Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.
Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.
Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.
Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.
Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di penjara bawah tanah yang berbau apek dan lembab, seorang pria tua mengenakan baju putih tahanan dengan leher terikat rantai besi, duduk bersila di atas jerami. Ia tak bergeming seperti patung, kepala tertunduk menekuri lantai.Kepalanya baru terangkat saat mendengar pintu besi penjara berderit terbuka. Seorang wanta muda berwajah cantik dengan perut yang membuncit memasuki ruangan sambil membawa dua susun keranjang bambu.“Ayah, Qi Yue datang!” sapa wanita cantik itu sambil tersenyum.Pria tua yang tak lain adalah Qi Xiang melengos, membuang wajah ke arah lain.“Ayah kira kau sudah melupakan kami orang tuamu karena sudah jadi istri raja,” kata Qi Xiang sinis.Dalam keremangan penjara, Qi Yue berlutut di hadapan ayahnya, Qi
Pesta perayaan sembilan bulan kehamilan Ratu Sayana dan Putri Qi Yue dilangsungkan secara meriah. Para menteri dan jenderal menghadiri perjamuan tersebut.Aula utama istana Kerajaan Qi dipenuhi kemewahan dan kemeriahan. Aroma dupa harum dan masakan lezat memenuhi udara, bercampur dengan dengung percakapan para tamu undangan.Raja Yu Ping duduk di singgasana utama, mengenakan jubah kebesaran raja dengan hiasan naga emas di bagian dada. Di kepalanya, terpasang mahkota raja berhiaskan giok dan emas, yang merupakan simbol kekuasaan. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum bahagia, matanya bergantian menatap kedua istrinya yang duduk di sisi kanan dan kirinya.Di sisi kanan, Ratu Sayana duduk dengan anggun dalam balutan jubah kerajaan. Perutnya yang membuncit dibalut kain emas, menonjolkan kehamilannya yang sudah memasuki bu
Yu Ping berhasil mengelak dari belati pertama hingga belati itu menancap di punggung singgasana. Namun belati kedua yang mengarah ke dada, melukai tangan saat ia berusaha menangkapnya."Lindungi Yang Mulia!" Panglima Taban berteriak, tubuhnya dengan sigap melompat ke depan singgasana, menghadang si penari bersama beberapa pengawal.Suasana berubah drastis. Tawa dan decak kagum berganti menjadi jeritan ketakutan dan kebingungan. Para tamu berhamburan mencari perlindungan, sementara para pengawal maju mengepung si Gadis Penari.Pertarungan singkat terjadi antara si Gadis Penari melawan Panglima Taban dan puluhan pengawal. Meski terampil, Gadis Penari kewalahan menghadapi gencaran tombak dan pedang yang menyerbunya dari segala arah. Ayunan pedangnya yang berhasil melukai beberapa pengawal, hanya menyebabkan yang lain s
Menteri Miu dan Jenderal Lo yang mendapat keberanian setelah mendengar pengakuan rekan mereka, ikut menyahut, "Benar, Yang Mulia. Karena tak ingin berkhianat, kami pun melapor pada Panglima Taban."Qi Yue terguncang mendengar pengakuan ketiga pejabat negeri. "Ini tidak mungkin!" seru wanita cantik itu seraya menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Tubuhnya mendadak lemas dan mulai oleng, nyaris ambruk ke lantai. Beruntung, Yu Ping dengan sigap menangkapnya, lengannya yang kuat menopang tubuh Qi Yue."Pelayan, bawa Putri Qi Yue ke kamarnya!" perintah Yu Ping. Dua orang pelayan bergegas memapah Qi Yue yang kini lemah lunglai, membawanya keluar dari aula istana.Sayana yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Yang Mulia, rencana makar yang disusun Qi Xiang dan Kasim Liu tidak dapat ditolerir. Yang Mulia h
Alun-alun Kotaraja Xianfeng dipenuhi oleh kerumunan rakyat yang berdesakan, mata mereka tertuju pada panggung kayu di tengah lapangan. Beberapa meter dari panggung, sebuah meja diletakkan, di belakangnya duduk Menteri Miu dengan wajah angkuh dan dingin. Menteri Miu mengenakan jubah pejabat berwarna merah tua, di kepalanya terpasang topi futou yang menambah kesan berwibawa. Matanya yang tajam mengawasi tiga orang tahanan yang berdiri di atas panggung, di hadapannya. Qi Xiang, mantan raja yang kini jatuh dari kejayaannya, berdiri tegak di tengah. Di kanan kirinya, berdiri istrinya Xue Yuan dan Kasim Liu. Ketiganya mengenakan pakaian putih polos, rambut mereka yang panjang dibiarkan tergerai.. "Berlutut!" Perintah Menteri Miu lantang, suaranya terdengar arogan. Tanpa banyak perlawanan, Kasim Liu dan Xue Yuan perlahan berlutut. Tubuh mereka gemetar karena ketakutan. Hanya Qi Xiang yang tetap berdiri tegak dengan dagu terangkat tinggi. Mata yang tajam menatap lurus ke arah Menteri
Menteri Miu menggebrak meja di hadapannya dengan geram. "Kau sudah mau mati masih berani mengancamku?" bentaknya, wajahnya merah padam.Di tengah ketegangan itu, Qi Yue menjatuhkan diri, berlutut di depan meja Menteri Miu."Menteri Miu, kumohon, adakan pengadilan untuk Ayah, Ibu, dan Kasim Liu!" pintanya seraya membungkuk mencium tanah. "Aku yakin ada kesalahpahaman di sini. Mereka tidak bersalah!"Menteri Miu menatap Qi Yue dengan pandangan dingin. "Ayahmu sudah mengaku, Tuan Putri. Apa lagi yang perlu diadili?"Qi Yue menggeleng kuat-kuat, air matanya semakin deras. "Tidak mungkin! Pasti ada sesuatu di balik semua ini. Kumohon, beri mereka kesempatan!"Sementara itu, Qi Xiang menatap putrinya dengan sedih. "Yue-er," panggil
“Bila diizinkan, Hamba akan mendampingi Yang Mulia menuntut balas kepada Ratu Sayana dan antek-anteknya.”Qi Yue memutar kepalanya dengan hati-hati, mengikuti gerak tubuhnya, kembali menghadap pria misterius yang mengaku bernama Cheng Zhuo. Kening sang Putri berkerut, mencoba mencerna sepenuhnya apa yang baru saja dikatakan pria itu.“Mengapa Ratu Sayana?” tanya Qi Yue penasaran. “Katakan apa yang kau ketahui!”“Hamba telah memata-matai istana selama ini, dan Hamba juga memiliki orang dalam di area Ratu,” papar Cheng Zhuo dengan tenang. “Dari sinilah Hamba mengetahui bahwa Panglima Taban mempengaruhi Ratu untuk menyingkirkan Yang Mulia Qi Xiang, serta Ratu Xue Yuan, dengan cara memfitnah mereka berdua dan Kasim Liu.”Pupil mata Qi Yue membesar, ia sulit mempercayai apa yang didengarnya. “Me-mengapa Ratu ingin menyingkirkan orang tuaku?”“Untuk menjatuhkan Yang Mulia,” jawab Cheng Zhuo tegas. “Ratu Sayana mencium ambisi Anda untuk menjadi
"Karena kekhawatiranku terhadap kelangsungan sekte telah membutakan mataku," Jin She menunduk, suaranya penuh penyesalan. "Dan sekarang, dengan membawamu kembali ke sini, aku berharap bisa memperbaiki kesalahanku."Xiao Lin membeku, terpana mendengar pengakuan mengejutkan itu. Di belakangnya, Yao Pang berdiri menunggu, matanya tak lepas mengawasi setiap gerak-gerik wanita satu-satunya yang masih mengisi hatinya."Xiao Lin," Yao Pang melangkah maju, tangannya menyentuh bahu sang mantan istri dengan lembut.Sentuhan itu bagaikan api yang membakar. Xiao Lin tersentak dan segera beringsut menjauh seolah sentuhan itu bisa membunuhnya. "Segala yang terjadi sudah merupakan kehendak Langit," Biksuni dari Hoa Mei itu menangkupkan tangan ke depan dada, membungkuk dalam. "Hamba, Chong Seng telah memilih meninggalkan segalanya dan menjadi biksuni. Kini izinkan Hamba pergi!""Kau bukan Chong Seng, selamanya kau adalah Xiao Lin, istriku!" Yao Pang berteriak, suaranya pecah oleh frustasi. "Mengapa
Air mata menggenang di pelupuk mata Xiao Lin. Kenangan-kenangan itu kembali seperti ombak yang menghantam pantai - pertemuannya dengan Yao Pang, tawa bahagia mereka, hingga hari kelam saat ia mengetahui kebenaran mengerikan tentang pria yang ia cintai."Tidak," Xiao Lin menggeleng kuat, memaksa dirinya kembali ke realitas bahwa ia sudah memilih jalan hidup menjadi seorang biksuni. Meninggalkan semua hal-hal duniawi.Kening murid senior Hoa Mei itu berkerut dalam. Siapa yang membawanya ke tempat ini? Jangan-jangan sosok misterius yang menyelinap ke Hoa Mei dan menculiknya semalam adalah Yao Pang, mantan suaminya."Aku harus pergi dari sini secepatnya dan kembali ke Hoa Mei," gumam Xiao Lin seraya bangkit berdiri. "Aku tak ingin bertemu dengan dia, lagipula Guru pasti mencemaskanku."Dengan langkah seringan mungkin, ia bergerak ke arah pintu. Telinganya waspada menangkap setiap bunyi, memastikan penculiknya tak ada di sekitar. Setelah yakin situasi aman, ia membuka pintu perlahan.Namun
Pintu kuil berderit terbuka, sosok bertopeng hitam berdiri di ambang pintu. Cahaya lampion yang tergantung di teras kuil menerangi topengnya yang berukir."Amitaba," Xiao Lin berusaha untuk tetap tenang dan menyapa tamu tak diundang di hadapannya, "mengapa Anda datang ke kuil malam-malam dengan cara seperti ini? Apakah yang Anda cari?"Bukannya menjawab, sosok itu melesat maju. Jari-jarinya yang panjang mengincar leher Xiao Lin dengan gerakan menotok. Xiao Lin memiringkan tubuh, menghindari serangan itu dalam hitungan sepersekian detik. Jantungnya nyaris berhenti saat merasakan angin dingin dari serangan yang nyaris mengenai nadinya."Trakk!" Tasbih kayu di tangan Xiao Lin berbenturan dengan lengan si penyerang. Butir-butir tasbih berputar cepat, menciptakan perisai yang menangkis serangan bertubi-tubi. Namun lawannya tak memberi kesempatan bernafas lega - setiap serangan yang ditangkis segera diikuti serangan lain ke arah pundak, seolah berusaha menotok titik vital.Xiao Lin bermanu
"Gu-Guru ... murid tidak mampu!" Li Li menjawab gemetar, "mengapa tidak Saudari Xiao Lin saja? Dia lebih lay ....""Diamm, ucapanku adalah perintah yang tak bisa dibantah!" Yun Hui memotong dengan nada tegas.Di balik wajah murkanya, mata Yun Hui menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar amarah - sebuah rahasia gelap yang tak akan pernah ia ungkapkan pada siapapun.Upacara pelantikan Li Li sebagai ketua Hoa Mei yang baru berlangsung dalam keheningan. Tak seorang pun berani membantah keputusan Biarawati Yun Hui, meski kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.Begitu upacara selesai, Yun Hui bergegas meninggalkan aula, mengabaikan Xiao Lin yang berusaha berbicara dengannya. Sang Biarawati mengurung diri di ruang pertapaan, tempat ia selalu menyendiri belakangan ini.Dengan hati was-was, Xiao Lin memberanikan diri mengetuk pintu ruangan itu."Masuk!" Suara Yun Hui terdengar dari dalam.Xiao Lin melangkah masuk sambil membawa nampan berisi nasi dan sayuran. Begitu melihatnya, Yun
"Bibi, aku harus melanjutkan perjalanan ke Gunung Huolong," Du Fei membungkuk hormat pada Xin Ru yang berdiri di mulut gua.Xin Ru mengangguk, ia membawa keponakannya terbang ke atas hingga mencapai bibr tebing lalu mendarat di atas hamparan rumput."Ingatlah selalu, Du Fei!" ujar Xin Ru lembut juga tegas, "kekuatan yang kau miliki sekarang adalah tanggung jawab besar. Berpeganglah selalu pada kebenaran, jangan biarkan dendam atau kebencian menguasai hatimu!""Aku berjanji, Bibi," Du Fei mengangguk mantap. Dengan langkah ringan ia mulai menuruni gunung, sosoknya perlahan menghilang di balik kabut pagi.***Malam merangkak sunyi di tepi Sungai Kuning. Air sungai yang biasanya keruh kini berkilau hitam memantulkan cahaya bulan. Di tepinya, seorang wanita berbaju hitam berdiri tegak, rambutnya yang panjang bergerak pelan ditiup angin malam.Jin She, senior dari sekte Iblis Bayangan, dengan dua gelang besi terselip di pinggangnya, menatap tajam ke arah sungai. Matanya yang setajam elang m
"Ternyata kitab Sembilan Naga ditulis pada dinding batu!" Du Fei terkesiap, matanya melebar takjub. Di hadapannya, rahasia ilmu tertinggi Klan Naga terpapar dalam bentuk yang tak pernah ia bayangkan - terukir abadi dalam dinding gua yang tersembunyi di dasar danau es.Tulisan-tulisan itu berpendar semakin terang, seolah merespons kehadiran Du Fei. Ia bisa merasakan energi kuno mengalir dari setiap huruf yang terukir, memanggil darah naga yang mengalir dalam nadinya."Inilah warisan sejati Klan Naga," bisiknya penuh kekaguman, tangannya menyentuh dinding yang berpendar. "Bukan sebuah kitab yang bisa dibawa pergi, tapi pengetahuan yang hanya bisa dipelajari di tempat suci ini."Matanya terpaku pada tulisan besar di bagian atas, 'Hanya yang terpilih yang diizinkan menguasai seluruh isi kitab Sembilan Naga, bila tidak terpilih maka tubuh akan hangus saat mempelajarinya.'Du Fei menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat menyentuh ukiran pertama yang menjelaskan dasar-dasar ilmu pedang
"Beraninya kau mengusik tidurku!" Suara mendesis bergema dalam air, menggetarkan seluruh danau. Seekor belut raksasa melesat dengan kecepatan tak terduga ke arah Du Fei, pemuda itu berhasil menghindar, namun tak urung ujung ekor makhluk itu menyabet lengannya, menciptakan luka goresBelut raksasa itu mengamuk, murka karena kehadiran Du Fei yang mengusik kedamaian danau. Air yang biasanya sedingin es kini menghangat oleh energi yang diserap si Topeng Hantu."Berani sekali kau mencuri energi kediamanku!" Belut siluman mendesis marah. Tubuh peraknya berkilat dalam kegelapan, listrik biru mulai menari-nari di sepanjang sisiknya."Tunggu! Aku ke sini untuk …," Du Fei tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena belut itu kembali menyerang, kali ini dengan mulut menganga memamerkan deretan gigi setajam pedang.Du Fei berusaha berenang naik ke permukaan, namun ekor siluman belut raksasa menyambar bagai cambuk. Percikan listrik biru menyambar, nyaris mengenai kakinya. Belum sempat Du Fei mengh
Xin Ru tersenyum misterius, jemarinya yang lentik meraih tangan Du Fei. "Kau siap melihatnya?"Sebelum Du Fei sempat menjawab, Xin Ru mengajaknya melangkah ke bibir jurang. "Bi-Bibi?" "Percayalah padaku," bisik Bibi cantik sebelum melompat ke dalam jurang, menarik Du Fei bersamanya.Angin dingin menyayat wajah mereka saat tubuh keduanya meluncur turun dengan kecepatan mengerikan. Du Fei merasakan jantungnya seolah naik ke tenggorokan, wajahnya pucat pasi. Ia memejamkan mata erat-erat, tangannya mencengkeram tangan Xin Ru seperti pegangan terakhir kehidupan."Bukalah matamu, Du Fei!" suara Xin Ru terdengar jernih di tengah deru angin.Dengan perasaan was-was, Du Fei memberanikan diri membuka mata. Pemandangan yang menyambutnya membuat nafasnya tercekat, mereka melayang turun ke dalam jurang raksasa yang dindingnya bercahaya seperti kristal. Stalaktit es yang besar menggantung bagai pedang-pedang raksasa, memantulkan cahaya dari suatu sumber yang belum terlihat.Semakin dalam mereka tu
Rubah Merah menyemburkan api dari moncongnya, menciptakan badai api yang menghanguskan udara. Tetapi Du Fei merasakan tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Tangannya terangkat, energi keemasan mengalir dari telapak tangannya, membentuk perisai yang menahan semburan api."Bibi, di belakangmu!" Du Fei berseru ketika melihat Lushe Yao, si Siluman Ular menyerang dengan taring beracunnya.Xin Ru tersenyum, tubuhnya melenting ke belakang dengan anggun. Saat Lushe Yao melesat lewat di atasnya, jemari lentiknya menampar sisik ular itu, "Segel Cahaya!""ARRGGHH!" Lushe Yao menjerit kesakitan ketika sekujur tubuhnya terasa seperti panas terbakar, sisik-sisiknya mulai memerah dan retak, "Apa yang kau lakukan padaku?""Mengembalikanmu ke wujud asli," Xin Ru mendarat dengan ringan ke atas tanah, "Seekor ular hijau kecil yang terlalu serakah."Xie Gua mengambil kesempatan menyerang Du Fei yang asyik menonton pertarungan bibinya dari arah belakang. Siluman itu tak tahu kalau mata pemuda itu yang kin