Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.
Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan. Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari. Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning yang nyaris putus asa. Mereka semua menanti dengan cemas, berharap keajaiban akan terjadi. Ketika fajar menyingsing di hari kelima belas, sesuatu yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi. Jemari kecil Du Fei yang terbungkus perban bergerak perlahan, diikuti dengan erangan pelan yang nyaris tak terdengar. Qing Ning yang tertidur di samping dipan terbangun seketika, matanya melebar penuh harap. "Du Fei?" bisiknya lembut, suaranya bergetar menahan tangis haru. "Ibu di sini, Nak. Kau aman sekarang." Perlahan, kelopak mata Du Fei yang tak tertutup perban mulai bergerak-gerak. Akhirnya, sepasang mata itu terbuka menatap Qing Ning. Diserang kepanikan, ibunya bergegas keluar dari bilik, kakinya nyaris tak menapak tanah saat berlari. Di ruang tengah pondok, Xun Huan dan Tabib Sakti, Shen Yi, sedang menikmati secangkir teh hangat sambil berbincang dengan suara rendah. "Paman Tabib, Du Fei sudah siuman!" serunya, suaranya terdengar gemetar karena khawatir sekaligus bahagia. Tanpa membuang waktu, Shen Yi dari duduk, diikuti oleh Xun Huan. Mereka bergegas mengikuti Qing Ning menuju bilik tempat Du Fei berbaring. Tabib Sakti segera menghampiri Du Fei. Dengan gerakan yang tenang, ia memeriksa nadi bocah itu. Jemarinya yang berpengalaman merasakan denyut kehidupan yang mengalir. Namun, keningnya berkerut dalam, menandakan ada sesuatu yang tidak biasa. Qing Ning yang memperhatikan ekspresi sang Tabib merasa cemas. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Bagaimana dengan putraku?" Shen Yi menggeleng cepat, berusaha menenangkan. "Tidak apa-apa," ujarnya, meski nada suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan. Dengan hati-hati, ia mulai membuka perban di tangan Du Fei untuk memeriksa luka bakarnya. "Nadi normal, luka bakar juga sudah pulih dengan baik," Ia menggumam, akan tetapi ada keraguan dalam suaranya. "Hanya saja ada …." "Katakan, Paman!" desak Qing Ning, rasa panik kembali menguasai dirinya. "Hanya saja apa?" Ia mencengkeram lengan Shen Yi, matanya memohon penjelasan. Pria berusia sekitar 75 tahunan itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku memeriksa nadinya, semua tampak normal. Namun, ada sesuatu yang aneh. Seperti ada hawa panas yang tersimpan di dalam tubuhnya." Ia berhenti sejenak, menatap Qing Ning dengan serius, "Hal ini tak pernah terjadi pada korban luka bakar sebelumnya. Pil Penyambung Nyawa memang mampu melindungi Du Fei dari hawa panas yang merusak, tetapi tak bisa mengeluarkan hawa panas itu dari tubuhnya." Ruangan itu hening sejenak, hanya terdengar deru napas Du Fei yang lemah. Xun Huan, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya angkat bicara, "Apa artinya ini, Tuan Shen? Apakah berbahaya bagi Du Fei?" "Aku rasa tidak," ujar Shen Yi lirih seolah tak yakin. "Tetapi kondisi ini mengingatkanku pada sebuah cerita kuno." "Cerita kuno?" Xun Huan dan Qing Ning bertukar pandang, mata mereka dipenuhi keheranan dan rasa ingin tahu. "Benar," Shen Yi mengangguk dalam, "Konon terjadi sebuah pertempuran dahsyat di dasar laut. Pertempuran itu melibatkan Dewa Naga Ying Long dan Panglima Laskar Langit, Fu Zhen." Ia melanjutkan, "Dewa Naga Ying Long, dibantu oleh Dewa Naga terkuat, Qiulong yang mengambil wujud manusia untuk bertarung melawan Fu Zhen dan rekannya, Fu Ming karena kedua panglima laskar langit itu berusaha membunuh Dewa Air demi merebut cinta Dewi Lotus." "Dalam pertempuran itu, Qiulong bersenjatakan Pedang Naga Api, sebuah hadiah istimewa dari Dewa Langit atas jasa-jasanya yang tak terhitung." Shen Yi berhenti untuk mengambil napas sejenak, matanya berkilat penuh kekaguman. "Namun, tak disangka Pedang Naga Api memiliki kekuatan yang luar biasa saat digunakan dalam pertempuran di dasar laut. Energi api yang dikeluarkan menimbulkan gelombang tsunami dahsyat di pantai, menghancurkan beberapa desa dan memakan korban jiwa manusia yang tidak sedikit." Qing Ning menutup mulutnya dengan tangan, terkejut mendengar kisah tersebut. Xun Huan mengerutkan kening, mencoba mencerna setiap detail cerita. "Setelah pertempuran usai," lanjut sang Tabib Sakti, "Dewa Yinglong, dengan berat hati, melarang Qiulong membawa serta Pedang Naga Api kembali ke langit. Pedang itu telah menumpahkan darah manusia tak berdosa, sebuah pelanggaran berat dalam hukum para dewa." "Meski berat hati melepaskan pedang kesayangannya, Qiulong terpaksa mematuhi perintah. Namun, sebelum membuangnya ke dasar palung laut terdalam, ia mengucapkan sebuah sumpah." Shen Yi berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah Du Fei yang masih terbaring. "Qiulong mengatakan bahwa kelak, hanya manusia dengan energi api sejati yang mampu menguasai Pedang Naga Api." "Aku tidak bisa memastikan," sangTabib Sakti melanjutkan dengan hati-hati, "apakah energi yang tersimpan dalam tubuh Du Fei sama dengan energi yang dimaksud dalam legenda, atau hanya efek dari kebakaran yang menimpanya." Ia berhenti sejenak, matanya memancarkan kilatan harapan. "Namun, jika benar sama, maka kelak Du Fei mungkin akan tumbuh menjadi pendekar yang luar biasa hebat." "Itu tidak boleh terjadi!" Sergah Qing Ning tiba-tiba, suaranya bergetar penuh emosi. Matanya yang berkaca-kaca memancarkan ketakutan yang mendalam. Shen Yi terkejut oleh reaksi yang tak terduga ini. Kedua alis putihnya yang tebal tertaut, menciptakan kerutan dalam di dahi. "Mengapa, Nyonya Qing?" tanyanya tak mengerti, "bukankah seharusnya Anda bangga memiliki putra yang berpotensi menjadi pendekar hebat?" Qing Ning menggeleng kuat-kuat, rambutnya yang terurai berayun mengikuti gerakannya. "Pokoknya aku tak ingin anakku jadi pendekar," tegas wanita cantik itu. Tanpa diduga, ia berlutut di hadapan Shen Yi, tangannya menggenggam ujung jubah sang tabib. "Kumohon, tolong keluarkan energi api itu dari tubuh Du Fei!" Tabib Sakti menghela napas panjang, tangannya yang keriput mengelus jenggotnya yang panjang. "Aihh," gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, "semua orang berlomba-lomba ingin menjadi pendekar terhebat, tetapi Anda justru sebaliknya!" Qing Ning menundukkan kepalanya, bahunya bergetar menahan tangis. "Karena aku tak ingin ia menjadi seperti ayahnya," gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun sarat akan kesedihan yang mendalam. Sesaat hening, tak lama kemudian Qing Ning mengangkat wajahnya. "Aku hanya ingin putraku hidup dengan normal.” Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Menjadi pendekar hanya akan membangkitkan darah iblis yang mengalir dari ayahnya." Shen Yi menghela napas panjang, tangannya yang keriput kembali mengelus jenggotnya yang panjang. "Tetapi siapa yang kuasa menentang takdir, Nyonya?" ujarnya dengan nada bijak. "Sia-sia saja menghindar, kita tak bisa menghalangi kuasa langit." Tiba-tiba suasana tegang itu dipecahkan oleh suara lemah yang memanggil, "Ibu." Qing Ning segera menghambur ke sisi putranya, menggenggam tangan kecil Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Du Fei," bisiknya lembut, "bagaimana perasaanmu, Nak?" Du Fei mengerjapkan matanya, berusaha memfokuskan pandangannya. Dengan suara yang masih lemah namun polos, ia menjawab, "Aku lapar, Bu." Qing Ning mengusap lembut rambut putranya, "Aku akan menyiapkan makan untukmu, Sayang." Shen Yi tersenyum lega, "Baiklah, setelah Du Fei selesai makan, baru kita buka perban yang membalutnya. Kita perlu memeriksa kondisi lukanya secara menyeluruh." Qing Ning mengangguk setuju, lalu bergegas keluar ruangan untuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Xun Huan mendekati Du Fei, tersenyum hangat pada bocah itu. "Kau anak yang tangguh., Du Fei. Sekarang, fokuslah untuk memulihkan dirimu." Du Fei mengangguk lemah, namun tiba-tiba matanya terbuka lebih lebar seperti mengingat sesuatu. “Paman Penolong … di mana dia?”Tabib Sakti Shen Yi dan Xun Huan hanya menggeleng tak mengerti siapa yang bocah itu maksudkan.
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di penjara bawah tanah yang berbau apek dan lembab, seorang pria tua mengenakan baju putih tahanan dengan leher terikat rantai besi, duduk bersila di atas jerami. Ia tak bergeming seperti patung, kepala tertunduk menekuri lantai.Kepalanya baru terangkat saat mendengar pintu besi penjara berderit terbuka. Seorang wanta muda berwajah cantik dengan perut yang membuncit memasuki ruangan sambil membawa dua susun keranjang bambu.“Ayah, Qi Yue datang!” sapa wanita cantik itu sambil tersenyum.Pria tua yang tak lain adalah Qi Xiang melengos, membuang wajah ke arah lain.“Ayah kira kau sudah melupakan kami orang tuamu karena sudah jadi istri raja,” kata Qi Xiang sinis.Dalam keremangan penjara, Qi Yue berlutut di hadapan ayahnya, Qi
Pesta perayaan sembilan bulan kehamilan Ratu Sayana dan Putri Qi Yue dilangsungkan secara meriah. Para menteri dan jenderal menghadiri perjamuan tersebut.Aula utama istana Kerajaan Qi dipenuhi kemewahan dan kemeriahan. Aroma dupa harum dan masakan lezat memenuhi udara, bercampur dengan dengung percakapan para tamu undangan.Raja Yu Ping duduk di singgasana utama, mengenakan jubah kebesaran raja dengan hiasan naga emas di bagian dada. Di kepalanya, terpasang mahkota raja berhiaskan giok dan emas, yang merupakan simbol kekuasaan. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum bahagia, matanya bergantian menatap kedua istrinya yang duduk di sisi kanan dan kirinya.Di sisi kanan, Ratu Sayana duduk dengan anggun dalam balutan jubah kerajaan. Perutnya yang membuncit dibalut kain emas, menonjolkan kehamilannya yang sudah memasuki bu
Di aula kediaman Hakim Yang, Nyonya Yang bersimpuh memeluk tubuh putranya yang terbujur kaku di lantai. Jubah sutra Yang Jin yang berwarna gelap terhampar di sekitar tubuhnya yang tak bergerak.Dengan langkah tergesa, Jenderal Lo mendekat, segera berlutut di samping tubuh Yang Jin. Jari tangannya segera memeriksa nadi di pergelangan tangan dan mendekatkan jari ke dekat hidung putra sulung Hakim Yang, mencari tanda-tanda kehidupan yang mungkin masih ada."Apa yang telah terjadi?" Jenderal Lo menatap Nyonya Yang sekilas, lalu memeriksa area tubuh Yang Jin untuk menemukan penyebab kematiannya.Yun Hao berdiri tak jauh di belakang Jenderal, matanya awas mengamati setiap detail, dari bekas kemerahan di leher Yang Jin hingga posisi tubuhnya yang tidak wajar."A-aku menemukannya ter-tergantung," Nyonya Yang menjawab terbata-bata di antara isak tangis. Jemarinya mencengkeram jubah putranya erat-erat. "Di kamarnya ... dengan seutas tali yang digantungkan pada balok kayu." "Yang Jin ... mengap
"Kalian berdua," Jenderal Lo menunjuk dua prajurit berbadan kekar, "tetap di sini. Jaga Nona Ming Mei sampai kita menangkap dalang di balik semua ini."Kedua prajurit itu serentak menegakkan bahu, "Siap, Jenderal!" Ming Mei menghembuskan napas lega, meski begitu wajahnya masih pucat membayangkan ia hampir saja tewas di tangan seorang pelayan suruhan keluarga YangJenderal Lo berpaling pada kerumunan penonton. Matanya menyorot tajam saat ia mengeraskan suaranya, "Dan untuk kalian semua, ingat baik-baik! Apa yang terjadi malam ini tidak diperkenankan menyebar keluar. Siapapun yang berani menyebarkan isu tak berdasar akan berhadapan langsung denganku, mengerti?!"Kami mengerti!” Jawab mereka semua serempak.Kerumunan itu dengan cepat membubarkan diri. Dalam hitungan menit, Wisma Harum yang tadinya riuh kini lengang. Hanya tersisa Jenderal Lo, Yun Hao, Ming Mei dan beberapa prajurit yang masih berdiri tegap menunggu perintah.Yun Hao mendekati Ming Mei, “Nona Ming Mei, ada kabar baik unt
Suara derap langkah terdengar bergemuruh memasuki Wisma Harum. Jenderal Lo muncul diikuti sejumlah prajurit dengan pedang dan tombak terhunus. Sang Jenderal terpaku. Alisnya nyaris bertaut melihat sosok Yun Hao, salah satu prajuritnya, berdiri di dekat tubuh yang tergeletak tak bergerak di antara serpihan meja. Darah menggenang di sekitar kepala sosok yang ia kenali sebagai Paman Yin, pelayan setia keluarga Hakim Yang."Yun Hao, apa yang terjadi?!" hardik Jenderal Lo gusar. Yun Hao yang tampak masih terpukul hanya diam membisu sambil memandangi mayat Paman Yin. Jenderal Lo menoleh ke arah A San, memberikan isyarat dengan menggerakkan dagu. "Periksa kondisinya!"A San maju dengan hati-hati. Ia berjongkok di samping tubuh Paman Yin, dua jarinya yang kasar menyentuh kulit di bawah hidung korban. Semua mata tertuju padanya, menunggu dengan perasaan tegang.Prajurit senior itu menahan nafas mengetahui Paman Yin sudah tak bernafas lagi. Tangannya kemudian bergerak memeriksa mulut korban y
Pemandangan yang menyambut Yun Hao membuat darahnya membeku. Ming Mei terpojok di sudut kamar, kedua tangannya mencengkeram tangan kekar yang mencekik lehernya. Wajahnya yang pucat mulai membiru, matanya membelalak penuh teror menatap sosok pria berpakaian hitam yang bercadar di hadapannya.Dengan gerakan secepat kilat, Yun Hao segera mencabut pedang. Bilah baja itu bersinar menyilaukan saat ia melancarkan tusukan tajam ke arah si penyerang. Pria bercadar itu terpaksa melepaskan cengkeramannya, melompat mundur menghindari tebasan maut."Uhuk ... uhuk …,” Ming Mei nyaris terjatuh lemas ke lantai, terbatuk-batuk sambil mengusap lehernya yang memerah. Yun Hao segera memeluk pinggang gadis itu dan menahannya agar tak terjatuh dengan keras ke lantai.Sosok bercadar melirik ke arah jendela, kemudian bergerak cepat mencoba melarikan diri. Namun Yun Hao lebih sigap. Ia melepaskan Ming Mei setelah gadis itu duduk di kursi. Kakinya menjejak lantai dengan kuat, tubuhnya melesat ke udara dalam
"Penawar serbuk pelemas otot?" Du Fei mengernyitkan kening. Ia mengusap dagu perlahan, "Racun itu sudah lama tidak digunakan karena bahannya berupa akar bunga kematian yang hanya ada di Gunung Wudang, sudah lama dimusnahkan oleh mendiang Ketua Bu Tong Pai, Xun Huan."Yun Hao mengangkat bahu, sinar matanya meredup, "Tetapi itulah yang terjadi pada teman dekatku. Seseorang yang ia percayai melumpuhkannya dan menjualnya ke Wisma Harum. Ia tak bisa kabur karena seluruh tenaga dalamnya sirna."Du Fei menatap rekannya dengan sorot mata penuh simpati, "Apakah kau menyukai gadis itu?" Wajah tampan Yun Hao menghangat, "Ti-tidak ... aku hanya ingin menolongnya sebagai seorang sahabat." Suaranya terdengar gugup, mengkhianati kata-katanya sendiri.Du Fei tersenyum hangat, merangkul bahu Yun Hao. "Baik, karena kau sudah mengakui menyukai gadis itu, aku akan menolongmu!""Eh, aku tidak ...," Yun Hao mencoba membantah, namun melihat senyum penuh arti Du Fei, ia hanya bisa menunduk dengan wajah jen
Di antara tumpukan daun-daun kering, sesuatu menyembul keluar, sebuah tangan pucat yang bernoda merah pekat. Jari-jarinya mencengkeram tanah dalam posisi yang tidak natural, seolah pemiliknya telah berusaha merangkak sebelum ajal menjemput."Pa-Paman!" Yang Jin tersandung kakinya sendiri saat melompat mundur. Tubuh kurusnya gemetar saat ia berlindung di balik sosok tegap Paman Yin. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.Dengan suara bergetar, Yang Jin berbisik, "Paman ... cepat periksa itu tangan siapa!"Paman Yin menelan ludah. Wajahnya yang keriput memancarkan keraguan bercampur rasa takut, namun ia mengangguk pelan. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitar kakinya, sampai akhirnya menemukan sebatang ranting kering yang cukup panjang.Dengan hati-hati, pria tua itu mendekati tumpukan daun. Tangannya yang memegang ranting bergerak perlahan, menyingkirkan dedaunan satu per satu. Suara gemerisik daun kering menambah seram suasana.Tiba-tiba Paman Yin terhuyung mundur. Matanya terbelala
Dupa mengepul di depan makam Hakim Yang. Yun Hao berdiri di barisan prajurit paling belakang. Matanya yang setajam elang diam-diam mengamati masing-masing raut wajah keluarga yang berduka.Yang Jin, sang putra sulung, berlutut di depan makam. Bahunya yang biasa tegap kini gemetar menahan isak. Tangannya meremas tanah merah di bawahnya, seolah ingin menggali kembali penyesalan yang terlambat terucap.Di sisi lain, Yang Ming, sang putra bungsu hanya berdiri seperti patung. Matanya kosong menatap nisan ayahnya, sementara tangannya tak lepas menggenggam lengan sang ibu.Tetapi yang lebih menarik perhatian Yun Hao adalah istri mendiang Hakim Yang. Wanita yang baru beberapa jam lalu Yun Hao saksikan begitu tegar di halaman belakang rumah, kini mengeluarkan jeritan pilu. Tubuhnya oleng, lalu jatuh tak sadarkan diri."Ibu!" Yang Ming menangkap tubuh ibunya tepat sebelum menyentuh tanah. Paman Yin bergegas membantu, membopong Nyonya Yang menjauh dari pemakaman menuju ke rumah mereka.Yun Hao m
Yun Hao melompat masuk melalui jendela. Ming Mei buru-buru menyeka pipinya dengan sapu tangan sutera, menyembunyikan jejak air mata."Adik Yun, mengapa kau masuk melalui jendela?" Ming Mei bangkit berdiri, berusaha terlihat anggun meski matanya masih memerah.Yun Hao berdiri canggung, wajahnya diliputi keraguan. Ming Mei menangkap perubahan raut itu, menyadari pemuda di hadapannya pasti telah mendengar semuanya."Nona Ming Mei …," Yun Hao terdiam, kata-kata yang telah ia susun sepanjang jalan seakan menguap."Kau pasti sudah mendengarkan semuanya," Ming Mei mengalihkan pandangan ke arah lilin yang bergoyang di atas meja. "Aku tak akan menyalahkanmu kalau kau memilih menjauhiku karena aku hanyalah wanita penghibur yang hina."Langkah pelan membawa Yun Hao mendekat. Tangannya menyentuh bahu Ming Mei dengan lembut. "Aku tidak berniat menghakimi," suaranya tenang dan tegas. "Aku datang justru karena ingin menolongmu."Ming Mei mengangkat wajahnya perlahan. Matanya yang berkaca-kaca menata
Merasa kondisinya terjepit, Yun Hao hampir saja keluar dari persembunyian. Di saat-saat kritis itulah terdengar suara langkah kaki lembut memasuki halaman belakang."Yang Jin, mengapa kau masih ada di sini?"Suara Nyonya Yang mengalihkan perhatian putra sulungnya. Wanita paruh baya itu berdiri anggun dalam balutan pakaian berkabung, ditemani putra bungsu. Keningnya berkerut dalam menatap sang putra sulung.Yang Jin berbalik, menjauhi pohon besar tempatnya hendak memeriksa. Kakinya melangkah berat menuju ibunya."Upacara pemakaman ayahmu akan segera dimulai," Nyonya Yang menggelengkan kepala. "Mengapa kau malah menghilang dan berada di sini bersama Paman Yin?""Maaf, Ibu …," Yang Jin menunduk, menyembunyikan tangannya yang terluka ke belakang punggung. "Aku sedang membahas tentang Ayah dengan Paman Yin."Wajah Nyonya Yang melembut. Angin senja memainkan ujung pakaian berkabungnya saat ia berkata, "Ayahmu telah tiada. Kita harus merelakan kepergiannya dan menjalani kehidupan baru."Tak