Menit dan jam berlalu. Meninggalkan segala keriangan para anggota muda keluarga Ananta di Jakarta; di Bali, Shania terlihat tengah sibuk mengurus pekerjaan di kantornya. Wanita itu telah mendirikan perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang konsultasi jasa arsitek di Pulau Dewata, bekerja sama dengan sahabat dekatnya, Cecilia—yang telah memutuskan untuk ikutan hengkang dari Lukita Group, menyusul jejak Shania yang telah lebih dulu membuat bos Lukita Group berduka dengan surat pengunduran dirinya.
Shania, mengurus bisnisnya itu dengan keseriusan yang mampu membuat pikirannya tak sempat tertuju pada hal lain di luar pekerjaan. Di tahun pertama perusahaannya berdiri ini, perempuan itu secara total menenggelamkan diri dalam kesibukan, hingga agendanya hanya penuh dengan jadwal-jadwal pekerjaan saja, tak begitu mempedulikan acara senang-senang, atau kumpul-kumpul yang tak jelas haluannya. Pesta-pesta semakin jarang dia kunjungi. Pertemuan ramai-ramai d
Dentang jam berlalu. Seolah patuh pada perintah Cecilia, kini Shania telah berada di apartemennya yang dia huni berdua bersama Cecilia. Shania duduk berleha-leha guna mengistirahatkan raganya yang kepayahan karena pekerjaan, sembari menunggu kepulangan sang sahabat—yang saat berpamitan, berlagak tak sudi memberitahukan tempat tujuan kepergiannya. Anehnya, pikiran Shania yang biasanya sulit terusik, kini terasa mengelana kemana-mana, tidak pada tempatnya, dan sedikit membawa suasana hatinya menjadi melankolis. Efek paparan nasihat tak diminta dari Cecilia saat di kantor. Tepat di saat itulah, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Alan, mendadak menanyakan apakah Shania memiliki acara nanti malam, karena jika tidak, sang pemuda meminta ijin untuk menyibukkannya dengan mengajaknya pergi makan malam. Shania tak menolak sedikitpun. Wanita itu tidak tahu apa sebabnya, tapi dia tak sedikitpun berminat menolak setiap ajakan pemuda ini, layaknya penolakan getirny
Shania berjalan dengan tergesa-gesa, seolah tak ingin kalah dengan deru angin yang membelainya kuat-kuat alih-alih bertiup dengan lembut. Ia harus segera bertemu seseorang yang menunggunya di panti asuhan Permata Kasih, yang telah menjadi rumah baginya sejak ia kecil. Ketergesa-gesaan nan melelahkan itu, berpadu dengan sepatu hak tinggi warna merah yang ia kenakan, membuat langkahnya terseok-seok. Ia menertawakan dirinya sendiri dan berjanji tidak akan melupakan perjuangan bertemu idola ini. Seorang perempuan terhormat, kaya dan dermawan, berhati selembut kapas dan berperangai sangat baik, bernama Nyonya Brenda, telah membuai angan Shania dan membuatnya menggebu-gebu ingin bertemu.Shania belum lama pulang ke Indonesia. Ia belum genap dua bulan berkumpul kembali dengan ibu asuhnya, karena sebelumnya ia tinggal di New York selama empat tahun, guna menyelesaikan pendidikan arsitekturnya di sana dengan beasiswa.Shania akrab dengan cerita-cerita tentang N
Shania mencoba membuka matanya, mengedipkannya sekali, dan bayangan di sekitarnya yang tadinya tampak buram mulai terlihat jelas. Ia tengokkan kepalanya yang tergeletak di atas bantal ke kiri dan kanannya, berusaha mengamat-amati—dengan memaksa, karena ia sangat lemah, dan alhasil menggerakkan kepala pun terasa berat. Sebuah tempat tidur kosong berada di sisi kanan tempat tidur yang ia tempati. Kelambu rumah sakit dan beberapa perlengkapan medis, semua pemandangan itu sudah cukup menyadarkan Shania bahwa kini dirinya berada di ruang perawatan.Meski tak begitu jelas di ingatannya, tapi ia tahu, dirinya, Nyonya Brenda, dan Pak Heru sebelumnya mengalami sebuah kecelakaan. Ia masih ingat kuatnya guncangan yang ia alami yang membuatnya seolah terlempar keluar dari alam nyata, hilang kesadaran, tak tahu apa yang kemudian terjadi. Air mata menetes di pipinya. Ada keingin tahuan yang mendesak dalam hatinya, untuk mengetahui nasib rekan-rekannya satu mobil.
Enam bulan berlalu dari sejak kematian Nyonya Brenda. Shania turut hadir dalam upacara pemakaman Nyonya Besar itu, dan bertemu dengan kedua anaknya, Alex dan Bianca, meski ia tidak cukup menyempatkan diri untuk bertemu anggota keluarga atau kerabat—jika ada—yang lain.Alex dan Bianca saat itu terlihat sangat terpukul, tapi mereka menerima kedatangan Shania dengan sikap bersahabat yang menyentuh perasaan. Mereka mendengarkan cerita tentang kecintaan Nyonya Brenda pada panti asuhan Permata Kasih dengan rasa bangga, dan membenarkan bahwa ibu mereka memang sangat penyayang. Binar-binar kebanggaan di mata mereka itu membuat Shania percaya, Nyonya Brenda membesarkan mereka dengan nilai-nilai luhur dan etika hidup yang baik.Tapi Shania merasa tak perlu meragukan integritas Nyonya Besar itu sebagai ibu. Alih-alih meragukan perempuan berbudi baik itu, Shania justru lebih mengkhawatirkan tentang kelakukan suaminya. Lebih tepatnya, tentang kepedul
Shania tengah menikmati perjalanan berangkat ke kantor dengan mobilnya. Pagi sekali, lebih pagi dari kebanyakan orang lainnya, karena Shania ingin sekaligus bersenang-senang menikmati suguhan elok pemandangan di sepanjang rute yang ia lalui. Tentu bukan melalui jalur normal—Shania sudah memperkirakan hal itu. Ia berjalan memutar, menempuh rute yang lebih jauh, yang bisa membawanya pada jalanan yang tidak padat dan membosankan.Tindakan jalan-jalannya yang terkesan mencuri waktu ini—meskipun Shania tidak setuju menyebutnya begitu—ia lakukan bukan tanpa alasan. Belakangan jadwalnya begitu padat. Ia yang mulai meroket dalam perjalanan karirnya saat ini, jarang bisa mendapatkan waktu khusus untuk berlibur. Ia mulai mengurusi proyek-proyek prestisius, yang bernilai mahal. Ia mulai memimpin proyek-proyek itu, dan bekerja dengan anak buah.Ia begitu sibuk, meskipun pundi-pundi uangnya pun terus bertambah—ia tidak menyangkalnya. Jika ada kesempatan libur di
Shania melajukan mobilnya dalam perjalanan pulang dari kantor dengan tenang, dan sedikit penat di tubuhnya. Ia telah mengerjakan banyak hal hari ini, terang saja ia merasa lelah. Tapi stamina Shania cukup teruji. Gadis dengan pola makan sehat dan gaya hidup yang tidak serampangan—kecuali saat ia menginginkannya—itu terbukti jarang sakit. Dan kelelahan fisik apapun yang menderanya, biasanya enggan bertahan lama.Shania berkonsentrasi dengan baik, menyusuri jalanan di depannya. Ia merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja, sampai ia dapati sebuah petualangan ternyata menantinya sore itu."Aaaa!" Seorang pria berteriak sambil menutup wajahnya dari samping dengan kedua tangannya. Jelas saja ia berlari sembarangan di jalan, sampai-sampai hampir tertabrak mobil Shania.Shania bukannya tidak kaget. Ia bahkan merasa jantungnya hampir copot. Katakutan akan melukai orang yang hampir tertabrak itu seketika menguasai dirinya. Tap
Kehebohan nampaknya menunggu Shania di kantornya hari itu, meski ia tidak menyadarinya. Tidak ada satupun di kantor Shania yang menyadarinya pada awalnya. Itulah kenapa Shania bisa berangkat ke kantor dengan tenang, dan berdiam dengan konsentrasi yang penuh, mengerjakan pekerjaan di mejanya dengan sangat baik.Namun, tidak berselang lama setelah Shania memulai pekerjaannya dengan sangat baik, ia dikejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi selama lebih dari dua puluh delapan tahun hidupnya. Awal dari petualangan hebat dalam hidupnya akan segera dimulai.Cecilia—sahabat dekat Shania yang benar-benar sangat dekat dengan Shania—berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ke ruangan Shania. Jika bukan sedang di dalam kantor, gadis itu pasti sudah memilih untuk berlari dengan kaki telanjang, alih-alih berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya, saking pentingnya berita yang ingin segera ia beri tahukan pada Shania.
Edward mengukuhkan statusnya sebagai seorang pria pongah nan arogan dengan mengumpat sejadi-jadinya melihat pemberitaan di surat kabar, pagi ini. Ia bergidik melihat pemberitaan itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebodohan terbesar sepanjang masa."Menjalin hubungan dengan Shania, mereka bilang?" Edward berucap miris, "Apa mereka pikir aku sudah tidak waras? Dasar gila! Mereka benar-benar tidak waras!"Amarah tak masuk akal Edward tak cukup hanya terlontar dalam beberapa ucapan saja. Ia bahkan terpaksa tertawa sejadi-jadinya mencemooh orang-orang yang menulis berita itu hingga membuatnya lebih terlihat seperti kehilangan akal."Aku penasaran apa mungkin wartawan itu perlu mandi di tujuh sumur untuk melunturkan kebodohan yang melekat pada dirinya," ucap Edward. "Atau mungkin aku? Aku takut aku akan merasakan semacam kutukan akibat berita ini. Haha!"Adegan menyedihkan itu terhenti, karena seseorang menc
Dentang jam berlalu. Seolah patuh pada perintah Cecilia, kini Shania telah berada di apartemennya yang dia huni berdua bersama Cecilia. Shania duduk berleha-leha guna mengistirahatkan raganya yang kepayahan karena pekerjaan, sembari menunggu kepulangan sang sahabat—yang saat berpamitan, berlagak tak sudi memberitahukan tempat tujuan kepergiannya. Anehnya, pikiran Shania yang biasanya sulit terusik, kini terasa mengelana kemana-mana, tidak pada tempatnya, dan sedikit membawa suasana hatinya menjadi melankolis. Efek paparan nasihat tak diminta dari Cecilia saat di kantor. Tepat di saat itulah, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Alan, mendadak menanyakan apakah Shania memiliki acara nanti malam, karena jika tidak, sang pemuda meminta ijin untuk menyibukkannya dengan mengajaknya pergi makan malam. Shania tak menolak sedikitpun. Wanita itu tidak tahu apa sebabnya, tapi dia tak sedikitpun berminat menolak setiap ajakan pemuda ini, layaknya penolakan getirny
Menit dan jam berlalu. Meninggalkan segala keriangan para anggota muda keluarga Ananta di Jakarta; di Bali, Shania terlihat tengah sibuk mengurus pekerjaan di kantornya. Wanita itu telah mendirikan perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang konsultasi jasa arsitek di Pulau Dewata, bekerja sama dengan sahabat dekatnya, Cecilia—yang telah memutuskan untuk ikutan hengkang dari Lukita Group, menyusul jejak Shania yang telah lebih dulu membuat bos Lukita Group berduka dengan surat pengunduran dirinya.Shania, mengurus bisnisnya itu dengan keseriusan yang mampu membuat pikirannya tak sempat tertuju pada hal lain di luar pekerjaan. Di tahun pertama perusahaannya berdiri ini, perempuan itu secara total menenggelamkan diri dalam kesibukan, hingga agendanya hanya penuh dengan jadwal-jadwal pekerjaan saja, tak begitu mempedulikan acara senang-senang, atau kumpul-kumpul yang tak jelas haluannya. Pesta-pesta semakin jarang dia kunjungi. Pertemuan ramai-ramai d
Alan tengah berada di rumahnya kala dua keponakan kesayangannya menyambanginya. Pria itu terlihat menyibukkan diri dengan menelepon beberapa orang terkait rencananya untuk sebuah acara, dan baru saja mengakhiri teleponnya yang terakhir ketika dua keponakannya melenggang masuk dengan menyuarakan sapaan yang riang, terutama Bianca.Sang paman, yang dari penglihatan dua keponakannya itu terlihat duduk tak melakukan apapun, memancing salah satu tamu untuk berdecak heran dan tak sungkan menyampaikan ucapan bernada prihatin, "Selamat pagi, Om. Sepi sekali. Rumah sebesar ini, tapi begitu senyap seperti kuburan.""Benarkah?" ujar sang paman yang tak terlihat tersinggung. "Akan kuajak kalian ke konser kapan pun kalian mau kalau kalian ingin suasana yang ramai." Alan memanggil asisten rumah tangganya dan memintanya menyuguhkan minuman bagi dua keponakannya. "Ada apa, anak-anak?" lanjut Alan. "Kalian datang bersamaan, dan tanpa mengabariku dulu.
Fajar menjelang, menebarkan aroma segar embun pagi yang membangkitkan jiwa siapapun yang tak berminat memperpanjang tidurnya. Bianca perlahan membuka matanya yang masih sedikit mengantuk karena peralihannya dari tidur nan melenakan menuju realita dunia nyata yang masih pagi. Namun gadis itu jelas telah cukup siap memulai hari. Tak merasa kurang tidur sedikitpun, karena di malam harinya telah mendapatkan peringatan keras—untuk tak begadang sembarangan—dari sang mantan ibu tiri yang meneleponnya dari Bali, seperti biasa.Wanita cantik yang eksentrik dan penuh kasih, yang dulu sempat bergelar Nyonya Ananta itu memang telah satu setengah tahun ini tinggal di Bali. Bianca tak mengira, bahwa percakapan singkat mereka di mobil, di sebuah pagi saat sang arsitek mengantarnya berangkat ke kampus, adalah upaya terselubung sang arsitek untuk melepas kasihnya sebagai ibu sambung untuk yang terakhir kali.Pelukan penuh kasih itu, d
Sang tuan besar telah kembali ke rumah, tepat setelah dia menyelesaikan urusannya di kantor polisi. Keterangannya yang dirasa sedikit berharga, terkait dosa masa lalunya bersama Adrian, telah dia paparkan dengan penjelasan cukup memadai di kantor para petugas berseragam yang bertugas menumpas kejahatan itu.Tuan besar itu, senada dengan istrinya, telah menyampaikan pemberian maaf atas kasus penculikan nan nista yang dilakukan Adrian—meneladani sikap sang istri yang telah dengan legawa memberi maaf terlebih dahulu. Lalu demi memuaskan hasrat akan rasa keadilan dalam diri Adrian, maka di kesempatan yang sama, sang tuan pun juga menyatakan permintaan maafnya atas segala tingkah laku yang memicu dendam pada diri mantan pesuruhnya itu di masa lalu—tentunya setelah upaya keras sang tuan menekan arogansi dan egonya sendiri barang sejenak, yang secara sadar dia lakukan, agar urusan nan ribet itu segera selesai.Tak berniat be
Shania kini berada di dalam mobil Alan untuk menuju ke bandara, sementara sang pemilik mobil mengendarai kendaraannya dengan fokus. Raut muka Shania tampak sedikit resah—hasil dari upayanya yang gagal untuk mencoba menampilkan sikap tenang, dan Alan sepenuhnya sadar semua itu tentunya berasal dari pergumulan yang hebat dalam hatinya. Entah berapa banyak sketsa rumit yang tengah disembunyikan wanita itu dalam pikirannya, dan Alan tak kan membiarkan mereka berpisah begitu saja hari itu, tanpa mengorek keterangan terkait rahasia terselubung itu."Kamu baik-baik saja, Shania?" tanya Alan tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya."Oh," jawab Shania terkejut, "aku baik-baik saja.""Dari mana aku harus memulai pertanyaanku?""Hm?" sang nyonya terkesiap. "Maksudmu?"Alan menarik nafas panjang. Masih dengan ekspresi tenang dia menjawab, "Aku pasti akan senang jika kamu benar-benar baik-baik saja. Tapi ... aku merasa ragu." Al
Agenda Shania selanjutnya setelah mengantar sang putri tiri, adalah mengunjungi kantor polisi. Nyonya muda itu bergidik, sedih, prihatin, dan sempat menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, memikirkan betapa lucu jalan hidupnya. Menikah tanpa cinta, terlibat—atau lebih tepatnya melibatkan diri—dalam drama keluarga nan rumit, menjadi korban penculikan, hingga sekarang tanpa terduga akan harus menyambangi kantor polisi untuk sebuah upaya penyelamatan.Sang nyonya, meski sempat dijejali rasa kesal, tak menemukan alasan untuk membiarkan penculik dirinya mendekam merana di tahanan. Shania telah memahami dengan baik, bahwa sang penculik melakukan aksinya karena didorong perasaan terzalimi, atas semua kesalahan Edward. Sebuah penahanan tak terduga yang dilakukan terhadap Shania di sebuah rumah tua nan menyedihkan itu juga tidak sedikitpun disertai dengan upaya penganiayaan—meski faktanya Shania tetap saja terluka oleh aksi nekat sahabat si penculik. 
Pagi telah menjelang. Mengakhiri malam yang terasa mencekam bagi Shania. Nyonya muda itu membuka matanya yang masih terasa berat—akibat dari jam tidur yang terlalu sedikit, lalu mencoba bangkit, dan duduk dengan loyo di atas tempat tidur. Matanya masih enggan untuk sepenuhnya membuka lebar. Namun untuk sesaat, setelah tanpa sengaja menangkap bayangannya di cermin, nyonya muda itu tersenyum ganjil. Dia memang masih mengantuk, tapi dia ingat dia telah merencanakan sesuatu yang besar hari ini, yang untuk itu dia harus segera bangkit.Shania lalu berusaha keras menghilangkan sisa kantuknya dengan mengucek mata sekedarnya, dan kemudian memaksakan diri untuk turun dari ranjangnya. Setiap langkahnya kemudian menuntunnya untuk menyelesaikan semua aktifitas pagi itu dengan sangat baik, tanpa melewatkan satu bagian pun.Sang putri tiri mengatakan bahwa dia harus mengikuti kelas pagi, dan setelah memastikan gadis itu menyelesaikan sar
Suasana melankolis mendera dua insan yang baru saja mengalami petualangan menyedihkan, hari itu. Alan dan Shania, terlibat dalam kesunyian mencekam sepanjang sisa perjalanan pulang mereka, yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi Alan—namun nampaknya tidak bagi Shania, karena lamunannya seolah telah membawanya ke dunia lain.Shania begitu fokus dengan renungan suramnya sembari membuang pandang ke luar kaca mobil hampir sepanjang perjalanan. Sementara Alan, sembari melakukan upaya terbaiknya untuk menjaga fokusnya dalam menyetir, berulang kali tak mampu menahan diri untuk menoleh dan memandang wanita di sampingnya itu dengan pikiran tak karuan.Perasaan Alan yang penuh empati membuatnya mampu membayangkan betapa kecewanya perasaan sang nyonya atas semua sikap Edward, dan diamnya sang nyonya seolah membenarkan semua perkiraan itu.Meski Alan menyangsikan adanya cinta di hati Shania untuk kakak iparnya—karena