Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir.
Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat. "Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?” Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal. "Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas. Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya.. "Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-buah plum yang terlihat ranum di bawah sinar matahari. Senyum lebarnya menampakkan deretan gigi susu yang rapi, dengan satu celah kecil di bagian depan - tanda bahwa ia sedang dalam masa pergantian gigi. Melihat hasil kerja keras putranya, sang Ibu memasang mimik kagum yang tulus. Matanya yang lembut membelalak takjub, alisnya terangkat tinggi, dan bibirnya yang ranum terbuka membentuk huruf 'O' kecil. Ekspresinya memancarkan kebanggaan dan kasih sayang yang mendalam. "Wah, Du Fei sayang! Kau benar-benar anak yang rajin dan berbakat!" puji sang Ibu. Ia berlutut di hadapan Du Fei, menyejajarkan pandangannya dengan sang anak. Tangannya mengusap kepala Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Apakah kau lupa hari ini kita harus ke kota berjualan manisan?" tanya Qing Ning, matanya menatap lembut Du Fei kecil. Wanita cantik ini, yang tak lain adalah cucu mendiang ketua Hoa San, meski sudah berusia 27 tahun dan hidup bersahaja, namun aura kecantikannya tetap terpancar. Du Fei, dengan mata sendu menjawab , "Maafkan Du Fei, menyusahkan Ibu!" Qing Ning tertawa kecil mendengar jawaban putranya. "Ayo cepat bergegas sebelum hari keburu siang!" ujarnya sambil menyentil dagu Du Fei dengan gemas. Perjalanan menuju kota cukup jauh dan menantang, terutama dengan berjalan kaki. Mereka harus melewati hutan yang membentang beberapa kilometer, dengan pepohonan rimbun dan sesekali suara binatang liar yang terdengar samar-samar. Du Fei, meskipun masih kecil, menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Kebiasaan berjalan jauh yang telah ia lakukan sejak berusia lima tahun telah menempa tubuh mungilnya menjadi kuat dan tangguh. Wajahnya yang berseri-seri tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan, justru pancaran semangat dan kegembiraan terpancar jelas dari sorot matanya yang jenaka. Hari mulai siang saat mereka memasuki kota Xiuxiang. Suasana kota terasa hidup, jalanan dipenuhi oleh para pedagang dari berbagai daerah.. Qing Ning dan Du Fei bergegas menuju ke pasar, kaki-kaki mereka melangkah cepat di atas jalanan berbatu . Sesampainya di tempat berjualan, mereka disambut oleh barisan pelanggan yang sudah menanti -sebagian besar, anehnya, adalah laki-laki- dengan sorot mata penuh harap. "Aih, Nona, mengapa terlambat? Kami sudah menunggu dari tadi ingin bertemu denganmu!" protes seorang pelanggan yang berdiri di barisan antrian terdepan. Suaranya terdengar tidak sabar, namun ada nada gembira yang tak bisa disembunyikan. Tiba-tiba, ia menyadari tatapan aneh dari para pedagang wanita di sekitarnya. Wajahnya memerah, lalu buru-buru meralat ucapannya, "Eh, maksudku ... ingin membeli manisanmu!" Qing Ning menanggapi dengan senyuman manis, ia meletakkan keranjang manisan di atas sebuah meja bambu. "Maaf, Tuan ... kami kesiangan!" ucapnya dengan suara merdu yang membuat beberapa pelanggan pria menahan napas. "Tidak apa-apa, berikan aku sepuluh manisan!" Pelanggan tadi tersenyum genit, matanya tak lepas memandang wajah cantik Qing Ning. Namun, wanita itu dengan cerdik berpura-pura tidak menyadari, sibuk memasukkan manisan ke dalam kantung kertas dengan cekatan. Ketika Qing Ning hendak menyerahkan kantung yang sudah terisi, pria tersebut mengulurkan tangannya, berniat menyentuh jemari lentik sang penjual manisan. Namun, Du Fei yang waspada segera bertindak. Dengan gerakan cepat dan lincah, ia mengambil alih kantung itu dari tangan ibunya. "Ini, Paman!" seru Du Fei riang, menyodorkan kantung manisan kepada si pelanggan. Senyumnya lebar dan polos, tak menyadari kekecewaan yang terpancar di wajah pria itu. Pelanggan tersebut mendengus pelan, gemas bercampur kesal. "Dasar, Anak pengganggu!" desisnya nyaris tak terdengar. Dengan setengah hati, ia menyerahkan beberapa keping perak ke tangan kecil Du Fei, lalu berbalik pergi. Du Fei, masih dengan senyum lebarnya, melambaikan tangan pada pelanggan yang menjauh itu. Sementara Qing Ning tersenyum, matanya memancarkan rasa bangga pada kecerdikan putranya. Ia mengusap kepala Du Fei dengan penuh kasih sayang, membuat anak itu terkikik geli. Hari itu pun berlanjut, dengan Qing Ning dan Du Fei melayani pelanggan demi pelanggan. Manisan plum mereka laris manis, tidak hanya karena rasanya yang lezat, tetapi juga karena pesona tak tertahankan dari sang penjual cantik dan putranya yang menggemaskan. Dalam waktu singkat, keranjang Qing Ning telah kosong. Manisan plum mereka ludes terjual, meninggalkan aroma manis yang samar di udara. Kesuksesan ini, alih-alih memicu kegembiraan, justru memancing kecemburuan dari para pedagang di sekitar mereka, terutama para wanita yang merasa tersaingi. "Dasar wanita penggoda, bergenit-genit dengan pelanggan laki-laki supaya mereka mengeluarkan uangnya!" sindir pedagang bakpao di sebelah kanan Qing Ning. Suaranya sinis dan cukup keras untuk didengar oleh siapapun di sekitar mereka. "Benar, mentang-mentang cantik, menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang ... tidak tahu malu!" Pedagang di sebelah kiri menimpali dengan nada mencemooh. Matanya menyipit penuh kebencian saat melirik ke arah Qing Ning. Mereka melirik Qing Ning dengan tatapan merendahkan, seolah-olah ia adalah kotoran di sepatu mereka. Qing Ning, meski hatinya terluka, berusaha keras menjaga ekspresinya tetap tenang. Hinaan-hinaan seperti ini bukan hal baru baginya, namun tetap saja terasa menyakitkan setiap kali ia mendengarnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas cercaan mereka, Qing Ning mulai berkemas. "Du Fei, ayo kita pulang," ujarnya pada sang putra, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. Tergesa-gesa, Du Fei tak sengaja menabrak seorang pria setengah baya mengenakan pakaian pejabat daerah berwarna merah tua. Pakaian itu tampak mahal dan mencolok di antara kerumunan pasar. "Maafkan anak saya, Tuan!" Qing Ning segera membungkuk dalam-dalam, rambut hitamnya yang tergerai sedikit menutupi wajahnya yang cantik. "Ah, tidak apa-apa!" Pria itu terkekeh pelan, namun ada sesuatu dalam tawanya yang tidak tulus. Matanya menatap Qing Ning dengan cara yang membuat wanita itu merasa tidak nyaman. "Siapakah nama Nyonya? Sepertinya bukan berasal dari sini." Qing Ning merasakan firasat buruk menyergap hatinya. "Nama saya Mei dari desa sebelah," jawabnya singkat. Tangannya menggenggam erat jemari kecil Du Fei, seolah berusaha melindunginya dari bahaya yang tak kasat mata. "Kau boleh memanggilku Pejabat Yuan," ujar pria itu, senyumnya melebar namun mata berkilat penuh nafsu. "Bisakah kita berbincang dulu sambil makan bersama di rumah makan terbaik di kota ini?" "Maaf, saya harus pulang!" tolak Qing Ning dengan halus namun tegas. Tanpa menunggu respon, ia menarik tangan Du Fei, bergegas meninggalkan kota. Pejabat Yuan menatap punggung Qing Ning yang menjauh, senyum sinis terkembang di wajahnya yang mulai menua. "Jangan kira kau bisa lolos dariku!" gumamnya pelan seolah bicara pada diri sendiri, suaranya penuh ancaman. "Tak ada sesuatu pun yang kuinginkan tak dapat kumiliki." Sementara itu, Qing Ning dan Du Fei terus berjalan cepat, meninggalkan hiruk pikuk kota di belakang mereka. Qing Ning merasakan kelegaan mulai menyelimuti hatinya seiring jarak yang semakin jauh dari kota. Ketika melintasi jalan setapak di tepi hutan yang rimbun, telinga Qing Ning yang terlatih menangkap suara langkah-langkah kaki asing mengikuti mereka. Suara itu samar, namun cukup jelas untuk memicu kewaspadaannya. "Du Fei, kita harus bergegas," bisiknya lembut. Mereka berdua mempercepat langkah, nyaris berlari. Di belakang mereka, Pejabat Yuan muncul dari balik pepohonan, bergerak dengan gesit. Ia mengejar Qing Ning dan Du Fei, namun kehilangan jejak ketika ibu dan anak itu berbelok tajam di tikungan yang tersembunyi di balik semak belukar.Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah."Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan.Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang."Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan.Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar pen
Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan.Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya."Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan.Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalu
Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
"Apa maksudmu?" Xie Gua mendengus tak sabar."Aku memiliki energi api dan kekuatan dewa naga dalam diriku," Du Fei membual dengan mengeraskan suaranya, memastikan gaungnya terdengar ke seluruh hutan. "Siluman manapun yang memangsaku pasti akan mendapatkan kekuatan berlipat seperti dewa!""Aku tak ingin kematianku sia-sia bila hanya dimangsa siluman kelas rendah," tambahnya dengan nada merendahkan.Xie Gua menyipitkan matanya yang berkilat berbahaya. "Kau berkata keras-keras karena ingin membangkitkan siluman-siluman lain agar kami saling bunuh, begitu bukan?"Du Fei tersenyum misterius, "Aku tidak sedang membual. Kau pun tahu seberapa besar energi api yang kumiliki.""Baik!” Xie Gua menghentakkan kakinya dengan tak sabar, “akan kucabut nyawamu seka—" BRAKK!Sebuah batu sebesar gajah menghantam kepala Xie Gua dari atas hingga amblas ke dalam tanah, menghancurkan tengkoraknya dalam sekejap. Darah hitam menggenangi tanah di sekitar batu, membuat Du Fei berg
Malam semakin larut, di dalam gua hanya terdengar suara derak kayu bakar yang terbakar perlahan. Xie Gua menatap sosok Du Fei yang berbaring miring menghadap dinding batu, nafasnya teratur seperti orang terlelap."Du Fei?" panggilnya pelan, tak ada jawaban kecuali suara dengkuran halus."Du Fei?" sekali lagi ia memanggil, lebih keras. Masih sunyi.Seringai kejam tersungging di bibir Xie Gua yang mulai berubah. Wajah ramah sang pertapa lenyap, digantikan sosok mengerikan yang selama ini tersembunyi. Kulit tangannya mengeras, bersisik seperti ular. Kuku-kukunya memanjang dan menghitam, tajam bagai belati beracun."He he he, dasar Bocah bodoh!" tawanya menggelegar hingga menggema dalam gua. Transformasinya semakin lengkap, gigi-gigi berubah menjadi taring-taring panjang yang mencuat dari mulut yang kini tersenyum semakin lebar. Hidung memanjang dan membengkok seperti paruh burung pemangsa, dan sepasang mata berkilat merah dalam kegelapan.Du Fei merasakan jant
Kabut tebal mendadak tersibak. Dari balik kegelapan, muncul sesosok nenek tua dengan rambut putih kusut dan pakaian compang-camping. Kulitnya pucat kebiruan seperti mayat, keriput-keriput di wajahnya membentuk pola mengerikan. Namun yang paling menakutkan adalah matanya, merah menyala dengan pupil vertikal seperti mata ular."Sudah lama aku tidak mencicipi daging manusia muda," suaranya serak dan dalam, tidak seperti suara manusia. "Kau pasti lezat, anak muda."Du Fei memasang kuda-kuda, tangan kanannya mencengkeram ranting. "Kau pasti siluman Sha Zhang yang haus darah manusia?"Nenek itu menyeringai, memamerkan deretan gigi tajam bernoda darah. "Oh, kau mengenalku? Aku tersanjung." Ia melompat dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh setuanya, cakar-cakar panjang teracung ke arah Du Fei.Trakk!Ranting kokoh Du Fei berbenturan dengan cakar Sha Zhang. Benturan itu menimbulkan percikan api ungu. Du Fei terkejut merasakan kekuatan di balik serangan itu, jauh melampaui kekuatan manus
Panglima Liu terpojok, punggungnya membentur batang pohon besar. Keringat dingin mengucur deras di dahinya saat Du Fei semakin mendekat. Namun tiba-tiba matanya berbinar. Dari kejauhan, terdengar derap puluhan kaki kuda yang bergemuruh."Ha! Kau dalam masalah besar sekarang, Du Fei!" Panglima Liu mendadak kembali percaya diri, membusungkan dada menantang pemuda yang sempat membuatnya gentar.Du Fei menoleh ke arah suara. Di bawah awan debu yang membumbung, pasukan berkuda dalam jumlah besar bergerak cepat ke arah mereka. Mereka dilengkapi tameng di bagian dada, tombak dan pedang pun terhunus siap bertarung."Pasukan elit!" seru salah satu prajurit yang terluka.Du Fei menggertakkan gigi. Ia bisa saja menghadapi mereka, tapi pertarungan panjang hanya akan membuang waktu dan tenaga. Pikirannya melayang pada tujuan utamanya, Gunung Kunlun yang menjulang di kejauhan, tempat ia harus menyempurnakan ilmu Pedang Bayangan Bulan."Maaf mengecewakan kalian," Du Fei tersenyum mengejek, "tapi ak
Debu beterbangan saat Du Fei dan Liu Heng menerobos kerumunan pasar yang padat. Teriakan "Tangkap buronan!" bergema di belakang mereka, diikuti derap langkah puluhan prajurit yang mengejar.Begitu melampaui gerbang kota, Du Fei menghentikan langkahnya. "Kakek, kita berpencar!" ia berkata cepat.,"aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kakek pergilah sejauh mungkin!""Tapi, Du Fei ….""Cepat pergi!" Du Fei mendorong Liu Heng ke arah hutan. "Aku bisa mengatasi mereka.”Setelah memastikan Liu Heng menghilang di balik pepohonan, Du Fei berbalik menghadapi para pengejarnya. Ia berdiri tegak di tengah jalan, berkacak pinggang dengan sikap menantang. Angin semilir bertiup, menggoyangkan jubahnya yang berwarna coklat muda .Panglima Liu menghentikan pasukannya beberapa langkah dari Du Fei. Matanya berkilat penuh kebencian ke arah lawan. "Dasar pembunuh!" seru sang Panglima dengan nada bengis. "Kau telah membunuh orang-orangku. Kau harus dihukum mati!"Senyum sinis tersungging di bibir Du Fei
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan saat Du Fei dan Liu Heng menyelesaikan pemakaman terakhir. Sepuluh gundukan tanah berjajar rapi, menjadi saksi bisu tragedi semalam. Du Fei memadatkan timbunan tanah dengan cangkul, keringat mengalir di dahi segera ia hapus dengan lengan bajunya.Liu Heng mengamati teman seperjalanannya dengan seksama. Sejak fajar menyingsing, pemuda itu nyaris tak bersuara, sangat tidak biasa untuk seorang Du Fei yang biasanya sering bercanda dan menjahilinya."Anak Nakal, mengapa dari semalam tidak banyak bicara?" Liu Heng bertanya sambil meneliti raut wajah Du Fei yang terlihat muram. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, tangannya terus bekerja memadatkan tanah seolah berusaha mengubur sesuatu lebih dari sekedar jenazah."Kakek, mari lanjutkan perjalanan!" Du Fei bangkit setel
"Wanita ini sangat kejam dan berbahaya," batin Du Fei. Meski begitu, gerakannya yang mematikan terlihat anggun dan indah, seperti bunga azalea yang cantik meski beracun.Sadar bahwa pertarungan ini harus segera diakhiri, Du Fei meraih sebatang ranting pohon. Jemarinya bergerak cepat, mengalirkan energi chi hingga ranting itu sekokoh pedang pusaka."Maafkan aku, Nona … tapi ini saatnya kau menyerah!" Du Fei memasang kuda-kuda yang berbeda. "Bayangan Bulan Menari!"Tubuhnya seolah terbelah menjadi delapan, bergerak dalam formasi yang membingungkan. Ranting di tangannya menari dalam gerakan spiral, menciptakan ilusi bulan purnama yang berputar. Setiap gerakan mengandung serangan mematikan, namun Du Fei dengan cermat mengendalikan tenaganya, cukup untuk melumpuhkan, tidak untuk membunuh.
"Percayalah, mereka pantas untuk mati!" desis sosok bertubuh ramping dalam pakaian serba hitam, kain penutup sebagian wajah menambah kesan kemisteriusannya."Apa yang kau lakukan menunjukkan bahwa dirimu tak jauh beda dengan mereka, bahkan lebih kejam!" Du Fei melangkah mendekat dengan sikap waspada, langkahnya terhenti saat jarak mereka tinggal sejengkal.Sinar bulan purnama menerangi sebagian wajah sosok lawan, memperlihatkan sepasang alis yang melengkung bagai bulan sabit. Du Fei tertegun. Di bawah alis, sepasang mata sekelam malam balas menatap pria itu tajam, mata yang menyimpan kepedihan mendalam namun tetap tak mampu menutupi keindahannya.Wangi tubuhnya menguar lembut terbawa angin, wangi bunga plum yang berbaur dengan aroma hutan pinus, menciptakan keharuman yang memabukkan.
“Bagus, kali ini kita akan bermain ‘Menghajar Perampok berkedok Prajurit’, bagaimana?” Liu Heng mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali, senyumnya melebar membayangkan dirinya menghajar para prajurit yang sudah bertindak sewenang-wenang di kedai tadi.Keduanya bergegas meninggalkan kedai, mengikuti jejak rombongan Panglima Liu. Namun setelah beberapa li mengejar, Du Fei menghentikan langkah. "Aneh," gumam pemuda bertopeng itu sambil mengerutkan kening, berlutut memeriksa tanah. "Jejak kaki perampok-perampok itu menghilang begitu saja, seharusnya mereka belum jauh."Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dedaunan dari arah hutan di sisi kanan jalan. Du Fei bangkit menegakkan tubuh, instingnya menangkap sesuatu yang tidak beres. "Ada yang datang."Sosok sempoyongan muncul dari balik rimbunnya pepohonan. Cahaya rembulan yang menembus kanopi hutan menyinari seragam prajurit yang kini bermandikan darah. Lengan kirinya yang buntung masih meneteskan darah segar, sementara wajahnya pucat pas