Sinar menyilaukan membuat bola mata yang terbungkus kelopak itu bergerak. Suara samar debur ombak juga ayunan pelan, mulai bisa pria itu rasakan kembali setelah beberapa jam lalu tubuhnya dikuasai oleh obat perangsang.
Perlahan, mata dalam itu terbuka dan berkedip untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam manik aswadnya.
“Ugh!” erang Joe Lucas Barios.
Denyut nyeri menyerang kepala. Jemari tangannya pun langsung menyentuh kening yang terasa berat, perlahan meraba rambut depan dan menarik kencang helaian rambut di sana.
Kepalanya benar-benar sangat sakit, terlebih bagian bawah di antara kedua paha. “Damn!” runtuk Lucas, saat ingatan samar semalam terulang.
“Alex!” seru Lucas berteriak kencang, kemudian berusaha mendudukkan tubuhnya.
Pintu yang berada di atas tangga pun terbuka. Seseorang masuk dan menuruni anak tangga dengan cepat. Seorang pria dengan tato elang di tengkuk leher masuk ke dalam. Pakaian kasual hitam membuat lekuk dari tubuh kekarnya nampak jelas.
"Ya bos," jawab Alex tegas. Pria yang lebih tua dua tahun dari Lucas itu langsung menghampiri dan berdiri siaga di samping ranjang.
"Lokasi?" tanya Lucas, singkat. Si tampan tiga puluh empat tahun itu tersadar kalau kamar ini bukanlah kamar yang ia masuki semalam.
"Sepuluh menit lagi kita akan sampai di pulau Maine, bos."
Maine? Ah ... Lucas baru teringat semuanya. Ia memang memerintahkan semua anak buahnya untuk pergi ke pulau ini. Saat sedang menunggu Alex dan bawahannya yang lain, Lucas dijebak hingga ia menelan obat sialan itu.
"Si tua?" Lagi, Lucas bertanya seraya beranjak dari ranjang kayu di sana.
"Dari informasi Jay satu jam lalu, tuan besar masih berada di sana."
Lucas yang sudah berada di dapur mungil kapal pun menyalakan keran wastafel untuk sekedar membasuh wajah. Mengeringkannya dengan handuk kecil lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air.
Lucas berpikir, kado apa yang cocok untuk membalas mereka? Orang-orang yang berani menjebak dirinya. Harus diberikan kado paling indah sampai tidak terlupakan.
"Bagaimana pesta semalam?" tanya Lucas setelah menaruh kembali handuk kecil hitam itu ke sembarang tempat, kemudian meneguk air segarnya. Berharap sisa rasa mabuk dan lelah menahan napsu seksualnya menghilang.
"Saat kami kembali dari tugas. Pesta masih berjalan dengan baik. Namun saat kami menemukan bos yang hampir kehilangan kesadaran, kami mendengar informasi bahwa ada dua orang dari kelompok yang ditargetkan menghilang.”
“Menghilang?” heran Lucas. Ia pun berjalan menaiki enam anak tangga, membuat Alex juga ikut mengikutinya.
“Ya bos, satu orang hanya bawahan tidak penting dan satu orang lagi merupakan ketua kelompok.”
Sinar terang serta udara khas lautan pun menyambut penciuman Lucas. “Kau sudah mendapatkan informasi soal itu?” tanyanya. Cukup senang mendengar bahwa ada pihak lain yang ingin menghancurkan musuhnya itu.
Alex menunduk. Pria itu tidak bisa memberikan apa yang bosnya inginkan. “Maaf bos. Kami belum menemukan informasi apapun atas kejadian ini.”
Sejak semalam, kaki tangan Lucas itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari tahu siapa yang memiliki misi yang sama dengan mereka. Namun, sampai terik matahari memanas pun mereka belum juga mendapatkan informasi tentang itu.
Lucas berdiri dan memegang pagar pembatas kapal yacht. Mata dalamnya menatap jauh hamparan laut dan beberapa pulau kecil tak berpenghuni di sana.
Pikirannya menerka-nerka, siapa yang memiliki kemampuan sebagus itu selain kelompoknya? Bekerja seperti hantu dan membereskan semua tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Lucas sangat tahu kemampuan Alex dan anak buahnya yang lain. Terlebih, sekutunya adalah mafia Eagle. Kelompok yang cukup dikenal dan ditakuti dunia malam.
Lucas pun bergerak menjauh dari pagar dan bersiap untuk turun. Kapal mereka sudah sampai di tempat tujuan. “Tiga hari. Aku berikan waktu tiga hari untuk mencari tahu siapa mereka.”
“Baik, bos,” jawab Alex, kemudian mengikuti Lucas yang langsung memilih turun saat kapal pribadinya baru saja menepi.
Pulau Maine. Pulau indah dengan keasrian yang masih terjaga. Pulau pribadi milik si tua--Fredell Abner Barioz--pemilik perusahaan ritel yang hampir menguasai semua negara di dunia.
Lucas mengedarkan pandangan saat sudah menjejakkan kaki ke daratan. Menatap acuh pada beberapa orang yang berjaga di sana.
Hm? Lucas baru menyadari ada wangi berbeda dari tubuhnya. Mungkin gulat semalam membuat bau harum wanita itu menempel padanya. Sekedar informasi, Lucas masih memakai pakaian yang sama dengan semalam.
“Apa kau sudah menemukan informasi tentang wanita yang bersamaku, semalam?” tanya Lucas, hampir saja melupakan wanita yang telah berani menendang masa depannya.
“Wanita?” Kening Alex mengerut bingung. “Maaf bos, apa maksud anda nona Scarlett?”
“Bukan dia, tetapi wanita asing yang menerobos masuk kamarku,” ralat Lucas. "Apa kau lupa, Scarlett bahkan tidak ikut dalam operasi misi semalam.”
“Saya akan segera mencari tahu wanita yang anda maksud, bos,” balas Alex cepat. Pria itu berada dua langkah di belakang Lucas.
"Ya, lakukan itu."
Sejauh yang Alex ingat, tidak ada orang lain saat dirinya menemukan Lucas tergeletak di lantai.
Menelusuri jalan setapak, Lucas menyeringai mengingat kejadian semalam. Untung saja mereka tidak berakhir tidur bersama. Meski ia sendiri harus menanggung rasa sakit berkali lipat dari tendangan wanita itu.
Kejadian semalam mungkin membuat ia terlihat seperti pria naif yang sedang mempertahankan keperjakaannya atau seorang pria gentle yang enggan menyentuh wanita tanpa rasa cinta.
Sayangnya bukan seperti itu, Lucas--pria itu--sudah berkali-kali tidur dengan wanita. Tentu dengan prinsip, ia tidak akan tidur dengan wanita yang sama. Pun hanya meniduri wanita yang ia inginkan.
“Kau tunggu saja di sini,” titah Lucas.
Ia pun masuk ke dalam rumah luas dengan gaya khas jepang. Sudah lama Lucas tidak ke rumah ini. Mungkin, sudah sepuluh tahun yang lalu.
“Ternyata kau bisa datang secepat angin,” ujar dari seorang kakek tua, Fredell Abner barioz yang baru muncul dari ruang tengah. Wajah tua penuh ambisi itu menatap remeh Lucas.
Lucas menoleh ke kiri dan memberikan senyum tipis. Tatapan mata aswad yang jelas sama sekali tidak menunjukkan kerinduan ataupun ketakutan. Padahal semua keluarga besar Barioz tahu, Abner adalah pemimpin kejam yang tak kenal belas kasihan. Bahkan kehancuran keluarga Lucas pun tidak luput dari sentuhan kejam Abner.
“Jika anda menginginkan kematian, aku dengan suka rela akan melakukannya lebih cepat dari angin,” tawar Lucas sarkas.
“Hahaha.” Abner tertawa puas. Pria yang sudah melewati angka delapan puluh tahun itu masih nampak terlihat sehat dan kuat. Meski keriput dan rambut putih sudah hadir menghiasi tubuh Abner.
“Aku akan mempertimbangkan itu nanti,” lanjut Abner.
“Jadi, di mana Erica?” tegas Lucas, kebencian menyelimuti mata aswadnya. Obrolan basa-basinya cukup sampai di situ saja.
“Hmm, adikmu baik-baik saja.”
“Anda sudah berjanji untuk menyerahkan dia padaku,” tagih Lucas.
“Luc, kau seharusnya tahu apa yang aku inginkan untuk pertukaran besar ini.”
Sialan! Orang tua itu benar-benar mengikat lehernya. Adik dan ibunya telah dijadikan tawanan Abner hanya agar ia tunduk kepadanya.
“Luc, kau seharusnya tahu apa yang aku inginkan untuk pertukaran besar ini.” Lucas membuka kancing ketiga dari kerah atas kemejanya. Rasanya panas sekali, kalau saja keluarganya tidak menjadi tawanan Abner ... mungkin sekarang tangan gatalnya sudah memukul keras wajah tua mengesalkan itu. Mengangkat tangan kanan, Lucas mengintip jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah pukul satu siang. Artinya, barang yang ia kirimkan sudah sampai. “Apa anak buahmu belum memberitahu? Aku sudah mengirimkan kepala dari musuhmu.” Abner menyeringai licik. Mana mungkin Abner tidak tahu? Beberapa menit lalu, Abner sudah menerima kabar bahwa musuhnya telah mati tanpa kepala. “Istirahatlah, kau juga pasti merindukan tempat ini,” ujar Abner mengalihkan pembicaraan. Lucas menarik kecil sudut bibirnya. Merindukan? Ini bahkan tempat pertama yang sama sekali tidak ingin ia kunjungi. Tempat indah yang hanya merekam pahit hidupnya. “Luc, kau tahu ... aku sangat berharap besar denganmu daripada sepupu-sepu
“Siapa yang berani mengintip informasiku?” ujar Aster, mulutnya masih setia mengunyah permen karet yang sudah tidak lagi berwarna. “Untuk saat ini, aku tidak tahu,” jawab Ziggy santai. Perangkat yang pria itu bawa tidak akan bisa melacaknya. “Queen, izinkan aku untuk memeriksa ini di ruanganku,” lanjutnya, memandang Edbert yang berdiri tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Nampaknya sang ketua pun kesal pada orang yang berani memasuki pertahananya. “Tidak, izinkan aku yang memeriksa--” “Winter, kau diam di sini dan Zi, lakukan pekerjaanmu dalam sepuluh menit, lalu laporkan semuanya padaku,” sela Edbert tegas, memberikan izin pada Ziggy. Semua anak timnya memang ahli meretas dan melacak, tetapi tetap saja tugas itu sudah ia fokuskan untuk Ziggy. Lagi pula, ia harus menanyakan sesuatu pada Aster. Ziggy tersenyum sumrigah, pria dengan baju yang sama seperti Edbert itu segera bergegas menutup laptop kesayangannya dan beranjak dari sana, meninggalkan rapat yang tengah hampir selesai
Tuk, tuk, tuk. Ketukan jari di atas meja membuat hati dua orang di sana merasa tak nyaman. Siku kirinya, bertengger di atas armrest dengan dua jari yang menyentuh sisi wajah. Lucas kesal karena sejak pagi, tidak ada satupun anak buahnya yang memberikan kabar gembira. Terlalu kesal sampai ia tidak tahu harus berkata apa, selain meredam kemarahannya sekarang. Mata dalam Lucas terus menatap tajam ke depan. Memandang dua pria di sana. Kekesalan semakin memuncak saat Jay--sekretarisnya--memberikan kabar kalau Abner mengirimkan pesan dan berkata, bahwa kakek tua itu sedang sangat bosan. “Dia sungguh ingin membuatku menjadi anjingnya,” gumam Lucas, mendengkus dengan hati yang panas. “Dia menyediakan panggung dan ingin membuatku menari di sana?” Lucas berdecak. Dalam mimpi! “Apa yang harus kita lakukan, bos?” tanya Alex yang belum lama ini membawa kabar buruk itu. “Apa lagi?” Lucas beranjak dari kursi dan mengambil jas yang tergantung di sana. “Kita akan ke sana dan menjemput Erica.” Sun
“Dari mana datangnya orang-orang itu?” Aster mengerutkan dahi, berbisik sambil menatap keluar jendela. Di luar sana, ada beberapa orang yang bersembunyi di dalam mobil dan memperhatikan ke arah rumah yang sedang menjadi target tim Beta. [Apa maksudmu? Ganti.]Suara wanita muncul dari alat komunikasi mungil yang menempel pada daun telinga Aster. “Lihat ke luar. Satu menit lalu tidak ada mobil di sana, sekarang rumah ini dikunjungi orang lain selain kita,” ujar Aster seraya menutup kembali tirai putih nan tipis di sana. Pakaian kemeja putih dengan rompi dan celana hitam panjang. Aster sedang menyamar sebagai seorang pelayan di rumah itu. Perintah dari atasan, meminta tim Beta untuk melanjutkan misi. Lebih tepatnya, mencari kebenaran dari pengakuan palsu tahanan yang berhasil mereka tangkap beberapa hari lalu. Dua orang kriminal yang menjajakan barang terlarang di kapal pesiar. [Kau benar. Ganti.] Suara Natalie terdengar. [Aku sudah melacak plat mobil dan identitas mereka. Semua ad
“Lucas? Huh?” Suara wanita menyapa, membuat Aster langsung melarikan diri. “Siapa wanita itu?” ucap Scarlett Bruyne--dengan kontak nama S di ponsel Lucas--wanita itu memandang punggung Aster yang sudah menjauh. “Bukankah dia pelayan di sini?” ungkap Lucas. “Pelayan?” ulang Scarlett. Meski bingung, dua matanya tetap turut mengekori Lucas yang mendekat. Lucas berjalan perlahan mendatangi seorang gadis muda. Rambut kecokelatan bergelombang yang mengembang indah sampai melewati bahu, dress putih crinkle memanjang hingga lutut, warna senada dengan sandal bertali yang terlihat nyaman di kaki jenjang itu. Erica Ashley Luke seperti burung merpati yang terlihat ringkih. Tubuhnya kurus, sinar mata pun seperti tatapan yang kehilangan harapan. Lelah. Entah apa yang telah Abner lakukan pada keluarganya. Apapun itu, Lucas akan memberikan bayaran setimpal untuk siapapun yang sudah berani melukai keluarganya. Ini pertemuan yang cukup mengharukan, meski terasa aneh dengan iringan latar musik dari
Dentuman musik dengan lampu warna warni yang menyorot indah. Suara bising dan bau alkohol turut menyerbu ke setiap sudut ruang. Sudah dini hari, tetapi lantai dansa masih saja ramai dipenuhi lautan manusia. Menari dengan tubuh yang kian memanas. Tak henti, mereka terus menggerakan semua anggota tubuh dengan bebas. "Natalie, coba lihat apa yang kutemukan," ucap Aster sambil menyeruput minuman non alkoholnya. "Hm?" Natalie menurunkan bibir gelas dari mulutnya. "Apa yang kau temukan?" tanyanya seraya mengintip laptop yang sejak tadi Aster perhatikan. Di luar pekerjaan, mereka memang akan menggunakan nama asli dan terkadang, ada beberapa kasus yang mengharuskan identitas asli mereka untuk dilenyapkan demi kepentingan tugas dan menggantinya dengan identitas baru. Bagaimana pun, agen mata-mata pemerintahan adalah boneka millik negara. Mereka pahlawan tanpa nama. "Dugaanku benar, ternyata dia pria yang sama." Aster menaruh minumannya, menyesap bibir yang sedikit menyisakan rasa lemon.
“Ibuku pernah mengatakan, pertemuan ketiga itu bukanlah sebuah kebetulan. Melainkan sebuah tanda, bahwa Tuhan telah ikut campur secara langsung. Cara Tuhan mempertemukan kita cukup luar biasa, bukan?” bisik Lucas Mata dalam setajam elang itu memandang tepat ke dalam dua manik biru yang terbuka lebar di depannya. Jari jemari yang mencengkram dua pergelangan tangan itu bergerak lembut mengusap telapak tangan kiri Aster. "Dasar gila! Apa dia sedang menggodaku?" runtuk Aster dalam hati. Ingin sekali ia melayangkan tendangan tepat di kedua paha pria ini. Kenapa Tuhan mempertemukan mereka kembali. Terlebih setelah ia mengetahui identitas Lucas. Aster sungguh sedang menahan diri untuk tidak berhubungan dengan mafia Eagle. “Lepaskan!” seru Aster, memberontak dengan sekuat tenaga. Lucas tersenyum tipis. Ternyata tidak salah. Lucas juga merasakan ini saat dipertemuan kedua mereka. Perasaan seperti terbuai hanyut ketika beradu pandang dengan wanita ini. Manik biru Aster memang memberikan ef
Suara ketikan dari papan keyboard terdengar jelas. Bau kopi lebih menyengat daripada tinta dan tumpukan kertas di ruangan itu. Kembali, manik biru sebening kristal menoleh pada benda hitam mungil di atas meja. Suara walkie talkie terdengar setiap beberapa menit untuk membawa kabar informasi dari luar. Aster terus memindai, melirik tanpa terlewat sambil menjawab pertanyaan dari pria muda berseragam kepolisian. Sudah menjadi kebiasaan dirinya untuk menganalisis situasi dan tempat yang dikunjunginya. Saat ini, Aster sedang berada di kantor polisi Manhattan bagian distrik timur. Satu setengah jam lalu, Aster memutuskan untuk mengikuti saran Lucas. Meski sempat ada keraguan. Namun Aster pikir, saat Lucas meminta melaporkan kepada pihak hukum. Ia merasa itu taruhan yang cukup untuk mempercayai ucapannya. Lucas tentu juga mempertaruhkan masa depannya. Mafia tidak akan mau berhubungan dengan hukum. Meski bisa bebas dengan uang jaminan besar, tetapi tetap saja akan merepotkan. Terlebih, L