik,” ujar pria berkemeja biru tua. Cezar Matvey Vincent, CEO UCC. "Tetapi, bukankah lantai gedung yang kuinjak ini adalah INT?" lanjutnya. Mata dalam yang tajam itu memandang penuh arti pada Lucas. Wajah yang tidak kalah tampan
Suasana yang sepi dan dingin, beberapa tanaman hijau mengisi dan menghiasi lorong panjang di sana. Lucas yang baru keluar dari lift, langsung menuju ke tempat di mana Harry berada. Ruang tamu yang letaknya tidak jauh dari ruang kantornya.Dari kejauhan, Lucas bisa melihat sekretarisnya sudah berdiri di sana. Jay pun menundukan kepala, memberi hormat sekaligus salam kepada Lucas."Lima belas menit lagi ada pertemuan dengan perwakilan dari UCC, bukan?” tanya Lucas.“Benar Bos. Dini hari tadi, pihak mereka sudah sampai di hotel yang sudah kita persiapkan. Apa Bos ingin menunda pertemuannya?” jawab Jay sekaligus bertanya.“Tidak perlu. Sesuai yang kukatakan kemarin. Jika perwakilan dari mereka datang, antarkan mereka ke ruang meeting di lantai satu.”“Noted, Bos,” jawab Jay."Dan jika aku sedikit terlambat. Serahkan kepada mereka, dokumen yang kukirimkan lusa kemarin. Kau sudah menguasai semua?""Sudah Bos.""Good. Ingat, mereka adalah tamu penting kita. Siapkan semua dengan sempurna. Aku
“Satu, dua! Satu, dua!”Teriakan lantang dari sepuluh orang pria berlari mengitari lapangan. Pakaian yang sama dengan warna abu-abu dan hitam. Postur tubuh yang tegap dan kekar juga keringat yang mengalir seksi.Matahari begitu kejam memberikan panas terik pada sekumpulan pria gagah di sana, meski itu juga merupakan hal yang patut disyukuri untuk satu wanita yang berdiri di pinggir lapangan.“Ah, pemandangan di tempat ini memang tidak pernah membosankan,” celetuk Scarlett Bruyne. Wanita cantik bak model itu sedang berdiri di samping pilar gedung, memandang ke tempat para bodyguard berlatih.Pakaian simple untuk bergerak di hari yang akan membuatnya berkeringat. “Kau juga tergoda melihat pria-pria seksi di sana ‘kan?” lanjut Scarlett sambil melirik pada wanita muda di sampingnya.Erica memasang wajah mengamati apa yang tersugu di tengah lapangan besar. "Seksi? Aku kurang mengerti, bagian mana yang kak Scarlett katakan seksi?"Scarlett pun menoleh sempurna pada Erica. Kurang mengerti? "
"Kerja bagus, Aster. Lain waktu, aku ingin kau menjawabku dalam satu nada tunggu."Aster bergeming. Matanya tetap terpaku pada Lucas yang tersenyum manis ke arahnya. Namun tetap saja, semanis apapun senyuman pria itu ... Aster merasa senyum itu seperti sedang meremehkan dirinya!“Hei, ada apa? Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini?” Ziggy yang sudah berhasil mengejar Aster pun langsung menelusuri arah pandang Aster dan menemukan satu-satunya mobil hitam di seberang mereka.Aster berkedip, menyudahi hati yang sempat dikejutkan Lucas. Kembali pada kesadarannya, saat ini ia harus berperan sebagai warga sipil yang pemberani. Warga sipil yang telah menyelamatkan bahkan menangkap seorang pengedar obat terlarang.“Sejak tadi aku penasaran, dari mana kau tahu namaku?” ujar Aster mengabaikan ucapan Ziggy. Aster masih harus berpura-pura bodoh. Meskipun ia tahu, bahwa Lucas sudah mengetahui dirinya. Aster hanya berharap, perubahan data identitasnya akhir-akhir ini tidak membawa kerugian
Suara ketikan dari papan keyboard terdengar jelas. Bau kopi lebih menyengat daripada tinta dan tumpukan kertas di ruangan itu. Kembali, manik biru sebening kristal menoleh pada benda hitam mungil di atas meja. Suara walkie talkie terdengar setiap beberapa menit untuk membawa kabar informasi dari luar. Aster terus memindai, melirik tanpa terlewat sambil menjawab pertanyaan dari pria muda berseragam kepolisian. Sudah menjadi kebiasaan dirinya untuk menganalisis situasi dan tempat yang dikunjunginya. Saat ini, Aster sedang berada di kantor polisi Manhattan bagian distrik timur. Satu setengah jam lalu, Aster memutuskan untuk mengikuti saran Lucas. Meski sempat ada keraguan. Namun Aster pikir, saat Lucas meminta melaporkan kepada pihak hukum. Ia merasa itu taruhan yang cukup untuk mempercayai ucapannya. Lucas tentu juga mempertaruhkan masa depannya. Mafia tidak akan mau berhubungan dengan hukum. Meski bisa bebas dengan uang jaminan besar, tetapi tetap saja akan merepotkan. Terlebih, L
“Ibuku pernah mengatakan, pertemuan ketiga itu bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan sebuah tanda, bahwa Tuhan telah ikut campur secara langsung. Cara Tuhan mempertemukan kita cukup luar biasa, bukan?” bisik Lucas Mata dalam setajam elang itu memandang tepat ke dalam dua manik biru yang terbuka lebar di depannya. Jari jemari yang mencengkram dua pergelangan tangan itu bergerak lembut mengusap telapak tangan kiri Aster. "Dasar gila! Apa dia sedang menggodaku?" runtuk Aster dalam hati. Ingin sekali ia melayangkan tendangan tepat di kedua paha pria ini. Kenapa Tuhan mempertemukan mereka kembali. Terlebih setelah ia mengetahui identitas Lucas. Aster sungguh sedang menahan diri untuk tidak berhubungan dengan mafia Eagle. “Lepaskan!” seru Aster, memberontak dengan sekuat tenaga. Lucas tersenyum tipis. Ternyata tidak salah. Lucas juga merasakan ini saat dipertemuan kedua mereka. Perasaan seperti terbuai hanyut ketika beradu pandang dengan wanita ini. Manik biru Aster memang memberikan ef
Dentuman musik dengan lampu warna warni yang menyorot indah. Suara bising dan bau alkohol turut menyerbu ke setiap sudut ruang. Sudah dini hari, tetapi lantai dansa masih saja ramai dipenuhi lautan manusia. Menari dengan tubuh yang kian memanas. Tak henti, mereka terus menggerakan semua anggota tubuh dengan bebas. "Natalie, coba lihat apa yang kutemukan," ucap Aster sambil menyeruput minuman non alkoholnya. "Hm?" Natalie menurunkan bibir gelas dari mulutnya. "Apa yang kau temukan?" tanyanya seraya mengintip laptop yang sejak tadi Aster perhatikan. Di luar pekerjaan, mereka memang akan menggunakan nama asli dan terkadang, ada beberapa kasus yang mengharuskan identitas asli mereka untuk dilenyapkan demi kepentingan tugas dan menggantinya dengan identitas baru. Bagaimana pun, agen mata-mata pemerintahan adalah boneka millik negara. Mereka pahlawan tanpa nama. "Dugaanku benar, ternyata dia pria yang sama." Aster menaruh minumannya, menyesap bibir yang sedikit menyisakan rasa lemon.