Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan.
Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan. Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya. "Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan. Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalunya. "A-Anda salah orang!" sahut Qing Ning, berusaha terdengar dingin dan tak acuh. Bian Fu terkekeh pelan, suaranya sedingin es. "Jurus yang kau gunakan khas milik perguruan Hoa San, dan kau satu-satunya perempuan di sana. Jadi tidak mungkin salah lagi," balasnya dengan nada puas. "Yang kudengar kau sudah tewas bersama dengan putra Pendekar Iblis Qi Yun, tak disangka bersembunyi di sini." Tubuh Qing Ning semakin menegang. Ingatannya perlahan mulai terbuka, mengenali pria di hadapannya. Bian Fu, pria yang pernah hadir di Wisma Hoa San, mengikuti pertandingan mencari pendekar nomor satu. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" ujar Qing Ning bersikeras, meski ia tahu bahwa penyamarannya telah terbongkar. Bian Fu melangkah maju, bibir membentuk lekukan sinis. "Kalau kau masih sedikit pintar, lebih baik terima saja jadi istri keempat Pejabat Yuan daripada berakhir di Wisma Bunga!" "Aku tidak akan menikahi manusia rendah berpakaian halus!" jawab Qing Ning bersikeras, matanya melirik tajam ke arah Pejabat Yuan yang wajahnya merah padam mendengar ungkapan sinisnya. "Kurang ajar!" geram Pejabat Yuan, amarahnya meluap-luap. Ia berpaling ke arah Bian Fu, "jangan buang waktu lagi, tangkap pemberontak ini!" Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Pedang Qing Ning beradu dengan senjata Bian Fu, menciptakan percikan api di kegelapan malam. Qing Ning mengerahkan seluruh kemampuannya, setiap jurus yang pernah ia pelajari kini dikeluarkan tanpa ragu. Namun, ia tahu bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Bian Fu bukanlah pendekar sembarangan, dan Qing Ning merasakan tenaganya mulai terkuras. Sementara pertarungan berlangsung, di dalam pondok, Du Fei mulai terusik dari tidurnya. Suara pertarungan yang semakin sengit perlahan menembus kesadarannya. "Ibu!" Du Fei menggosok-gosok matanya yang masih berat oleh kantuk, kebingungan menyadari tempat di sampingnya kosong. Suara-suara aneh dari luar pondok perlahan menembus kesadarannya yang masih berkabut. Didorong oleh rasa penasaran, Du Fei turun dari tempat tidurnya. Kakinya yang kecil melangkah hati-hati di atas lantai yang dingin, menuju jendela. Dengan sedikit usaha, ia membuka daun jendela yang berat. Pemandangan yang menyambutnya membuat matanya terbelalak lebar. Di luar, di bawah cahaya bulan yang temaram, banyak orang berkerumun di halaman pondok mereka. Namun yang paling mengejutkan adalah menyaksikan Qing Ning bertarung. Selama ini, ia tak pernah tahu bahwa ibunya memiliki kemampuan bela diri. Bahkan, ia selalu dilarang untuk berlatih atau menyentuh senjata. Kini, melihat wanita yang membesarkannya bergerak dengan begitu anggun dan lincah, Du Fei merasa kagum sekaligus kebingungan. Namun, keasyikannya menyaksikan pertarungan itu membuat Du Fei lengah. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di belakangnya, seolah ada bayangan gelap yang menyelimuti. Jantungnya berdegup kencang saat ia perlahan berbalik. Di sana, tak jauh darinya, berdiri sosok tinggi besar yang menakutkan. Wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang, namun Du Fei bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk dari sosok itu. "Si-siapa Paman ini?" tanya Du Fei terbata-bata, suaranya bergetar karena takut. Ia bisa merasakan aura jahat yang menguar dari sosok misterius itu, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, alih-alih mendapat jawaban, sosok itu mengangkat sebuah obor yang menyala terang. Tanpa peringatan, ia menyentuhkan api dari obor ke dinding bambu di samping mereka. Dalam sekejap, api menjalar dengan ganas, melahap dinding bambu yang kering dengan kecepatan mengerikan. Panas dan asap mulai memenuhi ruangan, membuat Du Fei terbatuk-batuk dan matanya perih. "Ibu! Tolong!" teriak Du Fei panik, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Di luar, Qing Ning yang masih terlibat pertarungan sengit, mendengar teriakan putranya. Wajahnya seketika memucat, menyadari bahaya yang mengancam Du Fei. Dengan putus asa, ia berusaha melepaskan diri dari kepungan lawannya, berniat menyelamatkan buah hatinya. "Du Fei!" Teriakan Qing Ning membelah malam. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari ke arah pondok yang mulai dilalap api, berniat menyelamatkan putranya. Namun, langkahnya terhenti ketika Bian Fu tiba-tiba muncul di hadapannya, menghadang dengan seringai jahat yang menghiasi wajahnya yang pucat. "Mau ke mana, Nona cantik?" ejek Bian Fu, matanya berkilat berbahaya di bawah sinar api yang menjilat-jilat. "Hadapi aku dulu!" "Minggir kau, iblis!" teriak Qing Ning, suaranya serak oleh emosi dan asap yang mulai memenuhi udara. Sementara itu, di dalam pondok yang terbakar, asap tebal memenuhi ruangan, membuat mata bocah berusia tujuh tahun itu perih dan dadanya sesak. Ia terbatuk-batuk, berusaha mencari udara segar di tengah kepulan asap yang semakin pekat. Sementara sosok misterius tadi telah menghilang. Dengan ngeri, Du Fei menyadari bahwa pintu keluar telah tertutup oleh balok kayu besar yang jatuh dari atap. Api semakin mendekat, panas yang menyengat membuat kulitnya terasa terbakar. Air mata mengalir di pipinya yang kotor oleh jelaga, campuran antara ketakutan dan putus asa. "Du Fei!" teriak Qing Ning lagi, "Ibu akan menyelamatkanmu! Bertahanlah!" Suara sang Ibu terdengar samar-samar, namun cukup untuk menggerakkan semangat Du Fei. Bocah itu memaksa matanya yang perih karena asap menyapu ruangan, mencari celah untuk melarikan diri. Tiba-tiba, ia melihat jendela samping yang masih terbuka. Dengan sisa-sisa tenaganya, Du Fei berusaha berlari ke arah jendela itu. Namun, takdir seolah mempermainkannya. Tepat saat ia hampir mencapai jendela, suara berderak keras terdengar dari atas. Du Fei mendongak, matanya melebar ngeri melihat atap rumbia yang terbakar mulai runtuh ke arahnya. Ia berusaha menghindar, namun kakinya yang lemah tak mampu membawanya cukup cepat. Atap itu jatuh menimpanya, menghancurkan harapan terakhirnya untuk selamat. "Ibu!" Jerit Du Fei menyayat hati, suaranya penuh kesakitan dan ketakutan. Di luar, Qing Ning yang mendengar jeritan putranya semakin histeris. Hatinya seolah tercabik-cabik, membayangkan penderitaan yang dialami Du Fei. Namun, kelengahannya ini dimanfaatkan oleh Bian Fu. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan kunai yang disembunyikan di balik ikat pinggangnya ke arah Qing Ning. Senjata itu melesat di udara, menembus pertahanan Qing Ning yang lengah. Kunai itu menancap dalam di pundaknya, membuat wanita itu terjatuh dengan jeritan kesakitan. Darah segar mengalir dari lukanya, membasahi pakaiannya yang sudah kotor oleh debu dan keringat. Meski terluka parah, Qing Ning tak menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia merayap ke arah pondok yang kini nyaris seluruhnya dilalap api. Air mata mengalir deras di pipinya, sepertinya semua sudah terlambat. Tak ada seorang pun yang bisa selamat dalam kebakaran sedahyat itu. "Du Fei!" ratapnya, suaranya parau dan penuh keputusasaan. Bian Fu berdiri menjulang di atas Qing Ning, wajahnya dihiasi seringai kejam. Matanya menatap wanita yang merayap itu dengan sorot mengejek. "Percuma saja kau menolong anakmu itu," ujarnya dingin. "Dia pasti sudah ...." "Anakku akan baik-baik saja ... tutup mulutmu!" bentak Qing Ning histeris. Namun, meski suaranya dipenuhi kemurkaan, tubuhnya tak mampu bangkit. Bian Fu tertawa kecil, suaranya dingin dan kejam. "Menyerah saja," ujarnya, menikmati penderitaan Qing Ning. "Kau sudah terkena bisa kelelawar ... semakin bergerak, energimu akan semakin habis!" Qing Ning merasakan kebenaran kata-kata Bian Fu. Tubuhnya semakin lemah, pandangannya mulai kabur. "Lepaskan perempuan itu dan hadapi aku!" Tiba-tiba terdengar suara parau namun penuh wibawa di belakang wanita itu.Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Kabut kelabu tiba-tiba muncul dari segala arah, menyelimuti rombongan Du Fei dan Jenderal Lo yang sedang menuruni gunung. Kabut itu tidak wajar—terlalu pekat dan bergerak melawan angin, seperti memiliki kehendak sendiri."Kabut sihir!" Du Fei berseru, berusaha menghalau kabut dengan mengibaskan tangannya, "hati-hati! Tetap bersama!"Akan tetapi kabut sihir tersebut bergerak dengan sangat cepat dan memisahkan mereka. Du Fei merasakan tangan Yun Hao yang menggenggam jubahnya terlepas. "Yun Hao!" teriaknya, tapi suaranya teredam oleh kabut yang seakan menelan segala bunyi."Tetap tenang," bisik Dilong dari dalam pedang. "Kabut ini tidak berbahaya secara langsung. Hanya bermaksud mengacaukan."Du Fei mengangguk, mengatur nafasnya. Dengan pedang naga api sebagai pemandu, ia mulai menyusuri jalan. Kabut sihir ini pasti buatan seseorang—ia mulai menduga penyihir dari Negeri Wu pelakunya.Setelah beberapa saat berjalan mencari kelompoknya kembali, kaki Du Fei tersandung sesuatu. Ia menunduk,
PLAKK!Tamparan keras Jenderal Lo mendarat di pipi A Lung. Suaranya menggema di keheningan hutan, meninggalkan bekas telapak tangan kemerahan di wajah prajurit muda itu."Lancang!" geram Jenderal Lo, matanya menyala-nyala. "Kau telah melanggar sumpah kesetiaan pada kerajaan!"A Lung memegangi pipinya yang panas, matanya berkaca-kaca menahan marah dan malu. Tanpa kata-kata lagi, ia berbalik dan berlari masuk ke dalam hutan lebat, menghilang di balik rimbunnya dedaunan."Biarkan dia pergi!" Chang Kong menghela nafas. "Kalau dia tidak menghormati anggota kerajaan, maka dia tak layak menjadi pasukan khusus istana."Du Fei menatap ke arah menghilangnya A Lung dengan pandangan prihatin. "Kebencian seperti itu tidak lahir begitu saja. Ada yang tidak kita ketahui tentang hubungannya dengan masa lalu ayah kita."Yun Hao mengamati Plakat Naga Emas di tangannya sebelum menyimpannya kembali dengan hati-hati, "Sebaiknya kita segera kembali ke kotaraja. Yang Mulia Yu Ping pasti sudah menunggu kabar
"Terima kasih, adikku," Xie She Tai Tai berbisik, tangannya mencengkeram jantung Zhi Zhu yang masih berdenyut. "Pengorbananmu tidak akan sia-sia."Tubuh Zhi Zhu bergetar hebat, matanya satu per satu meredup seperti lilin yang dipadamkan. Mulutnya terbuka, menjerit tanpa suara saat Xie She Tai Tai menarik keluar jantungnya dalam satu sentakan kuat.Darah menyembur ke segala arah, membasahi dinding gua dengan warna merah pekat. Tubuh Zhi Zhu melunglai, kaki-kakinya mengerut seperti daun kering.Xie She Tai Tai tidak memakan jantung itu. Sebaliknya, ia mulai merapal mantra dalam bahasa siluman. Jari-jarinya menari di udara, menciptakan simbol-simbol kuno yang bersinar ungu."Jiwa bersatu dengan jiwa, daging bersatu dengan daging," ia menggumamkan mantra. "Berikan kekuatanmu padaku!"Dengan kedua tangannya, ia memegang jantung Zhi Zhu yang masih berdenyut lemah dan perlahan mendekatkannya ke luka menganga di dadanya sendiri. Jantung itu seolah tertarik oleh kekuatan magis, melayang di uda
"Kau benar," Yun Hao bangkit berdiri, tubuhnya sudah jauh lebih kuat. "Ayo kita pergi. Kuharap mereka masih baik-baik saja."Bersama, dua bersaudara itu melangkah keluar dari istana Kristal Hitam."Apakah kita akan melepaskan kedua siluman itu begitu saja, Kak?" Yun Hao menoleh ke arah istana kristal hitam yang kini tampak suram di bawah cahaya fajar."Untuk saat ini ya," Du Fei mengangguk, pedang naganya berpendar lembut di tangannya. "Siluman Ular Kalajengking terluka parah. Butuh seratus tahun bertapa untuk memulihkan kekuatan yang hilang. Sedangkan Siluman Laba-laba tak bisa berbuat banyak tanpa saudarinya. Gunung ini aman untuk sementara waktu."Yun Hao mengangguk, lalu melempar pandang ke atas dengan ragu. Tebing curam di hadapan mereka tampak mustahil untuk didaki."Bagaimana kita naik ke atas?" Yun Hao mengamati dinding jurang yang nyaris vertikal.Du Fei tersenyum, "Jangan cemas, aku tak akan meninggalkanmu, Adik Yun."Ia meraih pergelangan tangan Yun Hao. Dengan satu lompata
Du Fei melepaskan Pedang Naga Api, membiarkannya melayang di atas tubuh Yun Hao. Dengan gerakan cepat, ia menggores telapak tangannya. Darah mengalir dari luka, menetes ke bilah pedang yang menyala."Api Suci, murnikanlah darah ini," Du Fei memejamkan mata, memusatkan energinya.Api keemasan menyelimuti darah yang menetes, mengubahnya menjadi cairan berkilau seperti emas cair. Dengan lembut Du Fei membuka bibir Yun Hao. "Kembali padaku, Adik!" bisiknya, meneteskan cairan dari ujung Pedang Naga Api itu ke mulut Yun Hao.Sedetik dua detik tak ada reaksi apapun, namun di detik ketiga tiba-tiba tubuh Yun Hao menegang seperti busur yang ditarik. Punggungnya melengkung ke atas, matanya terbuka lebar. Dari mulut, hidung, dan telinganya keluar asap hitam dengan suara mendesis— pertanda sihir pemikat sedang dikeluarkan secara paksa."ARGH!" jeritan pertama Yun Hao bergema di seluruh ruangan. Tubuhnya bergetar hebat, warna iris matanya berubah-ubah—dari merah darah perlahan kembali ke warna as
Pusaran energi itu melesat ke arah Du Fei. Namun pemuda itu tetap tenang, pedangnya teracung ke depan."Api Pemurnian!"Bilah Pedang Naga Api berubah menjadi cahaya putih menyilaukan. Du Fei menusukkan pedang ke dalam pusaran energi hitam. Kedua kekuatan beradu, menciptakan gelombang energi yang mengguncang seluruh istana.BLARR!Cahaya putih berhasil membelah pusaran hitam dan menghantam telak tubuh Xie She Tai Tai. Siluman itu menjerit kesakitan, tubuhnya terpental hingga menabrak dinding kristal. Darah hitam mengucur dari luka menganga di dadanya."KAKAK!" Zhi Zhu menjerit ngeri. Ia menatap Du Fei dengan campuran ketakutan dan kebencian. Lalu pandangannya beralih pada Yun Hao yang masih berdiri kaku di altar."Suamiku!" perintah Siluman Laba-laba betina sambil menunjuk ke arah Du Fei. "Bunuh dia! Bunuh penyerang ini!"Wajah Yun Hao dingin tanpa ekspresi. Perlahan ia mengambil pedang yang berada di atas meja altar, lalu berbalik menghadap Du Fei."Yun Hao, sadarlah!" Du Fei menurunk
"Kendalikan apinya, Du Fei!" suara Dilong menggema. "Api bukan hanya elemen penghancur, tapi juga pemberi kehidupan. Rasakan iramanya, dengarkan bisikannya."Du Fei memejamkan mata, perlahan ia merasakan denyut kehidupan dalam api - seperti detak jantung makhluk hidup. Tubuhnya mulai bergerak mengikuti irama itu, tangannya terangkat dalam gerakan melingkar yang anggun."Ya ... seperti itu," Dilong terbang mengelilinginya. "Api adalah perpanjangan jiwamu, bukan musuhmu."Jari-jari Du Fei bergerak lembut, seperti menari. Api putih merespon, berubah dari kobaran liar menjadi pusaran elegan yang mengikuti gerakan tangannya. Panas yang tadinya menyiksa kini terasa seperti aliran kehangatan yang menyenangkan."Luar biasa," bisik Dilong takjub.Du Fei membuka mata. Pandangannya berubah - ia bisa melihat setiap percikan, setiap lidah api sebagai entitas tersendiri. Dengan satu gerakan tegas, ia mengarahkan sebagian api membentuk lingkaran di sekeliling tubuhnya. Dengan gerakan lain, ia memeri
"Namaku Dilong," naga mungil itu terbang mengelilingi kepala Du Fei, "aku yang menyelamatkanmu dari kobaran api Sumur Suci.""Dewa Naga?" Du Fei mengamati makhluk ajaib itu dengan takjub. Sisik-sisiknya berkilau seperti permata di bawah cahaya api hitam. "Tapi mengapa kau menyelamatkanku?""Karena sudah ribuan tahun aku menantikan orang sepertimu," Dilong hinggap di telapak tangan Du Fei. “Seseorang yang memiliki hati bersih dan tekad kuat untuk melindungi yang lemah.”Du Fei menatap sang naga dengan mata membelalak, “Apakah kau penjaga Pedang Naga Api yang dicari banyak orang dari dunia persilatan bahkan negeri lain?”“Bukan hanya penjaga,” Naga Dilong terbang ke tengah perisai kristal, “Aku adalah Pedang Naga Api itu sendiri.”Du Fei menggeleng kebingungan, “Bagaimana bisa?”"Selama menjaga Pedang Naga Api, seiring waktu, jiwaku dan jiwa Pedang Naga Api telah menyatu.""Lalu di mana pedangnya?"Dilong tertawa kecil, “Pedang hanyalah bentuk fisik dari kekuatan sejati. Mereka semua se
Mata Zhi Zhu melebar, bibirnya menyunggingkan senyum kejam. "Ah! Kenapa tidak terpikirkan olehku? Kakak memang yang terpintar!""Tidak …," Yun Hao berbisik pada diri sendiri, perasaan ngeri menyergapnya. Membayangkan diri menjadi budak nafsu siluman membuat perutnya mual."Oh, lihat wajah ketakutannya!" Zhi Zhu terkikik seraya mengerling ke arah Yun Hao. "Aku sudah tak sabar melihatmu merangkak memohon cintaku, Tampan."Yun Hao memejamkan mata, memusatkan seluruh tenaga dalamnya. 'Aku harus bebas!' Ia merasakan aliran chi mengalir deras dalam pembuluh darahnya, mencari celah dalam ikatan benang perak."Tunggu sebentar, Bocah!" Xie She Tai Tai meliukkan tubuh ularnya menuju ruang racun. "Akan kuambilkan ramuan special untukmu.""Dan aku akan menyiapkan sarang cinta kita," Zhi Zhu mengusap pipi Yun Hao dengan jari lentiknya. "Jangan kemana-mana, Calon Suamiku!"Setelah kedua siluman kejam itu menghilang, Yun Hao mulai menggerakkan tubuhnya yang kaku. Benang perak melilit erat, setiap ge