Share

7. PENGORBANAN IBU

Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya.

"Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.

Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."

Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginkan." Ia menatap Qing Ning lekat-lekat, suaranya melembut. "Kakekmu adalah teman baikku, sudah kewajibanku melindungi keturunannya."

Qing Ning terdiam lagi, pikirannya berkecamuk. Ia bisa merasakan tatapan teduh Tabib Sakti Shen Yi, seolah mendorongnya untuk menerima tawaran itu. Akhirnya, setelah pergulatan batin yang panjang, ia mengangguk setuju. Sepertinya memang tak ada pilihan lain yang lebih baik.

"Baiklah," ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Kami akan ikut denganmu ke Wisma Bu Tong." Meski ada keraguan dalam suaranya, ada juga secercah harapan yang mulai tumbuh.

Xun Huan tersenyum lega, Shen Yi pun ikut mengangguk puas mendengar keputusan cucu mendiang Ketua Hoa San.

Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Bu Tong Pai menggunakan perahu kayu. Angin laut yang sejuk membelai wajah mereka, membawa aroma garam yang khas. Du Fei, yang sudah mulai pulih, berdiri di bagian belakang perahu, matanya berbinar-binar melihat hamparan laut biru yang seolah tak berujung.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, langit yang tadinya cerah berubah gelap. Awan hitam bergulung-gulung di atas mereka, disertai gemuruh guntur yang memekakkan telinga. Dalam sekejap, angin ribut yang dahsyat menerjang perahu mereka.

"Du Fei!" teriak Qing Ning, berusaha menggapai putranya di tengah goncangan perahu yang hebat. Air laut mulai masuk ke geladak, membuat lantai kayu menjadi licin dan berbahaya.

Dengan gerakan cepat, Qing Ning berhasil meraih Du Fei. Ia memeluk putranya erat-erat, melindunginya dari terjangan angin dan air. Namun, sebuah gelombang besar menghantam sisi perahu, membuat perahu berbalik dan ketiga orang itu terlempar ke laut.

Xun Huan berhasil melompat naik ke atas lambung kapal dengan susah payah lalu berteriak ke arah ibu dan anak yang masih berada di air, “Cepat, melompat kemari!”

Qing Ning sadar, lambung kapal tak akan sanggup memuat mereka bertiga, maka ia membuat keputusan terbesar dalam hidupnya demi menyelamatkan sang putra. Dengan kekuatan terakhirnya, ia melemparkan Du Fei ke atas lambung kapal, sementara tubuhnya sendiri terhempas ke laut yang bergolak.

"Ibu!" jerit Du Fei, tangannya berusaha menggapai sosok ibunya yang semakin menjauh, ditelan ombak yang ganas. Air matanya jatuh berderai melihat pengorbanan ibunya. Xun Huan hanya mampu memegangi tubuh mungil bocah itu erat-erat dengan mata berkaca-kaca. 

***

Selama tiga hari yang terasa bagai keabadian, Du Fei dan Xun Huan terkatung-katung di tengah lautan luas. Matahari yang terik membakar kulit mereka, sementara malam-malam yang dingin menusuk tulang. 

Namun, seolah dianugerahi kekuatan dari para dewa, Du Fei menunjukkan ketahanan fisik yang luar biasa. Meski tanpa makanan dan minuman, bocah itu tetap bertahan, hanya sedikit lemas akibat dehidrasi dan kelaparan.

Pada fajar hari keempat, pertolongan pun datang. Sebuah perahu nelayan yang melintas tak sengaja menemukan mereka. Para nelayan yang baik hati itu segera mengulurkan tangan, menarik Du Fei dan Xun Huan yang sudah lemah ke atas perahu mereka.

"Cepat, beri mereka air!" seru sang kapten perahu dengan nada mendesak.

Dengan tangan gemetar, Du Fei menerima sebuah labu air. Ia meneguk isinya perlahan, merasakan sensasi sejuk melegakan tenggorokan yang kering. Hanya dengan beberapa teguk air, wajahnya yang pucat mulai mendapatkan kembali warnanya. Matanya yang redup kini kembali bersinar, seolah api kehidupan telah dinyalakan kembali.

Xun Huan, di sisi lain, membutuhkan perhatian lebih. Usianya yang tidak muda lagi membuat tubuhnya lebih rentan terhadap cobaan yang mereka alami. Para nelayan dengan telaten merawatnya, memberikan sup dan ramuan herbal yang mereka bawa untuk memulihkan tenaganya.

Lima hari berlalu dengan lambat di atas perahu nelayan itu. Akhirnya, daratan yang dinantikan muncul di pandangan. Begitu kaki mereka menginjak tanah, kapten perahu segera membawa Xun Huan dan Du Fei ke tabib terdekat. Di sana, keduanya mendapatkan perawatan intensif untuk memulihkan kondisi fisik mereka sepenuhnya.

Setelah yakin bahwa mereka telah pulih sepenuhnya, Xun Huan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Gunung Bu Tong. Namun, sebuah masalah baru muncul. Setiap kali mereka melewati keramaian, Du Fei selalu menjadi pusat perhatian. Orang-orang menatapnya dengan pandangan aneh, bahkan ada yang terang-terangan menunjuk ke arah pipinya yang bersisik.

Du Fei, yang masih polos, hanya bisa menundukkan kepala, merasa tidak nyaman dengan perhatian yang ia terima. Melihat hal ini, hati Xun Huan terenyuh. Ia tidak ingin Du Fei merasa berbeda atau dikucilkan.

"Du Fei," panggil Xun Huan suatu malam, saat mereka beristirahat di sebuah penginapan kecil. "Kemarilah, Nak. Aku punya sesuatu untukmu."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
sepertinya ceritanya sambungan dari seruling naga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status