'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.
Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.
Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.
Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di penjara bawah tanah yang berbau apek dan lembab, seorang pria tua mengenakan baju putih tahanan dengan leher terikat rantai besi, duduk bersila di atas jerami. Ia tak bergeming seperti patung, kepala tertunduk menekuri lantai.Kepalanya baru terangkat saat mendengar pintu besi penjara berderit terbuka. Seorang wanta muda berwajah cantik dengan perut yang membuncit memasuki ruangan sambil membawa dua susun keranjang bambu.“Ayah, Qi Yue datang!” sapa wanita cantik itu sambil tersenyum.Pria tua yang tak lain adalah Qi Xiang melengos, membuang wajah ke arah lain.“Ayah kira kau sudah melupakan kami orang tuamu karena sudah jadi istri raja,” kata Qi Xiang sinis.Dalam keremangan penjara, Qi Yue berlutut di hadapan ayahnya, Qi
Pesta perayaan sembilan bulan kehamilan Ratu Sayana dan Putri Qi Yue dilangsungkan secara meriah. Para menteri dan jenderal menghadiri perjamuan tersebut.Aula utama istana Kerajaan Qi dipenuhi kemewahan dan kemeriahan. Aroma dupa harum dan masakan lezat memenuhi udara, bercampur dengan dengung percakapan para tamu undangan.Raja Yu Ping duduk di singgasana utama, mengenakan jubah kebesaran raja dengan hiasan naga emas di bagian dada. Di kepalanya, terpasang mahkota raja berhiaskan giok dan emas, yang merupakan simbol kekuasaan. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum bahagia, matanya bergantian menatap kedua istrinya yang duduk di sisi kanan dan kirinya.Di sisi kanan, Ratu Sayana duduk dengan anggun dalam balutan jubah kerajaan. Perutnya yang membuncit dibalut kain emas, menonjolkan kehamilannya yang sudah memasuki bu
Yu Ping berhasil mengelak dari belati pertama hingga belati itu menancap di punggung singgasana. Namun belati kedua yang mengarah ke dada, melukai tangan saat ia berusaha menangkapnya."Lindungi Yang Mulia!" Panglima Taban berteriak, tubuhnya dengan sigap melompat ke depan singgasana, menghadang si penari bersama beberapa pengawal.Suasana berubah drastis. Tawa dan decak kagum berganti menjadi jeritan ketakutan dan kebingungan. Para tamu berhamburan mencari perlindungan, sementara para pengawal maju mengepung si Gadis Penari.Pertarungan singkat terjadi antara si Gadis Penari melawan Panglima Taban dan puluhan pengawal. Meski terampil, Gadis Penari kewalahan menghadapi gencaran tombak dan pedang yang menyerbunya dari segala arah. Ayunan pedangnya yang berhasil melukai beberapa pengawal, hanya menyebabkan yang lain s
Menteri Miu dan Jenderal Lo yang mendapat keberanian setelah mendengar pengakuan rekan mereka, ikut menyahut, "Benar, Yang Mulia. Karena tak ingin berkhianat, kami pun melapor pada Panglima Taban."Qi Yue terguncang mendengar pengakuan ketiga pejabat negeri. "Ini tidak mungkin!" seru wanita cantik itu seraya menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Tubuhnya mendadak lemas dan mulai oleng, nyaris ambruk ke lantai. Beruntung, Yu Ping dengan sigap menangkapnya, lengannya yang kuat menopang tubuh Qi Yue."Pelayan, bawa Putri Qi Yue ke kamarnya!" perintah Yu Ping. Dua orang pelayan bergegas memapah Qi Yue yang kini lemah lunglai, membawanya keluar dari aula istana.Sayana yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Yang Mulia, rencana makar yang disusun Qi Xiang dan Kasim Liu tidak dapat ditolerir. Yang Mulia h
Alun-alun Kotaraja Xianfeng dipenuhi oleh kerumunan rakyat yang berdesakan, mata mereka tertuju pada panggung kayu di tengah lapangan. Beberapa meter dari panggung, sebuah meja diletakkan, di belakangnya duduk Menteri Miu dengan wajah angkuh dan dingin. Menteri Miu mengenakan jubah pejabat berwarna merah tua, di kepalanya terpasang topi futou yang menambah kesan berwibawa. Matanya yang tajam mengawasi tiga orang tahanan yang berdiri di atas panggung, di hadapannya. Qi Xiang, mantan raja yang kini jatuh dari kejayaannya, berdiri tegak di tengah. Di kanan kirinya, berdiri istrinya Xue Yuan dan Kasim Liu. Ketiganya mengenakan pakaian putih polos, rambut mereka yang panjang dibiarkan tergerai.. "Berlutut!" Perintah Menteri Miu lantang, suaranya terdengar arogan. Tanpa banyak perlawanan, Kasim Liu dan Xue Yuan perlahan berlutut. Tubuh mereka gemetar karena ketakutan. Hanya Qi Xiang yang tetap berdiri tegak dengan dagu terangkat tinggi. Mata yang tajam menatap lurus ke arah Menteri
Menteri Miu menggebrak meja di hadapannya dengan geram. "Kau sudah mau mati masih berani mengancamku?" bentaknya, wajahnya merah padam.Di tengah ketegangan itu, Qi Yue menjatuhkan diri, berlutut di depan meja Menteri Miu."Menteri Miu, kumohon, adakan pengadilan untuk Ayah, Ibu, dan Kasim Liu!" pintanya seraya membungkuk mencium tanah. "Aku yakin ada kesalahpahaman di sini. Mereka tidak bersalah!"Menteri Miu menatap Qi Yue dengan pandangan dingin. "Ayahmu sudah mengaku, Tuan Putri. Apa lagi yang perlu diadili?"Qi Yue menggeleng kuat-kuat, air matanya semakin deras. "Tidak mungkin! Pasti ada sesuatu di balik semua ini. Kumohon, beri mereka kesempatan!"Sementara itu, Qi Xiang menatap putrinya dengan sedih. "Yue-er," panggil
“Bila diizinkan, Hamba akan mendampingi Yang Mulia menuntut balas kepada Ratu Sayana dan antek-anteknya.”Qi Yue memutar kepalanya dengan hati-hati, mengikuti gerak tubuhnya, kembali menghadap pria misterius yang mengaku bernama Cheng Zhuo. Kening sang Putri berkerut, mencoba mencerna sepenuhnya apa yang baru saja dikatakan pria itu.“Mengapa Ratu Sayana?” tanya Qi Yue penasaran. “Katakan apa yang kau ketahui!”“Hamba telah memata-matai istana selama ini, dan Hamba juga memiliki orang dalam di area Ratu,” papar Cheng Zhuo dengan tenang. “Dari sinilah Hamba mengetahui bahwa Panglima Taban mempengaruhi Ratu untuk menyingkirkan Yang Mulia Qi Xiang, serta Ratu Xue Yuan, dengan cara memfitnah mereka berdua dan Kasim Liu.”Pupil mata Qi Yue membesar, ia sulit mempercayai apa yang didengarnya. “Me-mengapa Ratu ingin menyingkirkan orang tuaku?”“Untuk menjatuhkan Yang Mulia,” jawab Cheng Zhuo tegas. “Ratu Sayana mencium ambisi Anda untuk menjadi
Qi Yue mengerang kesakitan, peluh membanjiri wajahnya yang pucat. Jari-jemarinya mencengkeram selimut kuat-kuat, seolah berusaha mengalihkan rasa sakit yang ia rasakan.Seorang bidan yang membantu proses persalinan sang Putri, berusaha menenangkannya, “Tahan sedikit lagi, Tuan Putri. Terus dorong … Anda pasti bisa!”“Aku … aku tidak sanggup lagi!” jerit Qi Yue kesakitan, ingin menyerah saja rasanya. Namun teringat akan dendamnya pada para pembunuh ayah dan ibunya, semangatnya tumbuh kembali.Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar, Panglima Taban dan beberapa pengawal masuk tanpa permisi. Bibi Pengasuh Wu yang sedari tadi meneamni Qi Yue, segera menghadang mereka masuk lebih jauh dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.“Panglima, Putri sedang dalam proses bers
Suara yang tadinya tenang dan anggun itu mendadak bergetar. Du Fei menoleh dan tertegun melihat mata jernih itu kini berkaca-kaca, seperti menyimpan kerinduan yang lama terpendam.Sebelum Du Fei sempat bereaksi, Nona Xin telah bergerak secepat kilat ke arahnya. Jemari lentiknya yang halus meraih tangan Du Fei, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan."Eeh, Nona Xin …," Du Fei menjadi salah tingkah, wajahnya memanas saat wanita cantik itu mengusap pipinya dengan lembut. Tatapan mesra yang diberikan Nona Xin membuatnya membeku di tempat, tak mampu bergerak ataupun berpikir jernih."Apakah Nona Xin jatuh cinta kepadaku pada pandangan pertama?" batinnya dengan jantung berdebar kencang. "Nona ... bu-bukan aku tak su-suka, tapi ini terlalu ... cepat!" Du Fei tergagap, berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila.Seulas senyum lembut tersungging di bibir Nona Xin. "Kau sudah besar sekarang, Keponakanku sayang!""Ke-keponakan?" Du Fei mengerjap beber
Empat siluman itu melompat bersamaan ke arah Du Fei. Pemuda itu memejamkan mata, mengerahkan seluruh energi di kedua tangannya, siap bertarung sampai mati. Jika ini saat terakhirnya, setidaknya ia akan mati dengan gagah.Namun raungan yang ditunggunya tak kunjung mendekat. Suasana mendadak sunyi senyap, bahkan suara angin pun seolah ikut tenggelam. Du Fei membuka mata perlahan, penasaran dengan apa yang terjadi.Di hadapannya, keempat siluman berdiri membeku dengan wajah pucat pasi. Lushe Yao yang tadi begitu congkak kini gemetar, sisik-sisiknya bergetar menciptakan bunyi gemerisik aneh. Sha Zhang yang biasanya garang kini mundur perlahan dengan lutut bergetar. Bahkan Xie Gua yang bisa menumbuhkan kepala baru pun kini menelan ludah berkali-kali."Ha!" Du Fei tertawa puas, dadanya membusung penuh percaya diri. "Rupanya kalian ini hanyalah siluman-siluman jelek pembual! Lihat, menghadapiku saja sudah gemetar seperti itu!"Ia mengacungkan ranting di tangannya dengan gaya heroik. "Bagaima
"Apa maksudmu?" Xie Gua mendengus tak sabar."Aku memiliki energi api dan kekuatan dewa naga dalam diriku," Du Fei membual dengan mengeraskan suaranya, memastikan gaungnya terdengar ke seluruh hutan. "Siluman manapun yang memangsaku pasti akan mendapatkan kekuatan berlipat seperti dewa!""Aku tak ingin kematianku sia-sia bila hanya dimangsa siluman kelas rendah," tambahnya dengan nada merendahkan.Xie Gua menyipitkan matanya yang berkilat berbahaya. "Kau berkata keras-keras karena ingin membangkitkan siluman-siluman lain agar kami saling bunuh, begitu bukan?"Du Fei tersenyum misterius, "Aku tidak sedang membual. Kau pun tahu seberapa besar energi api yang kumiliki.""Baik!” Xie Gua menghentakkan kakinya dengan tak sabar, “akan kucabut nyawamu seka—" BRAKK!Sebuah batu sebesar gajah menghantam kepala Xie Gua dari atas hingga amblas ke dalam tanah, menghancurkan tengkoraknya dalam sekejap. Darah hitam menggenangi tanah di sekitar batu, membuat Du Fei berg
Malam semakin larut, di dalam gua hanya terdengar suara derak kayu bakar yang terbakar perlahan. Xie Gua menatap sosok Du Fei yang berbaring miring menghadap dinding batu, nafasnya teratur seperti orang terlelap."Du Fei?" panggilnya pelan, tak ada jawaban kecuali suara dengkuran halus."Du Fei?" sekali lagi ia memanggil, lebih keras. Masih sunyi.Seringai kejam tersungging di bibir Xie Gua yang mulai berubah. Wajah ramah sang pertapa lenyap, digantikan sosok mengerikan yang selama ini tersembunyi. Kulit tangannya mengeras, bersisik seperti ular. Kuku-kukunya memanjang dan menghitam, tajam bagai belati beracun."He he he, dasar Bocah bodoh!" tawanya menggelegar hingga menggema dalam gua. Transformasinya semakin lengkap, gigi-gigi berubah menjadi taring-taring panjang yang mencuat dari mulut yang kini tersenyum semakin lebar. Hidung memanjang dan membengkok seperti paruh burung pemangsa, dan sepasang mata berkilat merah dalam kegelapan.Du Fei merasakan jant
Kabut tebal mendadak tersibak. Dari balik kegelapan, muncul sesosok nenek tua dengan rambut putih kusut dan pakaian compang-camping. Kulitnya pucat kebiruan seperti mayat, keriput-keriput di wajahnya membentuk pola mengerikan. Namun yang paling menakutkan adalah matanya, merah menyala dengan pupil vertikal seperti mata ular."Sudah lama aku tidak mencicipi daging manusia muda," suaranya serak dan dalam, tidak seperti suara manusia. "Kau pasti lezat, anak muda."Du Fei memasang kuda-kuda, tangan kanannya mencengkeram ranting. "Kau pasti siluman Sha Zhang yang haus darah manusia?"Nenek itu menyeringai, memamerkan deretan gigi tajam bernoda darah. "Oh, kau mengenalku? Aku tersanjung." Ia melompat dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh setuanya, cakar-cakar panjang teracung ke arah Du Fei.Trakk!Ranting kokoh Du Fei berbenturan dengan cakar Sha Zhang. Benturan itu menimbulkan percikan api ungu. Du Fei terkejut merasakan kekuatan di balik serangan itu, jauh melampaui kekuatan manus
Panglima Liu terpojok, punggungnya membentur batang pohon besar. Keringat dingin mengucur deras di dahinya saat Du Fei semakin mendekat. Namun tiba-tiba matanya berbinar. Dari kejauhan, terdengar derap puluhan kaki kuda yang bergemuruh."Ha! Kau dalam masalah besar sekarang, Du Fei!" Panglima Liu mendadak kembali percaya diri, membusungkan dada menantang pemuda yang sempat membuatnya gentar.Du Fei menoleh ke arah suara. Di bawah awan debu yang membumbung, pasukan berkuda dalam jumlah besar bergerak cepat ke arah mereka. Mereka dilengkapi tameng di bagian dada, tombak dan pedang pun terhunus siap bertarung."Pasukan elit!" seru salah satu prajurit yang terluka.Du Fei menggertakkan gigi. Ia bisa saja menghadapi mereka, tapi pertarungan panjang hanya akan membuang waktu dan tenaga. Pikirannya melayang pada tujuan utamanya, Gunung Kunlun yang menjulang di kejauhan, tempat ia harus menyempurnakan ilmu Pedang Bayangan Bulan."Maaf mengecewakan kalian," Du Fei tersenyum mengejek, "tapi ak
Debu beterbangan saat Du Fei dan Liu Heng menerobos kerumunan pasar yang padat. Teriakan "Tangkap buronan!" bergema di belakang mereka, diikuti derap langkah puluhan prajurit yang mengejar.Begitu melampaui gerbang kota, Du Fei menghentikan langkahnya. "Kakek, kita berpencar!" ia berkata cepat.,"aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kakek pergilah sejauh mungkin!""Tapi, Du Fei ….""Cepat pergi!" Du Fei mendorong Liu Heng ke arah hutan. "Aku bisa mengatasi mereka.”Setelah memastikan Liu Heng menghilang di balik pepohonan, Du Fei berbalik menghadapi para pengejarnya. Ia berdiri tegak di tengah jalan, berkacak pinggang dengan sikap menantang. Angin semilir bertiup, menggoyangkan jubahnya yang berwarna coklat muda .Panglima Liu menghentikan pasukannya beberapa langkah dari Du Fei. Matanya berkilat penuh kebencian ke arah lawan. "Dasar pembunuh!" seru sang Panglima dengan nada bengis. "Kau telah membunuh orang-orangku. Kau harus dihukum mati!"Senyum sinis tersungging di bibir Du Fei
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan saat Du Fei dan Liu Heng menyelesaikan pemakaman terakhir. Sepuluh gundukan tanah berjajar rapi, menjadi saksi bisu tragedi semalam. Du Fei memadatkan timbunan tanah dengan cangkul, keringat mengalir di dahi segera ia hapus dengan lengan bajunya.Liu Heng mengamati teman seperjalanannya dengan seksama. Sejak fajar menyingsing, pemuda itu nyaris tak bersuara, sangat tidak biasa untuk seorang Du Fei yang biasanya sering bercanda dan menjahilinya."Anak Nakal, mengapa dari semalam tidak banyak bicara?" Liu Heng bertanya sambil meneliti raut wajah Du Fei yang terlihat muram. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, tangannya terus bekerja memadatkan tanah seolah berusaha mengubur sesuatu lebih dari sekedar jenazah."Kakek, mari lanjutkan perjalanan!" Du Fei bangkit setel
"Wanita ini sangat kejam dan berbahaya," batin Du Fei. Meski begitu, gerakannya yang mematikan terlihat anggun dan indah, seperti bunga azalea yang cantik meski beracun.Sadar bahwa pertarungan ini harus segera diakhiri, Du Fei meraih sebatang ranting pohon. Jemarinya bergerak cepat, mengalirkan energi chi hingga ranting itu sekokoh pedang pusaka."Maafkan aku, Nona … tapi ini saatnya kau menyerah!" Du Fei memasang kuda-kuda yang berbeda. "Bayangan Bulan Menari!"Tubuhnya seolah terbelah menjadi delapan, bergerak dalam formasi yang membingungkan. Ranting di tangannya menari dalam gerakan spiral, menciptakan ilusi bulan purnama yang berputar. Setiap gerakan mengandung serangan mematikan, namun Du Fei dengan cermat mengendalikan tenaganya, cukup untuk melumpuhkan, tidak untuk membunuh.