Shania berjalan dengan tergesa-gesa, seolah tak ingin kalah dengan deru angin yang membelainya kuat-kuat alih-alih bertiup dengan lembut. Ia harus segera bertemu seseorang yang menunggunya di panti asuhan Permata Kasih, yang telah menjadi rumah baginya sejak ia kecil.
Ketergesa-gesaan nan melelahkan itu, berpadu dengan sepatu hak tinggi warna merah yang ia kenakan, membuat langkahnya terseok-seok. Ia menertawakan dirinya sendiri dan berjanji tidak akan melupakan perjuangan bertemu idola ini. Seorang perempuan terhormat, kaya dan dermawan, berhati selembut kapas dan berperangai sangat baik, bernama Nyonya Brenda, telah membuai angan Shania dan membuatnya menggebu-gebu ingin bertemu.
Shania belum lama pulang ke Indonesia. Ia belum genap dua bulan berkumpul kembali dengan ibu asuhnya, karena sebelumnya ia tinggal di New York selama empat tahun, guna menyelesaikan pendidikan arsitekturnya di sana dengan beasiswa.
Shania akrab dengan cerita-cerita tentang Nyonya Brenda, karena Bu Lina—ibu asuh, pemilik, sekaligus pengelola panti—tak pernah bosan mendongengkannya melalui telepon, saat Shania masih berada di Amerika. Perempuan kaya nan baik itu telah menjadi donatur terbesar panti asuhan Permata Kasih, selama empat tahun terakhir, yang dimulai sejak beberapa hari setelah kepergian Shania ke luar negeri. Itulah kenapa mereka belum pernah bertemu sampai saat ini.
Shania—yang dianugerahi kecerdasan dan semangat pantang menyerah sejak kecil itu—kini mengukuhkan pencapaiannya dengan diterimanya ia di sebuah perusahaan properti besar, sebagai seorang arsitek. Semua prestasi itu nyata-nyata menarik kekaguman Nyonya Brenda. Itulah kenapa Nyonya Besar sangat ingin bertemu dengan Shania. Dua insan manusia berbeda usia ini saling merindukan pertemuan pertama mereka, bak sepasang kekasih yang tengah terbuai mimpi, dan merasa saling terinspirasi.
Angan indah Shania tiba-tiba terhenti. Sebuah mobil hampir saja menabraknya dan terpaksa membuat langkah kakinya limbung dan jatuh. Perjalanan dramatisnya sempurna sudah!
Seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun, tampak keluar dari mobil, dengan raut muka kesal dan keangkuhan tak terbantahkan. Shania mencium aroma kemarahan yang akhirnya membuatnya berdiri dengan malas. "Kemana kamu arahkan pandanganmu saat sedang berjalan? Apa tidak bisa bersikap hati-hati?" tanya pria itu garang. Kemarahannya jelas-jelas tak berdasar.
"Maaf, Tuan. Saya sudah sangat berhati-hati," ucap Shania tak berminat. "Anda yang sepertinya kurang hati-hati."
"Apa?" sergah pria itu semakin kesal.
"Maaf, Tuan Edward. Saya yang salah," ucap seorang pria paruh baya yang berdiri di belakang pria angkuh itu dengan suara gemetar. Shania menduga dia adalah sopir sang Tuan. "Saya menghindari kendaraan lain yang tiba-tiba memotong jalan, yang membuat saya oleng dan hampir menabrak Nona ini."
Shania menaikkan pandangannya dengan sigap lalu menganggukkan kepalanya tanda setuju, sekaligus berterima kasih atas pembelaan itu.
"Diam kamu, Harun! Kamu tidak perlu memberi tahuku mana yang salah, dan mana yang benar!" Hardikan sang Tuan seketika membungkam sopir malang itu. Dengan tatapannya yang angkuh, sang Tuan lalu melekatkan pandangannya pada Shania. "Kalau terjadi apa-apa denganmu, maka aku yang akan direpotkan."
"Tenang saja, Tuan," jawab Shania tak berminat. "Saya baik-baik saja. Silakan lanjutkan perjalanan Anda, dan lupakan kejadian ini."
Sorot mata tajam dengan alis sedikit terangkat nyata-nyata menunjukkan keterkejutan sang Tuan atas respon Shania. Tapi urusannya nampaknya begitu banyak hingga ia merasa tak punya waktu beradu argumen dengan Shania.
Dengan desah nafas angkuh yang penuh kesan meremehkan, sang Tuan mengedikkan bahu, berlalu meninggalkan Shania, masuk kembali ke mobilnya. Shania yang masih memegangi punggung tangan kirinya yang lecet memandangi sang Tuan dengan sorot mata maklum. Beberapa jenis manusia memang terkadang luar biasa.
Tak berselang lama, Shania mendapatkan taksi yang ia nanti. Ia bergegas masuk untuk menyelesaikan perjalanan pulangnya ke panti, sekaligus menenangkan diri atas kejadian cukup menyedihkan yang baru saja ia alami.
Lancarnya perjalanan membawa Shania sampai ke panti tanpa memakan waktu lama. Pas dengan ekspektasinya, karena bahkan demi pertemuan ini ia sudah meminta ijin dari kantornya untuk pulang lebih cepat. Beruntungnya ia, karena atasannya yang baik tidak membuatnya mendapatkan kesulitan untuk itu.
Langkah kaki Shania begitu bersemangat. Antusiasme meruah di hatinya. Semua jasa yang dilakukan oleh Nyonya Brenda untuk keluarga besarnya di panti begitu mengharukan baginya, dan membuatnya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada Nyonya Besar itu. Bukan hanya uang yang telah ia berikan, tapi juga kasih sayang, dan begitu banyak pertolongan dalam hampir setiap kesempatan. Seorang filantrop seperti dia membuat kehidupan di muka bumi yang kadang ganas ini menjadi lebih indah.
Langkah kaki Shania melambat, saat ia memasuki ruang tamu dari gedung utama panti asuhan Permata Kasih, tepatnya bangunan rumah yang ia huni bersama ibu asuhnya. Seorang perempuan paruh baya, duduk dengan anggunnya di sana. Dandanannya elegan tak berlebihan, dengan syal rajut melingkar di lehernya. Wajahnya ayu, dengan sorot mata yang teduh.
Perempuan yang tampak duduk sendiri itu awalnya mengarahkan segenap perhatiannya pada layar ponsel yang ia pegang. Hingga kemudian Shania masuk—dengan suara langkah kaki yang sulit untuk tak terdeteksi, karena ia mengenakan sepatu hak tinggi—lalu secara spontan perhatian itu teralih. Sorot mata terkejut begitu terlihat jelas di wajah Nyonya itu, melihat kedatangan Shania. Namun hanya sesaat setelah itu, senyum tampak mengembang dengan tulus di sana, menyadari bahwa yang ia tunggu telah datang.
"Nona Shania!" seru Nyonya itu menghambur ke arah Shania, dan berhenti tepat di depannya, ketika mereka tak lagi berjarak. Sungguh pertemuan menyentuh hati.
"Ya, Nyonya! Saya Shania," jawab Shania dengan serta merta mendaratkan pelukannya ke tubuh sang Nyonya. Begitu kencang, dan kemudian ia lepaskan setelah beberapa saat. "Bagaimana kabar Nyonya?"
"Ah, saya baik-baik saja, Nona. Saya yakin Nona Shania juga baik-baik saja. Anda terlihat sangat prima."
Shania terkekeh. Ternyata Nyonya Brenda memiliki selera humor yang cukup bagus. "Shania, Nyonya. Panggil saja saya Shania," ucapnya. "Saya merasa senang sekali kita akhirnya bisa bertemu. Selama ini saya sangat mengagumi Anda meski kita belum pernah bertemu, dan ... " ucap Shania takzim , "saya ingin mengucapkan terima kasih untuk semua yang Anda lakukan untuk panti."
"Oh," jawab sang Nyonya, "memangnya apa yang sudah kulakukan? Aku tidak melakukan apapun yang pantas untuk kekagumanmu, Shania Sayang." Sang Nyonya kembali memeluk Shania. Kali ini lebih akrab, dengan beberapa belaian lembut ke atas rambut gadis itu.
Hanya beberapa saat setelah pelukan lembut itu ia lepaskan, perhatiannya langsung teralihkan pada luka di punggung tangan kiri Shania. "Oh!" pekiknya. "Luka apa ini?"
"Tidak papa, Nyonya," sahut Shania. "Hanya luka kecil. Sebuah mobil limbung tadi hampir menabrak saya."
"Astaga!" pekik sang Nyonya lagi. "Itu berbahaya! Beruntung, tidak terjadi apa-apa denganmu. Pengendara mobil itu seharusnya berhati-hati."
"Tenang saja, Nyonya," sahut Shania santai namun tetap sopan. "Saya tidak masalah dengan ini semua. Saya bisa memaklumi sopirnya, karena dia tidak sepenuhnya bersalah. Apalagi dengan jujur dia berani meminta maaf. Tapi kalau pemiliknya memang—maaf, cenderung angkuh dan arogan. Tapi saya bisa memberinya pelajaran jika bertemu lagi suatu saat nanti," lanjut Shania dengan pidato singkat. Nyonya Brenda melirik ke arah Shania dengan ekspresi tak terbaca.
Tanpa babibu, Nyonya Brenda menarik tangan Shania dan menyuruhnya duduk, sementara ia mengambil kotak P3K di ruang tengah. Langkah kakinya tak terlihat kikuk, menunjukkan betapa ia telah hafal dengan ruangan-ruangan di panti itu. Shania tersenyum. Ini semakin menambah kekagumannya pada sang Nyonya.
"Diamlah! Jangan banyak bergerak!" perintah sang Nyonya sambil membersihkan luka Shania, dan mengobatinya.
Gerak langkah seseorang terdengar mendekat. Hanya beberapa saat berselang, muncullah dari pintu, seorang wanita paruh baya dengan gaya busana bersahaja, yang dengan terkejut berseru kepada Shania, "Astaga, Shania! Apa yang terjadi denganmu? Kamu terluka?"
Shania tersenyum lembut ke arah sang ibu. "Tidak, Ibu. Ini hanya luka kecil."
"Seseorang hampir menabraknya," sahut Nyonya Brenda.
"Oh, ya ampun!" seru Bu Lina. "Itu berbahaya. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa denganmu?"
"Tapi nyatanya tidak kan, Bu?"
"Katanya dia akan memberikan pelajaran pada pemilik mobilnya suatu saat nanti," sahut Nyonya Brenda menambahkan.
Shania tertawa. "Itu pasti akan seru, Nyonya! Tapi semoga saya tidak cukup beruntung untuk mendapatkan kesempatan itu," ucap Shania tanpa canggung.
Nyonya Brenda telah selesai mengobati luka Shania saat ia melanjutkan ucapannya, "Kita tidak pernah tahu tentang takdir, Sayangku. Kalau kamu mendapatkan kesempatan untuk melakukan itu, maka lakukan dengan baik."
"Oh, Nyonya," timpal Shania, "saya hampir-hampir mengira kita membicarakan sesuatu yang serius. Tapi kalau benar itu menjadi takdir saya, paling tidak saya butuh hadiah besar untuk tugas berat itu. Atau saya akan minta Tuhan menyertainya dengan takdir lain yang lebih indah." Shania terpaksa tersenyum geli, sementara semua orang lain tertawa.
Obrolan hangat nan menyenangkan itu dengan cepat membawa mereka melalui detik demi detik, beralih ke menit hingga menit berikutnya, bahkan hingga melewati pergantian jam. Nyonya Brenda dan Shania yang tampak puas dengan obrolan hangat itu akhirnya memutuskan untuk melakukan satu perjalanan singkat, yang mereka sebut jalan-jalan santai, untuk menikmati waktu sekaligus menyempurnakan kesenangan mereka dalam pertemuan itu.
Berangkatlah sang Nyonya bersama Shania, dengan didampingi oleh sopir Nyonya Brenda yang begitu setia menemaninya, Pak Heru. Beberapa tempat sederhana namun menyenangkan seperti taman dan pantai menjadi tempat yang mereka kunjungi hari itu. Canda tawa mewarnai perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka, dengan rona muka puas, menempuh perjalanan pulang di sore hari.
"Shania," ucap Nyonya Brenda dalam perjalanan pulang, "jadi usiamu dua puluh delapan tahun?"
"Ya. Seperti yang sudah saya katakan tadi, Nyonya," jawab Shania sambil merilekskan posisi duduknya, menikmati laju mobil mereka yang dikemudikan oleh Pak Heru.
Nyonya Brenda menarik nafas panjang. Rona mukanya yang tadinya terlihat baik-baik saja tampak sedikit sendu. Shania yang menangkap pemandangan itu lalu bertanya, "Nyonya, Anda terlihat sedih. Apakah ada sesuatu yang Anda pikirkan?"
"Ya. Sebenarnya ada," desah sang Nyonya. "Tahukah kamu, Sayangku? Anak pertamaku, Alex, yang saat ini berusia dua puluh dua tahun—beberapa tahun lebih muda darimu—sedang menyelesaikan pendidikannya di Amerika. Aku sangat merindukannya."
"Rindu itu bukan sebuah masalah, Nyonya," timpal Shania khidmat.
"Tapi masalahnya, dia baru saja pulang untuk menengok orang tuanya, minggu lalu. Aneh kalau saat ini rinduku menggebu-gebu."
"Nyonya," sahut Shania sedikit tersenyum, "bahkan Ibu saya merindukan saya setiap hari. Dan beliau tidak menganggap itu aneh. Padahal Bu Lina bukan ibu kandung saya. Bagaimana mungkin Anda yang merupakan ibu kandung dari anak Anda sendiri menganggap kerinduan padanya itu aneh?"
"Kamu benar!" ucap sang Nyonya setuju, tapi pandangan misterius terpancar dari sorot matanya, seiring dengan gerakan lembutnya membelai rambut Shania. "Kamu begitu cantik, Shania."
"Terima kasih, Nyonya." Pipi Shania merona. "Apa Anda sudah mencoba menelepon Alex?"
"Ya." Sang Nyonya menganggukkan kepalanya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke depan. "Tadi pagi kami melakukan panggilan video. Aku mengajak serta anakku yang kedua, Bianca—yang usianya dua tahun lebih muda dari Alex—untuk ikut berbicara dengan kakaknya dalam panggilan itu. Mereka terlihat begitu ceria. Mereka sangat dekat sejak kecil."
"Oh, itu mengharukan, Nyonya," sahut Shania takzim.
"Shania," lanjut sang Nyonya sambil meraih tangan Shania dalam genggamannya. "Aku tidak tahu perasaan apa ini, tapi ... aku sejujurnya merasa aneh, tiba-tiba ada keinginan kuat dalam hatiku untuk melihat Alex pulang. Bianca membutuhkannya. Aku ingin Alex menjaga Bianca."
Dengan mengerutkan kening, Shania lalu bertanya, "Memangnya ada apa dengan Bianca? Apa sesuatu terjadi padanya?"
"Tidak, tidak. Hanya saja ... entahlah, perasaan aneh itu mendominasi isi pikiranku sejak pagi ini." Nyonya Brenda mendesah. Tangannya masih menggenggam erat tangan Shania. Kekhawatiran memang terlihat jelas di wajahnya.
"Nyonya," ucap Shania dengan lembut, "sesama saudara pasti akan saling menjaga. Alex dan Bianca pasti juga akan seperti itu. Tapi—kenapa tiba-tiba Anda mengatakan hal seperti itu?"
"Entahlah, Sayangku. Ini aneh, bukan? Aku tahu ini aneh. Tapi tidak ada yang lebih kuinginkan saat ini, selain memastikan bahwa kedua anak-anakku akan selalu baik-baik saja. Karena aku tidak bisa mengandalkan ayah mereka. Mereka sendirilah yang harus saling menjaga satu sama lain." Sang Nyonya berbicara semakin aneh, hingga membuat Shania beringsut dan mengerutkan keningnya, semakin tidak mengerti.
"Putriku, Bianca," lanjut sang Nyonya, "dia gadis yang cantik sepertimu, Shania. Hanya saja, dia sedikit manja. Mungkin karena dia anak bungsu. Ketergantungannya pada sosok yang bisa mengayominya, lebih besar dari Alex. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya dia kalau .... " Kata-kata sang Nyonya terputus oleh renungan yang misterius. Shania dibuat semakin bingung karenanya.
"Kalau apa, Nyonya?" tanya Shania penasaran.
"Entahlah." Nada sendu mengakhiri ucapan sang Nyonya yang sebenarnya masih mengambang bagi Shania. Ia masih ingin melanjutkan pembicaraan tentang topik itu, dan bertanya pada sang Nyonya apa maksudnya, tapi tiba-tiba mobil yang mereka kendarai terguncang kuat. Shania dan Nyonya Brenda yang masih berpegangan tangan, semakin mengeratkan genggaman mereka satu sama lain, hingga akhirnya mereka tak sadarkan diri.
Orang-orang menjerit histeris. Kecelakaan besar baru saja terjadi di depan mata mereka.
***Shania mencoba membuka matanya, mengedipkannya sekali, dan bayangan di sekitarnya yang tadinya tampak buram mulai terlihat jelas. Ia tengokkan kepalanya yang tergeletak di atas bantal ke kiri dan kanannya, berusaha mengamat-amati—dengan memaksa, karena ia sangat lemah, dan alhasil menggerakkan kepala pun terasa berat. Sebuah tempat tidur kosong berada di sisi kanan tempat tidur yang ia tempati. Kelambu rumah sakit dan beberapa perlengkapan medis, semua pemandangan itu sudah cukup menyadarkan Shania bahwa kini dirinya berada di ruang perawatan.Meski tak begitu jelas di ingatannya, tapi ia tahu, dirinya, Nyonya Brenda, dan Pak Heru sebelumnya mengalami sebuah kecelakaan. Ia masih ingat kuatnya guncangan yang ia alami yang membuatnya seolah terlempar keluar dari alam nyata, hilang kesadaran, tak tahu apa yang kemudian terjadi. Air mata menetes di pipinya. Ada keingin tahuan yang mendesak dalam hatinya, untuk mengetahui nasib rekan-rekannya satu mobil.
Enam bulan berlalu dari sejak kematian Nyonya Brenda. Shania turut hadir dalam upacara pemakaman Nyonya Besar itu, dan bertemu dengan kedua anaknya, Alex dan Bianca, meski ia tidak cukup menyempatkan diri untuk bertemu anggota keluarga atau kerabat—jika ada—yang lain.Alex dan Bianca saat itu terlihat sangat terpukul, tapi mereka menerima kedatangan Shania dengan sikap bersahabat yang menyentuh perasaan. Mereka mendengarkan cerita tentang kecintaan Nyonya Brenda pada panti asuhan Permata Kasih dengan rasa bangga, dan membenarkan bahwa ibu mereka memang sangat penyayang. Binar-binar kebanggaan di mata mereka itu membuat Shania percaya, Nyonya Brenda membesarkan mereka dengan nilai-nilai luhur dan etika hidup yang baik.Tapi Shania merasa tak perlu meragukan integritas Nyonya Besar itu sebagai ibu. Alih-alih meragukan perempuan berbudi baik itu, Shania justru lebih mengkhawatirkan tentang kelakukan suaminya. Lebih tepatnya, tentang kepedul
Shania tengah menikmati perjalanan berangkat ke kantor dengan mobilnya. Pagi sekali, lebih pagi dari kebanyakan orang lainnya, karena Shania ingin sekaligus bersenang-senang menikmati suguhan elok pemandangan di sepanjang rute yang ia lalui. Tentu bukan melalui jalur normal—Shania sudah memperkirakan hal itu. Ia berjalan memutar, menempuh rute yang lebih jauh, yang bisa membawanya pada jalanan yang tidak padat dan membosankan.Tindakan jalan-jalannya yang terkesan mencuri waktu ini—meskipun Shania tidak setuju menyebutnya begitu—ia lakukan bukan tanpa alasan. Belakangan jadwalnya begitu padat. Ia yang mulai meroket dalam perjalanan karirnya saat ini, jarang bisa mendapatkan waktu khusus untuk berlibur. Ia mulai mengurusi proyek-proyek prestisius, yang bernilai mahal. Ia mulai memimpin proyek-proyek itu, dan bekerja dengan anak buah.Ia begitu sibuk, meskipun pundi-pundi uangnya pun terus bertambah—ia tidak menyangkalnya. Jika ada kesempatan libur di
Shania melajukan mobilnya dalam perjalanan pulang dari kantor dengan tenang, dan sedikit penat di tubuhnya. Ia telah mengerjakan banyak hal hari ini, terang saja ia merasa lelah. Tapi stamina Shania cukup teruji. Gadis dengan pola makan sehat dan gaya hidup yang tidak serampangan—kecuali saat ia menginginkannya—itu terbukti jarang sakit. Dan kelelahan fisik apapun yang menderanya, biasanya enggan bertahan lama.Shania berkonsentrasi dengan baik, menyusuri jalanan di depannya. Ia merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja, sampai ia dapati sebuah petualangan ternyata menantinya sore itu."Aaaa!" Seorang pria berteriak sambil menutup wajahnya dari samping dengan kedua tangannya. Jelas saja ia berlari sembarangan di jalan, sampai-sampai hampir tertabrak mobil Shania.Shania bukannya tidak kaget. Ia bahkan merasa jantungnya hampir copot. Katakutan akan melukai orang yang hampir tertabrak itu seketika menguasai dirinya. Tap
Kehebohan nampaknya menunggu Shania di kantornya hari itu, meski ia tidak menyadarinya. Tidak ada satupun di kantor Shania yang menyadarinya pada awalnya. Itulah kenapa Shania bisa berangkat ke kantor dengan tenang, dan berdiam dengan konsentrasi yang penuh, mengerjakan pekerjaan di mejanya dengan sangat baik.Namun, tidak berselang lama setelah Shania memulai pekerjaannya dengan sangat baik, ia dikejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi selama lebih dari dua puluh delapan tahun hidupnya. Awal dari petualangan hebat dalam hidupnya akan segera dimulai.Cecilia—sahabat dekat Shania yang benar-benar sangat dekat dengan Shania—berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ke ruangan Shania. Jika bukan sedang di dalam kantor, gadis itu pasti sudah memilih untuk berlari dengan kaki telanjang, alih-alih berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya, saking pentingnya berita yang ingin segera ia beri tahukan pada Shania.
Edward mengukuhkan statusnya sebagai seorang pria pongah nan arogan dengan mengumpat sejadi-jadinya melihat pemberitaan di surat kabar, pagi ini. Ia bergidik melihat pemberitaan itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebodohan terbesar sepanjang masa."Menjalin hubungan dengan Shania, mereka bilang?" Edward berucap miris, "Apa mereka pikir aku sudah tidak waras? Dasar gila! Mereka benar-benar tidak waras!"Amarah tak masuk akal Edward tak cukup hanya terlontar dalam beberapa ucapan saja. Ia bahkan terpaksa tertawa sejadi-jadinya mencemooh orang-orang yang menulis berita itu hingga membuatnya lebih terlihat seperti kehilangan akal."Aku penasaran apa mungkin wartawan itu perlu mandi di tujuh sumur untuk melunturkan kebodohan yang melekat pada dirinya," ucap Edward. "Atau mungkin aku? Aku takut aku akan merasakan semacam kutukan akibat berita ini. Haha!"Adegan menyedihkan itu terhenti, karena seseorang menc
Bianca nyata-nyata bersitegang dengan Andre—pria muda yang merupakan teman satu kampusnya—yang mengejarnya karena merasa tidak terima atas penolakan cintanya. Bukan main-main, ketidak puasan Andre membuat Bianca seolah tidak bisa beranjak pergi.Bianca akhirnya berhenti saat tarikan Andre terasa kuat di pergelangan tangannya. "Bianca! Berhenti! Katakan, apa yang membuatmu menolak perasaanku?" tanya pemuda itu dengan serius, namun terkesan egois bagi Bianca."Andre, aku harap kamu tidak lupa pada janjimu untuk menghormati semua keputusanku. Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tadi? Aku tidak mau menjalin hubungan denganmu, lebih dari hubungan pertemanan. Aku enggan melukai perasaanmu, Andre. Sudah cukup!""Omong kosong!" sergah Andre dengan muka memerah. Bianca jelas-jelas mulai melihat kemarahan menguasai Andre. "Kenapa kamu harus bersikap jual mahal seperti itu?" Tangan Andre serta merta mengangkat dagu Bianca d
Di dalam mobil, Shania diam terpaku dengan tatapan menerawang jauh ke luar jendela. Pikirannya, yang sebelum berangkat hanya seolah seperti benang kusut, sekarang telah menjelma menjadi benang kusut yang terikat tali runyam. Situasinya bertambah sulit nan membingungkan, sukar untuk diurai, dan menyedihkan untuk diceritakan.Tatapannya bermuram durja. Desah nafasnya terkesan berat, keluar dari keinginan yang dalam untuk melarikan diri ke belahan dunia lain. Shania menarik nafas panjang, seiring dengan lirikan mata sang sopir yang merasa iba, meski belum tahu duduk perkaranya. Ia tahu tentang kisah yang sebenarnya dibalik pemberitaan itu—karena Shania telah menceritakan semuanya—tapi ia belum tahu apa tepatnya masalah yang kini Shania pikirkan."Nona," ucap sang sopir memberanikan diri, "apa sesuatu yang buruk telah terjadi?"Shania berkata pelan sambil mendesah, "Ya, Pak Heru. Saya tidak bisa mengatakan ini baik."