Home / Romansa / SHANIA / Chapter 3

Share

Chapter 3

Author: Jesy Rosa
last update Last Updated: 2021-01-30 13:40:31

Enam bulan berlalu dari sejak kematian Nyonya Brenda. Shania turut hadir dalam upacara pemakaman Nyonya Besar itu, dan bertemu dengan kedua anaknya, Alex dan Bianca, meski ia tidak cukup menyempatkan diri untuk bertemu anggota keluarga atau kerabat—jika ada—yang lain.  

Alex dan Bianca saat itu terlihat sangat terpukul, tapi mereka menerima kedatangan Shania dengan sikap bersahabat yang menyentuh perasaan. Mereka mendengarkan cerita tentang kecintaan Nyonya Brenda pada panti asuhan Permata Kasih dengan rasa bangga, dan membenarkan bahwa ibu mereka memang sangat penyayang. Binar-binar kebanggaan di mata mereka itu membuat Shania percaya, Nyonya Brenda membesarkan mereka dengan nilai-nilai luhur dan etika hidup yang baik.

Tapi Shania merasa tak perlu meragukan integritas Nyonya Besar itu sebagai ibu. Alih-alih meragukan perempuan berbudi baik itu, Shania justru lebih mengkhawatirkan tentang kelakukan suaminya. Lebih tepatnya, tentang kepedulian pria itu terhadap anak-anaknya yang nyaris tidak ada, atau mungkin sangat tipis. 

Ia suka bersikap tidak bersahabat, hampir dalam segala situasi. Sikap itulah juga yang membuat Shania tidak merasa nyaman berlama-lama bertahan dalam acara pemakaman waktu itu. Ia memutuskan meninggalkan rumah keluarga Ananta itu dengan cepat, begitu pemakaman selesai, demi menghindari argumen tidak menyenangkan yang sering dengan mudah keluar dari mulut pria antagonis itu. 

Shania menghirup nafas panjang. Ia meraih segelas jus dari meja kecil di sampingnya, dimana ia duduk di kursi sebelahnya dengan sebuah buku di pangkuan yang tidak ia baca. Pikirannya melayang memikirkan Nyonya Brenda, siang ini. Anak-anak panti yang tadinya memintanya menemani bermain juga ia biarkan bermain sendiri. 

Langkah Bu Lina terdengar mendekat. Shania tahu itu langkah kaki ibunya, karena dari sejak ia masih agak jauh, ia sudah berjalan dengan berkata, "Nyonya Brenda memang orang yang sangat baik. Memikirkannya tidak akan ada habisnya. Benar kan, Shania?" Bu Lina mendekat dengan menambahkan jus ke gelas Shania yang telah kosong. Shania memang telah banyak membicarakan Nyonya Brenda sejak pagi tadi. Dari situlah, Bu Lina tahu apa yang anak asuhnya—yang sudah ia anggap sebagai anak gadisnya sendiri—itu pikirkan. 

"Lamunanmu begitu serius," lanjut Bu Lina, "sampai-sampai Ibu khawatir kamu bisa-bisa nekat datang ke rumah keluarga besar itu, dan menanyakan apa yang bisa kamu perbuat untuk membalas semua jasa Nyonya Brenda."

"Itu yang tadi coba kusampaikan pada Ibu," jawab Shania. Tatapannya menerawang jauh. Tangannya meremas-remas gelas jus di sampingnya, yang pastinya ia lakukan tanpa sadar. Bu Lina hampir-hampir khawatir gelas tipis itu akan pecah. 

"Nak," ucap Bu Lina. "Nyonya Brenda memang sangat baik. Tapi kematiannya rasanya juga adalah akhir dari hubungan kita dengan keluarga kaya itu. Kamu sendiri tahu bagaimana karakter suaminya, yang sedikitpun tidak mengarah pada kemungkinan ia akan mau berurusan dengan panti asuhan. Dan anak-anaknya, mereka juga sepertinya punya urusan mereka sendiri. Jadi," Bu Lina mendesah, "mulai sekarang, ikhlaskanlah kepergiannya dengan sepenuh hati. Kita tidak akan terus berhubungan dengan keluarga itu—karena memang mereka tidak mau—dan kita bisa membalas semua kebaikan Nyonya Brenda dengan do'a."

"Hanya dengan do'a, Bu?" tanya Shania seolah tak puas.

"Apa lagi?" sanggah ibunya. "Bukankah tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan?" Alis Bu Lina terangkat sebelah, seiring dengan pertanyaan retorik yang keluar dari mulutnya.

Shania hanya menganggukkan-anggukkan kepalanya tanpa berucap. Ia terus terdiam hingga beberapa menit berselang, sementara Bu Lina masih terus menambahkan kalimat-kalimat bijaknya yang semuanya masih bermakna sama dengan apa yang sudah lebih dulu ia sampaikan.

Obrolan serius itu terhenti saat seorang anak laki-laki tampak berlari mendekat. Nafasnya menderu, karena kelelahan berlari. Tampaknya ia baru saja berlari dari jalanan depan panti, karena anak altruis ini punya kebiasaan baik, menyeberangkan setiap orang tua yang hendak menyeberang di jalanan dekat panti. 

"Ibu, Kak Shania, ada Pak Heru di depan," ucapnya masih dengan nafas tersengal-sengal. Ia yang kehausan lalu meminta ijin pada Shania untuk meneguk minumannya, yang ternyata berakhir dengan habisnya jus di gelas itu tanpa tersisa.

"Pak Heru?" tanya Shania heran. "Sudah cukup lama Pak Heru tidak ke sini. Kalau tidak salah sejak—"

"Sejak Nyonya Brenda meninggal."

"Ya, Ibu benar!" seru Shania. "Mari kita temui dia, Ibu! Siapa tahu dia merindukan panti ini."

"Tentu saja, Sayangku!"

Shania dan Bu Lina beranjak dari tempat duduk mereka dan keluar menyambut Pak Heru, yang tampak berhenti dan berdiri mematung setelah ia keluar dari mobil. Matanya menyapu seluruh gedung panti di depannya, seolah ia rindu dengan tempat itu, dan sepertinya memang begitu. 

Pak Heru dengan khidmat memandang gedung panti itu berikut halamannya, gerak langkah anak-anak panti yang melintas, tanaman bunga yang tersusun rapi di halaman depan panti, semuanya. Hingga ia rela untuk sesaat mengabaikan Bu Lina dan Shania yang sedari tadi memasang senyum menyambutnya. 

"Selamat datang, Pak Heru!" seru Shania menyambut mantan sopir Nyonya Brenda itu, yang setahu Shania kini beralih menjadi sopir Bianca, anak gadis Nyonya Brenda. Shania tahu, karena ia yang diam-diam memintanya untuk bertahan di rumah keluarga Ananta, ketika sopir itu berniat berhenti dari pekerjaannya karena duka yang tak terkira setelah kepergian Nyonya Brenda.

Pak Heru berjalan menuju Bu Lina dan Shania dengan sedikit merundukkan badannya, yang selalu ia lakukan untuk menunjukkan karakternya yang sangat sopan—yang bagi Shania dianggap terlalu merendah—dan menjawab dengan sopan pula, "Terima kasih, Bu Lina, Nona Shania. Sudah cukup lama—"

"Ya. Sudah cukup lama kami tidak melihat Pak Heru," sahut Shania. Ia terpaksa memotong, karena tidak tega melihat Pak Heru terus berdiri sementara ia tampak lelah. "Masuklah, Pak! Kita teruskan obrolan kita di dalam. Pasti ada banyak yang bisa kita bicarakan, setelah beberapa waktu tidak bertemu."

"Tentu, Nona," jawab Pak Heru dengan tersenyum takzim. Bu Lina menerima jabat tangan Pak Heru dengan senyum hangatnya, dan turut mempersilakannya masuk. 

"Jadi bagaimana kabar Pak Heru?" tanya Shania dengan ramah, sambil mempersilakannya meminum teh manis yang ia suguhkan di meja. Beberapa makanan ringan, dan buah-buahan juga tersaji di sampingnya, sebagai hidangan sambutan. 

"Kabar saya baik, Nona," jawab Pak Heru. "Sudah sejak kemarin-kemarin saya ingin datang kemari, tapi—kesibukan begitu banyak. Baik yang menyangkut kehidupan keluarga saya, atau keluarga Tuan Edward."

Shania sedikit menahan geli mendengar ucapan Pak Heru. Pria tua di depannya itu memang seolah punya dua keluarga. Shania menganggapnya seperti itu. Tuan Edward, tidak punya cukup waktu untuk mengurus segala hal tentang rumahnya, ataupun anak-anaknya. Sehingga pastilah para pelayan dan sopir yang menjadi pemegang kendali, layaknya sekumpulan ahli waris—yang tentunya tak benar-benar menerima warisan.

Bu Lina dengan bijak menyambut ucapan itu, "Tidak masalah, Pak Heru. Yang penting kami tahu Pak Heru baik-baik saja. Dan kami harap kedua keluarga—maksudnya keluarga Pak Heru dan keluarga Ananta, semuanya dalam kondisi baik-baik saja. Bukan begitu, Pak Heru?"

Pak Heru terdiam. Ia lalu terlihat seperti menelan ludah. Senyuman setengah hati pun muncul bersamaan dengan ucapannya, "Semuanya baik-baik saja, Bu Lina." Bu Lina sontak mengucap syukur mendengarnya, sementara Shania tersenyum masam, sedikit ia paksakan.

Shania menduga sesuatu telah terjadi, sehingga Pak Heru tidak terlihat jujur saat mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi karena tidak ingin mematahkan semangat kebahagiaan ibunya, Shania pun bersikap diam. 

"Tapi—wah, jam berapa ini, Nak?" tanya Bu Lina tiba-tiba pada Shania.

"Jam dua siang, Ibu," jawab Shania. "Ada apa? Apa Ibu ada acara di luar?" 

"Iya! Aduh, Ibu lupa! Ibu harus bertemu dengan salah seorang donatur panti yang mengajak Ibu untuk bertemu di luar. Em .... " Bu Lina mengalihkan perkataannya pada Pak Heru, "bukan bermaksud meninggalkan obrolan menyenangkan ini, Pak Heru. Tapi maaf, saya sudah berjanji untuk pertemuan di luar ini, dan saya tidak bisa begitu saja membatalkannya. Saya mohon diri, dulu. Apa tidak masalah?"

"Tentu tidak, Bu Lina," jawab Pak Heru. "Saya mohon, jangan merasa tidak enak hati. Semoga urusan Bu Lina lancar."

"Terima kasih, Pak," ucap Bu Lina dengan lega, kemudian segera beranjak setelah basa-basinya selesai. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan percakapan itu, mengingat Pak Heru adalah orang yang sama baiknya dengan Nyonya Brenda. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia memberi isyarat pada Shania untuk menemani tamunya mengobrol. Shania dengan senang hati menerima tugas itu.

"Pak Heru," ucap Shania setelah memastikan kepergian ibunya, "katakan! Apa terjadi sesuatu di rumah keluarga Nyonya Brenda? Saya rasa Pak Heru tidak jujur menyampaikan kondisi yang sebenarnya pada Ibu saya, tadi."

Pak Heru terkejut sesaat, tapi kemudian menarik nafas panjang. "Saya bisa menutupinya di depan Bu Lina, tapi entah kenapa Nona ternyata tidak bisa dikelabui," ucap Pak Heru begitu jujur.

"Saya terbiasa berhati-hati dalam hidup dengan berusaha mengenali kejujuran orang lain, Pak. Maksud saya—kita kembali saja pada apa yang akan kita bahas. Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Apa terjadi sesuatu yang buruk? Apa sebenarnya keluarga Ananta tidak baik-baik saja?"

"Iya, Nona," ucap Pak Heru serius. Ia bahkan menyempatkan diri meneguk minumannya, seolah bersiap mengatakan sesuatu yang berat. "Keluarga Ananta sekarang menjadi sedikit kacau." 

"Maksud Pak Heru?" tanya Shania tak sabar.

"Anak-anak menjadi semakin susah diatur. Maaf, saya sebenarnya tidak mau menyebutnya seperti itu. Mungkin lebih tepatnya, mereka sedang berusaha brontak atas ketidakacuhan Ayah mereka selama ini." Tatapan Pak Heru mulai terlihat melankolis. Ia terdiam sesaat, lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Tuan Edward sering terdengar bertengkar dengan Tuan Alex di telepon. Sementara Nona Bianca—yang sering mendengar pertengkaran itu—juga sering terlibat perdebatan dengan ayahnya berusaha membela kakaknya. Ia sendiri sekarang mulai suka pulang malam, bahkan terkadang—sama seperti ayahnya—tidak pulang ke rumah."

"Tapi bagaimana mungkin? Mereka itu anak-anak yang baik," sanggah Shania.

"Memang benar, Nona," desah Pak Heru. "Mereka dulu anak-anak yang baik. Tapi itu sewaktu ibu mereka masih hidup. Sekarang, mereka seolah menjadi kehilangan pegangan setelah kepergian ibu mereka. Lebih parah lagi, Tuan Edward tetap saja tidak mencoba mempedulikan mereka. Beliau jarang pulang ke rumah. Hanya peduli pada pekerjaannya saja. Kasihan Nona Bianca. Kakaknya ada di Amerika. Dia sendirian di rumah. Dengan kebiasaan barunya pulang malam—dan dia melarang saya mengantarnya saat keluar malam—saya menjadi semakin khawatir. Dia itu anak perempuan!" 

"Hh, ya Tuhan!" desah Shania. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nyonya Brenda jika mengetahui semua kondisi ini. 

"Nona Shania––"

"Cukup, Pak. Tunggu. Saya masih tidak habis pikir dengan semua ini. Dihadapkan pada masalah sebesar ini, bagaimana Tuan Edward masih bisa bersikap tidak peduli?"

"Percayalah, Nona," ujar Pak Heru serius, "dulu Tuan Edward tidak seperti itu."

"Benarkah? Saya sulit percaya dengan ucapan itu," sanggah Shania dengan malas.

"Tapi memang itu faktanya, Nona!" Pak Heru masih berkata dengan serius. "Saya sudah bekerja dengan keluarga itu sejak bisnis mereka masih kecil-kecilan. Dulu Tuan Edward adalah pria yang normal—maksud saya tingkah lakunya normal, wajar, dan—"

"Katakan saja dia tidak angkuh, tinggi hati, serta tidak punya empati, seperti sekarang—maaf, kalau saya kasar."

"Yah! Itu yang saya maksud, Nona. Anda tidak kasar sama sekali. Anda hanya jujur," sahut Pak Heru yang disambut anggukan persetujuan Shania. 

Dengan sedikit memperbagus intonasi bicaranya, hingga terdengar benar-benar merasuk ke hati, Pak Heru melanjutkan ceritanya, "Suatu hari, saat anak-anak masih kecil, keberuntungan berpihak pada Tuan Edward. Bisnisnya mengalami kemajuan besar, dan kekayaannya bertambah banyak. Sejak saat itu, Tuan Edward seolah melupakan keluarganya. Ia seolah hanya hidup untuk harta dan kekuasaan. Dan—sudahlah, Nona pasti paham apa maksud saya. Dia menjadi seperti sekarang ini." Pak Heru mengakhiri ceritanya dengan tatapan lesu dan kepala tertunduk. 

Shania memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa ini hal yang keterlaluan. Di luar batas kepatutan yang bisa ia terima. Lebih keterlaluan lagi, ia merasa menjadi seperti seorang pengecut, karena hanya bisa membicarakan seseorang dari belakang, tanpa melakukan apapun. Shania lalu berminat untuk mengakhiri percakapan jahat itu. 

"Pak Heru, apa anak-anak punya kerabat yang bisa menolong mereka? Saya merasa lelah membicarakan tentang Tuan Edward yang tidak akan ada habisnya. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mengubahnya. Untuk saat ini, kita mungkin butuh bantuan seorang kerabat yang bisa menjaga anak-anak dengan lebih baik," ucap Shania menawarkan ide.

Pak Heru terdiam, tak terlihat antusias mendengar solusi yang ditawarkan Shania. Ia tampak berpikir keras, tapi ujung-ujungnya berkata dengan tak bersemangat, "Sayangnya, kakek dan nenek anak-anak sudah meninggal semuanya. Sementara Tuan Edward, setahu saya dia anak tunggal, tidak punya saudara. Tapi kalau Nyonya Brenda," mata Pak Heru mulai terlihat berbinar, "dia punya satu adik angkat, namanya Tuan Alan. Dia pria baik, sama seperti Nyonya Brenda. Usianya saat ini kurang lebih tiga puluh tiga tahun."

Shania mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tatapan fokus, dan ia memang tengah serius berpikir. Informasi Pak Heru ini sebenarnya sedikit melegakan, tapi ia masih perlu memastikan manfaatnya.

"Jadi apa si pria baik ini juga sayang pada keponakan-keponakannya? Pada Alex dan Bianca? Mungkin sekedar memiliki seorang kerabat yang baik saja tidak cukup dalam masalah ini, Pak."

"Nah, itu dia, Nona!" sahut Pak Heru. "Tuan Alan memang baik. Dan, untuk masalah rasa sayangnya pada anak-anak, jangan diragukan lagi! Anak-anak begitu dekat dengan dia, lebih dari kedekatan mereka pada ayah mereka sendiri, Nona. Tapi—" kata-katanya terputus, mengingat Alan tidak berada di Indonesia. "Tuan Alan saat ini tinggal di Australia, Nona. Dia dulu mendapatkan beasiswa untuk mengambil kuliah bisnis di sana. Dia lalu juga bekerja di sana, dan sekarang tinggal di sana."

Pak Heru dan Shania dengan spontan meneguk minuman mereka secara bersamaan tanpa aba-aba. Desahan kekecewaan juga terdengar bersamaan, seolah hati mereka terpatahkan oleh ekspektasi mereka sendiri dalam waktu yang memang bersamaan. 

"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang, Nona?" tanya Pak Heru putus asa.

"Entahlah, Pak!" jawab Shania. "Si paman baik ini mungkin bisa menjaga anak-anak. Tapi ... dengan tidak tinggal di Indonesia, itu artinya kita hanya bisa berharap, dia bisa mempersering kunjungannya ke Indonesia. Mungkin itu bisa membantu anak-anak merasa lebih baik."

"Benar sekali, Nona," sahut Pak Heru setuju.

***

Related chapters

  • SHANIA   Chapter 4

    Shania tengah menikmati perjalanan berangkat ke kantor dengan mobilnya. Pagi sekali, lebih pagi dari kebanyakan orang lainnya, karena Shania ingin sekaligus bersenang-senang menikmati suguhan elok pemandangan di sepanjang rute yang ia lalui. Tentu bukan melalui jalur normal—Shania sudah memperkirakan hal itu. Ia berjalan memutar, menempuh rute yang lebih jauh, yang bisa membawanya pada jalanan yang tidak padat dan membosankan.Tindakan jalan-jalannya yang terkesan mencuri waktu ini—meskipun Shania tidak setuju menyebutnya begitu—ia lakukan bukan tanpa alasan. Belakangan jadwalnya begitu padat. Ia yang mulai meroket dalam perjalanan karirnya saat ini, jarang bisa mendapatkan waktu khusus untuk berlibur. Ia mulai mengurusi proyek-proyek prestisius, yang bernilai mahal. Ia mulai memimpin proyek-proyek itu, dan bekerja dengan anak buah.Ia begitu sibuk, meskipun pundi-pundi uangnya pun terus bertambah—ia tidak menyangkalnya. Jika ada kesempatan libur di

    Last Updated : 2021-01-30
  • SHANIA   Chapter 5

    Shania melajukan mobilnya dalam perjalanan pulang dari kantor dengan tenang, dan sedikit penat di tubuhnya. Ia telah mengerjakan banyak hal hari ini, terang saja ia merasa lelah. Tapi stamina Shania cukup teruji. Gadis dengan pola makan sehat dan gaya hidup yang tidak serampangan—kecuali saat ia menginginkannya—itu terbukti jarang sakit. Dan kelelahan fisik apapun yang menderanya, biasanya enggan bertahan lama.Shania berkonsentrasi dengan baik, menyusuri jalanan di depannya. Ia merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja, sampai ia dapati sebuah petualangan ternyata menantinya sore itu."Aaaa!" Seorang pria berteriak sambil menutup wajahnya dari samping dengan kedua tangannya. Jelas saja ia berlari sembarangan di jalan, sampai-sampai hampir tertabrak mobil Shania.Shania bukannya tidak kaget. Ia bahkan merasa jantungnya hampir copot. Katakutan akan melukai orang yang hampir tertabrak itu seketika menguasai dirinya. Tap

    Last Updated : 2021-01-30
  • SHANIA   Chapter 6

    Kehebohan nampaknya menunggu Shania di kantornya hari itu, meski ia tidak menyadarinya. Tidak ada satupun di kantor Shania yang menyadarinya pada awalnya. Itulah kenapa Shania bisa berangkat ke kantor dengan tenang, dan berdiam dengan konsentrasi yang penuh, mengerjakan pekerjaan di mejanya dengan sangat baik.Namun, tidak berselang lama setelah Shania memulai pekerjaannya dengan sangat baik, ia dikejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi selama lebih dari dua puluh delapan tahun hidupnya. Awal dari petualangan hebat dalam hidupnya akan segera dimulai.Cecilia—sahabat dekat Shania yang benar-benar sangat dekat dengan Shania—berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ke ruangan Shania. Jika bukan sedang di dalam kantor, gadis itu pasti sudah memilih untuk berlari dengan kaki telanjang, alih-alih berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya, saking pentingnya berita yang ingin segera ia beri tahukan pada Shania.

    Last Updated : 2021-01-30
  • SHANIA   Chapter 7

    Edward mengukuhkan statusnya sebagai seorang pria pongah nan arogan dengan mengumpat sejadi-jadinya melihat pemberitaan di surat kabar, pagi ini. Ia bergidik melihat pemberitaan itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebodohan terbesar sepanjang masa."Menjalin hubungan dengan Shania, mereka bilang?" Edward berucap miris, "Apa mereka pikir aku sudah tidak waras? Dasar gila! Mereka benar-benar tidak waras!"Amarah tak masuk akal Edward tak cukup hanya terlontar dalam beberapa ucapan saja. Ia bahkan terpaksa tertawa sejadi-jadinya mencemooh orang-orang yang menulis berita itu hingga membuatnya lebih terlihat seperti kehilangan akal."Aku penasaran apa mungkin wartawan itu perlu mandi di tujuh sumur untuk melunturkan kebodohan yang melekat pada dirinya," ucap Edward. "Atau mungkin aku? Aku takut aku akan merasakan semacam kutukan akibat berita ini. Haha!"Adegan menyedihkan itu terhenti, karena seseorang menc

    Last Updated : 2021-01-30
  • SHANIA   Chapter 8

    Bianca nyata-nyata bersitegang dengan Andre—pria muda yang merupakan teman satu kampusnya—yang mengejarnya karena merasa tidak terima atas penolakan cintanya. Bukan main-main, ketidak puasan Andre membuat Bianca seolah tidak bisa beranjak pergi.Bianca akhirnya berhenti saat tarikan Andre terasa kuat di pergelangan tangannya. "Bianca! Berhenti! Katakan, apa yang membuatmu menolak perasaanku?" tanya pemuda itu dengan serius, namun terkesan egois bagi Bianca."Andre, aku harap kamu tidak lupa pada janjimu untuk menghormati semua keputusanku. Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tadi? Aku tidak mau menjalin hubungan denganmu, lebih dari hubungan pertemanan. Aku enggan melukai perasaanmu, Andre. Sudah cukup!""Omong kosong!" sergah Andre dengan muka memerah. Bianca jelas-jelas mulai melihat kemarahan menguasai Andre. "Kenapa kamu harus bersikap jual mahal seperti itu?" Tangan Andre serta merta mengangkat dagu Bianca d

    Last Updated : 2021-01-30
  • SHANIA   Chapter 9

    Di dalam mobil, Shania diam terpaku dengan tatapan menerawang jauh ke luar jendela. Pikirannya, yang sebelum berangkat hanya seolah seperti benang kusut, sekarang telah menjelma menjadi benang kusut yang terikat tali runyam. Situasinya bertambah sulit nan membingungkan, sukar untuk diurai, dan menyedihkan untuk diceritakan.Tatapannya bermuram durja. Desah nafasnya terkesan berat, keluar dari keinginan yang dalam untuk melarikan diri ke belahan dunia lain. Shania menarik nafas panjang, seiring dengan lirikan mata sang sopir yang merasa iba, meski belum tahu duduk perkaranya. Ia tahu tentang kisah yang sebenarnya dibalik pemberitaan itu—karena Shania telah menceritakan semuanya—tapi ia belum tahu apa tepatnya masalah yang kini Shania pikirkan."Nona," ucap sang sopir memberanikan diri, "apa sesuatu yang buruk telah terjadi?"Shania berkata pelan sambil mendesah, "Ya, Pak Heru. Saya tidak bisa mengatakan ini baik."

    Last Updated : 2021-01-30
  • SHANIA   Chapter 10

    Tiga hari berlalu dari sejak lamaran mengejutkan Tuan Edward dilayangkan pada Shania. Gadis itu telah memikirkan dengan matang tentang keputusannya. Meski dihadapkan pada wajah-wajah tak mengerti dari sang ibu dan sahabat, Shania tak merubah keputusannya. Dengan pertimbangan versinya yang menurutnya cermat nan saksama, Shania memutuskan untuk menerima lamaran itu. Biarlah ide Tuan Edward yang konyol itu bertemu dengan keputusannya yang konyol pula, begitu pikirnya.Hanya satu orang yang mengerti dan memahami dengan sangat baik alasan di balik keputusan Shania yang mengharukan itu, seorang pria tua yang tanpa sengaja telah menuangkan racun ke pemikiran Shania, yakni sang sopir bersahaja, Pak Heru. Ia, di antara rasa bersalah dan rasa senang, menyambut keputusan itu dengan patuh. Ia mengikatkan janji pada Shania untuk sepenuhnya membantu Shania dalam menjalankan misinya, yakni menjaga anak-anak Nyonya Brenda yang sudah mulai meninggalkan jalur keteraturan warisa

    Last Updated : 2021-01-30
  • SHANIA   Chapter 11

    Tiga hari berlalu dari sejak pernikahan Tuan Edward dan Shania dilangsungkan. Mereka, tak merasa membutuhkan bulan madu seperti kebanyakan pasangan lainnya, hingga mereka pun dengan cepat kembali ke aktifitas dan kesibukan mereka tanpa penundaan. Mereka, hanya mengukuhkan status mereka sebagai suami istri dengan mulai tinggal bersama di rumah Edward Ananta, sebagai Tuan dan Nyonya Ananta—sebuah kewajaran yang niscaya, tidak aneh, dan sangat biasa.Shania menerima dengan lapang dada, ekspresi sinis Bianca di dalam rumah itu, yang merupakan konsekuensi dari jabatan barunya sebagai seorang Nyonya Muda, yang merangkap ibu tiri di rumah itu.Bahkan Shania yakin—berbekal semua pengetahuannya tentang Bianca—bahwa putri tiri kesayangannya itu dimungkinkan telah menambahi embel-embel istimewa di belakang namanya, menjadi ibu tiri tak tahu diri. Shania menerima semua itu tanpa merasa ciut. Ia menyebut dirinya batu karang, hingga praktis menguasai keadaa

    Last Updated : 2021-01-30

Latest chapter

  • SHANIA   Chapter 56 (TAMAT)

    Dentang jam berlalu. Seolah patuh pada perintah Cecilia, kini Shania telah berada di apartemennya yang dia huni berdua bersama Cecilia. Shania duduk berleha-leha guna mengistirahatkan raganya yang kepayahan karena pekerjaan, sembari menunggu kepulangan sang sahabat—yang saat berpamitan, berlagak tak sudi memberitahukan tempat tujuan kepergiannya. Anehnya, pikiran Shania yang biasanya sulit terusik, kini terasa mengelana kemana-mana, tidak pada tempatnya, dan sedikit membawa suasana hatinya menjadi melankolis. Efek paparan nasihat tak diminta dari Cecilia saat di kantor. Tepat di saat itulah, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Alan, mendadak menanyakan apakah Shania memiliki acara nanti malam, karena jika tidak, sang pemuda meminta ijin untuk menyibukkannya dengan mengajaknya pergi makan malam. Shania tak menolak sedikitpun. Wanita itu tidak tahu apa sebabnya, tapi dia tak sedikitpun berminat menolak setiap ajakan pemuda ini, layaknya penolakan getirny

  • SHANIA   Chapter 55

    Menit dan jam berlalu. Meninggalkan segala keriangan para anggota muda keluarga Ananta di Jakarta; di Bali, Shania terlihat tengah sibuk mengurus pekerjaan di kantornya. Wanita itu telah mendirikan perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang konsultasi jasa arsitek di Pulau Dewata, bekerja sama dengan sahabat dekatnya, Cecilia—yang telah memutuskan untuk ikutan hengkang dari Lukita Group, menyusul jejak Shania yang telah lebih dulu membuat bos Lukita Group berduka dengan surat pengunduran dirinya.Shania, mengurus bisnisnya itu dengan keseriusan yang mampu membuat pikirannya tak sempat tertuju pada hal lain di luar pekerjaan. Di tahun pertama perusahaannya berdiri ini, perempuan itu secara total menenggelamkan diri dalam kesibukan, hingga agendanya hanya penuh dengan jadwal-jadwal pekerjaan saja, tak begitu mempedulikan acara senang-senang, atau kumpul-kumpul yang tak jelas haluannya. Pesta-pesta semakin jarang dia kunjungi. Pertemuan ramai-ramai d

  • SHANIA   Chapter 54

    Alan tengah berada di rumahnya kala dua keponakan kesayangannya menyambanginya. Pria itu terlihat menyibukkan diri dengan menelepon beberapa orang terkait rencananya untuk sebuah acara, dan baru saja mengakhiri teleponnya yang terakhir ketika dua keponakannya melenggang masuk dengan menyuarakan sapaan yang riang, terutama Bianca.Sang paman, yang dari penglihatan dua keponakannya itu terlihat duduk tak melakukan apapun, memancing salah satu tamu untuk berdecak heran dan tak sungkan menyampaikan ucapan bernada prihatin, "Selamat pagi, Om. Sepi sekali. Rumah sebesar ini, tapi begitu senyap seperti kuburan.""Benarkah?" ujar sang paman yang tak terlihat tersinggung. "Akan kuajak kalian ke konser kapan pun kalian mau kalau kalian ingin suasana yang ramai." Alan memanggil asisten rumah tangganya dan memintanya menyuguhkan minuman bagi dua keponakannya. "Ada apa, anak-anak?" lanjut Alan. "Kalian datang bersamaan, dan tanpa mengabariku dulu.

  • SHANIA   Chapter 53

    Fajar menjelang, menebarkan aroma segar embun pagi yang membangkitkan jiwa siapapun yang tak berminat memperpanjang tidurnya. Bianca perlahan membuka matanya yang masih sedikit mengantuk karena peralihannya dari tidur nan melenakan menuju realita dunia nyata yang masih pagi. Namun gadis itu jelas telah cukup siap memulai hari. Tak merasa kurang tidur sedikitpun, karena di malam harinya telah mendapatkan peringatan keras—untuk tak begadang sembarangan—dari sang mantan ibu tiri yang meneleponnya dari Bali, seperti biasa.Wanita cantik yang eksentrik dan penuh kasih, yang dulu sempat bergelar Nyonya Ananta itu memang telah satu setengah tahun ini tinggal di Bali. Bianca tak mengira, bahwa percakapan singkat mereka di mobil, di sebuah pagi saat sang arsitek mengantarnya berangkat ke kampus, adalah upaya terselubung sang arsitek untuk melepas kasihnya sebagai ibu sambung untuk yang terakhir kali.Pelukan penuh kasih itu, d

  • SHANIA   Chapter 52

    Sang tuan besar telah kembali ke rumah, tepat setelah dia menyelesaikan urusannya di kantor polisi. Keterangannya yang dirasa sedikit berharga, terkait dosa masa lalunya bersama Adrian, telah dia paparkan dengan penjelasan cukup memadai di kantor para petugas berseragam yang bertugas menumpas kejahatan itu.Tuan besar itu, senada dengan istrinya, telah menyampaikan pemberian maaf atas kasus penculikan nan nista yang dilakukan Adrian—meneladani sikap sang istri yang telah dengan legawa memberi maaf terlebih dahulu. Lalu demi memuaskan hasrat akan rasa keadilan dalam diri Adrian, maka di kesempatan yang sama, sang tuan pun juga menyatakan permintaan maafnya atas segala tingkah laku yang memicu dendam pada diri mantan pesuruhnya itu di masa lalu—tentunya setelah upaya keras sang tuan menekan arogansi dan egonya sendiri barang sejenak, yang secara sadar dia lakukan, agar urusan nan ribet itu segera selesai.Tak berniat be

  • SHANIA   Chapter 51

    Shania kini berada di dalam mobil Alan untuk menuju ke bandara, sementara sang pemilik mobil mengendarai kendaraannya dengan fokus. Raut muka Shania tampak sedikit resah—hasil dari upayanya yang gagal untuk mencoba menampilkan sikap tenang, dan Alan sepenuhnya sadar semua itu tentunya berasal dari pergumulan yang hebat dalam hatinya. Entah berapa banyak sketsa rumit yang tengah disembunyikan wanita itu dalam pikirannya, dan Alan tak kan membiarkan mereka berpisah begitu saja hari itu, tanpa mengorek keterangan terkait rahasia terselubung itu."Kamu baik-baik saja, Shania?" tanya Alan tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya."Oh," jawab Shania terkejut, "aku baik-baik saja.""Dari mana aku harus memulai pertanyaanku?""Hm?" sang nyonya terkesiap. "Maksudmu?"Alan menarik nafas panjang. Masih dengan ekspresi tenang dia menjawab, "Aku pasti akan senang jika kamu benar-benar baik-baik saja. Tapi ... aku merasa ragu." Al

  • SHANIA   Chapter 50

    Agenda Shania selanjutnya setelah mengantar sang putri tiri, adalah mengunjungi kantor polisi. Nyonya muda itu bergidik, sedih, prihatin, dan sempat menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, memikirkan betapa lucu jalan hidupnya. Menikah tanpa cinta, terlibat—atau lebih tepatnya melibatkan diri—dalam drama keluarga nan rumit, menjadi korban penculikan, hingga sekarang tanpa terduga akan harus menyambangi kantor polisi untuk sebuah upaya penyelamatan.Sang nyonya, meski sempat dijejali rasa kesal, tak menemukan alasan untuk membiarkan penculik dirinya mendekam merana di tahanan. Shania telah memahami dengan baik, bahwa sang penculik melakukan aksinya karena didorong perasaan terzalimi, atas semua kesalahan Edward. Sebuah penahanan tak terduga yang dilakukan terhadap Shania di sebuah rumah tua nan menyedihkan itu juga tidak sedikitpun disertai dengan upaya penganiayaan—meski faktanya Shania tetap saja terluka oleh aksi nekat sahabat si penculik. 

  • SHANIA   Chapter 49

    Pagi telah menjelang. Mengakhiri malam yang terasa mencekam bagi Shania. Nyonya muda itu membuka matanya yang masih terasa berat—akibat dari jam tidur yang terlalu sedikit, lalu mencoba bangkit, dan duduk dengan loyo di atas tempat tidur. Matanya masih enggan untuk sepenuhnya membuka lebar. Namun untuk sesaat, setelah tanpa sengaja menangkap bayangannya di cermin, nyonya muda itu tersenyum ganjil. Dia memang masih mengantuk, tapi dia ingat dia telah merencanakan sesuatu yang besar hari ini, yang untuk itu dia harus segera bangkit.Shania lalu berusaha keras menghilangkan sisa kantuknya dengan mengucek mata sekedarnya, dan kemudian memaksakan diri untuk turun dari ranjangnya. Setiap langkahnya kemudian menuntunnya untuk menyelesaikan semua aktifitas pagi itu dengan sangat baik, tanpa melewatkan satu bagian pun.Sang putri tiri mengatakan bahwa dia harus mengikuti kelas pagi, dan setelah memastikan gadis itu menyelesaikan sar

  • SHANIA   Chapter 48

    Suasana melankolis mendera dua insan yang baru saja mengalami petualangan menyedihkan, hari itu. Alan dan Shania, terlibat dalam kesunyian mencekam sepanjang sisa perjalanan pulang mereka, yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi Alan—namun nampaknya tidak bagi Shania, karena lamunannya seolah telah membawanya ke dunia lain.Shania begitu fokus dengan renungan suramnya sembari membuang pandang ke luar kaca mobil hampir sepanjang perjalanan. Sementara Alan, sembari melakukan upaya terbaiknya untuk menjaga fokusnya dalam menyetir, berulang kali tak mampu menahan diri untuk menoleh dan memandang wanita di sampingnya itu dengan pikiran tak karuan.Perasaan Alan yang penuh empati membuatnya mampu membayangkan betapa kecewanya perasaan sang nyonya atas semua sikap Edward, dan diamnya sang nyonya seolah membenarkan semua perkiraan itu.Meski Alan menyangsikan adanya cinta di hati Shania untuk kakak iparnya—karena

DMCA.com Protection Status