Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.
Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah. "Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan. Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang." Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan. Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar penuh emosi. Wajahnya berubah merah padam, "selamanya kau tidak boleh menyentuh senjata!" Du Fei tersentak kaget, matanya seketika berkaca-kaca. Ia belum pernah melihat ibunya semarah ini. "Ibu," bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. Melihat ketakutan di mata putranya, Qing Ning tersadar akan reaksinya yang berlebihan. Rasa bersalah seketika menyelimuti hatinya. Ia segera berlutut, memeluk Du Fei erat-erat. "Maafkan Ibu, Du Fei," bisiknya lembut, suaranya kini penuh penyesalan. "Ibu hanya menginginkan dirimu selamat. Pedang dan senjata sejenisnya ... mereka hanya akan mencelakakan dirimu." Du Fei hanya bisa mengangguk pelan, masih terisak dalam pelukan Qing Ning. Ia tak mengerti, namun percaya sepenuhnya pada sang Ibu. Qing Ning mengelus rambut Du Fei, berusaha menenangkan putranya sekaligus dirinya sendiri. Dalam hati, ia berdoa agar masa lalu yang telah ia tinggalkan tidak akan pernah menyusul dan menghancurkan kehidupan damai yang telah dibangun bersama Du Fei. Tanpa disadari oleh Qing Ning, setiap langkahnya meninggalkan jejak samar dari serbuk yang telah ditaburkan oleh Pejabat Yuan sebelumnya. Jejak-jejak ini, nyaris tak terlihat oleh mata telanjang, membentang seperti benang tak kasat mata menuju pondok mereka yang sederhana. Malam menyelimuti pondok kecil di tengah hutan, kegelapan merayap masuk melalui celah-celah jendela. Cahaya remang dari lilin yang bergoyang lembut menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding kayu. Qing Ning, dengan perasaan gelisah menuntun Du Fei ke pembaringan. "Tidurlah, Du Fei!" Ia berbisik sambil menyelimuti tubuh mungil putranya. "Besok kita akan bangun pagi-pagi." Du Fei mengangguk patuh, matanya yang berat perlahan terpejam. Dalam hitungan detik, napasnya menjadi teratur, menandakan ia telah terlelap. Qing Ning, alih-alih segera tidur, terduduk di tepi ranjang. Firasat buruk, seperti awan gelap, menyelimuti hatinya. Wanita itu menoleh ke arah jendela, menatap rembulan yang bersinar terang di langit malam. Cahaya yang keperakan menerangi wajahnya yang cantik namun diliputi kekhawatiran. 'Kami tidak bisa tinggal di sini lebih lama,' batinnya dengan tekad yang kuat. 'Besok pagi-pagi sekali, aku harus mengajak Du Fei pergi dari sini. Kami harus mencari tempat tinggal baru, tempat yang lebih aman.' Meski hatinya berat memikirkan harus meninggalkan pondok yang telah menjadi rumah mereka selama bertahun-tahun, Qing Ning tahu ini adalah keputusan yang tepat. Keselamatan Du Fei adalah prioritas utamanya. Perlahan, rasa kantuk mulai menyergap. Qing Ning akhirnya menyerah pada kelelahan, berbaring di ranjangnya. Tak lama kemudian, ia pun terlelap. Keheningan malam tiba-tiba terpecah oleh suara langkah-langkah kaki yang mengendap-endap mendekati pekarangan pondok. Qing Ning, yang tidurnya selalu waspada, terbangun seketika. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk yang menghantuinya sejak sore kini terasa semakin nyata. Dengan gerakan cepat namun hati-hati agar tidak membangunkan Du Fei, Qing Ning bergegas keluar dari pondok. Udara malam yang dingin menyergap kulitnya, namun bukan itu yang membuatnya gemetar. Di hadapannya, berdiri Pejabat Yuan, kini ditemani oleh seorang pria berbaju serba hitam dengan wajah dicat putih seperti hantu, dan beberapa yang lain bersenjata pedang. "Nona, sungguh kita berjodoh hingga bisa bertemu kembali!" Pejabat Yuan menyeringai, matanya menjelajahi tubuh Qing Ning dengan tatapan yang membuat wanita itu ingin muntah. Menahan rasa jijik, Qing Ning berusaha tetap tenang. "Pejabat Yuan," ujarnya dengan nada sopan, "ada keperluan apakah malam-malam berkunjung ke pondok hamba yang reot ini?" Pejabat Yuan melangkah maju, senyumnya melebar. "Aku kasihan melihat wanita secantik dirimu hidup menderita seperti ini," ujarnya dengan nada yang dibuat-buat prihatin. "Terima kasih, tetapi saya sudah terbiasa seperti ini, Tuan Yuan," balas Qing Ning singkat, berusaha mengakhiri percakapan. Namun Pejabat Yuan tak menyerah. "Tidak bisa begitu, bunga mawar nan indah harusnya berada di kediamanku yang megah, tidak tinggal di hutan seperti ini!" sergahnya cepat. "Aku kemari berbaik hati ingin menjadikanmu istri keempatku, bagaimana?" Qing Ning merasakan amarah mulai membakar dadanya, namun ia berusaha mengendalikan diri. "Maaf, Tuan Yuan. Saya telah bersuami, dia sedang pergi berdagang. Sebentar lagi akan pulang. Sebaiknya Tuan segera kembali agar tak terjadi salah paham bila dia datang!" "Kau kira bisa membohongiku?" Pejabat Yuan mendesis, matanya menyipit berbahaya. "Aku tahu kau tidak bersuami, kalaupun ada, pasti suamimu pria tak berguna menyia-nyiakan istrinya yang cantik di hutan begini." "Dia mungkin bukan pria kaya raya, tetapi setidaknya dia suami yang setia," balas Qing Ning tajam, membuat telinga Pejabat Yuan memerah karena marah. "Nona, jangan membuat kesabaranku habis!" ancam Pejabat Yuan. "Aku melamarmu baik-baik, dan tidak mengharapkan penolakan. Jangan sampai membuatku kecewa!" Qing Ning berdiri tegap, matanya menatap Pejabat Yuan tanpa rasa takut. "Kalau aku menolak?" "Aku tetap akan membawamu ke kota untuk kujadikan pelacur di Wisma Bunga!" ancam Pejabat Yuan, nada suaranya mengintimidasi. Kali ini, Qing Ning tak lagi bisa menahan amarahnya. "Aku sama sekali tidak tertarik dengan pria mata keranjang sepertimu, menyalahgunakan jabatan dengan melecehkan kaum perempuan!" serunya lantang. "Enyahlah dari hadapanku!" "Kurang ajar!" Pejabat Yuan memaki, wajahnya merah padam karena murka. Ia mengibaskan tangan kanannya ke udara, memberi komando pada empat anak buahnya untuk mengepung Qing Ning. Qing Ning memasang kuda-kuda, matanya awas mengawasi setiap gerakan para penyerangnya. Meski sudah lama tak menggunakan ilmu silatnya, namun instingnya sebagai pendekar masih tajam. Dalam hati, ia berdoa agar Du Fei tetap tertidur dan tak menyaksikan pertarungan ini. Empat orang anak buah Pejabat Yuan melompat maju, berusaha menyergap Qing Ning dari dua sisi. Mereka mengira menangkap seorang perempuan yang tampak lemah lembut akan menjadi tugas yang sangat mudah. Namun, mereka sama sekali tak menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan lincah, Qing Ning berkelit mundur. Gerakannya begitu cepat dan luwes, seolah ia menari di atas angin. Keempat penyerangnya terkesiap, terkejut oleh reaksi yang tak mereka duga. Namun, mereka segera pulih dari keterkejutan dan mengayunkan tangan masing-masing, berusaha menangkap Qing Ning dari depan. Qing Ning, dengan gesit, melekukkan punggungnya ke samping dan memutar ke belakang dalam satu gerakan mulus. Tangannya yang lincah bergerak cepat, menarik pedang dari sarung yang disandang salah satu penyerangnya. Bilah baja itu berkilau tertimpa cahaya bulan, seolah menyambut sentuhan tangan Qing Ning. Dengan gerakan yang indah, Qing Ning mengayunkan pedang itu. Ia menangkis, mengelak, dan membalas serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Hal ini membuat para penyerangnya kewalahan menghadapi kemampuannya yang jauh di atas mereka. Pejabat Yuan, dengan wajah merah padam karena amarah dan malu, menoleh kepada pria berbaju hitam yang sejak tadi hanya menyaksikan pertarungan di depan mereka. "Tuan Bian Fu," panggil Yuan dengan nada tak sabar, suaranya bergetar menahan murka. "Apakah Anda hanya akan diam saja? Anak buahku sepertinya kewalahan dan butuh bantuan." Bian Fu, sang Ketua Sekte Kelelawar, seolah tak mendengar pertanyaan Yuan. Matanya yang tajam terfokus pada setiap gerakan Qing Ning, mengamati dengan seksama setiap jurus yang dilancarkan wanita itu. "Jurus yang ia gunakan milik Perguruan Hoa San," gumam Bian Fu, lebih kepada dirinya sendiri. Matanya menyipit, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa lalu. "Tak salah lagi ... dia cucu Wu Xian!"Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu
Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu