Share

3. TERJEBAK API

Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan.

Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!"

Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.

Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya.

"Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.

Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalunya.

"A-Anda salah orang!" sahut Qing Ning, berusaha terdengar dingin dan tak acuh.

Bian Fu terkekeh pelan, suaranya sedingin es. "Jurus yang kau gunakan khas milik perguruan Hoa San, dan kau satu-satunya perempuan di sana. Jadi tidak mungkin salah lagi," balasnya dengan nada puas. "Yang kudengar kau sudah tewas bersama dengan putra Pendekar Iblis Qi Yun, tak disangka bersembunyi di sini."

Tubuh Qing Ning semakin menegang. Ingatannya perlahan mulai terbuka, mengenali pria di hadapannya. Bian Fu, pria yang pernah hadir di Wisma Hoa San, mengikuti pertandingan mencari pendekar nomor satu.

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" ujar Qing Ning bersikeras, meski ia tahu bahwa penyamarannya telah terbongkar.

Bian Fu melangkah maju, bibir membentuk lekukan sinis. "Kalau kau masih sedikit pintar, lebih baik terima saja jadi istri keempat Pejabat Yuan daripada berakhir di Wisma Bunga!"

"Aku tidak akan menikahi manusia rendah berpakaian halus!" jawab Qing Ning bersikeras, matanya melirik tajam ke arah Pejabat Yuan yang wajahnya merah padam mendengar ungkapan sinisnya.

"Kurang ajar!" geram Pejabat Yuan, amarahnya meluap-luap. Ia berpaling ke arah Bian Fu, "jangan buang waktu lagi, tangkap pemberontak ini!"

Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Pedang Qing Ning beradu dengan senjata Bian Fu, menciptakan percikan api di kegelapan malam.

Qing Ning mengerahkan seluruh kemampuannya, setiap jurus yang pernah ia pelajari kini dikeluarkan tanpa ragu. Namun, ia tahu bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Bian Fu bukanlah pendekar sembarangan, dan Qing Ning merasakan tenaganya mulai terkuras.

Sementara pertarungan berlangsung, di dalam pondok, Du Fei mulai terusik dari tidurnya. Suara pertarungan yang semakin sengit perlahan menembus kesadarannya.

"Ibu!" Du Fei menggosok-gosok matanya yang masih berat oleh kantuk, kebingungan menyadari tempat di sampingnya kosong. Suara-suara aneh dari luar pondok perlahan menembus kesadarannya yang masih berkabut.

Didorong oleh rasa penasaran, Du Fei turun dari tempat tidurnya. Kakinya yang kecil melangkah hati-hati di atas lantai yang dingin, menuju jendela. Dengan sedikit usaha, ia membuka daun jendela yang berat.

Pemandangan yang menyambutnya membuat matanya terbelalak lebar. Di luar, di bawah cahaya bulan yang temaram, banyak orang berkerumun di halaman pondok mereka.

Namun yang paling mengejutkan adalah menyaksikan Qing Ning bertarung. Selama ini, ia tak pernah tahu bahwa ibunya memiliki kemampuan bela diri. Bahkan, ia selalu dilarang untuk berlatih atau menyentuh senjata.

Kini, melihat wanita yang membesarkannya bergerak dengan begitu anggun dan lincah, Du Fei merasa kagum sekaligus kebingungan.

Namun, keasyikannya menyaksikan pertarungan itu membuat Du Fei lengah. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di belakangnya, seolah ada bayangan gelap yang menyelimuti. Jantungnya berdegup kencang saat ia perlahan berbalik.

Di sana, tak jauh darinya, berdiri sosok tinggi besar yang menakutkan. Wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang, namun Du Fei bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk dari sosok itu.

"Si-siapa Paman ini?" tanya Du Fei terbata-bata, suaranya bergetar karena takut. Ia bisa merasakan aura jahat yang menguar dari sosok misterius itu, membuat bulu kuduknya meremang.

Namun, alih-alih mendapat jawaban, sosok itu mengangkat sebuah obor yang menyala terang. Tanpa peringatan, ia menyentuhkan api dari obor ke dinding bambu di samping mereka.

Dalam sekejap, api menjalar dengan ganas, melahap dinding bambu yang kering dengan kecepatan mengerikan. Panas dan asap mulai memenuhi ruangan, membuat Du Fei terbatuk-batuk dan matanya perih.

"Ibu! Tolong!" teriak Du Fei panik, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Di luar, Qing Ning yang masih terlibat pertarungan sengit, mendengar teriakan putranya. Wajahnya seketika memucat, menyadari bahaya yang mengancam Du Fei. Dengan putus asa, ia berusaha melepaskan diri dari kepungan lawannya, berniat menyelamatkan buah hatinya.

"Du Fei!" Teriakan Qing Ning membelah malam. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari ke arah pondok yang mulai dilalap api, berniat menyelamatkan putranya. Namun, langkahnya terhenti ketika Bian Fu tiba-tiba muncul di hadapannya, menghadang dengan seringai jahat yang menghiasi wajahnya yang pucat.

"Mau ke mana, Nona cantik?" ejek Bian Fu, matanya berkilat berbahaya di bawah sinar api yang menjilat-jilat. "Hadapi aku dulu!"

"Minggir kau, iblis!" teriak Qing Ning, suaranya serak oleh emosi dan asap yang mulai memenuhi udara.

Sementara itu, di dalam pondok yang terbakar, asap tebal memenuhi ruangan, membuat mata bocah berusia tujuh tahun itu perih dan dadanya sesak. Ia terbatuk-batuk, berusaha mencari udara segar di tengah kepulan asap yang semakin pekat. Sementara sosok misterius tadi telah menghilang.

Dengan ngeri, Du Fei menyadari bahwa pintu keluar telah tertutup oleh balok kayu besar yang jatuh dari atap. Api semakin mendekat, panas yang menyengat membuat kulitnya terasa terbakar. Air mata mengalir di pipinya yang kotor oleh jelaga, campuran antara ketakutan dan putus asa.

"Du Fei!" teriak Qing Ning lagi, "Ibu akan menyelamatkanmu! Bertahanlah!"

Suara sang Ibu terdengar samar-samar, namun cukup untuk menggerakkan semangat Du Fei. Bocah itu memaksa matanya yang perih karena asap menyapu ruangan, mencari celah untuk melarikan diri.

Tiba-tiba, ia melihat jendela samping yang masih terbuka. Dengan sisa-sisa tenaganya, Du Fei berusaha berlari ke arah jendela itu. Namun, takdir seolah mempermainkannya. Tepat saat ia hampir mencapai jendela, suara berderak keras terdengar dari atas.

Du Fei mendongak, matanya melebar ngeri melihat atap rumbia yang terbakar mulai runtuh ke arahnya. Ia berusaha menghindar, namun kakinya yang lemah tak mampu membawanya cukup cepat. Atap itu jatuh menimpanya, menghancurkan harapan terakhirnya untuk selamat.

"Ibu!" Jerit Du Fei menyayat hati, suaranya penuh kesakitan dan ketakutan.

Di luar, Qing Ning yang mendengar jeritan putranya semakin histeris. Hatinya seolah tercabik-cabik, membayangkan penderitaan yang dialami Du Fei.

Namun, kelengahannya ini dimanfaatkan oleh Bian Fu. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan kunai yang disembunyikan di balik ikat pinggangnya ke arah Qing Ning.

Senjata itu melesat di udara, menembus pertahanan Qing Ning yang lengah. Kunai itu menancap dalam di pundaknya, membuat wanita itu terjatuh dengan jeritan kesakitan. Darah segar mengalir dari lukanya, membasahi pakaiannya yang sudah kotor oleh debu dan keringat.

Meski terluka parah, Qing Ning tak menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia merayap ke arah pondok yang kini nyaris seluruhnya dilalap api. Air mata mengalir deras di pipinya, sepertinya semua sudah terlambat. Tak ada seorang pun yang bisa selamat dalam kebakaran sedahyat itu.

"Du Fei!" ratapnya, suaranya parau dan penuh keputusasaan.

Bian Fu berdiri menjulang di atas Qing Ning, wajahnya dihiasi seringai kejam. Matanya menatap wanita yang merayap itu dengan sorot mengejek. "Percuma saja kau menolong anakmu itu," ujarnya dingin. "Dia pasti sudah ...."

"Anakku akan baik-baik saja ... tutup mulutmu!" bentak Qing Ning histeris. Namun, meski suaranya dipenuhi kemurkaan, tubuhnya tak mampu bangkit.

Bian Fu tertawa kecil, suaranya dingin dan kejam. "Menyerah saja," ujarnya, menikmati penderitaan Qing Ning. "Kau sudah terkena bisa kelelawar ... semakin bergerak, energimu akan semakin habis!"

Qing Ning merasakan kebenaran kata-kata Bian Fu. Tubuhnya semakin lemah, pandangannya mulai kabur.

"Lepaskan perempuan itu dan hadapi aku!" Tiba-tiba terdengar suara parau namun penuh wibawa di belakang wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status