Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya.
"Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.
Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."
Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginkan." Ia menatap Qing Ning lekat-lekat, suaranya melembut. "Kakekmu adalah teman baikku, sudah kewajibanku melindungi keturunannya."
Qing Ning terdiam lagi, pikirannya berkecamuk. Ia bisa merasakan tatapan teduh Tabib Sakti Shen Yi, seolah mendorongnya untuk menerima tawaran itu. Akhirnya, setelah pergulatan batin yang panjang, ia mengangguk setuju. Sepertinya memang tak ada pilihan lain yang lebih baik.
"Baiklah," ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Kami akan ikut denganmu ke Wisma Bu Tong." Meski ada keraguan dalam suaranya, ada juga secercah harapan yang mulai tumbuh.
Xun Huan tersenyum lega, Shen Yi pun ikut mengangguk puas mendengar keputusan cucu mendiang Ketua Hoa San.
Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Bu Tong Pai menggunakan perahu kayu. Angin laut yang sejuk membelai wajah mereka, membawa aroma garam yang khas. Du Fei, yang sudah mulai pulih, berdiri di bagian belakang perahu, matanya berbinar-binar melihat hamparan laut biru yang seolah tak berujung.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, langit yang tadinya cerah berubah gelap. Awan hitam bergulung-gulung di atas mereka, disertai gemuruh guntur yang memekakkan telinga. Dalam sekejap, angin ribut yang dahsyat menerjang perahu mereka.
"Du Fei!" teriak Qing Ning, berusaha menggapai putranya di tengah goncangan perahu yang hebat. Air laut mulai masuk ke geladak, membuat lantai kayu menjadi licin dan berbahaya.
Dengan gerakan cepat, Qing Ning berhasil meraih Du Fei. Ia memeluk putranya erat-erat, melindunginya dari terjangan angin dan air. Namun, sebuah gelombang besar menghantam sisi perahu, membuat perahu berbalik dan ketiga orang itu terlempar ke laut.
Xun Huan berhasil melompat naik ke atas lambung kapal dengan susah payah lalu berteriak ke arah ibu dan anak yang masih berada di air, “Cepat, melompat kemari!”
Qing Ning sadar, lambung kapal tak akan sanggup memuat mereka bertiga, maka ia membuat keputusan terbesar dalam hidupnya demi menyelamatkan sang putra. Dengan kekuatan terakhirnya, ia melemparkan Du Fei ke atas lambung kapal, sementara tubuhnya sendiri terhempas ke laut yang bergolak.
"Ibu!" jerit Du Fei, tangannya berusaha menggapai sosok ibunya yang semakin menjauh, ditelan ombak yang ganas. Air matanya jatuh berderai melihat pengorbanan ibunya. Xun Huan hanya mampu memegangi tubuh mungil bocah itu erat-erat dengan mata berkaca-kaca.
***
Selama tiga hari yang terasa bagai keabadian, Du Fei dan Xun Huan terkatung-katung di tengah lautan luas. Matahari yang terik membakar kulit mereka, sementara malam-malam yang dingin menusuk tulang.
Namun, seolah dianugerahi kekuatan dari para dewa, Du Fei menunjukkan ketahanan fisik yang luar biasa. Meski tanpa makanan dan minuman, bocah itu tetap bertahan, hanya sedikit lemas akibat dehidrasi dan kelaparan.
Pada fajar hari keempat, pertolongan pun datang. Sebuah perahu nelayan yang melintas tak sengaja menemukan mereka. Para nelayan yang baik hati itu segera mengulurkan tangan, menarik Du Fei dan Xun Huan yang sudah lemah ke atas perahu mereka.
"Cepat, beri mereka air!" seru sang kapten perahu dengan nada mendesak.
Dengan tangan gemetar, Du Fei menerima sebuah labu air. Ia meneguk isinya perlahan, merasakan sensasi sejuk melegakan tenggorokan yang kering. Hanya dengan beberapa teguk air, wajahnya yang pucat mulai mendapatkan kembali warnanya. Matanya yang redup kini kembali bersinar, seolah api kehidupan telah dinyalakan kembali.
Xun Huan, di sisi lain, membutuhkan perhatian lebih. Usianya yang tidak muda lagi membuat tubuhnya lebih rentan terhadap cobaan yang mereka alami. Para nelayan dengan telaten merawatnya, memberikan sup dan ramuan herbal yang mereka bawa untuk memulihkan tenaganya.
Lima hari berlalu dengan lambat di atas perahu nelayan itu. Akhirnya, daratan yang dinantikan muncul di pandangan. Begitu kaki mereka menginjak tanah, kapten perahu segera membawa Xun Huan dan Du Fei ke tabib terdekat. Di sana, keduanya mendapatkan perawatan intensif untuk memulihkan kondisi fisik mereka sepenuhnya.
Setelah yakin bahwa mereka telah pulih sepenuhnya, Xun Huan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Gunung Bu Tong. Namun, sebuah masalah baru muncul. Setiap kali mereka melewati keramaian, Du Fei selalu menjadi pusat perhatian. Orang-orang menatapnya dengan pandangan aneh, bahkan ada yang terang-terangan menunjuk ke arah pipinya yang bersisik.
Du Fei, yang masih polos, hanya bisa menundukkan kepala, merasa tidak nyaman dengan perhatian yang ia terima. Melihat hal ini, hati Xun Huan terenyuh. Ia tidak ingin Du Fei merasa berbeda atau dikucilkan.
"Du Fei," panggil Xun Huan suatu malam, saat mereka beristirahat di sebuah penginapan kecil. "Kemarilah, Nak. Aku punya sesuatu untukmu."
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di penjara bawah tanah yang berbau apek dan lembab, seorang pria tua mengenakan baju putih tahanan dengan leher terikat rantai besi, duduk bersila di atas jerami. Ia tak bergeming seperti patung, kepala tertunduk menekuri lantai.Kepalanya baru terangkat saat mendengar pintu besi penjara berderit terbuka. Seorang wanta muda berwajah cantik dengan perut yang membuncit memasuki ruangan sambil membawa dua susun keranjang bambu.“Ayah, Qi Yue datang!” sapa wanita cantik itu sambil tersenyum.Pria tua yang tak lain adalah Qi Xiang melengos, membuang wajah ke arah lain.“Ayah kira kau sudah melupakan kami orang tuamu karena sudah jadi istri raja,” kata Qi Xiang sinis.Dalam keremangan penjara, Qi Yue berlutut di hadapan ayahnya, Qi
Pesta perayaan sembilan bulan kehamilan Ratu Sayana dan Putri Qi Yue dilangsungkan secara meriah. Para menteri dan jenderal menghadiri perjamuan tersebut.Aula utama istana Kerajaan Qi dipenuhi kemewahan dan kemeriahan. Aroma dupa harum dan masakan lezat memenuhi udara, bercampur dengan dengung percakapan para tamu undangan.Raja Yu Ping duduk di singgasana utama, mengenakan jubah kebesaran raja dengan hiasan naga emas di bagian dada. Di kepalanya, terpasang mahkota raja berhiaskan giok dan emas, yang merupakan simbol kekuasaan. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum bahagia, matanya bergantian menatap kedua istrinya yang duduk di sisi kanan dan kirinya.Di sisi kanan, Ratu Sayana duduk dengan anggun dalam balutan jubah kerajaan. Perutnya yang membuncit dibalut kain emas, menonjolkan kehamilannya yang sudah memasuki bu
Yu Ping berhasil mengelak dari belati pertama hingga belati itu menancap di punggung singgasana. Namun belati kedua yang mengarah ke dada, melukai tangan saat ia berusaha menangkapnya."Lindungi Yang Mulia!" Panglima Taban berteriak, tubuhnya dengan sigap melompat ke depan singgasana, menghadang si penari bersama beberapa pengawal.Suasana berubah drastis. Tawa dan decak kagum berganti menjadi jeritan ketakutan dan kebingungan. Para tamu berhamburan mencari perlindungan, sementara para pengawal maju mengepung si Gadis Penari.Pertarungan singkat terjadi antara si Gadis Penari melawan Panglima Taban dan puluhan pengawal. Meski terampil, Gadis Penari kewalahan menghadapi gencaran tombak dan pedang yang menyerbunya dari segala arah. Ayunan pedangnya yang berhasil melukai beberapa pengawal, hanya menyebabkan yang lain s
Menteri Miu dan Jenderal Lo yang mendapat keberanian setelah mendengar pengakuan rekan mereka, ikut menyahut, "Benar, Yang Mulia. Karena tak ingin berkhianat, kami pun melapor pada Panglima Taban."Qi Yue terguncang mendengar pengakuan ketiga pejabat negeri. "Ini tidak mungkin!" seru wanita cantik itu seraya menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Tubuhnya mendadak lemas dan mulai oleng, nyaris ambruk ke lantai. Beruntung, Yu Ping dengan sigap menangkapnya, lengannya yang kuat menopang tubuh Qi Yue."Pelayan, bawa Putri Qi Yue ke kamarnya!" perintah Yu Ping. Dua orang pelayan bergegas memapah Qi Yue yang kini lemah lunglai, membawanya keluar dari aula istana.Sayana yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Yang Mulia, rencana makar yang disusun Qi Xiang dan Kasim Liu tidak dapat ditolerir. Yang Mulia h
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu
Aula istana Negeri Wu yang megah diselimuti keheningan setelah pernyataan mengejutkan Qi Lung. Ratu Mei Ling, yang duduk di singgasana dengan ukiran naga, menatap tajam pada pangeran muda di hadapannya."Apa?" tanya Ratu Mei Ling nyaris tak mempercayai pendengarannya. "Kau ingin menggulingkan ayahmu sendiri, Pangeran?"Qi Lung menelan ludah, namun tatapannya tetap teguh. "Yang Mulia Ratu, situasinya lebih rumit dari yang terlihat. Posisiku sebagai putra mahkota terancam oleh kehadiran Du Fei, putra dari wanita yang merupakan cinta sejati ayahku."Ratu Mei Ling tertawa, suara tawanya bergema di aula yang luas. "Jadi, kau datang jauh-jauh ke negeri musuh, membahayakan nyawamu sendiri... hanya karena takut tersaingi?" Tubuhnya condong ke depan. "Kau ingin bantuanku untuk membunuh Yu Ping, ayah kandungmu?""Tidak," Qi Lung menggeleng cepat. "Tidak perlu membunuhnya. Cukup membuatnya... lumpuh."Ratu Mei Ling menaikkan alis, tampak terhibur oleh jawaban itu. Ia bangkit dari singgasananya d
Jalanan berbatu di perbatasan Negeri Qi dan Negeri Wu terlihat lengang di pagi hari itu. Dua orang penunggang kuda berjalan perlahan, mengenakan pakaian sederhana layaknya pedagang yang hendak menjajakan dagangannya ke negeri tetangga. Qi Lung, yang biasa mengenakan jubah mewah bersulamkan benang emas, kini harus puas dengan jubah linen kasar berwarna coklat. Cheng Zhuo berada di sampingnya, waspada mengamati keadaan sekitar."Kita hampir sampai di pos perbatasan, Pangeran," bisik Cheng Zhuo. "Ingat, kita adalah pedagang obat-obatan dari desa selatan Negeri Qi."Qi Lung mengangguk. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut tertangkap, tapi karena ia tak pernah membayangkan dirinya akan melakukan hal seperti ini—menyeberang ke negeri musuh dengan misi rahasia yang bisa dianggap pengkhianatan.Mereka berhasil melewati pos perbatasan tanpa kesulitan berarti. Para penjaga terlalu bosan untuk mencurigai dua pedagang biasa. Setelah beberapa jam perjalanan, lanskap di sekitar mereka mu
Di lantai dekat dapur, tergeletak tubuh seorang wanita tua. Tidak bergerak."Bibi Wu Mei!" teriak Cheng Zhuo, panik sepenuhnya menguasainya.Dengan satu hentakan kuat, ia mendobrak pintu. Kayu tua itu menyerah dengan mudah, membanting terbuka. Cheng Zhuo bergegas masuk, menghampiri sosok yang tergeletak.Bibi Wu Mei terbaring telentang, matanya terbuka namun kosong. Darah kering menodai pakaian sederhananya, bersumber dari luka tusukan di dada. Cheng Zhuo memeriksa nadinya, meski tahu itu sia-sia. Tubuh wanita tua itu sudah dingin dan kaku.Saat ia berlutut memeriksa jasad Bibi Wu, ekor matanya menangkap gerakan samar di jendela—sebuah bayangan yang bergerak cepat.Tanpa pikir panjang, Cheng Zhuo melompat bangkit dan melesat keluar jendela, mengejar sosok bayangan yang berusaha kabur di antara pepohonan bambu."Berhenti!" teriaknya, berlari sekuat tenaga.Sosok itu bergerak cepat, gesit melewati rumpun-rumpun bambu. Tapi Cheng Zhuo, dengan pengalaman bertahun-tahun sebagai seorang pen
Berita tentang kematian Bidan Lian menyebar cepat bagai api di padang rumput kering. Para penduduk desa yang menemukan jasadnya di tepi hutan segera melaporkan kejadian tersebut kepada tetua desa. Tak lama, berita itu merambat hingga ke kota raja, akhirnya sampai ke telinga Putri Qi Yue.Di paviliunnya yang mewah, Putri Qi Yue duduk dengan gelisah, jari-jarinya tanpa sadar mengetuk-ngetuk meja kayu berukir. Wajahnya yang biasanya tenang kini diselimuti kekhawatiran."Tidak masuk akal," gumamnya. "Bagaimana mungkin ada yang tega membunuh Bidan Lian? Wanita itu telah membantu persalinan hampir seluruh wanita di kota raja dan desa-desa di sekitarnya. Siapa yang memiliki dendam padanya?"Suara langkah tergesa menghampiri paviliunnya. Cheng Zhuo, yang ditugaskan untuk menyelidiki kematian Bidan Lian, memasuki ruangan dengan wajah serius."Bagaimana?" tanya Putri Qi Yue tanpa basa-basi.Cheng Zhuo membungkuk hormat. "Menurut penduduk yang menemukan jasadnya, Bidan Lian meninggal karena luka
Malam telah turun ketika Bidan Lian menyelesaikan tugasnya membantu kelahiran seorang ibu muda di kediaman sebuah keluarga di pinggiran kota raja. Bayi laki-laki yang baru saja ia bersihkan dan diberi selimut, menangis kuat—pertanda baik bagi kehidupan si kecil. Suami dari ibu muda memberikan sekantung koin perak sebagai upah, disertai sebungkus kue kacang merah sebagai tanda terima kasih."Terima kasih, Bidan Lian. Tanpamu, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada kami," ucap tuan rumah yang baru saja menjadi ayah dengan mata berkaca-kaca.Bidan Lian menepuk lembut pundak pria itu, "Sudah menjadi tugasku, Nak. Dulu aku yang membantu proses kelahiranmu dan sekarang anakmu. Tuhan memberiku umur panjang."Wanita tua itu mengikat kantung koin di pinggangnya dan membungkus kue dalam saputangan. Setelah berpamitan, ia melangkah meninggalkan kota raja menuju desanya yang terletak beberapa kilometer jauhnya.Jalanan mulai sepi. Cahaya rembulan menyinari jalan setapak yang akan dilalui Bidan
Senja telah berganti malam, bulan sabit menghiasi langit dengan sinar pucatnya. Di paviliun Putri Qi Yue yang sunyi, tiga sosok duduk melingkari meja kayu berukir.Cheng Zhuo menatap Qi Lung dengan tatapan tajam, mengeluarkan sebuah kotak kecil yang indah dari dalam jubahnya. Dengan gerakan lambat, ia membuka kotak itu, menampilkan sebuah botol kecil berisi serbuk putih."Pangeran," ucap Cheng Zhuo setengah berbisik, "ini adalah jalan terbaik untuk mengatasi masalah kita."Qi Lung memperhatikan botol yang kini berada di atas meja dengan bingung, "Apa itu?""Racun langka dari pegunungan barat," jelas Cheng Zhuo. "Tidak berbau, tidak berasa. Jika dicampurkan sedikit demi sedikit pada makanan Ratu Sayana setiap hari, racun ini tidak akan membunuhnya.""Lalu apa efeknya?" tanya Qi Lung, suaranya bergetar halus."Racun ini bekerja perlahan," Cheng Zhuo tersenyum tipis. "Awalnya dia akan merasa sedikit lelah, kemudian lemahlah anggota tubuhnya satu per satu. Pada akhirnya, dia akan lumpuh t
Ombak-ombak berdebur di kaki tebing, mengirimkan buih-buih putih yang terpercik tinggi. Angin laut berhembus kencang, membawa aroma asin yang tajam. Di atas tebing yang curam, Qi Lung berdiri tegak, rambutnya melambai liar ditiup angin. Matanya menatap jauh ke laut lepas, seolah mencari jawaban dari ketidakpastian yang kini mengisi hidupnya.Dari kejauhan, Cheng Zhuo akhirnya menemukannya setelah mencari seharian. Napasnya tersengal, kelelahan dan kelegaan terpancar di wajahnya yang sudah menua."Pangeran Qi Lung!" seru pria itu, melangkah hati-hati mendekati tepi jurang.Qi Lung menoleh perlahan. Tatapannya yang dingin dan penuh amarah membuat kelegaan Cheng Zhuo berubah menjadi kekhawatiran dalam sekejap."Pangeran, mengapa Anda tidak pulang seharian?" tanya Cheng Zhuo, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Putri Qi Yue dan hamba sangat mengkhawatirkan Anda."Qi Lung mendengus pelan, sebuah senyum pahit tergambar di wajahnya yang tampan. "Mengapa kalian khawatir padaku?" tan