Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.
Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.
Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Qing Ning memutar tubuhnya, meninggalkan bilik. Kaki-kaki yang ramping bergerak cepat, membawanya berlari sekuat tenaga menembus keheningan malam. Angin dingin menerpa wajah yang basah oleh air mata, namun ia tak peduli. Ia terus berlari, hingga napas terasa hampir putus dan paru-paru serasa terbakar.
Akhirnya, di tengah hutan pinus yang rimbun, Qing Ning jatuh bersimpuh. Aroma tajam getah pinus memenuhi udara, bercampur dengan bau tanah lembab di bawah kakinya. Dalam kesunyian malam yang mencekam, ia berteriak sekencang-kencangnya, melepaskan segala kepedihan yang terpendam di dada.
"Mengapa kalian Dewa begitu tega mempermainkan hidup seseorang?" rintihnya pilu, suaranya serak. Air mata Qing Ning mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat bagai tak dialiri darah. "Aku hanya ingin putraku menjadi rakyat biasa, hidup tenang dan bahagia. Mengapa kalian tidak mau melepaskannya?"
Qing Ning terdiam sejenak, matanya menerawang jauh ke kegelapan hutan. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna realitas pahit yang harus ia hadapi. Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, ia bergumam lirih dengan kepala tertunduk, "Sisik itu ... kalian sengaja menandai Du Fei, bukan?"
Suaranya penuh dengan kepahitan, "Kalian hanya ingin memuaskan keinginan untuk menjadikannya seorang pendekar. Kalian tak peduli bahwa ini akan membuatnya menderita, kehilangan orang-orang yang ia cintai." Qing Ning berhenti sejenak, matanya terpejam erat menahan pedih. "Bahkan ia bisa berubah menjadi iblis seperti ayahnya."
Wanita cantik itu perlahan mengangkat wajah, mata indahnya yang sembab menatap langit cerah di atasnya. Napas yang tadinya tersengal kini mulai teratur, seiring dengan tekad yang semakin membara di dada.
"Aku tidak akan membiarkan kalian menang!" desis Qing Ning, suaranya penuh kemarahan. "Aku akan melindungi Du Fei dari tangan-tangan dewa angkuh yang sok berkuasa. Akan kuputuskan kutukan keluarga Qi Yun dan kuasa Qiulong atas putraku!"
Seketika itu juga, seolah menjawab tantangan Qing Ning, langit yang tadinya cerah dan tenang berubah drastis. Suara guntur menggelegar membelah kesunyian di Gunung Tai Shan, menggetarkan tanah tempat Qing Ning berlutut. Fenomena aneh ini terjadi tanpa kehadiran awan gelap, menciptakan pemandangan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Namun, Qing Ning tak gentar. Matanya yang berkilat tetap terpaku menatap langit yang kini dipenuhi kilatan cahaya. "Aku ibunya!" teriaknya lantang, menantang kemarahan langit. "Aku yang lebih berhak atas hidup anakku. Bukan kalian, para dewa penguasa langit yang kejam!"
Seolah merespon tantangan Qing Ning, tiba-tiba seberkas kilat menyambar, membelah udara dengan kecepatan luar biasa. Cahaya putih menyilaukan itu menyambar sebatang pohon pinus besar di dekat Qing Ning. Dalam sekejap, pohon malang itu hangus terbakar, menyebarkan aroma kayu terbakar yang tajam. Dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga, pohon raksasa itu roboh ke tanah, menimbulkan getaran hebat yang membuat Qing Ning nyaris kehilangan keseimbangan.
Tubuh ramping Qing Ning bergetar hebat, ia sadar telah membuat para dewa murka dengan kata-katanya yang lancang. Namun, alih-alih mundur, Qing Ning justru semakin menguatkan tekadnya.
"Demi Du Fei," bisiknya pada diri sendiri penuh keyakinan, "aku rela menentang seluruh penghuni bumi dan langit."
Qing Ning kembali ke pondok dengan langkah gontai, tubuhnya masih gemetar akibat peristiwa yang baru saja ia alami. Aroma obat-obatan herbal menyambutnya saat masuk ke dalam, memberi sedikit kenyamanan. Di ruang tengah yang diterangi oleh cahaya lilin, Shen Yi dan Xun Huan telah menunggu dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Nyonya Qing," Xun Huan bangkit menyambut kedatangannya, suaranya terdengar serius dan sedikit tegang. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Mereka duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja bambu sederhana yang tampak usang dimakan waktu. Qing Ning bisa merasakan tatapan penuh selidik dari kedua pria itu, namun ia terlalu lelah untuk peduli.
Xun Huan berdeham pelan, memecah keheningan yang canggung. "Du Fei telah pulih," ujarnya hati-hati. "Bolehkah aku tahu ke mana tujuan kalian nanti?" Ia berusaha tidak menyinggung perasaan Qing Ning yang tampak rapuh.
Qing Ning menghela napas panjang, bahunya merosot seolah menanggung beban berat. Ia menggeleng sedih, wajahnya yang masih sembab semakin terlihat kuyu dan lelah. Matanya yang indah kini redup, kehilangan cahayanya.
Melihat keadaan Qing Ning, Xun Huan merasa hatinya terenyuh. Dengan nada penuh simpati, ia menawarkan, "Nyonya Qing, bila kau tidak keberatan, demi keamananmu dan Du Fei, bagaimana jika kalian menetap sementara bersama kami di Wisma Bu Tong?"
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir. Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat. "Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?”Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal."Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas. Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya.."Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-b
Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah."Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan.Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang."Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan.Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar pen
Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu