Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya.
"Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.
Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."
Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginkan." Ia menatap Qing Ning lekat-lekat, suaranya melembut. "Kakekmu adalah teman baikku, sudah kewajibanku melindungi keturunannya."
Qing Ning terdiam lagi, pikirannya berkecamuk. Ia bisa merasakan tatapan teduh Tabib Sakti Shen Yi, seolah mendorongnya untuk menerima tawaran itu. Akhirnya, setelah pergulatan batin yang panjang, ia mengangguk setuju. Sepertinya memang tak ada pilihan lain yang lebih baik.
"Baiklah," ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Kami akan ikut denganmu ke Wisma Bu Tong." Meski ada keraguan dalam suaranya, ada juga secercah harapan yang mulai tumbuh.
Xun Huan tersenyum lega, Shen Yi pun ikut mengangguk puas mendengar keputusan cucu mendiang Ketua Hoa San.
Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Bu Tong Pai menggunakan perahu kayu. Angin laut yang sejuk membelai wajah mereka, membawa aroma garam yang khas. Du Fei, yang sudah mulai pulih, berdiri di bagian belakang perahu, matanya berbinar-binar melihat hamparan laut biru yang seolah tak berujung.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, langit yang tadinya cerah berubah gelap. Awan hitam bergulung-gulung di atas mereka, disertai gemuruh guntur yang memekakkan telinga. Dalam sekejap, angin ribut yang dahsyat menerjang perahu mereka.
"Du Fei!" teriak Qing Ning, berusaha menggapai putranya di tengah goncangan perahu yang hebat. Air laut mulai masuk ke geladak, membuat lantai kayu menjadi licin dan berbahaya.
Dengan gerakan cepat, Qing Ning berhasil meraih Du Fei. Ia memeluk putranya erat-erat, melindunginya dari terjangan angin dan air. Namun, sebuah gelombang besar menghantam sisi perahu, membuat perahu berbalik dan ketiga orang itu terlempar ke laut.
Xun Huan berhasil melompat naik ke atas lambung kapal dengan susah payah lalu berteriak ke arah ibu dan anak yang masih berada di air, “Cepat, melompat kemari!”
Qing Ning sadar, lambung kapal tak akan sanggup memuat mereka bertiga, maka ia membuat keputusan terbesar dalam hidupnya demi menyelamatkan sang putra. Dengan kekuatan terakhirnya, ia melemparkan Du Fei ke atas lambung kapal, sementara tubuhnya sendiri terhempas ke laut yang bergolak.
"Ibu!" jerit Du Fei, tangannya berusaha menggapai sosok ibunya yang semakin menjauh, ditelan ombak yang ganas. Air matanya jatuh berderai melihat pengorbanan ibunya. Xun Huan hanya mampu memegangi tubuh mungil bocah itu erat-erat dengan mata berkaca-kaca.
***
Selama tiga hari yang terasa bagai keabadian, Du Fei dan Xun Huan terkatung-katung di tengah lautan luas. Matahari yang terik membakar kulit mereka, sementara malam-malam yang dingin menusuk tulang.
Namun, seolah dianugerahi kekuatan dari para dewa, Du Fei menunjukkan ketahanan fisik yang luar biasa. Meski tanpa makanan dan minuman, bocah itu tetap bertahan, hanya sedikit lemas akibat dehidrasi dan kelaparan.
Pada fajar hari keempat, pertolongan pun datang. Sebuah perahu nelayan yang melintas tak sengaja menemukan mereka. Para nelayan yang baik hati itu segera mengulurkan tangan, menarik Du Fei dan Xun Huan yang sudah lemah ke atas perahu mereka.
"Cepat, beri mereka air!" seru sang kapten perahu dengan nada mendesak.
Dengan tangan gemetar, Du Fei menerima sebuah labu air. Ia meneguk isinya perlahan, merasakan sensasi sejuk melegakan tenggorokan yang kering. Hanya dengan beberapa teguk air, wajahnya yang pucat mulai mendapatkan kembali warnanya. Matanya yang redup kini kembali bersinar, seolah api kehidupan telah dinyalakan kembali.
Xun Huan, di sisi lain, membutuhkan perhatian lebih. Usianya yang tidak muda lagi membuat tubuhnya lebih rentan terhadap cobaan yang mereka alami. Para nelayan dengan telaten merawatnya, memberikan sup dan ramuan herbal yang mereka bawa untuk memulihkan tenaganya.
Lima hari berlalu dengan lambat di atas perahu nelayan itu. Akhirnya, daratan yang dinantikan muncul di pandangan. Begitu kaki mereka menginjak tanah, kapten perahu segera membawa Xun Huan dan Du Fei ke tabib terdekat. Di sana, keduanya mendapatkan perawatan intensif untuk memulihkan kondisi fisik mereka sepenuhnya.
Setelah yakin bahwa mereka telah pulih sepenuhnya, Xun Huan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Gunung Bu Tong. Namun, sebuah masalah baru muncul. Setiap kali mereka melewati keramaian, Du Fei selalu menjadi pusat perhatian. Orang-orang menatapnya dengan pandangan aneh, bahkan ada yang terang-terangan menunjuk ke arah pipinya yang bersisik.
Du Fei, yang masih polos, hanya bisa menundukkan kepala, merasa tidak nyaman dengan perhatian yang ia terima. Melihat hal ini, hati Xun Huan terenyuh. Ia tidak ingin Du Fei merasa berbeda atau dikucilkan.
"Du Fei," panggil Xun Huan suatu malam, saat mereka beristirahat di sebuah penginapan kecil. "Kemarilah, Nak. Aku punya sesuatu untukmu."
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir. Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat. "Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?”Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal."Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas. Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya.."Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-b
Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah."Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan.Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang."Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan.Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar pen
Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu
Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w