Shania melajukan mobilnya dalam perjalanan pulang dari kantor dengan tenang, dan sedikit penat di tubuhnya. Ia telah mengerjakan banyak hal hari ini, terang saja ia merasa lelah. Tapi stamina Shania cukup teruji. Gadis dengan pola makan sehat dan gaya hidup yang tidak serampangan—kecuali saat ia menginginkannya—itu terbukti jarang sakit. Dan kelelahan fisik apapun yang menderanya, biasanya enggan bertahan lama.
Shania berkonsentrasi dengan baik, menyusuri jalanan di depannya. Ia merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja, sampai ia dapati sebuah petualangan ternyata menantinya sore itu.
"Aaaa!" Seorang pria berteriak sambil menutup wajahnya dari samping dengan kedua tangannya. Jelas saja ia berlari sembarangan di jalan, sampai-sampai hampir tertabrak mobil Shania.
Shania bukannya tidak kaget. Ia bahkan merasa jantungnya hampir copot. Katakutan akan melukai orang yang hampir tertabrak itu seketika menguasai dirinya. Tapi di saat yang bersamaan ia pun merasa jengkel dan juga tidak mengerti kenapa pria itu sembarangan saja berlari.
Shania bergegas keluar dari mobil untuk melihat orang itu. Tapi wajah yang ia temui seolah membuatnya menyesal keluar dari mobil.
"Tuan Edward!" hardik Shania. "Kenapa sembarangan lari-lari di jalan? Bagaimana kalau sampai tertabrak kendaraan?"
"Hh! Sudahlah, diam!" sergah Tuan Edward. Ia terlihat lega melihat Shania. Tapi dengan terburu-buru ia melanjutkan ucapannya, "Tidak perlu banyak bertanya, sekarang ayo kita pergi dari sini!"
Tanpa menunggu apapun, Tuan Edward menarik tangan Shania masuk ke dalam mobil. Ia bergegas mengemudikan mobil itu meski Shania yang tidak mengerti apa yang terjadi terus menggerecokinya dengan berbagai pertanyaan. "Ada apa? Kenapa berlari-lari tidak jelas? Lagipula—dimana mobil Anda, sampai harus membajak mobil saya seperti ini?"
"Demi Tuhan, diamlah!" hardik Tuan Edward tegas, setengah stres. Shania akhirnya terpaksa diam dan menunggu sampai ketegangan di wajah Edward mereda. Ia bersedekap dengan ekspresi kesal sembari menunggu kesempatan itu datang.
"Aku," kata Tuan Edward, "meninggalkan mobilku tidak jauh dari tempatmu hampir menabrakku tadi. Ada demo besar di sana. Aku terjebak. Akhirnya aku tinggalkan mobilku di sana, dan lari begitu saja." Tuan Edward melirikkan matanya pada Shania yang tampak mendengarkannya. "Kalau kita tidak segera pergi dari tempat itu, rombongan anarkis itu pasti akan segera sampai di tempat itu, dan bahkan kamu pun tidak akan bisa keluar."
"Benarkah?" ujar Shania ragu. "Demo apa? Aku tidak tahu kalau akan ada demo, hari ini."
"Tidak penting kamu tahu atau tidak. Aku juga tidak menyempatkan diri untuk melihat apa yang mereka tuntutkan. Itu bukan urusanku."
Shania tak terkejut dengan ucapan Edward. Kepentingan umum memang sepertinya tidak pernah menjadi bagian dari urusan tuan di sampingnya itu.
"Baik," ujar Shania serius, "jadi apa sekarang kita—maksudku aku—ehm, saya—harus mengantar Anda ke rumah?"
"Tentu," jawab Tuan Edward khidmat. "Aku tidak merasa kamu akan mengambil pilihan lain yang tidak bijak."
"Baik! Akan saya anggap itu permintaan. Meskipun biasanya permintaan itu disampaikan dengan jelas, dan baik. Tapi tidak masalah. Hanya saja, kita harus berhenti dulu di apotek, nanti."
"Untuk apa?" tanya Edward mengerutkan kening.
"Ibu saya meminta saya membeli obat untuk anak panti. Hanya itu."
Sadar dirinya menumpang, Edward mengiakan permintaan itu tanpa terlalu banyak protes, sementara Shania kini menikmati perjalanan dengan bersedekap nyaman sembari menyandarkan dirinya di kursinya dengan rileks, karena ia seolah mendapatkan sopir baru untuk menggantikannya menyetir mobil barang sejenak. Tuan Edward memandang gadis yang jelas-jelas memanfaatkan keadaan itu dengan tatapan tanpa ekspresi.
Sesuai janji yang telah diucapkan pada sang pemilik mobil, yang kini memegang peran bak putri raja, Tuan Edward menghentikan mobil itu saat mereka melewati sebuah apotek. Shania tanpa babibu langsung turun untuk segera menuntaskan keperluannya. Bukan tanpa alasan. Ia pun sejujurnya penat dan segera ingin sampai ke rumah.
Tapi apa mau dikata, apotek itu mungkin baru mendapatkan hari keberuntungannya—atau mungkin memang telah terbiasa seperti itu, Shania tidak tahu. Antriannya begitu panjang. Semua pelayan dan kasir bekerja tanpa henti melayani pembeli yang berjibun dengan peluh yang sesekali mereka usap, tapi senyum lebih banyak menghiasi wajah penat mereka. Terang saja, toko mereka begitu laku. Shania yang telah begitu penat pun akhirnya harus menunggu dan bersabar.
Kesabaran Shania berbanding terbalik dengan kesabaran Tuan Edward yang memang stoknya tipis. Pria itu memutuskan untuk menyusul sang pemilik mobil, yang mungkin bisa ia seret begitu saja untuk pulang.
"Kenapa lama sekali?" tanya Tuan Edward.
"Anda tidak lihat, antriannya begitu panjang?" jawab Shania tak bersemangat, yang terpaksa diiakan oleh Tuan Edward dalam hati. Tapi mulutnya yang terbiasa mengkritisi segala sesuatu itu tak membiarkannya diam.
"Ini sudah terlalu lama. Apa tidak bisa dipercepat?" protes Tuan Edward.
"Tidak," jawab Shania datar.
"Ini buruk!"
"Tidak seburuk itu kalau Anda diam."
Tuan Edward kembali bergumam mengeluhkan keadaan yang terdengar tak penting di telinga Shania, hingga akhirnya lirikan gadis itu yang tajam membuat pria itu terpaksa membesarkan hati untuk diam, meski merasa terhina. Ia berdiri di samping Shania bermaksud menunggu gadis itu.
Entah obat apa saja dan untuk siapa saja yang dibeli seorang pembeli di depan, hingga kasir butuh waktu yang sangat lama untuk menghitungnya. Di saat itu, Shania dan Tuan Edward mendapati rentang waktu yang cukup lama untuk berdiri berdampingan menunggu giliran, hingga seseorang yang tidak mereka sadari keberadaannya, puas mengambil foto mereka berdua. Begitu halus, pelan, dan tak terbaca, hingga gerakan salah satu wartawan surat kabar itu benar-benar tak disadari oleh Shania maupun Tuan Edward.
Tampaknya wartawan itu belum cukup puas, hingga ia menambahkan jepretannya saat Tuan Edward akhirnya keluar dengan diikuti Shania di belakangnya, dilengkapi satu foto pamungkas saat akhirnya mereka masuk ke dalam satu mobil yang sama. Sempurna!
Tuan Edward—seorang pebisnis sukses dengan nama yang sudah sangat dikenal—yang kini telah menduda, diketahui menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda, yang mulai dikenali oleh banyak pihak dari kalangan pebisnis, sebagai seorang arsitek yang tengah naik daun. Berita ini siap untuk diperkenalkan ke tengah publik.
Kabar tentang hubungan ini, jika dinaikkan ke permukaan, akan mendongkrak popularitas surat kabar tempat ia bekerja, dan ia akan mendapatkan apresiasi tinggi atas prestasi itu. Kebahagiaan dan antusiasme seketika meruah di hati wartawan itu, seiring gerakannya yang dengan hati-hati menyimpan kamera itu di dalam tasnya.
Sementara itu, Tuan Edward dan Shania yang telah berhasil menyelesaikan perjalanan mereka menuju rumah Tuan Edward, tampak begitu lega. Mereka kini sampai di depan rumah keluarga Ananta, yang membuat Shania tiba-tiba teringat dengan Nyonya Brenda. Bayangan tentang anak-anak sang Nyonya pun turut menghiasi benak gadis muda itu.
Rumah besar, mewah, dan begitu megah itu, di dalamnya menyimpan kisah sedih yang tak banyak diketahui orang. Shania mulai gundah memikirkan tentang Bianca, dan beban batin yang anak itu rasakan, berikut semua tingkah pelampiasannya yang menyedihkan. Shania mendesah pelan.
"Ada apa denganmu?" tanya Tuan Edward sembari melepas sabuk pengamannya.
"Tidak ada apa-apa," jawab Shania. "Turunlah!"
"Tentu saja!" ujar Tuan Edward itu yang langsung bersiap membuka pintu, namun suara Shania menghentikannya.
"Sama-sama!" ucap Shania datar.
"Apa maksudmu?" tanya Edward tak mengerti.
"Tidak. Saya hanya mencoba berpikir baik dengan menganggap Anda sangat beretika. Mungkin Anda sudah mengucapkan terima kasih, hanya saja saya tidak mendengarnya. Jadi ... sama-sama," jawab Shania sedikit berceramah.
Tuan Edward terlihat bosan. "Apa kamu mensyaratkannya untuk pertolongan yang kamu berikan?"
"Tidak, tentu tidak," jawab Shania. "Hanya saja, saya merasa penasaran bagaimana Anda menjalin interaksi dengan orang lain, selama ini. Saya bahkan belum pernah bertemu dengan orang yang—"
"Cukup! Aku tidak berminat dengan ceramahmu. Baik! Terima kasih!" sergah Tuan Edward yang kemudian keluar dari mobil dengan sangat cepat. Shania menduga ocehannya telah membuat pria itu ketakutan.
"Sama-sama, Tuan!" desah Shania pelan dengan sedikit prihatin.
***
Kehebohan nampaknya menunggu Shania di kantornya hari itu, meski ia tidak menyadarinya. Tidak ada satupun di kantor Shania yang menyadarinya pada awalnya. Itulah kenapa Shania bisa berangkat ke kantor dengan tenang, dan berdiam dengan konsentrasi yang penuh, mengerjakan pekerjaan di mejanya dengan sangat baik.Namun, tidak berselang lama setelah Shania memulai pekerjaannya dengan sangat baik, ia dikejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi selama lebih dari dua puluh delapan tahun hidupnya. Awal dari petualangan hebat dalam hidupnya akan segera dimulai.Cecilia—sahabat dekat Shania yang benar-benar sangat dekat dengan Shania—berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ke ruangan Shania. Jika bukan sedang di dalam kantor, gadis itu pasti sudah memilih untuk berlari dengan kaki telanjang, alih-alih berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya, saking pentingnya berita yang ingin segera ia beri tahukan pada Shania.
Edward mengukuhkan statusnya sebagai seorang pria pongah nan arogan dengan mengumpat sejadi-jadinya melihat pemberitaan di surat kabar, pagi ini. Ia bergidik melihat pemberitaan itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebodohan terbesar sepanjang masa."Menjalin hubungan dengan Shania, mereka bilang?" Edward berucap miris, "Apa mereka pikir aku sudah tidak waras? Dasar gila! Mereka benar-benar tidak waras!"Amarah tak masuk akal Edward tak cukup hanya terlontar dalam beberapa ucapan saja. Ia bahkan terpaksa tertawa sejadi-jadinya mencemooh orang-orang yang menulis berita itu hingga membuatnya lebih terlihat seperti kehilangan akal."Aku penasaran apa mungkin wartawan itu perlu mandi di tujuh sumur untuk melunturkan kebodohan yang melekat pada dirinya," ucap Edward. "Atau mungkin aku? Aku takut aku akan merasakan semacam kutukan akibat berita ini. Haha!"Adegan menyedihkan itu terhenti, karena seseorang menc
Bianca nyata-nyata bersitegang dengan Andre—pria muda yang merupakan teman satu kampusnya—yang mengejarnya karena merasa tidak terima atas penolakan cintanya. Bukan main-main, ketidak puasan Andre membuat Bianca seolah tidak bisa beranjak pergi.Bianca akhirnya berhenti saat tarikan Andre terasa kuat di pergelangan tangannya. "Bianca! Berhenti! Katakan, apa yang membuatmu menolak perasaanku?" tanya pemuda itu dengan serius, namun terkesan egois bagi Bianca."Andre, aku harap kamu tidak lupa pada janjimu untuk menghormati semua keputusanku. Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tadi? Aku tidak mau menjalin hubungan denganmu, lebih dari hubungan pertemanan. Aku enggan melukai perasaanmu, Andre. Sudah cukup!""Omong kosong!" sergah Andre dengan muka memerah. Bianca jelas-jelas mulai melihat kemarahan menguasai Andre. "Kenapa kamu harus bersikap jual mahal seperti itu?" Tangan Andre serta merta mengangkat dagu Bianca d
Di dalam mobil, Shania diam terpaku dengan tatapan menerawang jauh ke luar jendela. Pikirannya, yang sebelum berangkat hanya seolah seperti benang kusut, sekarang telah menjelma menjadi benang kusut yang terikat tali runyam. Situasinya bertambah sulit nan membingungkan, sukar untuk diurai, dan menyedihkan untuk diceritakan.Tatapannya bermuram durja. Desah nafasnya terkesan berat, keluar dari keinginan yang dalam untuk melarikan diri ke belahan dunia lain. Shania menarik nafas panjang, seiring dengan lirikan mata sang sopir yang merasa iba, meski belum tahu duduk perkaranya. Ia tahu tentang kisah yang sebenarnya dibalik pemberitaan itu—karena Shania telah menceritakan semuanya—tapi ia belum tahu apa tepatnya masalah yang kini Shania pikirkan."Nona," ucap sang sopir memberanikan diri, "apa sesuatu yang buruk telah terjadi?"Shania berkata pelan sambil mendesah, "Ya, Pak Heru. Saya tidak bisa mengatakan ini baik."
Tiga hari berlalu dari sejak lamaran mengejutkan Tuan Edward dilayangkan pada Shania. Gadis itu telah memikirkan dengan matang tentang keputusannya. Meski dihadapkan pada wajah-wajah tak mengerti dari sang ibu dan sahabat, Shania tak merubah keputusannya. Dengan pertimbangan versinya yang menurutnya cermat nan saksama, Shania memutuskan untuk menerima lamaran itu. Biarlah ide Tuan Edward yang konyol itu bertemu dengan keputusannya yang konyol pula, begitu pikirnya.Hanya satu orang yang mengerti dan memahami dengan sangat baik alasan di balik keputusan Shania yang mengharukan itu, seorang pria tua yang tanpa sengaja telah menuangkan racun ke pemikiran Shania, yakni sang sopir bersahaja, Pak Heru. Ia, di antara rasa bersalah dan rasa senang, menyambut keputusan itu dengan patuh. Ia mengikatkan janji pada Shania untuk sepenuhnya membantu Shania dalam menjalankan misinya, yakni menjaga anak-anak Nyonya Brenda yang sudah mulai meninggalkan jalur keteraturan warisa
Tiga hari berlalu dari sejak pernikahan Tuan Edward dan Shania dilangsungkan. Mereka, tak merasa membutuhkan bulan madu seperti kebanyakan pasangan lainnya, hingga mereka pun dengan cepat kembali ke aktifitas dan kesibukan mereka tanpa penundaan. Mereka, hanya mengukuhkan status mereka sebagai suami istri dengan mulai tinggal bersama di rumah Edward Ananta, sebagai Tuan dan Nyonya Ananta—sebuah kewajaran yang niscaya, tidak aneh, dan sangat biasa.Shania menerima dengan lapang dada, ekspresi sinis Bianca di dalam rumah itu, yang merupakan konsekuensi dari jabatan barunya sebagai seorang Nyonya Muda, yang merangkap ibu tiri di rumah itu.Bahkan Shania yakin—berbekal semua pengetahuannya tentang Bianca—bahwa putri tiri kesayangannya itu dimungkinkan telah menambahi embel-embel istimewa di belakang namanya, menjadi ibu tiri tak tahu diri. Shania menerima semua itu tanpa merasa ciut. Ia menyebut dirinya batu karang, hingga praktis menguasai keadaa
Dengan gerakan sigap, Shania dan si bocah remaja, Ardi, masuk ke dalam mobil yang tak diketahui pemiliknya itu, lalu Shania menutup pintunya seketika. Deru nafas ketakutan terdengar jelas dari dua orang tak beruntung itu. Mereka menyandarkan tubuh mereka ke kursi mobil sambil memejamkan mata, mengusap peluh, dan mencoba menata nafas, serta hati mereka.Selama beberapa detik, sang pemilik mobil yang duduk dengan tenang di kursi depan membiarkan aksi mereka, dan memberi waktu bagi mereka untuk bernafas. Mungkin sesuatu yang besar baru saja terjadi pada dua orang asing itu, dan untuk itu ia bersimpati. Hanya sesaat setelah ia merasa kedua tamunya itu telah membaik, dia mencoba mengejutkan keduanya dengan dengan suara tenangnya, "Siapa kalian?""Ah, ya Tuhan!" seru Ardi terkejut. "Kakak benar!" lanjutnya. "A-ada pe-pemilik mobilnya di dalam."Shania seketika menegakkan posisi duduknya. Ia yang sejak awal memang tidak yakin bahwa m
Dentang jam berlalu. Matahari tidak lama lagi akan tenggelam, dan warna jingga mulai mewarnai pancaran cahayanya. Waktu ini, hingga saat sang mentari masuk kembali ke peraduannya, biasanya dijadikan para pengagum 'matahari terbenam' sebagai waktu favorit mereka untuk membiarkan diri mereka terbius pesona alam.Semua anggota keluarga Ananta—kecuali Alex—saat ini tengah menunjukkan eksistensi mereka sebagai pemilik rumah. Begitulah Shania menyebutnya. Mereka secara kebetulan berada di rumah dalam waktu bersamaan, dan Shania senang akan hal itu. Tanpa kehadiran para pemilik yang sesungguhnya, rumah itu tak lebih seperti hotel, dengan para pelayan sebagai resepsionisnya.Shania tengah dengan saksama memperhatikan karib kerabat barunya dari lantai atas, sore itu. Sang suami—yang selalu menyebut dirinya sibuk, bahkan di waktu sore—tengah membetulkan letak jam tangannya, dan ujung lengan kemejanya. Sementara sang putri tiri kesayangan tengah as