Share

5. CERITA KUNO

Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.

Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.

Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.

Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning yang nyaris putus asa. Mereka semua menanti dengan cemas, berharap keajaiban akan terjadi.

Ketika fajar menyingsing di hari kelima belas, sesuatu yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi. Jemari kecil Du Fei yang terbungkus perban bergerak perlahan, diikuti dengan erangan pelan yang nyaris tak terdengar. Qing Ning yang tertidur di samping dipan terbangun seketika, matanya melebar penuh harap.

"Du Fei?" bisiknya lembut, suaranya bergetar menahan tangis haru. "Ibu di sini, Nak. Kau aman sekarang."

Perlahan, kelopak mata Du Fei yang tak tertutup perban mulai bergerak-gerak. Akhirnya, sepasang mata itu terbuka menatap Qing Ning. Diserang kepanikan, ibunya bergegas keluar dari bilik, kakinya nyaris tak menapak tanah saat berlari.

Di ruang tengah pondok, Xun Huan dan Tabib Sakti, Shen Yi, sedang menikmati secangkir teh hangat sambil berbincang dengan suara rendah.

"Paman Tabib, Du Fei sudah siuman!" serunya, suaranya terdengar gemetar karena khawatir sekaligus bahagia.

Tanpa membuang waktu, Shen Yi dari duduk, diikuti oleh Xun Huan. Mereka bergegas mengikuti Qing Ning menuju bilik tempat Du Fei berbaring.

Tabib Sakti segera menghampiri Du Fei. Dengan gerakan yang tenang, ia memeriksa nadi bocah itu. Jemarinya yang berpengalaman merasakan denyut kehidupan yang mengalir. Namun, keningnya berkerut dalam, menandakan ada sesuatu yang tidak biasa.

Qing Ning yang memperhatikan ekspresi sang Tabib merasa cemas. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Bagaimana dengan putraku?"

Shen Yi menggeleng cepat, berusaha menenangkan. "Tidak apa-apa," ujarnya, meski nada suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan. Dengan hati-hati, ia mulai membuka perban di tangan Du Fei untuk memeriksa luka bakarnya.

"Nadi normal, luka bakar juga sudah pulih dengan baik," Ia menggumam, akan tetapi ada keraguan dalam suaranya. "Hanya saja ada …."

"Katakan, Paman!" desak Qing Ning, rasa panik kembali menguasai dirinya. "Hanya saja apa?" Ia mencengkeram lengan Shen Yi, matanya memohon penjelasan.

Pria berusia sekitar 75 tahunan itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku memeriksa nadinya, semua tampak normal. Namun, ada sesuatu yang aneh. Seperti ada hawa panas yang tersimpan di dalam tubuhnya."

Ia berhenti sejenak, menatap Qing Ning dengan serius, "Hal ini tak pernah terjadi pada korban luka bakar sebelumnya. Pil Penyambung Nyawa memang mampu melindungi Du Fei dari hawa panas yang merusak, tetapi tak bisa mengeluarkan hawa panas itu dari tubuhnya."

Ruangan itu hening sejenak, hanya terdengar deru napas Du Fei yang lemah. Xun Huan, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya angkat bicara, "Apa artinya ini, Tuan Shen? Apakah berbahaya bagi Du Fei?"

"Aku rasa tidak," ujar Shen Yi lirih seolah tak yakin. "Tetapi kondisi ini mengingatkanku pada sebuah cerita kuno."

"Cerita kuno?" Xun Huan dan Qing Ning bertukar pandang, mata mereka dipenuhi keheranan dan rasa ingin tahu.

"Benar," Shen Yi mengangguk dalam, "Konon terjadi sebuah pertempuran dahsyat di dasar laut. Pertempuran itu melibatkan Dewa Naga Ying Long dan Panglima Laskar Langit, Fu Zhen."

Ia melanjutkan, "Dewa Naga Ying Long, dibantu oleh Dewa Naga terkuat, Qiulong yang mengambil wujud manusia untuk bertarung melawan Fu Zhen dan rekannya, Fu Ming karena kedua panglima laskar langit itu berusaha membunuh Dewa Air demi merebut cinta Dewi Lotus."

"Dalam pertempuran itu, Qiulong bersenjatakan Pedang Naga Api, sebuah hadiah istimewa dari Dewa Langit atas jasa-jasanya yang tak terhitung." Shen Yi berhenti untuk mengambil napas sejenak, matanya berkilat penuh kekaguman.

"Namun, tak disangka Pedang Naga Api memiliki kekuatan yang luar biasa saat digunakan dalam pertempuran di dasar laut. Energi api yang dikeluarkan menimbulkan gelombang tsunami dahsyat di pantai, menghancurkan beberapa desa dan memakan korban jiwa manusia yang tidak sedikit."

Qing Ning menutup mulutnya dengan tangan, terkejut mendengar kisah tersebut. Xun Huan mengerutkan kening, mencoba mencerna setiap detail cerita.

"Setelah pertempuran usai," lanjut sang Tabib Sakti, "Dewa Yinglong, dengan berat hati, melarang Qiulong membawa serta Pedang Naga Api kembali ke langit. Pedang itu telah menumpahkan darah manusia tak berdosa, sebuah pelanggaran berat dalam hukum para dewa."

"Meski berat hati melepaskan pedang kesayangannya, Qiulong terpaksa mematuhi perintah. Namun, sebelum membuangnya ke dasar palung laut terdalam, ia mengucapkan sebuah sumpah." Shen Yi berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah Du Fei yang masih terbaring. "Qiulong mengatakan bahwa kelak, hanya manusia dengan energi api sejati yang mampu menguasai Pedang Naga Api."

"Aku tidak bisa memastikan," sangTabib Sakti melanjutkan dengan hati-hati, "apakah energi yang tersimpan dalam tubuh Du Fei sama dengan energi yang dimaksud dalam legenda, atau hanya efek dari kebakaran yang menimpanya." Ia berhenti sejenak, matanya memancarkan kilatan harapan. "Namun, jika benar sama, maka kelak Du Fei mungkin akan tumbuh menjadi pendekar yang luar biasa hebat."

"Itu tidak boleh terjadi!" Sergah Qing Ning tiba-tiba, suaranya bergetar penuh emosi. Matanya yang berkaca-kaca memancarkan ketakutan yang mendalam.

Shen Yi terkejut oleh reaksi yang tak terduga ini. Kedua alis putihnya yang tebal tertaut, menciptakan kerutan dalam di dahi. "Mengapa, Nyonya Qing?" tanyanya tak mengerti, "bukankah seharusnya Anda bangga memiliki putra yang berpotensi menjadi pendekar hebat?"

Qing Ning menggeleng kuat-kuat, rambutnya yang terurai berayun mengikuti gerakannya. "Pokoknya aku tak ingin anakku jadi pendekar," tegas wanita cantik itu. Tanpa diduga, ia berlutut di hadapan Shen Yi, tangannya menggenggam ujung jubah sang tabib. "Kumohon, tolong keluarkan energi api itu dari tubuh Du Fei!"

Tabib Sakti menghela napas panjang, tangannya yang keriput mengelus jenggotnya yang panjang. "Aihh," gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, "semua orang berlomba-lomba ingin menjadi pendekar terhebat, tetapi Anda justru sebaliknya!"

Qing Ning menundukkan kepalanya, bahunya bergetar menahan tangis. "Karena aku tak ingin ia menjadi seperti ayahnya," gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun sarat akan kesedihan yang mendalam.

Sesaat hening, tak lama kemudian Qing Ning mengangkat wajahnya. "Aku hanya ingin putraku hidup dengan normal.”

Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Menjadi pendekar hanya akan membangkitkan darah iblis yang mengalir dari ayahnya."

Shen Yi menghela napas panjang, tangannya yang keriput kembali mengelus jenggotnya yang panjang. "Tetapi siapa yang kuasa menentang takdir, Nyonya?" ujarnya dengan nada bijak. "Sia-sia saja menghindar, kita tak bisa menghalangi kuasa langit."

Tiba-tiba suasana tegang itu dipecahkan oleh suara lemah yang memanggil, "Ibu."

Qing Ning segera menghambur ke sisi putranya, menggenggam tangan kecil Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Du Fei," bisiknya lembut, "bagaimana perasaanmu, Nak?"

Du Fei mengerjapkan matanya, berusaha memfokuskan pandangannya. Dengan suara yang masih lemah namun polos, ia menjawab, "Aku lapar, Bu."

Qing Ning mengusap lembut rambut putranya, "Aku akan menyiapkan makan untukmu, Sayang."

Shen Yi tersenyum lega, "Baiklah, setelah Du Fei selesai makan, baru kita buka perban yang membalutnya. Kita perlu memeriksa kondisi lukanya secara menyeluruh."

Qing Ning mengangguk setuju, lalu bergegas keluar ruangan untuk menyiapkan makanan. Sementara itu, Xun Huan mendekati Du Fei, tersenyum hangat pada bocah itu. "Kau anak yang tangguh., Du Fei. Sekarang, fokuslah untuk memulihkan dirimu."

Du Fei mengangguk lemah, namun tiba-tiba matanya terbuka lebih lebar seperti mengingat sesuatu. “Paman Penolong … di mana dia?”

Tabib Sakti Shen Yi dan Xun Huan hanya menggeleng tak mengerti siapa yang bocah itu maksudkan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status