Bianca nyata-nyata bersitegang dengan Andre—pria muda yang merupakan teman satu kampusnya—yang mengejarnya karena merasa tidak terima atas penolakan cintanya. Bukan main-main, ketidak puasan Andre membuat Bianca seolah tidak bisa beranjak pergi.
Bianca akhirnya berhenti saat tarikan Andre terasa kuat di pergelangan tangannya. "Bianca! Berhenti! Katakan, apa yang membuatmu menolak perasaanku?" tanya pemuda itu dengan serius, namun terkesan egois bagi Bianca.
"Andre, aku harap kamu tidak lupa pada janjimu untuk menghormati semua keputusanku. Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tadi? Aku tidak mau menjalin hubungan denganmu, lebih dari hubungan pertemanan. Aku enggan melukai perasaanmu, Andre. Sudah cukup!"
"Omong kosong!" sergah Andre dengan muka memerah. Bianca jelas-jelas mulai melihat kemarahan menguasai Andre. "Kenapa kamu harus bersikap jual mahal seperti itu?" Tangan Andre serta merta mengangkat dagu Bianca d
Di dalam mobil, Shania diam terpaku dengan tatapan menerawang jauh ke luar jendela. Pikirannya, yang sebelum berangkat hanya seolah seperti benang kusut, sekarang telah menjelma menjadi benang kusut yang terikat tali runyam. Situasinya bertambah sulit nan membingungkan, sukar untuk diurai, dan menyedihkan untuk diceritakan.Tatapannya bermuram durja. Desah nafasnya terkesan berat, keluar dari keinginan yang dalam untuk melarikan diri ke belahan dunia lain. Shania menarik nafas panjang, seiring dengan lirikan mata sang sopir yang merasa iba, meski belum tahu duduk perkaranya. Ia tahu tentang kisah yang sebenarnya dibalik pemberitaan itu—karena Shania telah menceritakan semuanya—tapi ia belum tahu apa tepatnya masalah yang kini Shania pikirkan."Nona," ucap sang sopir memberanikan diri, "apa sesuatu yang buruk telah terjadi?"Shania berkata pelan sambil mendesah, "Ya, Pak Heru. Saya tidak bisa mengatakan ini baik."
Tiga hari berlalu dari sejak lamaran mengejutkan Tuan Edward dilayangkan pada Shania. Gadis itu telah memikirkan dengan matang tentang keputusannya. Meski dihadapkan pada wajah-wajah tak mengerti dari sang ibu dan sahabat, Shania tak merubah keputusannya. Dengan pertimbangan versinya yang menurutnya cermat nan saksama, Shania memutuskan untuk menerima lamaran itu. Biarlah ide Tuan Edward yang konyol itu bertemu dengan keputusannya yang konyol pula, begitu pikirnya.Hanya satu orang yang mengerti dan memahami dengan sangat baik alasan di balik keputusan Shania yang mengharukan itu, seorang pria tua yang tanpa sengaja telah menuangkan racun ke pemikiran Shania, yakni sang sopir bersahaja, Pak Heru. Ia, di antara rasa bersalah dan rasa senang, menyambut keputusan itu dengan patuh. Ia mengikatkan janji pada Shania untuk sepenuhnya membantu Shania dalam menjalankan misinya, yakni menjaga anak-anak Nyonya Brenda yang sudah mulai meninggalkan jalur keteraturan warisa
Tiga hari berlalu dari sejak pernikahan Tuan Edward dan Shania dilangsungkan. Mereka, tak merasa membutuhkan bulan madu seperti kebanyakan pasangan lainnya, hingga mereka pun dengan cepat kembali ke aktifitas dan kesibukan mereka tanpa penundaan. Mereka, hanya mengukuhkan status mereka sebagai suami istri dengan mulai tinggal bersama di rumah Edward Ananta, sebagai Tuan dan Nyonya Ananta—sebuah kewajaran yang niscaya, tidak aneh, dan sangat biasa.Shania menerima dengan lapang dada, ekspresi sinis Bianca di dalam rumah itu, yang merupakan konsekuensi dari jabatan barunya sebagai seorang Nyonya Muda, yang merangkap ibu tiri di rumah itu.Bahkan Shania yakin—berbekal semua pengetahuannya tentang Bianca—bahwa putri tiri kesayangannya itu dimungkinkan telah menambahi embel-embel istimewa di belakang namanya, menjadi ibu tiri tak tahu diri. Shania menerima semua itu tanpa merasa ciut. Ia menyebut dirinya batu karang, hingga praktis menguasai keadaa
Dengan gerakan sigap, Shania dan si bocah remaja, Ardi, masuk ke dalam mobil yang tak diketahui pemiliknya itu, lalu Shania menutup pintunya seketika. Deru nafas ketakutan terdengar jelas dari dua orang tak beruntung itu. Mereka menyandarkan tubuh mereka ke kursi mobil sambil memejamkan mata, mengusap peluh, dan mencoba menata nafas, serta hati mereka.Selama beberapa detik, sang pemilik mobil yang duduk dengan tenang di kursi depan membiarkan aksi mereka, dan memberi waktu bagi mereka untuk bernafas. Mungkin sesuatu yang besar baru saja terjadi pada dua orang asing itu, dan untuk itu ia bersimpati. Hanya sesaat setelah ia merasa kedua tamunya itu telah membaik, dia mencoba mengejutkan keduanya dengan dengan suara tenangnya, "Siapa kalian?""Ah, ya Tuhan!" seru Ardi terkejut. "Kakak benar!" lanjutnya. "A-ada pe-pemilik mobilnya di dalam."Shania seketika menegakkan posisi duduknya. Ia yang sejak awal memang tidak yakin bahwa m
Dentang jam berlalu. Matahari tidak lama lagi akan tenggelam, dan warna jingga mulai mewarnai pancaran cahayanya. Waktu ini, hingga saat sang mentari masuk kembali ke peraduannya, biasanya dijadikan para pengagum 'matahari terbenam' sebagai waktu favorit mereka untuk membiarkan diri mereka terbius pesona alam.Semua anggota keluarga Ananta—kecuali Alex—saat ini tengah menunjukkan eksistensi mereka sebagai pemilik rumah. Begitulah Shania menyebutnya. Mereka secara kebetulan berada di rumah dalam waktu bersamaan, dan Shania senang akan hal itu. Tanpa kehadiran para pemilik yang sesungguhnya, rumah itu tak lebih seperti hotel, dengan para pelayan sebagai resepsionisnya.Shania tengah dengan saksama memperhatikan karib kerabat barunya dari lantai atas, sore itu. Sang suami—yang selalu menyebut dirinya sibuk, bahkan di waktu sore—tengah membetulkan letak jam tangannya, dan ujung lengan kemejanya. Sementara sang putri tiri kesayangan tengah as
Shania merasa lega karena mendapati fakta bahwa kedatangan Alan nampaknya tidak akan menambah masalah bagi dirinya di keluarga Ananta. Sang paman idola itu kini bahkan menginap di rumah Ananta—atas permintaan Bianca—dan Shania yang matanya awas dalam mengenali seseorang itu, tak mendapati sedikitpun masalah yang perlu membuatnya khawatir.Shania terus merasa tenang seolah tidak ada yang mampu mengusik kedamaiannya, sampai kemudian ia mendapati sesuatu miliknya hilang.Gelang kesayangan Shania, yang merupakan hadiah dari ibunya, yang tadi siang ia pakai, kini hilang dari tangannya. Shania dengan saksama mencoba mengingat-ingat dimana gelang itu melepaskan diri darinya. Mungkin terjatuh saat ia bawa berlari bersama Ardi, atau jatuh di tempat lain. Shania melakukan pencariannya di seluruh penjuru kamar, di semua ruang di rumah itu, hingga masuk ke garasi, dan ke dalam mobil yang ia bawa pergi, hari ini. Upayanya tidak membuahkan hasil. Ia t
Dugaan bijak Shania tak salah. Tepat sasaran tanpa sedikit pun meleset. Bianca memang mengajak Alan keluar dari rumah, dengan alasan mengajaknya makan malam, meski motif yang sebenarnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menjauhkan dirinya dan paman kesayangannya itu dari sang ibu tiri. Alan, yang kemampuan empatinya sangat bisa diandalkan, memahami kondisi hati sang keponakan yang sedang tidak stabil, dan alhasil mengabulkan permintaan itu demi menghibur hatinya."Bianca," ucap Alan di dalam mobil, di tengah perjalanan mereka, "jika Om Alan tidak ada di rumah saat ini, apakah kamu akan pergi jalan-jalan keluar bersama teman-temanmu?""Tentu saja!" jawab Bianca tersenyum simpul. "Itu akan lebih menyenangkan daripada berada di rumah bersama ibu tiri itu."Alan melirikkan matanya sekejap pada sang keponakan, yang tampak menikmati ekspresi kebenciannya dengan sepenuh hati. "Kamu sudah sering melakukannya sejak kepergian ibumu, Sayang. Om rasa ibu tirimu t
Malam yang dinanti tiba. Alan menyebutnya malam pertaruhan. Pertaruhan akan kredibilitasnya sebagai seorang paman bagi Bianca, dan sekutu tunggal bagi Shania.Sebagai seorang paman, ia berkewajiban menjaga—baik fisik maupun perasaan—sang keponakan, dan sebagai sekutu Shania, ia merasa berkewajiban memastikan Shania aman dari serangan-serangan tajam sang keponakan yang nampaknya akan menjadi sebuah keniscayaan.Sementara Shania sendiri, menyebut malam ini adalah malam pembuktian. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih seorang wanita tangguh bak batu karang, yang sanggup menghadapi tantangan apapun di depannya—karena ia merasa ragu identitasnya agak sedikit berubah setelah beberapa hari bertahan hidup di tengah keluarga Ananta yang aneh.Selain itu, Shania juga harus membuktikan pada sang putri tiri, bahwa dirinya adalah seorang ibu tiri yang baik dan sama sekali tak pantas di anggap sebagai tokoh antagonis dal