Share

SSSN 2 : LEGENDA PEDANG NAGA API
SSSN 2 : LEGENDA PEDANG NAGA API
Author: Evita Maria

1. PENJUAL MANISAN

Di kaki Gunung Lu yang menjulang, musim semi menghamparkan keindahannya. Ribuan bunga pohon plum bermekaran, kelopak-kelopaknya yang berwarna merah muda dan putih seakan menari tertiup angin semilir.

Di tengah pemandangan memesona itu, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sibuk memetik buah-buah plum yang ranum. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin. Ia mengenakan pakaian sederhana, sedikit kusam oleh debu dan keringat.

"Du Fei … Du Fei! Di mana kau, Nak?”

Anak laki-laki yang dipanggil Du Fei itu menoleh ke arah sumber suara. Mata bulatnya berbinar-binar mengenali suara yang sangat ia kenal.

"Ibu, aku di sini!" teriak Du Fei kecil dengan suara kanak-kanaknya yang khas.

Saat sosok ibunya mulai terlihat di balik rimbunnya pepohonan, Du Fei berlari kecil menghampirinya. Keranjang di tangan berayun-ayun mengikuti irama gerakannya..

"Lihat, Ibu! Hasil petikan ku makin hari makin banyak!" seru Du Fei mengangkat keranjangnya tinggi-tinggi, memamerkan buah-buah plum yang terlihat ranum di bawah sinar matahari. Senyum lebarnya menampakkan deretan gigi susu yang rapi, dengan satu celah kecil di bagian depan - tanda bahwa ia sedang dalam masa pergantian gigi.

Melihat hasil kerja keras putranya, sang Ibu memasang mimik kagum yang tulus. Matanya yang lembut membelalak takjub, alisnya terangkat tinggi, dan bibirnya yang ranum terbuka membentuk huruf 'O' kecil. Ekspresinya memancarkan kebanggaan dan kasih sayang yang mendalam.

"Wah, Du Fei sayang! Kau benar-benar anak yang rajin dan berbakat!" puji sang Ibu. Ia berlutut di hadapan Du Fei, menyejajarkan pandangannya dengan sang anak. Tangannya mengusap kepala Du Fei dengan penuh kasih sayang.

"Apakah kau lupa hari ini kita harus ke kota berjualan manisan?" tanya Qing Ning, matanya menatap lembut Du Fei kecil. Wanita cantik ini, yang tak lain adalah cucu mendiang ketua Hoa San, meski sudah berusia 27 tahun dan hidup bersahaja, namun aura kecantikannya tetap terpancar.

Du Fei, dengan mata sendu menjawab , "Maafkan Du Fei, menyusahkan Ibu!"

Qing Ning tertawa kecil mendengar jawaban putranya. "Ayo cepat bergegas sebelum hari keburu siang!" ujarnya sambil menyentil dagu Du Fei dengan gemas.

Perjalanan menuju kota cukup jauh dan menantang, terutama dengan berjalan kaki. Mereka harus melewati hutan yang membentang beberapa kilometer, dengan pepohonan rimbun dan sesekali suara binatang liar yang terdengar samar-samar.

Du Fei, meskipun masih kecil, menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Kebiasaan berjalan jauh yang telah ia lakukan sejak berusia lima tahun telah menempa tubuh mungilnya menjadi kuat dan tangguh. Wajahnya yang berseri-seri tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan, justru pancaran semangat dan kegembiraan terpancar jelas dari sorot matanya yang jenaka.

Hari mulai siang saat mereka memasuki kota Xiuxiang. Suasana kota terasa hidup, jalanan dipenuhi oleh para pedagang dari berbagai daerah..

Qing Ning dan Du Fei bergegas menuju ke pasar, kaki-kaki mereka melangkah cepat di atas jalanan berbatu . Sesampainya di tempat berjualan, mereka disambut oleh barisan pelanggan yang sudah menanti -sebagian besar, anehnya, adalah laki-laki- dengan sorot mata penuh harap.

"Aih, Nona, mengapa terlambat? Kami sudah menunggu dari tadi ingin bertemu denganmu!" protes seorang pelanggan yang berdiri di barisan antrian terdepan. Suaranya terdengar tidak sabar, namun ada nada gembira yang tak bisa disembunyikan.

Tiba-tiba, ia menyadari tatapan aneh dari para pedagang wanita di sekitarnya. Wajahnya memerah, lalu buru-buru meralat ucapannya, "Eh, maksudku ... ingin membeli manisanmu!"

Qing Ning menanggapi dengan senyuman manis, ia meletakkan keranjang manisan di atas sebuah meja bambu. "Maaf, Tuan ... kami kesiangan!" ucapnya dengan suara merdu yang membuat beberapa pelanggan pria menahan napas.

"Tidak apa-apa, berikan aku sepuluh manisan!" Pelanggan tadi tersenyum genit, matanya tak lepas memandang wajah cantik Qing Ning. Namun, wanita itu dengan cerdik berpura-pura tidak menyadari, sibuk memasukkan manisan ke dalam kantung kertas dengan cekatan.

Ketika Qing Ning hendak menyerahkan kantung yang sudah terisi, pria tersebut mengulurkan tangannya, berniat menyentuh jemari lentik sang penjual manisan. Namun, Du Fei yang waspada segera bertindak. Dengan gerakan cepat dan lincah, ia mengambil alih kantung itu dari tangan ibunya.

"Ini, Paman!" seru Du Fei riang, menyodorkan kantung manisan kepada si pelanggan. Senyumnya lebar dan polos, tak menyadari kekecewaan yang terpancar di wajah pria itu.

Pelanggan tersebut mendengus pelan, gemas bercampur kesal. "Dasar, Anak pengganggu!" desisnya nyaris tak terdengar. Dengan setengah hati, ia menyerahkan beberapa keping perak ke tangan kecil Du Fei, lalu berbalik pergi.

Du Fei, masih dengan senyum lebarnya, melambaikan tangan pada pelanggan yang menjauh itu. Sementara Qing Ning tersenyum, matanya memancarkan rasa bangga pada kecerdikan putranya. Ia mengusap kepala Du Fei dengan penuh kasih sayang, membuat anak itu terkikik geli.

Hari itu pun berlanjut, dengan Qing Ning dan Du Fei melayani pelanggan demi pelanggan. Manisan plum mereka laris manis, tidak hanya karena rasanya yang lezat, tetapi juga karena pesona tak tertahankan dari sang penjual cantik dan putranya yang menggemaskan.

Dalam waktu singkat, keranjang Qing Ning telah kosong. Manisan plum mereka ludes terjual, meninggalkan aroma manis yang samar di udara. Kesuksesan ini, alih-alih memicu kegembiraan, justru memancing kecemburuan dari para pedagang di sekitar mereka, terutama para wanita yang merasa tersaingi.

"Dasar wanita penggoda, bergenit-genit dengan pelanggan laki-laki supaya mereka mengeluarkan uangnya!" sindir pedagang bakpao di sebelah kanan Qing Ning. Suaranya sinis dan cukup keras untuk didengar oleh siapapun di sekitar mereka.

"Benar, mentang-mentang cantik, menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang ... tidak tahu malu!" Pedagang di sebelah kiri menimpali dengan nada mencemooh. Matanya menyipit penuh kebencian saat melirik ke arah Qing Ning.

Mereka melirik Qing Ning dengan tatapan merendahkan, seolah-olah ia adalah kotoran di sepatu mereka. Qing Ning, meski hatinya terluka, berusaha keras menjaga ekspresinya tetap tenang. Hinaan-hinaan seperti ini bukan hal baru baginya, namun tetap saja terasa menyakitkan setiap kali ia mendengarnya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas cercaan mereka, Qing Ning mulai berkemas. "Du Fei, ayo kita pulang," ujarnya pada sang putra, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya.

Tergesa-gesa, Du Fei tak sengaja menabrak seorang pria setengah baya mengenakan pakaian pejabat daerah berwarna merah tua. Pakaian itu tampak mahal dan mencolok di antara kerumunan pasar.

"Maafkan anak saya, Tuan!" Qing Ning segera membungkuk dalam-dalam, rambut hitamnya yang tergerai sedikit menutupi wajahnya yang cantik.

"Ah, tidak apa-apa!" Pria itu terkekeh pelan, namun ada sesuatu dalam tawanya yang tidak tulus. Matanya menatap Qing Ning dengan cara yang membuat wanita itu merasa tidak nyaman. "Siapakah nama Nyonya? Sepertinya bukan berasal dari sini."

Qing Ning merasakan firasat buruk menyergap hatinya. "Nama saya Mei dari desa sebelah," jawabnya singkat. Tangannya menggenggam erat jemari kecil Du Fei, seolah berusaha melindunginya dari bahaya yang tak kasat mata.

"Kau boleh memanggilku Pejabat Yuan," ujar pria itu, senyumnya melebar namun mata berkilat penuh nafsu. "Bisakah kita berbincang dulu sambil makan bersama di rumah makan terbaik di kota ini?"

"Maaf, saya harus pulang!" tolak Qing Ning dengan halus namun tegas. Tanpa menunggu respon, ia menarik tangan Du Fei, bergegas meninggalkan kota.

Pejabat Yuan menatap punggung Qing Ning yang menjauh, senyum sinis terkembang di wajahnya yang mulai menua. "Jangan kira kau bisa lolos dariku!" gumamnya pelan seolah bicara pada diri sendiri, suaranya penuh ancaman. "Tak ada sesuatu pun yang kuinginkan tak dapat kumiliki."

Sementara itu, Qing Ning dan Du Fei terus berjalan cepat, meninggalkan hiruk pikuk kota di belakang mereka. Qing Ning merasakan kelegaan mulai menyelimuti hatinya seiring jarak yang semakin jauh dari kota.

Ketika melintasi jalan setapak di tepi hutan yang rimbun, telinga Qing Ning yang terlatih menangkap suara langkah-langkah kaki asing mengikuti mereka. Suara itu samar, namun cukup jelas untuk memicu kewaspadaannya.

"Du Fei, kita harus bergegas," bisiknya lembut. Mereka berdua mempercepat langkah, nyaris berlari.

Di belakang mereka, Pejabat Yuan muncul dari balik pepohonan, bergerak dengan gesit. Ia mengejar Qing Ning dan Du Fei, namun kehilangan jejak ketika ibu dan anak itu berbelok tajam di tikungan yang tersembunyi di balik semak belukar.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status