Shania tengah menikmati perjalanan berangkat ke kantor dengan mobilnya. Pagi sekali, lebih pagi dari kebanyakan orang lainnya, karena Shania ingin sekaligus bersenang-senang menikmati suguhan elok pemandangan di sepanjang rute yang ia lalui. Tentu bukan melalui jalur normal—Shania sudah memperkirakan hal itu. Ia berjalan memutar, menempuh rute yang lebih jauh, yang bisa membawanya pada jalanan yang tidak padat dan membosankan.
Tindakan jalan-jalannya yang terkesan mencuri waktu ini—meskipun Shania tidak setuju menyebutnya begitu—ia lakukan bukan tanpa alasan. Belakangan jadwalnya begitu padat. Ia yang mulai meroket dalam perjalanan karirnya saat ini, jarang bisa mendapatkan waktu khusus untuk berlibur. Ia mulai mengurusi proyek-proyek prestisius, yang bernilai mahal. Ia mulai memimpin proyek-proyek itu, dan bekerja dengan anak buah.
Ia begitu sibuk, meskipun pundi-pundi uangnya pun terus bertambah—ia tidak menyangkalnya. Jika ada kesempatan libur di akhir pekan, sudah pasti dia sangat lelah di hari itu, dan yang lebih penting lagi adalah, bahwa ia lebih suka menggunakan kesempatannya itu untuk bersantai bersama keluarga besarnya di panti. Atau pergi bersama, jika mereka menginginkannya.
Shania tidak pernah mengatakannya sendiri, tapi ia setuju dengan sangat mudahnya, saat ibunya mengatakan dia cenderung bertipikal gadis rumahan. Ya. Dia tidak tahu apakah ada sebutan lain yang lebih pantas untuknya saat ini. Tapi jika ada, dia tidak sungkan untuk mempertimbangkannya.
Shania memperlambat laju mobilnya. Dari jauh terlihat bayang-bayang orang yang ia kenal—atau mungkin pernah ia lihat.
"Kenapa kamu memakai mobil yang ini, tadi?" tanya Edward geram pada Harun. Sang sopir terlihat katakutan, dan lututnya gemetar, tapi Edward tidak peduli.
"Maaf, Tuan," jawab Harun ketakutan. "Mobil yang biasa kita gunakan tadi dipakai Nona Bianca. Nona meninggalkan mobilnya sendiri di rumah temannya, kemarin."
"Tapi masih ada mobil lain kan, di rumah?"
"Maaf, Tuan. Kalau tahu mobil ini akan mogok, saya tidak akan menggunakannya. Ini salah saya."
"Ini memang salah kamu!" Sang Tuan terus menyudutkan sopirnya.
Shania tahu drama menyedihkan tengah berlangsung. Ia masih bisa mendengar saat sang Tuan melanjutkan omelannya yang cenderung putus asa, "Kenapa Bianca jadi sering bikin masalah, belakang ini?!"
Shania menghentikan mobilnya tepat di samping Edward. Dengan serta merta ia keluar dari mobil dengan langkah anggunnya, menghadapkan tubuhnya pada pria yang tengah terbakar emosi itu.
"Mobil Anda mogok, Tuan Edward?" tanya Shania dengan tenang.
"Kamu? Lagi?" tanya Edward heran tapi tidak terlihat antusias. Dia hanya heran kenapa gadis itu bisa muncul lagi di depannya. "Ya," ucapnya singkat sambil kembali memandang sinis pada sopirnya. "Cepat betulkan, Harun! Aku ada pertemuan penting, pagi ini."
"Maaf, Tuan," jawab sang sopir, "kita harus undang jasa bengkel kemari. Dan kita harus menunggu sampai proses perbaikannya selesai."
"Kalau Anda berkenan, saya bisa antar Anda, Tuan," ucap Shania menawarkan bantuan. Ia masih mencoba bersikap ramah, meski ia tahu pria itu tidak pantas menerimanya.
Sumpah demi apapun, Edward muak dalam hatinya dan menganggap gadis di depannya itu berlagak bak pahlawan kesiangan—sinyal yang sebenarnya diterima dengan cepat oleh Shania dan dimengerti dengan baik, tapi janjinya pada diri sendiri untuk tidak berlaku buruk pada keluarga Nyonya Brenda membuatnya memaafkan sikap angkuh tak ketulungan itu.
"Maaf, Anda pasti merasa, waktu berharga Anda terbuang untuk berbicara dengan orang lain di jam mendesak seperti ini," ucap Shania dengan gaya bijaknya, dan melenggang tenang hendak masuk ke mobilnya.
"Tunggu, tunggu! Aku terima tawaranmu! Aku tidak mau terlambat. Ayo!" sahut Edward dengan serta merta mengambil kunci mobil dan mengambil alih kemudi. Saking semangatnya, Shania yakin, pria itu tidak sungkan meninggalkannya di jalan, jika ia tidak ikut bergerak cepat.
Dengan kemudi yang dikendalikan Edward, dan Shania duduk di sampingnya, mobil itu melaju ke kantor Edward. Edward sesekali terlihat meluruskan tangannya yang mungkin pegal atau kesemutan, menyentuh leher bagian belakang yang mungkin semua ototnya kaku—Shania tidak yakin tentang semua dugaannya. Satu hal yang Shania bisa pastikan, Edward tidak menikmati aktifitas menyetirnya.
"Berhenti!" perintah Shania tanpa rasa sungkan. "Biar aku yang menyetir mobilnya."
Edward tersenyum masam. "Diamlah! Kita belum sampai. Akan kukembalikan kemudinya saat aku turun, nanti."
"Ini mobil saya!" Tatapan Shania mulai menajam. Suaranya terdengar tegas, dan ia melantunkan ucapan berikutnya, bak seorang penjaga memperingatkan tawanannya, "Siapa yang bisa membawanya, saya yang putuskan!"
"Oh, galaknya!" sahut Edward. Ia mulai terlihat benar-benar heran dengan keberanian Shania dan kecenderungan gadis itu untuk berani bersikap berseberangan dengannya. Namun rasa lelah yang Edward rasakan tak pelak membuatnya tak merasa malu untuk mengalah—atau berpura-pura mengalah karena ia juga terbiasa duduk nyaman dengan sopir yang menyetir untuknya—hingga ia pun membiarkan gadis itu menyetir.
Edward benar-benar penat, ia tak mencoba menutupinya. Jam tangan silver yang melingkar di tangannya lalu ia lepas begitu saja dan ia memijit pergelangan tangannya yang terasa tak nyaman itu.
Kerlingan mata Shania dibalik bulu matanya yang tak terlalu tebal, menangkap semua pemandangan dari gerak-gerik itu, yang sontak menggelitiknya untuk berkata dengan berani, "Anda pasti terlalu lelah bekerja. Anda tidak sempat bersantai, beristirahat, atau berolahraga. Anda tidak melakukan apa yang orang normal lakukan."
"Apa katamu?" tanya Edward garang. Gadis itu baru saja mengkritiknya secara terang-terangan. "Kamu masih terlalu muda. Kamu akan tahu suatu saat nanti, betapa pentingnya menjaga apa yang sudah kamu raih dengan pengorbanan. Percuma kalau aku jelaskan padamu. Menyetirlah saja dengan fokus!" Demi menghargai bantuan Shania pagi ini, Edward menahan diri.
Shania terdiam mendengar penjelasan Edward. Jelas bukan karena kagum, lebih karena ia malas berdebat dengannya. Ia lebih tertarik menanyakan tentang kabar Alex dan Bianca.
"Kamu bertanya tentang mereka seolah kamu adalah kerabat mereka—atau paling tidak seseorang yang mengenal mereka dengan baik," ujar Tuan Edward menyepelekan.
"Tentu tidak harus menjadi kerabat mereka, atau seseorang yang mengenal mereka dengan baik, kalau hanya untuk sekedar bertanya tentang kabar mereka," sanggah Shania.
Edward terkesiap tapi kemudian menjawab dengan malas dan datar, "Mereka baik-baik saja." Butuh beberapa saat sampai kemudian Edward menarik nafas panjang, dan kemudian jujur. "Mereka ... jadi semakin susah diatur sekarang ini."
Kali ini Shania mulai bersimpati. Perasaannya sebagai seorang perempuan seolah mengemuka. Tapi hanya dalam beberapa detik, simpati itu berubah menjadi perasaan jengkel. "Mereka mungkin hanya menuntut sedikit perhatian Anda," ujar Shania tanpa sungkan.
Lirikan sinis tertuju pada gadis itu sebagai hadiah ucapannya barusan. Tapi Shania ternyata masih belum puas. "Anda mungkin telah terlalu mencintai pekerjaan Anda dan dunia Anda—dan Anda melupakan mereka. Kalau begitu terus, Anda bisa kehilangan mereka."
"Shania!" hardik Tuan Edward kesal, "Apa kamu mencoba menasihatiku?"
"Tentu tidak—atau mungkin iya. Dan saya rasa tidak masalah kalau terpaksa."
"Shania!" hardik Edward lagi dengan lebih tegas. "Apa kamu sadar kamu itu siapa dan aku itu siapa? Beraninya kamu mencoba menasihatiku? Kamu pikir itu pantas?"
"Tentu tidak, Tuan. Saya tahu," jawab Shania tegas. "Karena itu lebih baik Anda turun sekarang. Kita sudah sampai di kantor Anda."
Edward terkejut. Segera ia mengarahkan pandangannya ke luar mobil dan ternyata benar. Ia sudah sampai di depan kantornya. Percakapannya dengan Shania telah melalaikannya.
Dengan tanpa mengucapkan terima kasih, Edward keluar dari mobil dengan gerakan cepat. Shania tahu, kedongkolan pasti masih bersarang di hati Tuan terhormat yang lupa bagaimana menghargai orang lain itu. Perasaan miris tiba-tiba menguasai dirinya, membayangkan bagaimana mimpi buruk berwujud pria seperti itu menghantui Nyonya Brenda bertahun-tahun.
Shania bergidik memikirkannya. Segera ia mengalihkan fokusnya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Namun gerakan tangannya yang mulai memegang kemudi terhenti, melihat sebuah jam tangan tergeletak di dasbor mobil. Tentu saja Shania mengenalinya. Jam tangan Tuan Edward. Ia pasti sudah melupakannya tanpa sengaja.
"Selamat pagi, Tuan Edward," sapa Angela yang kebetulan berpapasan dengan atasannya di depan kantor. Sikapnya sangat sopan, dengan sedikit merundukkan badannya saat menyampaikan sapaannya. Atasannya hanya sedikit tersenyum formal, tanpa menunjukkan kesungguhan, dan dengan singkat menjawab, "Pagi!"
Angela masih tetap bersikap hormat. Ia tidak pernah mengharapkan respon yang lebih baik dari itu. Sebagai sekertaris yang sudah bekerja selama lima tahun pada Tuan Edward, ia sangat memahami karakter dingin nan angkuh dari atasannya itu.
Ia menelan ludah sambil menyimpan rasa heran. Berjalan kaki masuk ke kantor tanpa kelihatan mobilnya, Angela tertarik untuk berangan-angan apakah Tuannya itu terbang—mengingat ia anti naik taksi atau kendaraan umum. Tapi tampaknya pertanyaannya itu akan segera terjawab.
"Jam tangan Anda tertinggal di mobil, Tuan Edward," ucap Shania sambil sedikit mempercepat langkahnya, sebelum pria itu masuk ke kantornya.
"Oh, baik," jawab Tuan Edward, masih tetap tanpa mengucapkan terima kasih. Lidahnya sepertinya sakit untuk mengucapkan kata terima kasih—begitu yang dipikirkan Shania sebelum beranjak meninggalkan pria itu dengan rasa iba, sementara Angela diam terpaku melihatnya.
Angela perlahan menutup mulutnya yang sedikit menganga terkejut, masih dengan tatapan tertuju pada Shania. "Nona Shania dari Lukita Group?" desahnya lirih. Namun sayangnya atasannya yang berada di depannya mendengar suara yang keluar tanpa sengaja itu.
"Kamu mengenalnya?" tanya Edward.
"Oh," jawab Angela, "tidak, Tuan. Hanya saja, saya sering mendengar tentangnya—terutama belakangan ini. Dia adalah arsitek berprestasi dari Lukita Group."
"Em ... aku baru dengar itu," jawab Tuan Edward. Ia melihat binar-binar kekaguman di mata Angela. "Kelihatannya kamu begitu terpukau melihatnya."
"Ah, Anda benar, Tuan. Kalau saya jadi dia, saya pasti bangga pada diri saya sendiri," jawab Angela tak jelas. "Tapi ... pasti tidak mudah menjadi dia."
"Apa maksudmu?" tanya Edward sedikit tertarik.
"Lukita Group diam-diam bermasalah dengan Delta Gemilang belakangan ini, Tuan. Tepatnya, Delta Gemilang yang berusaha memusuhinya."
"Em, ya. Masuk akal. Mereka sama-sama bergerak di bidang properti."
"Benar! Delta Gemilang sangat menginginkan proyek prestisius yang saat ini tengah dikerjakan Lukita Group." Angela tampak bersemangat bercerita, karena atasannya kelihatan tertarik. Ia lalu menambahkan, "Saya mengetahui hal ini, karena salah seorang teman saya ada yang bekerja di Delta Gemilang—meski hanya pegawai biasa. Apalagi, belakangan ini popularitas Lukita Group naik—yang saya yakin peran Nona Shania berpengaruh di dalamnya. Delta Gemilang akan harus bekerja keras untuk mematahkan pesaingnya itu."
Edward tampak berpikir, dan ini sejujurnya membuat sekertarisnya itu bangga, karena untuk pertama kalinya atasannya itu tertarik dengan topik yang ia bicarakan, di luar urusan pekerjaan mereka.
"Itu artinya gadis malang itu berada dalam masalah," ucap Edward kemudian, dengan datar. Sesaat kemudian ia tersenyum menyeringai. "Gadis malang! Usia mudanya dan pengalaman yang sedikit pasti membuatnya tidak tahu bahaya apa yang sedang mengancamnya. Delta Gemilang yang rekam jejaknya buruk itu—ah, ya Tuhan! Biar dia tahu rasa! Sok-sokan mau menasihatiku," guman Tuan Edward yang membuat Angela mengerutkan keningnya tak mengerti.
***
Shania melajukan mobilnya dalam perjalanan pulang dari kantor dengan tenang, dan sedikit penat di tubuhnya. Ia telah mengerjakan banyak hal hari ini, terang saja ia merasa lelah. Tapi stamina Shania cukup teruji. Gadis dengan pola makan sehat dan gaya hidup yang tidak serampangan—kecuali saat ia menginginkannya—itu terbukti jarang sakit. Dan kelelahan fisik apapun yang menderanya, biasanya enggan bertahan lama.Shania berkonsentrasi dengan baik, menyusuri jalanan di depannya. Ia merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja, sampai ia dapati sebuah petualangan ternyata menantinya sore itu."Aaaa!" Seorang pria berteriak sambil menutup wajahnya dari samping dengan kedua tangannya. Jelas saja ia berlari sembarangan di jalan, sampai-sampai hampir tertabrak mobil Shania.Shania bukannya tidak kaget. Ia bahkan merasa jantungnya hampir copot. Katakutan akan melukai orang yang hampir tertabrak itu seketika menguasai dirinya. Tap
Kehebohan nampaknya menunggu Shania di kantornya hari itu, meski ia tidak menyadarinya. Tidak ada satupun di kantor Shania yang menyadarinya pada awalnya. Itulah kenapa Shania bisa berangkat ke kantor dengan tenang, dan berdiam dengan konsentrasi yang penuh, mengerjakan pekerjaan di mejanya dengan sangat baik.Namun, tidak berselang lama setelah Shania memulai pekerjaannya dengan sangat baik, ia dikejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi selama lebih dari dua puluh delapan tahun hidupnya. Awal dari petualangan hebat dalam hidupnya akan segera dimulai.Cecilia—sahabat dekat Shania yang benar-benar sangat dekat dengan Shania—berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ke ruangan Shania. Jika bukan sedang di dalam kantor, gadis itu pasti sudah memilih untuk berlari dengan kaki telanjang, alih-alih berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya, saking pentingnya berita yang ingin segera ia beri tahukan pada Shania.
Edward mengukuhkan statusnya sebagai seorang pria pongah nan arogan dengan mengumpat sejadi-jadinya melihat pemberitaan di surat kabar, pagi ini. Ia bergidik melihat pemberitaan itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebodohan terbesar sepanjang masa."Menjalin hubungan dengan Shania, mereka bilang?" Edward berucap miris, "Apa mereka pikir aku sudah tidak waras? Dasar gila! Mereka benar-benar tidak waras!"Amarah tak masuk akal Edward tak cukup hanya terlontar dalam beberapa ucapan saja. Ia bahkan terpaksa tertawa sejadi-jadinya mencemooh orang-orang yang menulis berita itu hingga membuatnya lebih terlihat seperti kehilangan akal."Aku penasaran apa mungkin wartawan itu perlu mandi di tujuh sumur untuk melunturkan kebodohan yang melekat pada dirinya," ucap Edward. "Atau mungkin aku? Aku takut aku akan merasakan semacam kutukan akibat berita ini. Haha!"Adegan menyedihkan itu terhenti, karena seseorang menc
Bianca nyata-nyata bersitegang dengan Andre—pria muda yang merupakan teman satu kampusnya—yang mengejarnya karena merasa tidak terima atas penolakan cintanya. Bukan main-main, ketidak puasan Andre membuat Bianca seolah tidak bisa beranjak pergi.Bianca akhirnya berhenti saat tarikan Andre terasa kuat di pergelangan tangannya. "Bianca! Berhenti! Katakan, apa yang membuatmu menolak perasaanku?" tanya pemuda itu dengan serius, namun terkesan egois bagi Bianca."Andre, aku harap kamu tidak lupa pada janjimu untuk menghormati semua keputusanku. Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tadi? Aku tidak mau menjalin hubungan denganmu, lebih dari hubungan pertemanan. Aku enggan melukai perasaanmu, Andre. Sudah cukup!""Omong kosong!" sergah Andre dengan muka memerah. Bianca jelas-jelas mulai melihat kemarahan menguasai Andre. "Kenapa kamu harus bersikap jual mahal seperti itu?" Tangan Andre serta merta mengangkat dagu Bianca d
Di dalam mobil, Shania diam terpaku dengan tatapan menerawang jauh ke luar jendela. Pikirannya, yang sebelum berangkat hanya seolah seperti benang kusut, sekarang telah menjelma menjadi benang kusut yang terikat tali runyam. Situasinya bertambah sulit nan membingungkan, sukar untuk diurai, dan menyedihkan untuk diceritakan.Tatapannya bermuram durja. Desah nafasnya terkesan berat, keluar dari keinginan yang dalam untuk melarikan diri ke belahan dunia lain. Shania menarik nafas panjang, seiring dengan lirikan mata sang sopir yang merasa iba, meski belum tahu duduk perkaranya. Ia tahu tentang kisah yang sebenarnya dibalik pemberitaan itu—karena Shania telah menceritakan semuanya—tapi ia belum tahu apa tepatnya masalah yang kini Shania pikirkan."Nona," ucap sang sopir memberanikan diri, "apa sesuatu yang buruk telah terjadi?"Shania berkata pelan sambil mendesah, "Ya, Pak Heru. Saya tidak bisa mengatakan ini baik."
Tiga hari berlalu dari sejak lamaran mengejutkan Tuan Edward dilayangkan pada Shania. Gadis itu telah memikirkan dengan matang tentang keputusannya. Meski dihadapkan pada wajah-wajah tak mengerti dari sang ibu dan sahabat, Shania tak merubah keputusannya. Dengan pertimbangan versinya yang menurutnya cermat nan saksama, Shania memutuskan untuk menerima lamaran itu. Biarlah ide Tuan Edward yang konyol itu bertemu dengan keputusannya yang konyol pula, begitu pikirnya.Hanya satu orang yang mengerti dan memahami dengan sangat baik alasan di balik keputusan Shania yang mengharukan itu, seorang pria tua yang tanpa sengaja telah menuangkan racun ke pemikiran Shania, yakni sang sopir bersahaja, Pak Heru. Ia, di antara rasa bersalah dan rasa senang, menyambut keputusan itu dengan patuh. Ia mengikatkan janji pada Shania untuk sepenuhnya membantu Shania dalam menjalankan misinya, yakni menjaga anak-anak Nyonya Brenda yang sudah mulai meninggalkan jalur keteraturan warisa
Tiga hari berlalu dari sejak pernikahan Tuan Edward dan Shania dilangsungkan. Mereka, tak merasa membutuhkan bulan madu seperti kebanyakan pasangan lainnya, hingga mereka pun dengan cepat kembali ke aktifitas dan kesibukan mereka tanpa penundaan. Mereka, hanya mengukuhkan status mereka sebagai suami istri dengan mulai tinggal bersama di rumah Edward Ananta, sebagai Tuan dan Nyonya Ananta—sebuah kewajaran yang niscaya, tidak aneh, dan sangat biasa.Shania menerima dengan lapang dada, ekspresi sinis Bianca di dalam rumah itu, yang merupakan konsekuensi dari jabatan barunya sebagai seorang Nyonya Muda, yang merangkap ibu tiri di rumah itu.Bahkan Shania yakin—berbekal semua pengetahuannya tentang Bianca—bahwa putri tiri kesayangannya itu dimungkinkan telah menambahi embel-embel istimewa di belakang namanya, menjadi ibu tiri tak tahu diri. Shania menerima semua itu tanpa merasa ciut. Ia menyebut dirinya batu karang, hingga praktis menguasai keadaa
Dengan gerakan sigap, Shania dan si bocah remaja, Ardi, masuk ke dalam mobil yang tak diketahui pemiliknya itu, lalu Shania menutup pintunya seketika. Deru nafas ketakutan terdengar jelas dari dua orang tak beruntung itu. Mereka menyandarkan tubuh mereka ke kursi mobil sambil memejamkan mata, mengusap peluh, dan mencoba menata nafas, serta hati mereka.Selama beberapa detik, sang pemilik mobil yang duduk dengan tenang di kursi depan membiarkan aksi mereka, dan memberi waktu bagi mereka untuk bernafas. Mungkin sesuatu yang besar baru saja terjadi pada dua orang asing itu, dan untuk itu ia bersimpati. Hanya sesaat setelah ia merasa kedua tamunya itu telah membaik, dia mencoba mengejutkan keduanya dengan dengan suara tenangnya, "Siapa kalian?""Ah, ya Tuhan!" seru Ardi terkejut. "Kakak benar!" lanjutnya. "A-ada pe-pemilik mobilnya di dalam."Shania seketika menegakkan posisi duduknya. Ia yang sejak awal memang tidak yakin bahwa m