Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.
Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah. "Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan. Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang." Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan. Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar penuh emosi. Wajahnya berubah merah padam, "selamanya kau tidak boleh menyentuh senjata!" Du Fei tersentak kaget, matanya seketika berkaca-kaca. Ia belum pernah melihat ibunya semarah ini. "Ibu," bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. Melihat ketakutan di mata putranya, Qing Ning tersadar akan reaksinya yang berlebihan. Rasa bersalah seketika menyelimuti hatinya. Ia segera berlutut, memeluk Du Fei erat-erat. "Maafkan Ibu, Du Fei," bisiknya lembut, suaranya kini penuh penyesalan. "Ibu hanya menginginkan dirimu selamat. Pedang dan senjata sejenisnya ... mereka hanya akan mencelakakan dirimu." Du Fei hanya bisa mengangguk pelan, masih terisak dalam pelukan Qing Ning. Ia tak mengerti, namun percaya sepenuhnya pada sang Ibu. Qing Ning mengelus rambut Du Fei, berusaha menenangkan putranya sekaligus dirinya sendiri. Dalam hati, ia berdoa agar masa lalu yang telah ia tinggalkan tidak akan pernah menyusul dan menghancurkan kehidupan damai yang telah dibangun bersama Du Fei. Tanpa disadari oleh Qing Ning, setiap langkahnya meninggalkan jejak samar dari serbuk yang telah ditaburkan oleh Pejabat Yuan sebelumnya. Jejak-jejak ini, nyaris tak terlihat oleh mata telanjang, membentang seperti benang tak kasat mata menuju pondok mereka yang sederhana. Malam menyelimuti pondok kecil di tengah hutan, kegelapan merayap masuk melalui celah-celah jendela. Cahaya remang dari lilin yang bergoyang lembut menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding kayu. Qing Ning, dengan perasaan gelisah menuntun Du Fei ke pembaringan. "Tidurlah, Du Fei!" Ia berbisik sambil menyelimuti tubuh mungil putranya. "Besok kita akan bangun pagi-pagi." Du Fei mengangguk patuh, matanya yang berat perlahan terpejam. Dalam hitungan detik, napasnya menjadi teratur, menandakan ia telah terlelap. Qing Ning, alih-alih segera tidur, terduduk di tepi ranjang. Firasat buruk, seperti awan gelap, menyelimuti hatinya. Wanita itu menoleh ke arah jendela, menatap rembulan yang bersinar terang di langit malam. Cahaya yang keperakan menerangi wajahnya yang cantik namun diliputi kekhawatiran. 'Kami tidak bisa tinggal di sini lebih lama,' batinnya dengan tekad yang kuat. 'Besok pagi-pagi sekali, aku harus mengajak Du Fei pergi dari sini. Kami harus mencari tempat tinggal baru, tempat yang lebih aman.' Meski hatinya berat memikirkan harus meninggalkan pondok yang telah menjadi rumah mereka selama bertahun-tahun, Qing Ning tahu ini adalah keputusan yang tepat. Keselamatan Du Fei adalah prioritas utamanya. Perlahan, rasa kantuk mulai menyergap. Qing Ning akhirnya menyerah pada kelelahan, berbaring di ranjangnya. Tak lama kemudian, ia pun terlelap. Keheningan malam tiba-tiba terpecah oleh suara langkah-langkah kaki yang mengendap-endap mendekati pekarangan pondok. Qing Ning, yang tidurnya selalu waspada, terbangun seketika. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk yang menghantuinya sejak sore kini terasa semakin nyata. Dengan gerakan cepat namun hati-hati agar tidak membangunkan Du Fei, Qing Ning bergegas keluar dari pondok. Udara malam yang dingin menyergap kulitnya, namun bukan itu yang membuatnya gemetar. Di hadapannya, berdiri Pejabat Yuan, kini ditemani oleh seorang pria berbaju serba hitam dengan wajah dicat putih seperti hantu, dan beberapa yang lain bersenjata pedang. "Nona, sungguh kita berjodoh hingga bisa bertemu kembali!" Pejabat Yuan menyeringai, matanya menjelajahi tubuh Qing Ning dengan tatapan yang membuat wanita itu ingin muntah. Menahan rasa jijik, Qing Ning berusaha tetap tenang. "Pejabat Yuan," ujarnya dengan nada sopan, "ada keperluan apakah malam-malam berkunjung ke pondok hamba yang reot ini?" Pejabat Yuan melangkah maju, senyumnya melebar. "Aku kasihan melihat wanita secantik dirimu hidup menderita seperti ini," ujarnya dengan nada yang dibuat-buat prihatin. "Terima kasih, tetapi saya sudah terbiasa seperti ini, Tuan Yuan," balas Qing Ning singkat, berusaha mengakhiri percakapan. Namun Pejabat Yuan tak menyerah. "Tidak bisa begitu, bunga mawar nan indah harusnya berada di kediamanku yang megah, tidak tinggal di hutan seperti ini!" sergahnya cepat. "Aku kemari berbaik hati ingin menjadikanmu istri keempatku, bagaimana?" Qing Ning merasakan amarah mulai membakar dadanya, namun ia berusaha mengendalikan diri. "Maaf, Tuan Yuan. Saya telah bersuami, dia sedang pergi berdagang. Sebentar lagi akan pulang. Sebaiknya Tuan segera kembali agar tak terjadi salah paham bila dia datang!" "Kau kira bisa membohongiku?" Pejabat Yuan mendesis, matanya menyipit berbahaya. "Aku tahu kau tidak bersuami, kalaupun ada, pasti suamimu pria tak berguna menyia-nyiakan istrinya yang cantik di hutan begini." "Dia mungkin bukan pria kaya raya, tetapi setidaknya dia suami yang setia," balas Qing Ning tajam, membuat telinga Pejabat Yuan memerah karena marah. "Nona, jangan membuat kesabaranku habis!" ancam Pejabat Yuan. "Aku melamarmu baik-baik, dan tidak mengharapkan penolakan. Jangan sampai membuatku kecewa!" Qing Ning berdiri tegap, matanya menatap Pejabat Yuan tanpa rasa takut. "Kalau aku menolak?" "Aku tetap akan membawamu ke kota untuk kujadikan pelacur di Wisma Bunga!" ancam Pejabat Yuan, nada suaranya mengintimidasi. Kali ini, Qing Ning tak lagi bisa menahan amarahnya. "Aku sama sekali tidak tertarik dengan pria mata keranjang sepertimu, menyalahgunakan jabatan dengan melecehkan kaum perempuan!" serunya lantang. "Enyahlah dari hadapanku!" "Kurang ajar!" Pejabat Yuan memaki, wajahnya merah padam karena murka. Ia mengibaskan tangan kanannya ke udara, memberi komando pada empat anak buahnya untuk mengepung Qing Ning. Qing Ning memasang kuda-kuda, matanya awas mengawasi setiap gerakan para penyerangnya. Meski sudah lama tak menggunakan ilmu silatnya, namun instingnya sebagai pendekar masih tajam. Dalam hati, ia berdoa agar Du Fei tetap tertidur dan tak menyaksikan pertarungan ini. Empat orang anak buah Pejabat Yuan melompat maju, berusaha menyergap Qing Ning dari dua sisi. Mereka mengira menangkap seorang perempuan yang tampak lemah lembut akan menjadi tugas yang sangat mudah. Namun, mereka sama sekali tak menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan lincah, Qing Ning berkelit mundur. Gerakannya begitu cepat dan luwes, seolah ia menari di atas angin. Keempat penyerangnya terkesiap, terkejut oleh reaksi yang tak mereka duga. Namun, mereka segera pulih dari keterkejutan dan mengayunkan tangan masing-masing, berusaha menangkap Qing Ning dari depan. Qing Ning, dengan gesit, melekukkan punggungnya ke samping dan memutar ke belakang dalam satu gerakan mulus. Tangannya yang lincah bergerak cepat, menarik pedang dari sarung yang disandang salah satu penyerangnya. Bilah baja itu berkilau tertimpa cahaya bulan, seolah menyambut sentuhan tangan Qing Ning. Dengan gerakan yang indah, Qing Ning mengayunkan pedang itu. Ia menangkis, mengelak, dan membalas serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Hal ini membuat para penyerangnya kewalahan menghadapi kemampuannya yang jauh di atas mereka. Pejabat Yuan, dengan wajah merah padam karena amarah dan malu, menoleh kepada pria berbaju hitam yang sejak tadi hanya menyaksikan pertarungan di depan mereka. "Tuan Bian Fu," panggil Yuan dengan nada tak sabar, suaranya bergetar menahan murka. "Apakah Anda hanya akan diam saja? Anak buahku sepertinya kewalahan dan butuh bantuan." Bian Fu, sang Ketua Sekte Kelelawar, seolah tak mendengar pertanyaan Yuan. Matanya yang tajam terfokus pada setiap gerakan Qing Ning, mengamati dengan seksama setiap jurus yang dilancarkan wanita itu. "Jurus yang ia gunakan milik Perguruan Hoa San," gumam Bian Fu, lebih kepada dirinya sendiri. Matanya menyipit, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa lalu. "Tak salah lagi ... dia cucu Wu Xian!"Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu
Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
Yun Hao cepat menyarungkan pedang, tak ingin memicu kepanikan di antara orang banyak. Ia berusaha mengatur nafas dan langkah agar tampak biasa. Matanya bergerak waspada di antara kerumunan, mencari kilasan putih yang bisa menjadi petunjuk keberadaan si pembunuh. Aroma makanan dan asap dari tungku pedagang makanan bercampur dengan suara-suara keramaian.Sekilas Yun Hao menangkap sosok berpakaian putih tak jauh di depannya. Tanpa pikir panjang, Yun Hao mempercepat langkah dan mencengkeram bahu orang itu dengan kuat. "Berhenti kau!""Aduh!" Orang itu menoleh kesakitan, memperlihatkan wajah seorang pedagang tua yang kebingungan. "Ada apa, Anak Muda?""Maaf, saya salah orang!" Yun Hao buru-buru melepaskan cengkeramannya. Tiba-tiba dari sudut mata, ia menangkap sosok berpakaian putih yang lain, si pembunuh misterius sedang mengawasinya dari balik pilar gazebo, mengenakan kain penutup wajah berwarna senada sehingga sulit melihat seperti apa wajahnya.Merasa ketahuan, sosok itu melesat pergi.
Jenderal Lo sedang berdiskusi dengan Hakim Yang di ruang tamu, sementara A Lung dan dua prajurit berjaga di teras.Tiba-tiba terdengar derap langkah tergesa memecah keheningan. Yun Hao berlari ke arah mereka, wajahnya tegang seperti ingin menyampaikan kabar penting. Namun langkahnya terhenti mendadak saat A Lung menghadang di depan pintu, lengannya terentang menghalangi jalan."Hey-hey, mau apa kau buru-buru begitu?" hardik A Lung, matanya menyipit curiga."Aku harus bertemu Jenderal Lo dan Hakim Yang!" Yun Hao berusaha menahan nada tak sabar dalam suaranya. Bayangan putih yang baru saja ia lihat berkelebat di kegelapan malam masih membayang di benaknya."Mereka sedang sibuk dan tak mau diganggu," ujar A Lung ketus, bibirnya mencibir meremehkan, "kau sampaikan saja padaku, nanti aku yang beritahu Jenderal!"Kening Yun Hao berkerut menahan kesal, akan tetapi mengingat situasi genting ini, ia memilih untuk mengalah, "Aku melihat sekilas ada bayangan putih melintas di antara pepohonan di
"Qing Ning …," nama itu meluncur dari bibir Hakim Yang seperti bisikan hantu.Jenderal Lo mencondongkan tubuh ke depan, menangkap perubahan drastis pada raut wajah sahabatnya, "Siapa Qing Ning? Apakah dia memiliki kaitan dengan Dewa Golok Putih?"Hakim Yang menghela nafas berat, tangannya yang gemetar menutup kitab tua itu. "Aku tidak yakin mereka memiliki hubungan dekat, tetapi yang kutahu, Qing Ning adalah istri mendiang Pendekar Iblis yang kala itu menjabat sebagai Kepala Pasukan Khusus. Dan Dewa Golok Putih mengabdi pada suaminya.""Hmm," Jenderal Lo mengusap jenggotnya, matanya menyipit menunjukkan ia sedang berpikir keras. "Mungkinkah Dewa Golok Putih berencana membalaskan dendam kematian istri tuannya?"Hakim Yang menggeleng lemah. Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela yang menghadap ke taman belakang. Bunga-bunga persik bermekaran dengan indah menghiasi taman, namun tak mampu menghilangkan kegelisahan di hati pemiliknya."Aku rasa tidak mungkin, dia justru sangat memb
Setelah berpisah dengan para prajuritnya, Jenderal Lo melangkah memasuki kediaman Hakim Yang. Rumah mewah bergaya kuno itu dikelilingi tembok tinggi dan penjaga bersenjata yang mondar-mandir dengan waspada. Hakim Yang, pria berusia 60 tahun dengan jenggot tipis yang terawat, menyambut sahabatnya dengan pelukan hangat."Sahabatku, sudah tiga tahun lebih kita tidak bertemu!" Hakim Yang menepuk punggung Jenderal Lo, "malam ini kau harus bermalam di sini, tidak ada penolakan!"Sambil berbincang dan sesekali tertawa, mereka duduk di ruang tamu yang diterangi lentera giok, ditemani teh dan kudapan. Namun Jenderal Lo menangkap kegelisahan di balik senyum sahabatnya. Gurat-gurat lelah menghiasi wajah yang biasanya berseri itu."Ada apa, Saudaraku? Wajahmu seperti awan mendung di musim hujan.”Hakim Yang menghela nafas berat, "Sepertinya ada yang mengincar nyawaku, Lo." Ia menyesap teh dengan tangan sedikit bergetar, "Semua dimulai dengan ditemukannya bangkai tikus di depan pintu, disertai sel
Aroma bunga dahlia menyelimuti kamar yang dihiasi nuansa merah muda. Ming Mei duduk bagai lukisan hidup, tangannya yang putih nan halus bergerak anggun menuangkan teh ke dalam cawan keramik berwarna hijau. Uap hangat mengepul, membawa wangi yang membuat suasana menjadi lebih rileks dan nyaman."Tuan Muda sepertinya belum pernah berdekatan dengan wanita." Senyum Ming Mei mengembang bagai bunga mekar, matanya berkilat jenaka. "Jangan takut, Ming Mei tak akan menggigitmu. Hanya ingin mentraktir Anda minum teh wangi yang terkenal di Wisma Harum ini."Yun Hao menelan ludah, perlahan duduk di hadapan Ming Mei. Degup jantungnya yang tak beraturan seolah mengkhianati ketenangannya yang dipaksakan."Rekan-rekanku mengatakan kalau Tuan Muda datang kemari mencariku, boleh kutahu mengapa?" Suara Ming Mei mengalun bagai petikan kecapi, lembut dan manis."Nona telah menolongku dengan memberitahukan ada pencopet yang berusaha mencuri kantung uangku saat di pasar tadi," Yun Hao menjawab, untuk pertam
"Lihat, ada pemuda tampan datang!" Seorang gadis berbaju kuning cerah memekik girang, memamerkan lesung pipit di pipi saat melihat Yun Hao berdiri sembari celingukan mencari seseorang."Wah, masih muda sekali!" Gadis lain menimpali, matanya berbinar nakal."Kulitnya putih seperti susu!" Gadis ketiga menyahut diiringi tawa genit."Pasti anak orang kaya!" Suara bisik-bisik terdengar di setiap sudut ruang.Dalam sekejap, Yun Hao dikelilingi gadis-gadis berpakaian warna-warni dengan riasan wajah yang mencolok. Wangi bedak dan minyak wangi membuat kepalanya pening. Beberapa gadis mulai berani menyentuh pipi dan menjawil dagu sang pangeran, dan ada juga yang bergelayut manja di lengannya. Tubuh Yun Hao membeku seketika seperti balok es."A-aku mencari gadis berbaju merah muda yang baru masuk," ujarnya tergagap, berusaha mundur namun terhalang oleh gadis-gadis yang semakin mendekat."Oh, kau mencari Nona Ming Mei?" Seorang gadis berbaju hijau terkikik sambil menutup mulutnya dengan lengan ba
Setelah menunggu beberapa saat, Yun Hao melihat jendela samping rumah terbuka. Dari posisinya di balik pohon, ia bisa mengintip ke dalam tanpa terlihat. Pemandangan yang tersaji membuat hatinya terenyuh.Di dalam ruangan sederhana itu, seorang pria tua duduk di kursi kayu. Tubuhnya kurus, kulitnya putih pucat seperti kertas. Bahkan rambut dan pakaian yang serba putih menambah kesan rapuh pada sosok pria tersebut. Sepertinya ada penyakit yang menggerogoti tubuhnya, terlihat dari nafas yang berat."Ayah, hari ini kita akan pergi ke tabib untuk berobat!" Si gadis pencopet berkata dengan nada riang."Ayah tidak apa-apa, lagipula kita tidak punya uang," suara pria tua itu terdengar letih, seolah telah lama menderita."Siapa bilang?" Gadis itu mengangkat kantung uang milik Yun Hao dengan bangga, menimang-nimangnya di udara, "sekarang kita punya."Raut wajah sang ayah berubah. Ia menggeleng-gelengkan kepala, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang pucat, "Pasti kau mencuri lagi, sudah be
"Jenderal Tua yang memerintahkan saya bergabung, Jenderal," suara Yun Hao berusaha terdengar meyakinkan. "Beliau ingin saya memperoleh pengalaman."Jenderal Lo mengamatinya dengan tajam. "Misi kita adalah misi berbahaya, bukan untuk seorang yang ingin belajar. Apakah kau tidak takut mati?""Tidak, Jenderal!" Yun Hao menggeleng tegas. "Saya siap mati demi melenyapkan pemberontak dari Negeri Wu."Kekaguman melintas di wajah keras Jenderal Lo. Namun sebelum ia sempat menanggapi, derap kaki kuda terdengar mendekat. Rombongan berkuda tersebut adalah para pedagang yang kebetulan lewat. Mereka menyapa Jenderal Lo dengan ramah, mengabarkan tentang pasar malam di kota terdekat yang menarik pengunjung dari berbagai penjuru."Jenderal, kalau kita melepas ketegangan sebentar, apa salahnya?" A Lung berbisik pada Jenderal Lo, matanya berbinar penuh harap."Jenderal, misi kita sangat penting," Yun Hao menyela dengan nada serius. "Sebaiknya kita berfokus pada tujuan utama, bersenang-senang bisa dilak
Kepala Biksu segera mengangguk tanpa banyak bertanya, pria berusia tujuh puluh tahun itu sudah mengetahui siapa ‘dia’ yang dimaksud Putri Qi Yue. "Baik, akan Hamba panggilkan Tuan Chang."Langkah-langkah sang biksu menggema saat ia menghilang ke bagian dalam kuil, meninggalkan Qi Yue sendirian di aula utama. Wanita cantik itu berdiri tegak di depan altar, matanya menatap patung Buddha besar yang duduk bersila di atas meja altar, seolah mengawasinya dengan tatapan penuh makna. Di tangannya, surat Yun Hao masih tergenggam erat, kini telah kusut tak berbentuk.Suara langkah kaki mendekat membuyarkan lamunan. Qi Yue berpaling, berhadapan dengan sosok pria berambut dan berjenggot abu-abu yang baru keluar dari dalam. Pakaian pria itu sangat sederhana, tetapi dari gerakannya yang ringan menunjukkan ia bukanlah orang biasa melainkan berilmu tinggi."Apa kabar, Tuan Chang Kong?" Senyum samar menghiasi bibir Qi Yue."Salam, Tuan Putri Qi Yue," Chang Kong membungkuk hormat. Sebagai guru dari m