Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.
Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan. Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari. Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning yang nyaris putus asa. Mereka semua menanti dengan cemas, berharap keajaiban akan terjadi. Ketika fajar menyingsing di hari kelima belas, sesuatu yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi. Jemari kecil Du Fei yang terbungkus perban bergerak perlahan, diikuti dengan erangan pelan yang nyaris tak terdengar. Qing Ning yang tertidur di samping dipan terbangun seketika, matanya melebar penuh harap. "Du Fei?" bisiknya lembut, suaranya bergetar menahan tangis haru. "Ibu di sini, Nak. Kau aman sekarang." Perlahan, kelopak mata Du Fei yang tak tertutup perban mulai bergerak-gerak. Akhirnya, sepasang mata itu terbuka menatap Qing Ning. Diserang kepanikan, ibunya bergegas keluar dari bilik, kakinya nyaris tak menapak tanah saat berlari. Di ruang tengah pondok, Xun Huan dan Tabib Sakti, Shen Yi, sedang menikmati secangkir teh hangat sambil berbincang dengan suara rendah. "Paman Tabib, Du Fei sudah siuman!" serunya, suaranya terdengar gemetar karena khawatir sekaligus bahagia. Tanpa membuang waktu, Shen Yi dari duduk, diikuti oleh Xun Huan. Mereka bergegas mengikuti Qing Ning menuju bilik tempat Du Fei berbaring. Tabib Sakti segera menghampiri Du Fei. Dengan gerakan yang tenang, ia memeriksa nadi bocah itu. Jemarinya yang berpengalaman merasakan denyut kehidupan yang mengalir. Namun, keningnya berkerut dalam, menandakan ada sesuatu yang tidak biasa. Qing Ning yang memperhatikan ekspresi sang Tabib merasa cemas. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Bagaimana dengan putraku?" Shen Yi menggeleng cepat, berusaha menenangkan. "Tidak apa-apa," ujarnya, meski nada suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan. Dengan hati-hati, ia mulai membuka perban di tangan Du Fei untuk memeriksa luka bakarnya. "Nadi normal, luka bakar juga sudah pulih dengan baik," Ia menggumam, akan tetapi ada keraguan dalam suaranya. "Hanya saja ada …." "Katakan, Paman!" desak Qing Ning, rasa panik kembali menguasai dirinya. "Hanya saja apa?" Ia mencengkeram lengan Shen Yi, matanya memohon penjelasan. Pria berusia sekitar 75 tahunan itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku memeriksa nadinya, semua tampak normal. Namun, ada sesuatu yang aneh. Seperti ada hawa panas yang tersimpan di dalam tubuhnya." Ia berhenti sejenak, menatap Qing Ning dengan serius, "Hal ini tak pernah terjadi pada korban luka bakar sebelumnya. Pil Penyambung Nyawa memang mampu melindungi Du Fei dari hawa panas yang merusak, tetapi tak bisa mengeluarkan hawa panas itu dari tubuhnya." Ruangan itu hening sejenak, hanya terdengar deru napas Du Fei yang lemah. Xun Huan, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya angkat bicara, "Apa artinya ini, Tuan Shen? Apakah berbahaya bagi Du Fei?" "Aku rasa tidak," ujar Shen Yi lirih seolah tak yakin. "Tetapi kondisi ini mengingatkanku pada sebuah cerita kuno." "Cerita kuno?" Xun Huan dan Qing Ning bertukar pandang, mata mereka dipenuhi keheranan dan rasa ingin tahu. "Benar," Shen Yi mengangguk dalam, "Konon terjadi sebuah pertempuran dahsyat di dasar laut. Pertempuran itu melibatkan Dewa Naga Ying Long dan Panglima Laskar Langit, Fu Zhen." Ia melanjutkan, "Dewa Naga Ying Long, dibantu oleh Dewa Naga terkuat, Qiulong yang mengambil wujud manusia untuk bertarung melawan Fu Zhen dan rekannya, Fu Ming karena kedua panglima laskar langit itu berusaha membunuh Dewa Air demi merebut cinta Dewi Lotus." "Dalam pertempuran itu, Qiulong bersenjatakan Pedang Naga Api, sebuah hadiah istimewa dari Dewa Langit atas jasa-jasanya yang tak terhitung." Shen Yi berhenti untuk mengambil napas sejenak, matanya berkilat penuh kekaguman. "Namun, tak disangka Pedang Naga Api memiliki kekuatan yang luar biasa saat digunakan dalam pertempuran di dasar laut. Energi api yang dikeluarkan menimbulkan gelombang tsunami dahsyat di pantai, menghancurkan beberapa desa dan memakan korban jiwa manusia yang tidak sedikit." Qing Ning menutup mulutnya dengan tangan, terkejut mendengar kisah tersebut. Xun Huan mengerutkan kening, mencoba mencerna setiap detail cerita. "Setelah pertempuran usai," lanjut sang Tabib Sakti, "Dewa Yinglong, dengan berat hati, melarang Qiulong membawa serta Pedang Naga Api kembali ke langit. Pedang itu telah menumpahkan darah manusia tak berdosa, sebuah pelanggaran berat dalam hukum para dewa." "Meski berat hati melepaskan pedang kesayangannya, Qiulong terpaksa mematuhi perintah. Namun, sebelum membuangnya ke dasar palung laut terdalam, ia mengucapkan sebuah sumpah." Shen Yi berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah Du Fei yang masih terbaring. "Qiulong mengatakan bahwa kelak, hanya manusia dengan energi api sejati yang mampu menguasai Pedang Naga Api." "Aku tidak bisa memastikan," sangTabib Sakti melanjutkan dengan hati-hati, "apakah energi yang tersimpan dalam tubuh Du Fei sama dengan energi yang dimaksud dalam legenda, atau hanya efek dari kebakaran yang menimpanya." Ia berhenti sejenak, matanya memancarkan kilatan harapan. "Namun, jika benar sama, maka kelak Du Fei mungkin akan tumbuh menjadi pendekar yang luar biasa hebat." "Itu tidak boleh terjadi!" Sergah Qing Ning tiba-tiba, suaranya bergetar penuh emosi. Matanya yang berkaca-kaca memancarkan ketakutan yang mendalam. Shen Yi terkejut oleh reaksi yang tak terduga ini. Kedua alis putihnya yang tebal tertaut, menciptakan kerutan dalam di dahi. "Mengapa, Nyonya Qing?" tanyanya tak mengerti, "bukankah seharusnya Anda bangga memiliki putra yang berpotensi menjadi pendekar hebat?" Qing Ning menggeleng kuat-kuat, rambutnya yang terurai berayun mengikuti gerakannya. "Pokoknya aku tak ingin anakku jadi pendekar," tegas wanita cantik itu. Tanpa diduga, ia berlutut di hadapan Shen Yi, tangannya menggenggam ujung jubah sang tabib. "Kumohon, tolong keluarkan energi api itu dari tubuh Du Fei!" Tabib Sakti menghela napas panjang, tangannya yang keriput mengelus jenggotnya yang panjang. "Aihh," gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, "semua orang berlomba-lomba ingin menjadi pendekar terhebat, tetapi Anda justru sebaliknya!" Qing Ning menundukkan kepalanya, bahunya bergetar menahan tangis. "Karena aku tak ingin ia menjadi seperti ayahnya," gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun sarat akan kesedihan yang mendalam. Sesaat hening, tak lama kemudian Qing Ning mengangkat wajahnya. "Aku hanya ingin putraku hidup dengan normal.” Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Menjadi pendekar hanya akan membangkitkan darah iblis yang mengalir dari ayahnya." Shen Yi menghela napas panjang, tangannya yang keriput kembali mengelus jenggotnya yang panjang. "Tetapi siapa yang kuasa menentang takdir, Nyonya?" ujarnya dengan nada bijak. "Sia-sia saja menghindar, kita tak bisa menghalangi kuasa langit." Tiba-tiba suasana tegang itu dipecahkan oleh suara lemah yang memanggil, "Ibu." Qing Ning segera menghambur ke sisi putranya, menggenggam tangan kecil Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Du Fei," bisiknya lembut, "bagaimana perasaanmu, Nak?" Du Fei mengerjapkan matanya, berusaha memfokuskan pandangannya. Dengan suara yang masih lemah namun polos, ia menjawab, "Aku lapar, Bu." Qing Ning mengusap lembut rambut putranya, "Aku akan menyiapkan makan untukmu, Sayang." Shen Yi tersenyum lega, "Baiklah, setelah Du Fei selesai makan, baru kita buka perban yang membalutnya. Kita perlu memeriksa kondisi lukanya secara menyeluruh." Qing Ning mengangguk setuju, lalu bergegas keluar ruangan untuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Xun Huan mendekati Du Fei, tersenyum hangat pada bocah itu. "Kau anak yang tangguh., Du Fei. Sekarang, fokuslah untuk memulihkan dirimu." Du Fei mengangguk lemah, namun tiba-tiba matanya terbuka lebih lebar seperti mengingat sesuatu. “Paman Penolong … di mana dia?”Tabib Sakti Shen Yi dan Xun Huan hanya menggeleng tak mengerti siapa yang bocah itu maksudkan.
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir. Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat. "Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?”Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal."Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas. Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya.."Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-b
Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah."Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan.Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang."Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan.Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar pen