Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan.
Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan. Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya. "Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan. Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalunya. "A-Anda salah orang!" sahut Qing Ning, berusaha terdengar dingin dan tak acuh. Bian Fu terkekeh pelan, suaranya sedingin es. "Jurus yang kau gunakan khas milik perguruan Hoa San, dan kau satu-satunya perempuan di sana. Jadi tidak mungkin salah lagi," balasnya dengan nada puas. "Yang kudengar kau sudah tewas bersama dengan putra Pendekar Iblis Qi Yun, tak disangka bersembunyi di sini." Tubuh Qing Ning semakin menegang. Ingatannya perlahan mulai terbuka, mengenali pria di hadapannya. Bian Fu, pria yang pernah hadir di Wisma Hoa San, mengikuti pertandingan mencari pendekar nomor satu. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" ujar Qing Ning bersikeras, meski ia tahu bahwa penyamarannya telah terbongkar. Bian Fu melangkah maju, bibir membentuk lekukan sinis. "Kalau kau masih sedikit pintar, lebih baik terima saja jadi istri keempat Pejabat Yuan daripada berakhir di Wisma Bunga!" "Aku tidak akan menikahi manusia rendah berpakaian halus!" jawab Qing Ning bersikeras, matanya melirik tajam ke arah Pejabat Yuan yang wajahnya merah padam mendengar ungkapan sinisnya. "Kurang ajar!" geram Pejabat Yuan, amarahnya meluap-luap. Ia berpaling ke arah Bian Fu, "jangan buang waktu lagi, tangkap pemberontak ini!" Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Pedang Qing Ning beradu dengan senjata Bian Fu, menciptakan percikan api di kegelapan malam. Qing Ning mengerahkan seluruh kemampuannya, setiap jurus yang pernah ia pelajari kini dikeluarkan tanpa ragu. Namun, ia tahu bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Bian Fu bukanlah pendekar sembarangan, dan Qing Ning merasakan tenaganya mulai terkuras. Sementara pertarungan berlangsung, di dalam pondok, Du Fei mulai terusik dari tidurnya. Suara pertarungan yang semakin sengit perlahan menembus kesadarannya. "Ibu!" Du Fei menggosok-gosok matanya yang masih berat oleh kantuk, kebingungan menyadari tempat di sampingnya kosong. Suara-suara aneh dari luar pondok perlahan menembus kesadarannya yang masih berkabut. Didorong oleh rasa penasaran, Du Fei turun dari tempat tidurnya. Kakinya yang kecil melangkah hati-hati di atas lantai yang dingin, menuju jendela. Dengan sedikit usaha, ia membuka daun jendela yang berat. Pemandangan yang menyambutnya membuat matanya terbelalak lebar. Di luar, di bawah cahaya bulan yang temaram, banyak orang berkerumun di halaman pondok mereka. Namun yang paling mengejutkan adalah menyaksikan Qing Ning bertarung. Selama ini, ia tak pernah tahu bahwa ibunya memiliki kemampuan bela diri. Bahkan, ia selalu dilarang untuk berlatih atau menyentuh senjata. Kini, melihat wanita yang membesarkannya bergerak dengan begitu anggun dan lincah, Du Fei merasa kagum sekaligus kebingungan. Namun, keasyikannya menyaksikan pertarungan itu membuat Du Fei lengah. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di belakangnya, seolah ada bayangan gelap yang menyelimuti. Jantungnya berdegup kencang saat ia perlahan berbalik. Di sana, tak jauh darinya, berdiri sosok tinggi besar yang menakutkan. Wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang, namun Du Fei bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk dari sosok itu. "Si-siapa Paman ini?" tanya Du Fei terbata-bata, suaranya bergetar karena takut. Ia bisa merasakan aura jahat yang menguar dari sosok misterius itu, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, alih-alih mendapat jawaban, sosok itu mengangkat sebuah obor yang menyala terang. Tanpa peringatan, ia menyentuhkan api dari obor ke dinding bambu di samping mereka. Dalam sekejap, api menjalar dengan ganas, melahap dinding bambu yang kering dengan kecepatan mengerikan. Panas dan asap mulai memenuhi ruangan, membuat Du Fei terbatuk-batuk dan matanya perih. "Ibu! Tolong!" teriak Du Fei panik, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Di luar, Qing Ning yang masih terlibat pertarungan sengit, mendengar teriakan putranya. Wajahnya seketika memucat, menyadari bahaya yang mengancam Du Fei. Dengan putus asa, ia berusaha melepaskan diri dari kepungan lawannya, berniat menyelamatkan buah hatinya. "Du Fei!" Teriakan Qing Ning membelah malam. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari ke arah pondok yang mulai dilalap api, berniat menyelamatkan putranya. Namun, langkahnya terhenti ketika Bian Fu tiba-tiba muncul di hadapannya, menghadang dengan seringai jahat yang menghiasi wajahnya yang pucat. "Mau ke mana, Nona cantik?" ejek Bian Fu, matanya berkilat berbahaya di bawah sinar api yang menjilat-jilat. "Hadapi aku dulu!" "Minggir kau, iblis!" teriak Qing Ning, suaranya serak oleh emosi dan asap yang mulai memenuhi udara. Sementara itu, di dalam pondok yang terbakar, asap tebal memenuhi ruangan, membuat mata bocah berusia tujuh tahun itu perih dan dadanya sesak. Ia terbatuk-batuk, berusaha mencari udara segar di tengah kepulan asap yang semakin pekat. Sementara sosok misterius tadi telah menghilang. Dengan ngeri, Du Fei menyadari bahwa pintu keluar telah tertutup oleh balok kayu besar yang jatuh dari atap. Api semakin mendekat, panas yang menyengat membuat kulitnya terasa terbakar. Air mata mengalir di pipinya yang kotor oleh jelaga, campuran antara ketakutan dan putus asa. "Du Fei!" teriak Qing Ning lagi, "Ibu akan menyelamatkanmu! Bertahanlah!" Suara sang Ibu terdengar samar-samar, namun cukup untuk menggerakkan semangat Du Fei. Bocah itu memaksa matanya yang perih karena asap menyapu ruangan, mencari celah untuk melarikan diri. Tiba-tiba, ia melihat jendela samping yang masih terbuka. Dengan sisa-sisa tenaganya, Du Fei berusaha berlari ke arah jendela itu. Namun, takdir seolah mempermainkannya. Tepat saat ia hampir mencapai jendela, suara berderak keras terdengar dari atas. Du Fei mendongak, matanya melebar ngeri melihat atap rumbia yang terbakar mulai runtuh ke arahnya. Ia berusaha menghindar, namun kakinya yang lemah tak mampu membawanya cukup cepat. Atap itu jatuh menimpanya, menghancurkan harapan terakhirnya untuk selamat. "Ibu!" Jerit Du Fei menyayat hati, suaranya penuh kesakitan dan ketakutan. Di luar, Qing Ning yang mendengar jeritan putranya semakin histeris. Hatinya seolah tercabik-cabik, membayangkan penderitaan yang dialami Du Fei. Namun, kelengahannya ini dimanfaatkan oleh Bian Fu. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan kunai yang disembunyikan di balik ikat pinggangnya ke arah Qing Ning. Senjata itu melesat di udara, menembus pertahanan Qing Ning yang lengah. Kunai itu menancap dalam di pundaknya, membuat wanita itu terjatuh dengan jeritan kesakitan. Darah segar mengalir dari lukanya, membasahi pakaiannya yang sudah kotor oleh debu dan keringat. Meski terluka parah, Qing Ning tak menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia merayap ke arah pondok yang kini nyaris seluruhnya dilalap api. Air mata mengalir deras di pipinya, sepertinya semua sudah terlambat. Tak ada seorang pun yang bisa selamat dalam kebakaran sedahyat itu. "Du Fei!" ratapnya, suaranya parau dan penuh keputusasaan. Bian Fu berdiri menjulang di atas Qing Ning, wajahnya dihiasi seringai kejam. Matanya menatap wanita yang merayap itu dengan sorot mengejek. "Percuma saja kau menolong anakmu itu," ujarnya dingin. "Dia pasti sudah ...." "Anakku akan baik-baik saja ... tutup mulutmu!" bentak Qing Ning histeris. Namun, meski suaranya dipenuhi kemurkaan, tubuhnya tak mampu bangkit. Bian Fu tertawa kecil, suaranya dingin dan kejam. "Menyerah saja," ujarnya, menikmati penderitaan Qing Ning. "Kau sudah terkena bisa kelelawar ... semakin bergerak, energimu akan semakin habis!" Qing Ning merasakan kebenaran kata-kata Bian Fu. Tubuhnya semakin lemah, pandangannya mulai kabur. "Lepaskan perempuan itu dan hadapi aku!" Tiba-tiba terdengar suara parau namun penuh wibawa di belakang wanita itu.Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Yun Hao terbangun mendadak, entah berapa lama ia tertidur. Matanya mengerjap membiasakan diri dengan cahaya api unggun tak jauh darinya."Yun Hao, putraku! Di mana kau, Nak?" Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil namanya. Jantung Yun Hao seakan berhenti berdetak. Suara itu, suara yang selalu ia rindukan bahkan saat masih sangat kecil. Yun Hao menoleh ke arah Chang Kong yang bersandar pada dinding pohon. Dengkuran halus terdengar dari pendekar itu, kepalanya terkulai ke samping.Karena tak ingin membangunkan Paman Penolong, Yun Hao berjingkat mendekati mulut gua dan mengintip keluar. Kabut mulai menipis, menampakkan bayangan pepohonan yang rapat. Di kejauhan, ia melihat sosok wanita bergaun sutra merah dengan hiasan rambut giok hijau - busana khas yang selalu dikenakan ibunya di istana."Ibu?" Yun Hao mengucek matanya, tak percaya pada penglihatannya sendiri. Sosok itu melambaikan tangan ke arahnya dengan gerakan anggun, "Ibu merindukanmu, Yun Hao ... kemarilah, Nak!"Tenggo
"Terima kasih telah menyelamatkan nyawa saya," Yun Hao membungkuk dalam. "Saya Yun Hao, prajurit dari kota Xianfeng.""Chang Kong," pria itu mengangguk. "Orang-orang mengenalku sebagai Pendekar Pedang Halilintar.""Apakah Pendekar Chang juga mencari Pedang Naga Api?" tanya Yun Hao penasaran.Seulas senyum misterius tersungging di bibir Chang Kong. Matanya menatap Yun Hao dengan pandangan yang sulit diartikan. ‘Betapa miripnya pemuda ini dengan ibunya, Putri Qi Yue’ batin Chang Kong. Kalau saja tidak diingatkan oleh sang putri untuk menjaga rahasia, ia pasti sudah memberitahukan dirinya diutus untuk melindungi Yun Hao selama berada di luar istana."Kita harus segera menemukan rombonganmu," Chang Kong mengalihkan pembicaraan. "Hutan ini menyimpan bahaya yang lebih mengerikan dari yang kau kira. Sebaiknya tetap bersama kelompokmu!"Dalam hati ia bersyukur telah mengikuti jejak Yun Hao sejak awal perjalanan. Meski harus tetap menyembunyikan identitas aslinya sesuai pesan Putri Qi Yue, se
"Pulang saja kalian!” lanjut sang biksu. "Atau tunggu di sini bersamaku, saksikan sendiri berapa banyak lagi mayat yang akan mengotori kesucian gunung ini."Jenderal Lo menaikkan alisnya, terlihat ia sangat kesal dengan sikap biksu tua yang acuh tak acuh bahkan berkesan tak sopan. Mengajak bicara orang tanpa membuka mata, dan dalam posisi miring seperti sikap Budha tidur.“Sudahlah, Yun Hao … mari kita pergi mencari jalan sendiri!” Jenderal Lo menoleh sekilas ke arah Yun Hao sebelum berbalik kembali pada pasukannya yang menunggu dengan tegang."Terima kasih atas peringatannya, Tuan Biksu," Yun Hao membungkuk hormat pada Biksu tua.Ia mengeluarkan bungkusan dari kantong kainnya, “Mohon terima bakpao ini sebagai tanda terima kasihku."Kakek itu tersenyum tipis, matanya masih terpejam. "Hmm ... aroma bakpao yang wangi. Sudah lama tidak mencium wangi selezat ini."Yun Hao meletakkan bakpao yang dibungkus kertas di depan sang biksu, lalu berbalik menyusul Jenderal Lo yang sudah lebih dulu
Asap putih mengepul dari celah-celah bebatuan Gunung Huolong. Aroma belerang yang menyengat menyeruak di udara, bercampur dengan kabut tipis yang menyelimuti lereng-lerengnya. Pohon-pohon pinus yang menjulang tampak seperti sosok-sosok gelap di balik kabut.Rombongan berkuda Jenderal Lo muncul dari balik tikungan, Rambut mereka bergoyang tertiup angin pegunungan yang dingin.Mendadak Jenderal Lo mengangkat tangannya, memberi isyarat pada pasukannya untuk memperlambat laju."Kita sudah memasuki wilayah Huolong. Buka mata kalian lebar-lebar!” perintahnya dengan suara dalam.“Siap, Jenderal!” Sahut seluruh pasukan serempak. Sebenarnya sebagian dari mereka sudah merasakan hawa yang berbeda begitu berada di kaki gunung itu. Tak sedikit dari mereka yang merasakan bulu kuduk meremang, seperti ada hawa siluman yang kuat di sekitarnya.Mereka menyusuri jalan setapak berbatu ketika salah seorang prajurit menunjuk ke arah pohon oak tua di tepi jalan. Di bawahnya, sesosok pria berpakaian biksu te
"Lin Mo," Chung Ming berbisik cepat begitu melihat kepanikan di wajah temannya, "Pakai saja surat kelulusanku! Tunjukkan pada mereka seolah ini milikmu, niscaya Li dan teman-temannya tak akan mengganggumu lagi. Kau bisa mengembalikannya padaku setelah mereka pergi.""Tapi …," Lin Mo ragu-ragu."Cepat!" Chung Ming menyelipkan kertas berharga itu ke tangan Lin Mo tepat saat Li muncul dari balik pepohonan."Ah, di sini rupanya tikus kecil kita!" Li menyeringai, melangkah mendekati mereka berdua dengan angkuh. "Mengapa kau bersembunyi di pinggir sungai seperti seekor tikus? Oh, jangan-jangan kau tidak lulus ujian lalu mau kabur dariku?"Li dan teman-temannya tertawa bersahut-sahutan, apalagi melihat wajah pucat Lin Mo, mereka yakin pemuda miskin itu pasti tidak lulus ujian.“Ayo tunjukkan pada kami hasil ujianmu!” Li menodongkan tangan, matanya menyipit penuh ancaman.Dengan ketenangan yang dipaksakan, Lin Mo mengangkat surat Chung Ming. Sinar matahari memantulkan kilau tinta merah keemas
Halaman istana membentang luas bagai lautan manusia. Ratusan meja kayu berjajar rapi di bawah naungan pohon willow, sementara bendera-bendera kerajaan berkibar megah di tiang-tiang tinggi. Para pengawas berbaju resmi bergerak di antara barisan, wajah mereka serius penuh wibawa.Lin Mo melangkah dengan dagu terangkat, jubah sutra yang dikenakan menambah kegagahannya. Di belakangnya, Chung Ming berjalan sambil terus bergumam, "... ajaran Mencius tentang kebajikan ada empat : ren, yi, li, zhi ....""Apakah kau tidak gugup, Saudara Lin?" Chung Ming menggosok telapak tangannya yang basah pada tepi bajunya yang sederhana. Wajahnya pucat tapi matanya berbinar penuh semangat."Tentu saja tidak!" Lin Mo mendengus angkuh. "Ujian seperti ini pasti mudah."'Lihat dia,' batin Lin Mo mengejek. 'Belajar seperti orang kesetanan tapi tetap saja penampilannya seperti pemuda idiot. Memalukan!'Mereka mengambil tempat duduk sesuai nomor peserta. Lin Mo duduk di deretan belakang ujung kiri, mengagumi kuas
"Lin Mo!" sapa Chung Ming yang menunggu di luar, wajahnya yang polos berseri-seri menggenggam kartu peserta. "Mari kita belajar bersama! Aku membawa beberapa ringkasan yang kubuat sendiri. Dua kepala lebih baik dari satu, bukan?"Lin Mo tersenyum tipis, matanya berkilat licik untuk sepersekian detik. "Tentu saja, Teman." Dalam hati ia tertawa. Orang polos seperti Chung Ming suatu saat akan berguna baginya."Bagus!" Chung Ming menepuk pundak Lin Mo dengan hangat. "Aku yakin kita akan menjadi teman baik!"'Ya,' batin Lin Mo sinis, 'sampai aku tidak membutuhkanmu lagi.' Kedua pemuda itu segera menjadi akrab, bahkan mendaftar di asrama yang sama."Kamar nomor lima belas," Chung Ming menunjuk sebuah kamar yang terletak di ujung dengan mata berbinar. "Kita sekamar, Lin Mo! Bukankah ini pertanda baik?"Mereka melangkah menyusuri koridor asrama yang berlantai kayu. Aroma masakan dari dapur terdekat merebak di udara, membuat perut Lin Mo dan Chung Ming mulai keroncongan."Hei, tunggu!" Suara
Berita kematian Yung menyebar seperti api di padang rumput kering. Putra tunggal Pejabat Yuan itu ditemukan tewas di tempat tidurnya sendiri, lehernya terdapat luka tusukan. Uangnya raib, dan yang lebih mengejutkan - Wei, putra pejabat kota Song adalah tersangka utama pelaku pembunuhan.Hakim pengadilan hampir menjatuhkan hukuman mati pada Wei. Namun berkat nama baik ayahnya yang dikenal sebagai pejabat senior yang jujur, hukumannya diringankan menjadi kerja paksa seumur hidup di Gunung Kapur.Pagi itu, setelah divonis bersalah, Wei digiring bersama sepuluh tahanan lainnya menuju tempat pengasingan mereka. Rantai besi yang mengikat kaki dan tangan mereka bergemerincing dalam irama menyedihkan. Pasukan pengawal berbaris di kiri-kanan rombongan, mempersempit kemungkinan untuk kabur."Lihat, itu tuan muda Wei!" bisik-bisik terdengar dari kerumunan yang memadati pinggir jalan. "Siapa sangka anak pejabat bisa jadi pembunuh?""Kasihan, ayahnya pasti sangat malu," sahut yang lain.Di antara
Jeritan tertahan dan pekikan ngeri terdengar memenuhi ruangan. Wei membuka matanya perlahan, hanya untuk disambut pemandangan yang akan menghantuinya seumur hidup.Tubuh Yung terbaring kaku dengan mata terbelalak kosong ke arah langit-langit. Pakaian putih sutra yang dikenakannya semalam telah berubah warna merah gelap. Lehernya menganga lebar karena sabetan belati. Darah yang telah mengering membentuk genangan gelap di sekitar tubuhnya, meresap ke dalam kasur.Wei terpaku menatap jasad Yung. Kakinya lemas, ia jatuh berlutut di samping tempat tidur. Matanya tak bisa lepas dari wajah sahabatnya yang membeku dalam ekspresi ketakutan bercampur kesakitan, menunjukkan betapa tersiksanya pemuda itu menjelang detik-detik kematian yang mengerikan.Tubuh Wei gemetar hebat, keringat dingin mengucur deras."Tidak ... tidak mungkin ... ini pasti mimpi …," bergumam berulang-ulang, suaranya serak dan bergetar. "Yung ... kumohon bangunlah ... katakan ini hanya leluconmu!"Tangannya yang berlumuran