Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.
Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan. Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari. Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning yang nyaris putus asa. Mereka semua menanti dengan cemas, berharap keajaiban akan terjadi. Ketika fajar menyingsing di hari kelima belas, sesuatu yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi. Jemari kecil Du Fei yang terbungkus perban bergerak perlahan, diikuti dengan erangan pelan yang nyaris tak terdengar. Qing Ning yang tertidur di samping dipan terbangun seketika, matanya melebar penuh harap. "Du Fei?" bisiknya lembut, suaranya bergetar menahan tangis haru. "Ibu di sini, Nak. Kau aman sekarang." Perlahan, kelopak mata Du Fei yang tak tertutup perban mulai bergerak-gerak. Akhirnya, sepasang mata itu terbuka menatap Qing Ning. Diserang kepanikan, ibunya bergegas keluar dari bilik, kakinya nyaris tak menapak tanah saat berlari. Di ruang tengah pondok, Xun Huan dan Tabib Sakti, Shen Yi, sedang menikmati secangkir teh hangat sambil berbincang dengan suara rendah. "Paman Tabib, Du Fei sudah siuman!" serunya, suaranya terdengar gemetar karena khawatir sekaligus bahagia. Tanpa membuang waktu, Shen Yi dari duduk, diikuti oleh Xun Huan. Mereka bergegas mengikuti Qing Ning menuju bilik tempat Du Fei berbaring. Tabib Sakti segera menghampiri Du Fei. Dengan gerakan yang tenang, ia memeriksa nadi bocah itu. Jemarinya yang berpengalaman merasakan denyut kehidupan yang mengalir. Namun, keningnya berkerut dalam, menandakan ada sesuatu yang tidak biasa. Qing Ning yang memperhatikan ekspresi sang Tabib merasa cemas. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Bagaimana dengan putraku?" Shen Yi menggeleng cepat, berusaha menenangkan. "Tidak apa-apa," ujarnya, meski nada suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan. Dengan hati-hati, ia mulai membuka perban di tangan Du Fei untuk memeriksa luka bakarnya. "Nadi normal, luka bakar juga sudah pulih dengan baik," Ia menggumam, akan tetapi ada keraguan dalam suaranya. "Hanya saja ada …." "Katakan, Paman!" desak Qing Ning, rasa panik kembali menguasai dirinya. "Hanya saja apa?" Ia mencengkeram lengan Shen Yi, matanya memohon penjelasan. Pria berusia sekitar 75 tahunan itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku memeriksa nadinya, semua tampak normal. Namun, ada sesuatu yang aneh. Seperti ada hawa panas yang tersimpan di dalam tubuhnya." Ia berhenti sejenak, menatap Qing Ning dengan serius, "Hal ini tak pernah terjadi pada korban luka bakar sebelumnya. Pil Penyambung Nyawa memang mampu melindungi Du Fei dari hawa panas yang merusak, tetapi tak bisa mengeluarkan hawa panas itu dari tubuhnya." Ruangan itu hening sejenak, hanya terdengar deru napas Du Fei yang lemah. Xun Huan, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya angkat bicara, "Apa artinya ini, Tuan Shen? Apakah berbahaya bagi Du Fei?" "Aku rasa tidak," ujar Shen Yi lirih seolah tak yakin. "Tetapi kondisi ini mengingatkanku pada sebuah cerita kuno." "Cerita kuno?" Xun Huan dan Qing Ning bertukar pandang, mata mereka dipenuhi keheranan dan rasa ingin tahu. "Benar," Shen Yi mengangguk dalam, "Konon terjadi sebuah pertempuran dahsyat di dasar laut. Pertempuran itu melibatkan Dewa Naga Ying Long dan Panglima Laskar Langit, Fu Zhen." Ia melanjutkan, "Dewa Naga Ying Long, dibantu oleh Dewa Naga terkuat, Qiulong yang mengambil wujud manusia untuk bertarung melawan Fu Zhen dan rekannya, Fu Ming karena kedua panglima laskar langit itu berusaha membunuh Dewa Air demi merebut cinta Dewi Lotus." "Dalam pertempuran itu, Qiulong bersenjatakan Pedang Naga Api, sebuah hadiah istimewa dari Dewa Langit atas jasa-jasanya yang tak terhitung." Shen Yi berhenti untuk mengambil napas sejenak, matanya berkilat penuh kekaguman. "Namun, tak disangka Pedang Naga Api memiliki kekuatan yang luar biasa saat digunakan dalam pertempuran di dasar laut. Energi api yang dikeluarkan menimbulkan gelombang tsunami dahsyat di pantai, menghancurkan beberapa desa dan memakan korban jiwa manusia yang tidak sedikit." Qing Ning menutup mulutnya dengan tangan, terkejut mendengar kisah tersebut. Xun Huan mengerutkan kening, mencoba mencerna setiap detail cerita. "Setelah pertempuran usai," lanjut sang Tabib Sakti, "Dewa Yinglong, dengan berat hati, melarang Qiulong membawa serta Pedang Naga Api kembali ke langit. Pedang itu telah menumpahkan darah manusia tak berdosa, sebuah pelanggaran berat dalam hukum para dewa." "Meski berat hati melepaskan pedang kesayangannya, Qiulong terpaksa mematuhi perintah. Namun, sebelum membuangnya ke dasar palung laut terdalam, ia mengucapkan sebuah sumpah." Shen Yi berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah Du Fei yang masih terbaring. "Qiulong mengatakan bahwa kelak, hanya manusia dengan energi api sejati yang mampu menguasai Pedang Naga Api." "Aku tidak bisa memastikan," sangTabib Sakti melanjutkan dengan hati-hati, "apakah energi yang tersimpan dalam tubuh Du Fei sama dengan energi yang dimaksud dalam legenda, atau hanya efek dari kebakaran yang menimpanya." Ia berhenti sejenak, matanya memancarkan kilatan harapan. "Namun, jika benar sama, maka kelak Du Fei mungkin akan tumbuh menjadi pendekar yang luar biasa hebat." "Itu tidak boleh terjadi!" Sergah Qing Ning tiba-tiba, suaranya bergetar penuh emosi. Matanya yang berkaca-kaca memancarkan ketakutan yang mendalam. Shen Yi terkejut oleh reaksi yang tak terduga ini. Kedua alis putihnya yang tebal tertaut, menciptakan kerutan dalam di dahi. "Mengapa, Nyonya Qing?" tanyanya tak mengerti, "bukankah seharusnya Anda bangga memiliki putra yang berpotensi menjadi pendekar hebat?" Qing Ning menggeleng kuat-kuat, rambutnya yang terurai berayun mengikuti gerakannya. "Pokoknya aku tak ingin anakku jadi pendekar," tegas wanita cantik itu. Tanpa diduga, ia berlutut di hadapan Shen Yi, tangannya menggenggam ujung jubah sang tabib. "Kumohon, tolong keluarkan energi api itu dari tubuh Du Fei!" Tabib Sakti menghela napas panjang, tangannya yang keriput mengelus jenggotnya yang panjang. "Aihh," gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, "semua orang berlomba-lomba ingin menjadi pendekar terhebat, tetapi Anda justru sebaliknya!" Qing Ning menundukkan kepalanya, bahunya bergetar menahan tangis. "Karena aku tak ingin ia menjadi seperti ayahnya," gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun sarat akan kesedihan yang mendalam. Sesaat hening, tak lama kemudian Qing Ning mengangkat wajahnya. "Aku hanya ingin putraku hidup dengan normal.” Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Menjadi pendekar hanya akan membangkitkan darah iblis yang mengalir dari ayahnya." Shen Yi menghela napas panjang, tangannya yang keriput kembali mengelus jenggotnya yang panjang. "Tetapi siapa yang kuasa menentang takdir, Nyonya?" ujarnya dengan nada bijak. "Sia-sia saja menghindar, kita tak bisa menghalangi kuasa langit." Tiba-tiba suasana tegang itu dipecahkan oleh suara lemah yang memanggil, "Ibu." Qing Ning segera menghambur ke sisi putranya, menggenggam tangan kecil Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Du Fei," bisiknya lembut, "bagaimana perasaanmu, Nak?" Du Fei mengerjapkan matanya, berusaha memfokuskan pandangannya. Dengan suara yang masih lemah namun polos, ia menjawab, "Aku lapar, Bu." Qing Ning mengusap lembut rambut putranya, "Aku akan menyiapkan makan untukmu, Sayang." Shen Yi tersenyum lega, "Baiklah, setelah Du Fei selesai makan, baru kita buka perban yang membalutnya. Kita perlu memeriksa kondisi lukanya secara menyeluruh." Qing Ning mengangguk setuju, lalu bergegas keluar ruangan untuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Xun Huan mendekati Du Fei, tersenyum hangat pada bocah itu. "Kau anak yang tangguh., Du Fei. Sekarang, fokuslah untuk memulihkan dirimu." Du Fei mengangguk lemah, namun tiba-tiba matanya terbuka lebih lebar seperti mengingat sesuatu. “Paman Penolong … di mana dia?”Tabib Sakti Shen Yi dan Xun Huan hanya menggeleng tak mengerti siapa yang bocah itu maksudkan.
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di penjara bawah tanah yang berbau apek dan lembab, seorang pria tua mengenakan baju putih tahanan dengan leher terikat rantai besi, duduk bersila di atas jerami. Ia tak bergeming seperti patung, kepala tertunduk menekuri lantai.Kepalanya baru terangkat saat mendengar pintu besi penjara berderit terbuka. Seorang wanta muda berwajah cantik dengan perut yang membuncit memasuki ruangan sambil membawa dua susun keranjang bambu.“Ayah, Qi Yue datang!” sapa wanita cantik itu sambil tersenyum.Pria tua yang tak lain adalah Qi Xiang melengos, membuang wajah ke arah lain.“Ayah kira kau sudah melupakan kami orang tuamu karena sudah jadi istri raja,” kata Qi Xiang sinis.Dalam keremangan penjara, Qi Yue berlutut di hadapan ayahnya, Qi
Pesta perayaan sembilan bulan kehamilan Ratu Sayana dan Putri Qi Yue dilangsungkan secara meriah. Para menteri dan jenderal menghadiri perjamuan tersebut.Aula utama istana Kerajaan Qi dipenuhi kemewahan dan kemeriahan. Aroma dupa harum dan masakan lezat memenuhi udara, bercampur dengan dengung percakapan para tamu undangan.Raja Yu Ping duduk di singgasana utama, mengenakan jubah kebesaran raja dengan hiasan naga emas di bagian dada. Di kepalanya, terpasang mahkota raja berhiaskan giok dan emas, yang merupakan simbol kekuasaan. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum bahagia, matanya bergantian menatap kedua istrinya yang duduk di sisi kanan dan kirinya.Di sisi kanan, Ratu Sayana duduk dengan anggun dalam balutan jubah kerajaan. Perutnya yang membuncit dibalut kain emas, menonjolkan kehamilannya yang sudah memasuki bu
Di dalam Padang Ilusi Seribu Wajah, udara terasa mencekik. Cermin-cermin raksasa berputar mengelilingi Du Fei, memantulkan bayangan-bayangan mengerikan - sosok-sosok gelap dengan tangan cakar, wajah-wajah rusak yang menjerit, dan pemandangan mimpi buruk yang mampu menghancurkan kewarasan."Bagaimana rasanya, Pembunuh Hu Mei?" suara tawa melengking Xie She Tai Tai menggema dari segala arah. "Setiap cermin menampilkan ketakutan terdalam manusia. Semakin kau melawan, semakin dalam kau tenggelam dalam kegilaan!"Du Fei berputar menghindari serangan bayangan-bayangan mengerikan dari cermin. Pedangnya bergulung-gulung membentuk kilatan cahaya setiap kali bergerak."Kau tak akan bisa keluar dari sini!" suara Xie She Tai Tai menggema. "Nikmati kematianmu sementara aku mengurus dua temanmu!""Jangan sentuh mereka atau kau akan menyesal!" Du Fei berusaha mengejar, namun sosok siluman itu lenyap bagai asap. Cermin-cermin di sekelilingnya mulai berputar lebih cepat, membuat kepalanya berdenyut-de
Yun Hao melangkah keluar dari gua pohon, matanya menyipit saat menyesuaikan dengan cahaya pagi. Ia melihat Du Fei berdiri beberapa langkah dari sana, mengawasi sekeliling dengan waspada."Du Fei?" Yun Hao mendekat. "Sedang apa kau di sini?""Ada yang tidak beres," Du Fei berbisik tanpa menoleh, matanya awas mengamati sekitar. "Kau merasakannya? Udara di sini terlalu dingin untuk pagi hari.""Apa maksudmu?""Siluman lain," Du Fei menggenggam erat gagang pedang. "Jauh lebih kuat dari Hu Mei. Baunya tercium meski dari kejauhan."Angin dingin berhembus, membuat dedaunan berdesir tidak wajar. Yun Hao merasakan bulu kuduknya meremang."Kita harus segera pergi dari sini," Du Fei berbalik menghadap Yun Hao. "Tidak mungkin kita meninggalkan Paman Chang," Yun Hao menggeleng tegas. "Dia masih terlalu lemah untuk berjalan jauh apalagi mendaki gunung.""Tapi bahaya akan semakin dekat, sementara aku harus mencari Pedang Naga Api.""Kalau begitu pergilah duluan!” Yun Hao menatap Du Fei. "Lanjutkan
Menjelang tengah malam, angin dingin pegunungan berhembus masuk ke dalam gua. Du Fei menambahkan beberapa potong kayu ke dalam api unggun agar mereka tetap hangat. Yun Hao masih setia duduk bersila di samping Chang Kong. Tangannya yang lelah terus mengompres dahi sang pendekar dengan kain basah. Sesekali ia mengecek denyut nadi di pergelangan tangan Chang Kong, memastikan detak jantungnya tetap stabil."Du Fei," suaranya parau saat menoleh ke arah rekannya, "kau belum menjawab pertanyaanku ... apakah Paman Chang bisa selamat?"Du Fei memindahkan pandangannya dari api unggun, menatap wajah Yun Hao yang diliputi kecemasan. "Saat ini adalah masa kritis temanmu. Jika tubuhnya cukup kuat melawan sisa racun Hu Mei, dia akan pulih sepenuhnya saat fajar.""Aku tak mengerti," Yun Hao menggeleng sedih, "dia rela bertaruh nyawa demi menyelamatkanku. Padahal kami baru bertemu di kaki gunung ini, tetapi pengorbanannya seperti kami memiliki suatu ikatan yang tak terlihat."Kata-katanya terputus. D
"Siapa kau, Bocah?" Hu Mei menggeram, “Apakah kau sudah bosan hidup, hah?!”“Aku si Topeng Hantu, Pemburu Siluman yang akan segera menghabisimu, Siluman Rubah Hitam keji!” Du Fei menodongkan pedang dengan mata berapi-api.“Kau yang akan menyesal telah berurusan denganku, Bocah sombong!” Hu Mei menggerakkan tangannya, membuat simbol-simbol mantra hitam, kembali membentuk pusaran energi hitam raksasa yang menarik segala sesuatu ke dalamnya. Pohon-pohon tercabut, bebatuan remuk menjadi debu.Du Fei menancapkan pedangnya ke tanah, menciptakan pilar cahaya keemasan yang melindungi mereka dari hisapan energi hitam. Keringat mengalir di pelipisnya, merasakan kekuatan Hu Mei yang di luar dugaan."Kau memang kuat," Hu Mei menyeringai. "Tapi berapa lama bisa bertahan? Sementara racunku perlahan membunuh temanmu?""Tidak perlu lama," Du Fei mencabut pedangnya. Cahaya emas semakin terang memancar. "Karena kau akan mati saat ini juga!"Dua kekuatan besar beradu di udara. Energi hitam Hu Mei berte
"Anak tidak tahu diri! Padahal aku sudah berbaik hati memberimu mimpi indah sebelum mati!" desis Hu Mei murka.Siluman itu berputar di udara. Keenam ekornya yang tersisa membentuk lingkaran, menciptakan pusaran energi hitam yang menarik segala sesuatu ke dalamnya seperti lubang hitam raksasa."Yun Hao, berpegangan!" Chang Kong menancapkan pedangnya ke tanah. Yun Hao mengikuti, namun kekuatan hisapan itu terlalu kuat. Beberapa pepohonan di sekitar mereka mulai tercabut dari akarnya dan terseret beberapa meter.Sosok Siluman Rubah Hitam raksasa itu melayang di atas rerumputan, ekor-ekornya yang tersisa bergerak mengancam. Darah hitam masih mengucur dari ekor yang terputus, menciptakan kabut beracun yang membuat pepohonan di sekitarnya mengering.Ketika pusaran energi semakin kuat, Yun Hao tak mampu bertahan. Pegangan tangan pada gagang pedang terlepas dan ia terseret arus. Chang Kong dengan cepat menangkap tangan Yun Hao, berusaha menyelamatkannya dari pusaran energi Siluman Rubah Hita
Yun Hao terbangun mendadak, entah berapa lama ia tertidur. Matanya mengerjap membiasakan diri dengan cahaya api unggun tak jauh darinya."Yun Hao, putraku! Di mana kau, Nak?" Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil namanya. Jantung Yun Hao seakan berhenti berdetak. Suara itu, suara yang selalu ia rindukan bahkan saat masih sangat kecil. Yun Hao menoleh ke arah Chang Kong yang bersandar pada dinding pohon. Dengkuran halus terdengar dari pendekar itu, kepalanya terkulai ke samping.Karena tak ingin membangunkan Paman Penolong, Yun Hao berjingkat mendekati mulut gua dan mengintip keluar. Kabut mulai menipis, menampakkan bayangan pepohonan yang rapat. Di kejauhan, ia melihat sosok wanita bergaun sutra merah dengan hiasan rambut giok hijau - busana khas yang selalu dikenakan ibunya di istana."Ibu?" Yun Hao mengucek matanya, tak percaya pada penglihatannya sendiri. Sosok itu melambaikan tangan ke arahnya dengan gerakan anggun, "Ibu merindukanmu, Yun Hao ... kemarilah, Nak!"Tenggo
"Terima kasih telah menyelamatkan nyawa saya," Yun Hao membungkuk dalam. "Saya Yun Hao, prajurit dari kota Xianfeng.""Chang Kong," pria itu mengangguk. "Orang-orang mengenalku sebagai Pendekar Pedang Halilintar.""Apakah Pendekar Chang juga mencari Pedang Naga Api?" tanya Yun Hao penasaran.Seulas senyum misterius tersungging di bibir Chang Kong. Matanya menatap Yun Hao dengan pandangan yang sulit diartikan. ‘Betapa miripnya pemuda ini dengan ibunya, Putri Qi Yue’ batin Chang Kong. Kalau saja tidak diingatkan oleh sang putri untuk menjaga rahasia, ia pasti sudah memberitahukan dirinya diutus untuk melindungi Yun Hao selama berada di luar istana."Kita harus segera menemukan rombonganmu," Chang Kong mengalihkan pembicaraan. "Hutan ini menyimpan bahaya yang lebih mengerikan dari yang kau kira. Sebaiknya tetap bersama kelompokmu!"Dalam hati ia bersyukur telah mengikuti jejak Yun Hao sejak awal perjalanan. Meski harus tetap menyembunyikan identitas aslinya sesuai pesan Putri Qi Yue, se
"Pulang saja kalian!” lanjut sang biksu. "Atau tunggu di sini bersamaku, saksikan sendiri berapa banyak lagi mayat yang akan mengotori kesucian gunung ini."Jenderal Lo menaikkan alisnya, terlihat ia sangat kesal dengan sikap biksu tua yang acuh tak acuh bahkan berkesan tak sopan. Mengajak bicara orang tanpa membuka mata, dan dalam posisi miring seperti sikap Budha tidur.“Sudahlah, Yun Hao … mari kita pergi mencari jalan sendiri!” Jenderal Lo menoleh sekilas ke arah Yun Hao sebelum berbalik kembali pada pasukannya yang menunggu dengan tegang."Terima kasih atas peringatannya, Tuan Biksu," Yun Hao membungkuk hormat pada Biksu tua.Ia mengeluarkan bungkusan dari kantong kainnya, “Mohon terima bakpao ini sebagai tanda terima kasihku."Kakek itu tersenyum tipis, matanya masih terpejam. "Hmm ... aroma bakpao yang wangi. Sudah lama tidak mencium wangi selezat ini."Yun Hao meletakkan bakpao yang dibungkus kertas di depan sang biksu, lalu berbalik menyusul Jenderal Lo yang sudah lebih dulu
Asap putih mengepul dari celah-celah bebatuan Gunung Huolong. Aroma belerang yang menyengat menyeruak di udara, bercampur dengan kabut tipis yang menyelimuti lereng-lerengnya. Pohon-pohon pinus yang menjulang tampak seperti sosok-sosok gelap di balik kabut.Rombongan berkuda Jenderal Lo muncul dari balik tikungan, Rambut mereka bergoyang tertiup angin pegunungan yang dingin.Mendadak Jenderal Lo mengangkat tangannya, memberi isyarat pada pasukannya untuk memperlambat laju."Kita sudah memasuki wilayah Huolong. Buka mata kalian lebar-lebar!” perintahnya dengan suara dalam.“Siap, Jenderal!” Sahut seluruh pasukan serempak. Sebenarnya sebagian dari mereka sudah merasakan hawa yang berbeda begitu berada di kaki gunung itu. Tak sedikit dari mereka yang merasakan bulu kuduk meremang, seperti ada hawa siluman yang kuat di sekitarnya.Mereka menyusuri jalan setapak berbatu ketika salah seorang prajurit menunjuk ke arah pohon oak tua di tepi jalan. Di bawahnya, sesosok pria berpakaian biksu te