Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.
Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa.. Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya. "Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!" Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur. "Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi wajahnya yang berkerut. Matanya berkilat berbahaya, "Sekarang menyingkirlah sebelum kami mematahkan kaki-kakimu!" Nyali Bian Fu menciut. Ia mungkin bisa menghadapi Qing Ning yang sudah melemah, tapi melawan dua pendekar senior sekaligus? Itu adalah misi bunuh diri. Tanpa berpikir panjang, Bian Fu mengerahkan sinkang yang ia miliki, melesat kabur dan menghilang di kegelapan malam. Pejabat Yuan melotot gusar melihat Bian Fu melarikan diri meninggalkan dirinya. "Dasar Pengecut!" maki pria setengah baya itu geram, "Kembali kau! Aku membayarmu mahal bukan untuk menyaksikanmu melarikan diri seperti pencuri!" Setelah menyadari makiannya sia-sia saja karena Bian Fu tak mungkin mendengar, ia pun berhenti dan membalikkan badan. Namun pejabat arogan itu terkejut bukan main ketika Ru Chen tiba-tiba sudah berdiri sangat dekat dengannya. Dengan tangan yang gemetar, ia menuding ke arah Ru Chen, berusaha terlihat garang meski ketakutannya jelas terlihat. "Apakah kalian tidak tahu siapa aku?" "Memangnya siapa Anda?" tanya Ru Chen dengan tatapan mengejek. "Aku adalah Pejabat Kota Xiuxiang," Pejabat Yuan menegakkan punggung dan mengangkat dagunya dengan sombong, "kalian telah menghalangi aparat negara, aku akan melaporkan kalian pada Raja biar kalian dihukum mati!" Ru Chen terkekeh, "Kebetulan Raja Yu Ping adalah saudara angkat kami. Kita lihat nanti, dia akan mendengarkan siapa dan memancung kepala kau atau aku!" Mendengar kata 'saudara angkat' tentu saja berhasil membuat sang pejabat korup itu ketakutan. Pria itu beringsut mundur beberapa langkah ke belakang diikuti empat anak buahnya. "Kalian beruntung aku berbaik hati tidak memperpanjang masalah!" pelotot Pejabat Yuan masih berlagak mengancam. Sedetik kemudian ia sudah mengikuti jejak Bian Fu, meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Anak buahnya yang kebingungan pun segera menyusul sang Pejabat. Qing Ning, yang masih terbaring lemah, merasakan secercah harapan. "Paman Xun ... tolong ... Du Fei …," suara Qing Ning nyaris tak terdengar. Xun Huan menatap nanar ke arah pondok yang kini tak lebih dari puing-puing yang dilalap api. Ia menelan ludah, tak tahu bagaimana harus menyampaikan kenyataan pahit pada wanita malang di hadapannya bahwa tak mungkin lagi menyelamatkan putranya dalam kondisi seperti ini. "Maaf," ucap Xun Huan dengan suara parau dan penuh penyesalan. Ia menundukkan kepala, tak sanggup menatap langsung mata Qing Ning. "Sepertinya kami datang terlambat." Terlambat? Kata itu menghantam kesadaran Qing Ning dengan telak. Matanya yang sembab menatap api yang menyala-nyala di depannya, hatinya seakan ditusuk ribuan jarum. "Du Fei!" Qing Ning menjerit histeris. Ia memukul-mukul tanah dengan tinjunya yang lemah. "Maafkan Ibu, Nak. Semua ini karena aku tak bisa melindungimu. Lebih baik kita mati bersama-sama!" Dengan sisa-sisa tenaganya, Qing Ning berusaha bangkit. Matanya yang merah dan bengkak menatap nyalang ke arah api. Tanpa pikir panjang, ia hendak menerjang ke arah kobaran api yang ganas. Beruntung Ru Chen dan Xun Huan segera menangkap lengan Qing Ning dari dua sisi. Cengkeraman mereka kuat, menahan wanita itu agar tidak melakukan tindakan nekad. "Bersabarlah, Qing Ning!" Xun Huan berusaha menghibur dengan suara lembut tapi tetap tegas. "Semua sudah ditakdirkan. Kita harus tabah menghadapinya." "Dia anakku satu-satunya, aku tak sanggup hidup tanpa Du Fei!" ratap Qing Ning dengan suara bergetar. Wanita malang itu jatuh berlutut di atas tanah, tubuhnya berguncang hebat oleh isak tangis yang tak terbendung. Xun Huan dan Ru Chen melepaskan pegangan mereka dari lengan Qing Ning dengan hati-hati, setelah yakin bahwa ia tidak akan melakukan tindakan nekad. Mereka mundur perlahan, memberi ruang bagi seorang ibu yang tengah dirundung duka mendalam. Entah berapa lama Qing Ning menangisi putranya, hingga napasnya terasa sesak. Kegelapan malam perlahan-lahan mulai terkikis, seiring dengan munculnya semburat jingga keemasan di ufuk timur, pertanda fajar mulai menyingsing. Ketika cucu almarhum Ketua Hoa San itu mengangkat kepala yang terasa berat, mata sembabnya menangkap seekor kupu-kupu biru langit terbang berputar-putar di atasnya. Keindahan serangga itu begitu memikat, jenis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Du ... Du Fei?" bisik Qing Ning, suaranya serak dan penuh harap. Tangan gemetar berusaha menggapai kupu-kupu biru itu, namun dengan lincah serangga tersebut menghindar dan terbang menjauh. Didorong oleh rasa penasaran, Qing Ning bangkit dengan tertatih-tatih. Ia mengikuti kupu-kupu yang seolah menuntunnya ke suatu tempat. Dalam hati, ia berharap bahwa kupu-kupu biru ini adalah manifestasi roh putranya yang tercinta. Serangga cantik itu terbang beberapa meter di depannya, kemudian berhenti di bawah sebatang pohon plum yang rindang. Di sana, ia berputar-putar, seakan-akan memberikan isyarat. Ketika Qing Ning semakin dekat, matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir. Di bawah pohon plum itu, terbaring sesosok tubuh kecil tak bergerak. Ia mempercepat langkah, jantungnya berdebar penuh harap sekaligus cemas. Qing Ning terkesiap, napasnya tertahan saat menyadari kondisi sosok di hadapannya. Tubuh kecil itu dipenuhi luka bakar, terutama di bagian wajah dan dada, membuatnya nyaris tak bisa dikenali. Namun, saat pandangannya jatuh pada sebuah liontin giok setengah bagian yang tergantung di leher tubuh malang itu, dunianya seketika runtuh. "Du Fei!" jerit Qing Ning pilu. Ia menghambur ke arah putranya, air mata kembali berderai. Dengan putus asa, ia merengkuh tubuh Du Fei ke dalam pelukannya. Xun Huan dan Ru Chen, yang mendengar jeritan memilukan Qing Ning, bergegas menghampiri. Mereka terkesiap melihat kondisi mengenaskan bocah yang terbaring di pelukan ibunya. Tiba-tiba terdengar suara rintihan lemah yang membuat mereka bertiga tersentak kaget. "Sa-kit ... I-bu!" Suara itu begitu pelan, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk menghidupkan kembali secercah harapan yang hampir padam. "Du Fei?" Qing Ning memanggil nama putranya dengan suara lirih, matanya yang sembab melebar penuh harap. Jemarinya yang gemetar membelai rambut Du Fei yang awut-awutan. Bocah itu hanya bisa menjawab dengan rintihan pelan, menahan rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya. Qing Ning mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Xun Huan dan Ru Chen dengan pandangan memohon. "Paman, Du Fei masih hidup!” Xun Huan dan Ru Chen bergegas mendekat dan berlutut di samping Qing Ning, mengamati dengan seksama bocah yang terbaring lemah di pangkuan ibunya. Sungguh mengherankan dan nyaris tak masuk akal bahwa Du Fei masih bertahan hidup dalam kondisi yang begitu memprihatinkan. Ru Chen segera memeriksa nadi Du Fei lalu tanpa membuang waktu, ia merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah botol porselen kecil. Ru Chen membuka tutup botol dan mengeluarkan sebutir pil berwarna keemasan. "Ini pil 'Penyambung Nyawa ', semoga bisa menyelamatkan nyawa anak ini.” Qing Ning mengangguk, ia segera membantu Ru Chen membuka mulut Du Fei.. Ru Chen memasukkan pil itu ke dalam mulut Du Fei dengan hati-hati. "Telan, Nak. Ini akan membuatmu lebih baik," bisiknya, berusaha memberikan kekuatan pada bocah malang itu. Setelah memastikan Du Fei menelan pil tersebut, Xun Huan mengeluarkan jarum akupunktur dan memasang jarum-jarum tersebut di titik-titik tertentu di tubuh si bocah malang agar anak itu tertidur lelap dan tak merasakan sakit. “Kita harus segera membawanya ke Tabib Sakti, Shen Yi!” usul Xun Huan, “Bila terlambat, anak ini akan cacat selamanya.”Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di penjara bawah tanah yang berbau apek dan lembab, seorang pria tua mengenakan baju putih tahanan dengan leher terikat rantai besi, duduk bersila di atas jerami. Ia tak bergeming seperti patung, kepala tertunduk menekuri lantai.Kepalanya baru terangkat saat mendengar pintu besi penjara berderit terbuka. Seorang wanta muda berwajah cantik dengan perut yang membuncit memasuki ruangan sambil membawa dua susun keranjang bambu.“Ayah, Qi Yue datang!” sapa wanita cantik itu sambil tersenyum.Pria tua yang tak lain adalah Qi Xiang melengos, membuang wajah ke arah lain.“Ayah kira kau sudah melupakan kami orang tuamu karena sudah jadi istri raja,” kata Qi Xiang sinis.Dalam keremangan penjara, Qi Yue berlutut di hadapan ayahnya, Qi
"Lin Mo!" sapa Chung Ming yang menunggu di luar, wajahnya yang polos berseri-seri menggenggam kartu peserta. "Mari kita belajar bersama! Aku membawa beberapa ringkasan yang kubuat sendiri. Dua kepala lebih baik dari satu, bukan?"Lin Mo tersenyum tipis, matanya berkilat licik untuk sepersekian detik. "Tentu saja, Teman." Dalam hati ia tertawa. Orang polos seperti Chung Ming suatu saat akan berguna baginya."Bagus!" Chung Ming menepuk pundak Lin Mo dengan hangat. "Aku yakin kita akan menjadi teman baik!"'Ya,' batin Lin Mo sinis, 'sampai aku tidak membutuhkanmu lagi.' Kedua pemuda itu segera menjadi akrab, bahkan mendaftar di asrama yang sama."Kamar nomor lima belas," Chung Ming menunjuk sebuah kamar yang terletak di ujung dengan mata berbinar. "Kita sekamar, Lin Mo! Bukankah ini pertanda baik?"Mereka melangkah menyusuri koridor asrama yang berlantai kayu. Aroma masakan dari dapur terdekat merebak di udara, membuat perut Lin Mo dan Chung Ming mulai keroncongan."Hei, tunggu!" Suara
Berita kematian Yung menyebar seperti api di padang rumput kering. Putra tunggal Pejabat Yuan itu ditemukan tewas di tempat tidurnya sendiri, lehernya terdapat luka tusukan. Uangnya raib, dan yang lebih mengejutkan - Wei, putra pejabat kota Song adalah tersangka utama pelaku pembunuhan.Hakim pengadilan hampir menjatuhkan hukuman mati pada Wei. Namun berkat nama baik ayahnya yang dikenal sebagai pejabat senior yang jujur, hukumannya diringankan menjadi kerja paksa seumur hidup di Gunung Kapur.Pagi itu, setelah divonis bersalah, Wei digiring bersama sepuluh tahanan lainnya menuju tempat pengasingan mereka. Rantai besi yang mengikat kaki dan tangan mereka bergemerincing dalam irama menyedihkan. Pasukan pengawal berbaris di kiri-kanan rombongan, mempersempit kemungkinan untuk kabur."Lihat, itu tuan muda Wei!" bisik-bisik terdengar dari kerumunan yang memadati pinggir jalan. "Siapa sangka anak pejabat bisa jadi pembunuh?""Kasihan, ayahnya pasti sangat malu," sahut yang lain.Di antara
Jeritan tertahan dan pekikan ngeri terdengar memenuhi ruangan. Wei membuka matanya perlahan, hanya untuk disambut pemandangan yang akan menghantuinya seumur hidup.Tubuh Yung terbaring kaku dengan mata terbelalak kosong ke arah langit-langit. Pakaian putih sutra yang dikenakannya semalam telah berubah warna merah gelap. Lehernya menganga lebar karena sabetan belati. Darah yang telah mengering membentuk genangan gelap di sekitar tubuhnya, meresap ke dalam kasur.Wei terpaku menatap jasad Yung. Kakinya lemas, ia jatuh berlutut di samping tempat tidur. Matanya tak bisa lepas dari wajah sahabatnya yang membeku dalam ekspresi ketakutan bercampur kesakitan, menunjukkan betapa tersiksanya pemuda itu menjelang detik-detik kematian yang mengerikan.Tubuh Wei gemetar hebat, keringat dingin mengucur deras."Tidak ... tidak mungkin ... ini pasti mimpi …," bergumam berulang-ulang, suaranya serak dan bergetar. "Yung ... kumohon bangunlah ... katakan ini hanya leluconmu!"Tangannya yang berlumuran
"Minggir dari jalanku!" Yung membentak parau, langkahnya sempoyongan. Aroma arak yang menguar dari nafasnya bercampur dengan udara lembab gang yang pengap. "Kau tidak tahu sedang menghalangi siapa, hah?"Sosok berjubah hitam itu tak bergeming. Angin malam yang dingin memainkan helaian rambut hitam di sisi wajahnya. Suaranya dalam dan mengancam, bagai bisikan dari kedalaman sumur tua."Aku adalah Malaikat Pencabut Nyawa, utusan dari Neraka. Malam ini, aku datang untuk menjemputmu."Yung terkejut sesaat lalu tertawa terbahak-bahak seolah mendengar lelucon paling konyol. Suara tawanya menggema di antara tembok-tembok tinggi gang yang sempit."Ha-ha-ha! Malaikat Pencabut nyawa?" Yung bergerak mendekat dengan langkah tak seimbang, “kau pikir aku anak kecil yang mudah ditakut-takuti, hah?”Matanya yang merah karena mabuk menyipit, mencoba memfokuskan pandangan. "Tunggu ... bukankah kau si pelayan pemimpi dari rumah makan Berkah?"Yung mengacungkan jari telunjuknya tepat ke hidung Lin Mo. Su
Malam merangkak naik di langit Kotaraja. Lin Mo melangkah keluar dari Rumah Makan Berkah tempatnya bekerja, bahunya merosot kelelahan setelah seharian mondar-mandir naik turun tangga melayani pelanggan.Ia menghitung penghasilannya hari ini, hanya beberapa keping tembaga yang bahkan tak cukup untuk membayar sepersepuluh biaya pendaftaran ujian. Pasar malam mulai menggeliat bangun. Ratusan lampion merah bergoyang ditiup angin malam. Aroma makanan dan wangi dupa dari kuil bercampur dengan tawa dan celoteh para pengunjung, dipadu juga dengan suara alunan alat musik tradisional Erhu dari pertunjukan jalanan.Lin Mo sama sekali tak tertarik melihat keindahan pasar malam, ia melewati keramaian dengan kepala tertunduk"Hei, bukankah ini si Pelayan Pemimpi?" Lin Mo tertegun ketika mendengar suara mengejek seperti ditujukan kepadanya.Pria itu membeku seketika. Di bawah cahaya lampion, empat sosok pemuda berpakaian halus menghadang jalannya. Ia ingat mereka adalah para pelajar yang menghinan
Musim ujian negara sudah dekat, membuat Kotaraja seperti sarang lebah yang berdengung. Para pelajar dari berbagai penjuru daerah berduyun-duyun memenuhi jalan-jalan. Jubah sutra mereka panjang nyaris menyentuh lantai, masing-masing memanggul keranjang rotan berisi gulungan-gulungan karya sastra. Mata mereka berbinar penuh pengharapan akan kesempatan menjadi pejabat pemerintahan.Rumah Makan Berkah berdiri kokoh di persimpangan jalan utama Kotaraja. Asap mengepul dari cerobong dapurnya, membawa aroma masakan yang membuat perut berkeruyuk. Lantai kayunya yang mengkilap hasil dipoles setiap pagi memantulkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar.Siang itu empat pemuda pelajar berasal dari keluarga terhormat, memasuki rumah makan tersebut. Jubah mereka terbuat dari sutra terbaik, rambut tertata rapi dengan hiasan jade mahal. Pemuda yang berjalan paling depan membawa kipas gading berukir, sementara yang lain menenteng gulungan-gulungan dengan gagang emas."Ah, selamat da
Pemuda itu menoleh, senyum misterius tersungging di bibirnya yang tipis. Matanya yang tajam namun hangat mengingatkan Yang Ming pada seseorang. "Kau boleh panggil aku Du Fei," ia menimang botol arak di tangannya. "Aku bukan hantu. Dan kau juga bukan.""Tapi Hantu Penunggu Hutan seharusnya sudah memangsaku," gumam Yang Ming masih tak percaya dengan keselamatannya.Du Fei terkekeh geli, "Anggap saja kau diberi kesempatan kedua oleh Dewa Langit."Ia mengangkat botol arak itu sekilas, cahaya biru di dalamnya berpendar lemah. "Dia menyuruhku menyelamatkanmu dan membelenggu hantu jahat ini ke dalam botol arak kemudian menyegelnya agar tak bisa melakukan kekejian lagi."Yang Ming menatap penolongnya dengan takjub - sosoknya seperti dewa yang turun dari nirwana, namun ada sesuatu yang tak asing dalam senyumnya, sesuatu yang mengingatkannya pada Yun Hao.Yang Ming menatap penolongnya dengan takjub. Di bawah cahaya fajar yang mulai merayap masuk ke dalam hutan, sosok Du Fei tampak seperti dewa
"LARI!" Prajurit jangkung mengomando lalu melesat kabur mendahului, diikuti yang lain. Mereka menarik Nyonya Yang dan Yang Ming dengan tali kekang yang dililitkan ke tubuh keduanya."Ugh!" Yang Ming tersandung akar pohon besar, membuatnya jatuh menggelosor dan kakinya terkilir. Ia berusaha bangkit tapi jatuh lagi, mengerang kesakitan."Cepat bangun!" Si Prajurit menarik talinya dengan kasar."Tinggalkan saja dia!" teriak yang lain. "Lagipula dia akan mati juga setelah diadili di pengadilan kota!"Prajurit itu pun melepaskan tali kekang, lalu segera bergabung dengan rombongan yang berlari tunggang langgang. Nyonya Yang yang terseret arus pelarian sempat menoleh ke belakang. Setetes air mata mengalir di pipi saat melihat anak tirinya tertinggal dalam kondisi tak berdaya.Yang Ming menyeret tubuhnya mundur, tangannya yang terikat ke belakang menggesek tanah dan dedaunan kering. Setiap gerakan mengirimkan gelombang rasa sakit dari pergelangan kakinya yang membengkak seperti ruas bambu mud
"Tidak mungkin," Yun Hao menggeleng kuat-kuat. Matanya menatap Nyonya Hong lekat-lekat, berusaha mencari tanda-tanda kebohongan, "Ming Mei tidak mungkin pergi begitu saja, apalagi dengan laki-laki lain."Nyonya Hong mencibir, "Kau pikir gadis-gadis di sini punya pilihan? Seorang pejabat datang semalam, tertarik padanya dan langsung menawarnya dengan seribu tail emas." Dengan enteng, wanita yang mengenakan riasan berlebihan itu mengangkat bahu. "Siapa yang bisa menolak?"“Anda bohong!” teriak Yun Hao marah, “aku tahu Ming Mei masih ada di wisma ini. Biarkan saya menemuinya sebentar saja," "Sudah terlambat, anak muda!" Nyonya Hong menggeleng, "Mereka sudah berangkat sejak dini hari tadi." "Lupakan saja Ming Mei!” Wanita itu mengibaskan tangannya, “carilah gadis baik-baik yang bisa kau nikahi dengan terhormat."Selesai berkata-kata, jendela kamar ditutup rapat, meninggalkan Yun Hao sendirian dengan kenyataan pahit bahwa cinta pertamanya telah menghilang, terjual ke tangan orang lain s