Shania mencoba membuka matanya, mengedipkannya sekali, dan bayangan di sekitarnya yang tadinya tampak buram mulai terlihat jelas. Ia tengokkan kepalanya yang tergeletak di atas bantal ke kiri dan kanannya, berusaha mengamat-amati—dengan memaksa, karena ia sangat lemah, dan alhasil menggerakkan kepala pun terasa berat. Sebuah tempat tidur kosong berada di sisi kanan tempat tidur yang ia tempati. Kelambu rumah sakit dan beberapa perlengkapan medis, semua pemandangan itu sudah cukup menyadarkan Shania bahwa kini dirinya berada di ruang perawatan.
Meski tak begitu jelas di ingatannya, tapi ia tahu, dirinya, Nyonya Brenda, dan Pak Heru sebelumnya mengalami sebuah kecelakaan. Ia masih ingat kuatnya guncangan yang ia alami yang membuatnya seolah terlempar keluar dari alam nyata, hilang kesadaran, tak tahu apa yang kemudian terjadi. Air mata menetes di pipinya. Ada keingin tahuan yang mendesak dalam hatinya, untuk mengetahui nasib rekan-rekannya satu mobil.
Tak lama berselang, Pak Heru yang kondisinya terlihat menyedihkan dengan beberapa perban di sana-sini, menghias tubuh tuanya, tampak masuk ke ruangan Shania dengan langkah tertatih-tatih. Ekspresi kelegaan tampak di wajahnya melihat Shania telah siuman. Tapi tangis yang tak bisa ditahan seketika pecah, saat kemudian ia mengabarkan bahwa sang Nyonya telah meninggal dunia.
Bagai disambar petir, Shania kaget tak terperikan, hingga kesulitan untuk mempercayai apa yang ia dengar. Berulang kali ia mencoba meyakinkan kabar itu dengan terus menerus menanyai sang sopir, hingga air mata pria tua itu mengalir semakin deras. Sadar bahwa kabar itu bukan sebuah omong kosong, Shania akhirnya mengijinkan dirinya sendiri menangis sejadi-jadinya. Tangisannya begitu pilu, sedih, dan menyayat hati, hingga sang sopir yang hatinya sendiri hancur, turut menenangkan gadis itu dengan upayanya yang terbaik.
Selang beberapa saat, ketika Shania merasa dirinya seolah hampir kehilangan kesadarannya, ia lalu memutuskan untuk menghentikan tangisannya, dan memaksa dirinya sendiri untuk tenang. Ia harus melihat kondisi sang Nyonya secara langsung. "Antar saya ke ruangan Nyonya Brenda, Pak Heru," ucapnya serius.
Dengan di dampingi Pak Heru di belakangnya, Shania menyeret langkahnya menuju ke ruangan tempat sang Nyonya berada. Berjuang tertatih-tatih, melewati beberapa ruangan, dengan air mata yang terus menetes, langkah Shania akhirnya terhenti saat sang sopir berkata lemah padanya di depan sebuah ruang kamar beratmosferkan kesedihan, "Ini dia ruangannya, Nona."
Shania menahan langkahnya di depan pintu. Ada seorang gadis yang tampak tersedu sedan di samping jenazah sang Nyonya. Gadis itu masih sangat muda, tidak terlalu tinggi, dengan rambut panjang terurai bebas. Shania menaksir, usianya sekitar dua puluh tahun. "Apakah dia Bianca, Pak Heru?" tanya Shania setelah mencoba memikirkan perkiraannya dengan baik.
"Iya, Nona," jawab Pak Heru. "Itu Nona Bianca, anak kedua Nyonya Brenda dan Tuan Edward."
"Tuan Edward?" Shania mengerutkan kening, mengingat sesuatu yang terasa kabur di memorinya.
"Iya, Nona. Nama suami Nyonya Brenda adalah Tuan Edward. Beliau siang tadi baru saja bertolak ke luar kota untuk urusan bisnis. Saat kami mengabarinya, beliau langsung mengatakan akan segera kembali. Kami sedang menunggunya. Lalu Tuan Alex, anak pertama Nyonya Brenda, yang kini sedang kuliah di Amerika, juga sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia."
"Oh," desah Shania. Ia berdiam diri sesaat, memperhatikan Bianca yang terus menangis. Tangisan itu begitu menyedihkan dan menggetarkan hati, hingga akhirnya memaksa Shania maju dan mendekatinya.
Tangan lemah Shania menyentuh lembut pundak Bianca, hingga membuat gadis itu terkejut dan memalingkan badannya pada sang pemilik tangan. Sorot matanya penuh keterkejutan, sekaligus menunjukkan perasaan asing, karena merasa tak mengenal Shania. Shania dengan wajah pucatnya lalu tersenyum. "Aku Shania. Aku berada di mobil yang sama dengan mamamu saat kecelakaan itu terjadi."
"Oh," desah Bianca lemah. "Apa kamu adalah gadis dari panti asuhan yang dimaksud Pak Heru?"
"Tentunya," jawab Shania cenderung kuat dengan dugaannya. Pak Heru mungkin telah menceritakan perihal keberadaannya dalam rombongan yang mengalami kecelakaan itu. "Aku rasa Pak Heru sudah menceritakan semuanya padamu," ucap Shania yang diikuti oleh anggukan kepala Bianca.
"Kenapa seperti ini?" tanya Bianca bernada protes.
"Aku tidak tahu, Bianca. Semuanya terjadi begitu saja."
"Tapi aku tidak mau Mama meninggalkanku."
"Sstt ... kuatkan dirimu, aku mohon," ujar Shania dengan serta merta mendekap tubuh Bianca. Gadis itu menerima dekapan itu tanpa penolakan, bahkan ia kemudian menumpahkan semua tangisannya di pelukan Shania.
"Katakan padaku," ucap Bianca setelah beberapa saat, "bagaimana aku akan melanjutkan hidupku? Apa yang bisa aku lakukan sekarang tanpa Mama?"
"Hei," jawab Shania dengan bibir sedikit gemetar karena menahan air mata, "kamu masih memiliki seorang ayah, Sayangku. Mereka yang pergi memang tak kan terganti, aku tahu. Tapi meski semuanya tak kan sama, kamu masih memiliki satu orang tua yang akan menyayangimu dengan kasih sayang yang besar, seperti mamamu."
"Tidak!" sergah Bianca. "Ayahku kamu bilang? Asal kamu tahu, Papa tidak punya kasih sayang seperti Mama. Dia adalah orang yang tidak pernah peduli pada kami. Pada aku dan juga kakakku. Selama ini hanya Mama yang menyayangi kami. Hanya Mama!" Sorot mata kemarahan yang tak dimengerti oleh Shania membuat tatapan Bianca menjadi sangat tajam dan menakutkan.
Gadis itu terlihat sangat marah dan menjauhkan diri dari Shania. Ia berbalik untuk mendekat ke tubuh mamanya, mencium keningnya, kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan itu. Shania diam terpaku tak begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhnya gemetar, namun ia mencoba bertahan. "Oh, besarnya kesedihan ini," desahnya.
Dengan langkah tertatih, dan sorot mata penuh kesedihan, Shania mendekat pada sang Nyonya dan memperhatikan wajah ayu itu dalam diam. Idolanya yang baru ia temui satu hari, satu kali, satu kesempatan. Kini sosok itu telah diam bergeming. Ia bahkan tak kan mampu menjawab pertanyaan Shania, jika gadis itu menanyakan perihal maksud kata-katanya di dalam mobil, dan maksud kata-kata putrinya yang sedikit sulit dipahami.
"Sepertinya sesuatu yang serius terjadi di tengah keluarga Nyonya," ucap Shania lirih.
Gadis itu lalu menghapus air mata yang mengalir di pipinya, dengan gerakan tangan yang lemah. Ia lalu mendoyongkan tubuhnya, memejamkan matanya, mencium kening sang Nyonya, dan bertahan dalam posisi itu hingga beberapa saat. Semua bayangan kebaikan sang Nyonya tampak di kepalanya tanpa mampu ia bendung.
Di tengah heningnya kesedihan itu, Shania mendengar derap langkah seseorang mendekat, dan kemudian berhenti tepat di belakangnya. Shania mengangkat kepalanya dengan sigap, dan membalikkan badannya untuk melihat siapa yang datang. Shania terperanjat. Tatapan tajam penuh keterkejutan menyambutnya. Tatapan tajam seseorang yang hampir menabraknya pagi ini, yang sosoknya sempat Shania bicarakan dengan Nyonya Brenda dengan kelakar ringan bahwa Shania akan memberinya pelajaran.
"Kamu?" tanya pria itu. Samar-samar Shania teringat bahwa pria itu dipanggil oleh sopirnya dengan sebutan Tuan Edward. Lalu kepingan lain ingatannya menyuguhinya bekas-bekas percakapan dengan Pak Heru, yang mengatakan bahwa suami dari Nyonya Brenda juga bernama Tuan Edward.
Seketika tubuh Shania gemetar tak karuan. Ia tidak bisa mengatakan ini efek dari kecelakaan yang ia alami. Ini nyata-nyata adalah efek dari keterkejutan yang luar biasa besar, mengetahui sebuah fakta mencengangkan. Tuan Edward yang sangat angkuh lagi pongah, yang pertemuan kedua dengannya tak pernah Shania harapkan, adalah suami dari Nyonya Brenda, yang selalu ia kagumi karena semua sifat baik yang melekat di dirinya.
Fakta mengejutkan ini membuat Shania terpaksa menyesali ucapannya yang menyebut-nyebut tentang pemberian pelajaran, pertemuan kembali, takdir, dan hal-hal yang semisal.
***
Enam bulan berlalu dari sejak kematian Nyonya Brenda. Shania turut hadir dalam upacara pemakaman Nyonya Besar itu, dan bertemu dengan kedua anaknya, Alex dan Bianca, meski ia tidak cukup menyempatkan diri untuk bertemu anggota keluarga atau kerabat—jika ada—yang lain.Alex dan Bianca saat itu terlihat sangat terpukul, tapi mereka menerima kedatangan Shania dengan sikap bersahabat yang menyentuh perasaan. Mereka mendengarkan cerita tentang kecintaan Nyonya Brenda pada panti asuhan Permata Kasih dengan rasa bangga, dan membenarkan bahwa ibu mereka memang sangat penyayang. Binar-binar kebanggaan di mata mereka itu membuat Shania percaya, Nyonya Brenda membesarkan mereka dengan nilai-nilai luhur dan etika hidup yang baik.Tapi Shania merasa tak perlu meragukan integritas Nyonya Besar itu sebagai ibu. Alih-alih meragukan perempuan berbudi baik itu, Shania justru lebih mengkhawatirkan tentang kelakukan suaminya. Lebih tepatnya, tentang kepedul
Shania tengah menikmati perjalanan berangkat ke kantor dengan mobilnya. Pagi sekali, lebih pagi dari kebanyakan orang lainnya, karena Shania ingin sekaligus bersenang-senang menikmati suguhan elok pemandangan di sepanjang rute yang ia lalui. Tentu bukan melalui jalur normal—Shania sudah memperkirakan hal itu. Ia berjalan memutar, menempuh rute yang lebih jauh, yang bisa membawanya pada jalanan yang tidak padat dan membosankan.Tindakan jalan-jalannya yang terkesan mencuri waktu ini—meskipun Shania tidak setuju menyebutnya begitu—ia lakukan bukan tanpa alasan. Belakangan jadwalnya begitu padat. Ia yang mulai meroket dalam perjalanan karirnya saat ini, jarang bisa mendapatkan waktu khusus untuk berlibur. Ia mulai mengurusi proyek-proyek prestisius, yang bernilai mahal. Ia mulai memimpin proyek-proyek itu, dan bekerja dengan anak buah.Ia begitu sibuk, meskipun pundi-pundi uangnya pun terus bertambah—ia tidak menyangkalnya. Jika ada kesempatan libur di
Shania melajukan mobilnya dalam perjalanan pulang dari kantor dengan tenang, dan sedikit penat di tubuhnya. Ia telah mengerjakan banyak hal hari ini, terang saja ia merasa lelah. Tapi stamina Shania cukup teruji. Gadis dengan pola makan sehat dan gaya hidup yang tidak serampangan—kecuali saat ia menginginkannya—itu terbukti jarang sakit. Dan kelelahan fisik apapun yang menderanya, biasanya enggan bertahan lama.Shania berkonsentrasi dengan baik, menyusuri jalanan di depannya. Ia merasa semuanya akan berjalan baik-baik saja, sampai ia dapati sebuah petualangan ternyata menantinya sore itu."Aaaa!" Seorang pria berteriak sambil menutup wajahnya dari samping dengan kedua tangannya. Jelas saja ia berlari sembarangan di jalan, sampai-sampai hampir tertabrak mobil Shania.Shania bukannya tidak kaget. Ia bahkan merasa jantungnya hampir copot. Katakutan akan melukai orang yang hampir tertabrak itu seketika menguasai dirinya. Tap
Kehebohan nampaknya menunggu Shania di kantornya hari itu, meski ia tidak menyadarinya. Tidak ada satupun di kantor Shania yang menyadarinya pada awalnya. Itulah kenapa Shania bisa berangkat ke kantor dengan tenang, dan berdiam dengan konsentrasi yang penuh, mengerjakan pekerjaan di mejanya dengan sangat baik.Namun, tidak berselang lama setelah Shania memulai pekerjaannya dengan sangat baik, ia dikejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi selama lebih dari dua puluh delapan tahun hidupnya. Awal dari petualangan hebat dalam hidupnya akan segera dimulai.Cecilia—sahabat dekat Shania yang benar-benar sangat dekat dengan Shania—berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ke ruangan Shania. Jika bukan sedang di dalam kantor, gadis itu pasti sudah memilih untuk berlari dengan kaki telanjang, alih-alih berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya, saking pentingnya berita yang ingin segera ia beri tahukan pada Shania.
Edward mengukuhkan statusnya sebagai seorang pria pongah nan arogan dengan mengumpat sejadi-jadinya melihat pemberitaan di surat kabar, pagi ini. Ia bergidik melihat pemberitaan itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebodohan terbesar sepanjang masa."Menjalin hubungan dengan Shania, mereka bilang?" Edward berucap miris, "Apa mereka pikir aku sudah tidak waras? Dasar gila! Mereka benar-benar tidak waras!"Amarah tak masuk akal Edward tak cukup hanya terlontar dalam beberapa ucapan saja. Ia bahkan terpaksa tertawa sejadi-jadinya mencemooh orang-orang yang menulis berita itu hingga membuatnya lebih terlihat seperti kehilangan akal."Aku penasaran apa mungkin wartawan itu perlu mandi di tujuh sumur untuk melunturkan kebodohan yang melekat pada dirinya," ucap Edward. "Atau mungkin aku? Aku takut aku akan merasakan semacam kutukan akibat berita ini. Haha!"Adegan menyedihkan itu terhenti, karena seseorang menc
Bianca nyata-nyata bersitegang dengan Andre—pria muda yang merupakan teman satu kampusnya—yang mengejarnya karena merasa tidak terima atas penolakan cintanya. Bukan main-main, ketidak puasan Andre membuat Bianca seolah tidak bisa beranjak pergi.Bianca akhirnya berhenti saat tarikan Andre terasa kuat di pergelangan tangannya. "Bianca! Berhenti! Katakan, apa yang membuatmu menolak perasaanku?" tanya pemuda itu dengan serius, namun terkesan egois bagi Bianca."Andre, aku harap kamu tidak lupa pada janjimu untuk menghormati semua keputusanku. Bukankah aku sudah mengatakan padamu, tadi? Aku tidak mau menjalin hubungan denganmu, lebih dari hubungan pertemanan. Aku enggan melukai perasaanmu, Andre. Sudah cukup!""Omong kosong!" sergah Andre dengan muka memerah. Bianca jelas-jelas mulai melihat kemarahan menguasai Andre. "Kenapa kamu harus bersikap jual mahal seperti itu?" Tangan Andre serta merta mengangkat dagu Bianca d
Di dalam mobil, Shania diam terpaku dengan tatapan menerawang jauh ke luar jendela. Pikirannya, yang sebelum berangkat hanya seolah seperti benang kusut, sekarang telah menjelma menjadi benang kusut yang terikat tali runyam. Situasinya bertambah sulit nan membingungkan, sukar untuk diurai, dan menyedihkan untuk diceritakan.Tatapannya bermuram durja. Desah nafasnya terkesan berat, keluar dari keinginan yang dalam untuk melarikan diri ke belahan dunia lain. Shania menarik nafas panjang, seiring dengan lirikan mata sang sopir yang merasa iba, meski belum tahu duduk perkaranya. Ia tahu tentang kisah yang sebenarnya dibalik pemberitaan itu—karena Shania telah menceritakan semuanya—tapi ia belum tahu apa tepatnya masalah yang kini Shania pikirkan."Nona," ucap sang sopir memberanikan diri, "apa sesuatu yang buruk telah terjadi?"Shania berkata pelan sambil mendesah, "Ya, Pak Heru. Saya tidak bisa mengatakan ini baik."
Tiga hari berlalu dari sejak lamaran mengejutkan Tuan Edward dilayangkan pada Shania. Gadis itu telah memikirkan dengan matang tentang keputusannya. Meski dihadapkan pada wajah-wajah tak mengerti dari sang ibu dan sahabat, Shania tak merubah keputusannya. Dengan pertimbangan versinya yang menurutnya cermat nan saksama, Shania memutuskan untuk menerima lamaran itu. Biarlah ide Tuan Edward yang konyol itu bertemu dengan keputusannya yang konyol pula, begitu pikirnya.Hanya satu orang yang mengerti dan memahami dengan sangat baik alasan di balik keputusan Shania yang mengharukan itu, seorang pria tua yang tanpa sengaja telah menuangkan racun ke pemikiran Shania, yakni sang sopir bersahaja, Pak Heru. Ia, di antara rasa bersalah dan rasa senang, menyambut keputusan itu dengan patuh. Ia mengikatkan janji pada Shania untuk sepenuhnya membantu Shania dalam menjalankan misinya, yakni menjaga anak-anak Nyonya Brenda yang sudah mulai meninggalkan jalur keteraturan warisa
Dentang jam berlalu. Seolah patuh pada perintah Cecilia, kini Shania telah berada di apartemennya yang dia huni berdua bersama Cecilia. Shania duduk berleha-leha guna mengistirahatkan raganya yang kepayahan karena pekerjaan, sembari menunggu kepulangan sang sahabat—yang saat berpamitan, berlagak tak sudi memberitahukan tempat tujuan kepergiannya. Anehnya, pikiran Shania yang biasanya sulit terusik, kini terasa mengelana kemana-mana, tidak pada tempatnya, dan sedikit membawa suasana hatinya menjadi melankolis. Efek paparan nasihat tak diminta dari Cecilia saat di kantor. Tepat di saat itulah, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Alan, mendadak menanyakan apakah Shania memiliki acara nanti malam, karena jika tidak, sang pemuda meminta ijin untuk menyibukkannya dengan mengajaknya pergi makan malam. Shania tak menolak sedikitpun. Wanita itu tidak tahu apa sebabnya, tapi dia tak sedikitpun berminat menolak setiap ajakan pemuda ini, layaknya penolakan getirny
Menit dan jam berlalu. Meninggalkan segala keriangan para anggota muda keluarga Ananta di Jakarta; di Bali, Shania terlihat tengah sibuk mengurus pekerjaan di kantornya. Wanita itu telah mendirikan perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang konsultasi jasa arsitek di Pulau Dewata, bekerja sama dengan sahabat dekatnya, Cecilia—yang telah memutuskan untuk ikutan hengkang dari Lukita Group, menyusul jejak Shania yang telah lebih dulu membuat bos Lukita Group berduka dengan surat pengunduran dirinya.Shania, mengurus bisnisnya itu dengan keseriusan yang mampu membuat pikirannya tak sempat tertuju pada hal lain di luar pekerjaan. Di tahun pertama perusahaannya berdiri ini, perempuan itu secara total menenggelamkan diri dalam kesibukan, hingga agendanya hanya penuh dengan jadwal-jadwal pekerjaan saja, tak begitu mempedulikan acara senang-senang, atau kumpul-kumpul yang tak jelas haluannya. Pesta-pesta semakin jarang dia kunjungi. Pertemuan ramai-ramai d
Alan tengah berada di rumahnya kala dua keponakan kesayangannya menyambanginya. Pria itu terlihat menyibukkan diri dengan menelepon beberapa orang terkait rencananya untuk sebuah acara, dan baru saja mengakhiri teleponnya yang terakhir ketika dua keponakannya melenggang masuk dengan menyuarakan sapaan yang riang, terutama Bianca.Sang paman, yang dari penglihatan dua keponakannya itu terlihat duduk tak melakukan apapun, memancing salah satu tamu untuk berdecak heran dan tak sungkan menyampaikan ucapan bernada prihatin, "Selamat pagi, Om. Sepi sekali. Rumah sebesar ini, tapi begitu senyap seperti kuburan.""Benarkah?" ujar sang paman yang tak terlihat tersinggung. "Akan kuajak kalian ke konser kapan pun kalian mau kalau kalian ingin suasana yang ramai." Alan memanggil asisten rumah tangganya dan memintanya menyuguhkan minuman bagi dua keponakannya. "Ada apa, anak-anak?" lanjut Alan. "Kalian datang bersamaan, dan tanpa mengabariku dulu.
Fajar menjelang, menebarkan aroma segar embun pagi yang membangkitkan jiwa siapapun yang tak berminat memperpanjang tidurnya. Bianca perlahan membuka matanya yang masih sedikit mengantuk karena peralihannya dari tidur nan melenakan menuju realita dunia nyata yang masih pagi. Namun gadis itu jelas telah cukup siap memulai hari. Tak merasa kurang tidur sedikitpun, karena di malam harinya telah mendapatkan peringatan keras—untuk tak begadang sembarangan—dari sang mantan ibu tiri yang meneleponnya dari Bali, seperti biasa.Wanita cantik yang eksentrik dan penuh kasih, yang dulu sempat bergelar Nyonya Ananta itu memang telah satu setengah tahun ini tinggal di Bali. Bianca tak mengira, bahwa percakapan singkat mereka di mobil, di sebuah pagi saat sang arsitek mengantarnya berangkat ke kampus, adalah upaya terselubung sang arsitek untuk melepas kasihnya sebagai ibu sambung untuk yang terakhir kali.Pelukan penuh kasih itu, d
Sang tuan besar telah kembali ke rumah, tepat setelah dia menyelesaikan urusannya di kantor polisi. Keterangannya yang dirasa sedikit berharga, terkait dosa masa lalunya bersama Adrian, telah dia paparkan dengan penjelasan cukup memadai di kantor para petugas berseragam yang bertugas menumpas kejahatan itu.Tuan besar itu, senada dengan istrinya, telah menyampaikan pemberian maaf atas kasus penculikan nan nista yang dilakukan Adrian—meneladani sikap sang istri yang telah dengan legawa memberi maaf terlebih dahulu. Lalu demi memuaskan hasrat akan rasa keadilan dalam diri Adrian, maka di kesempatan yang sama, sang tuan pun juga menyatakan permintaan maafnya atas segala tingkah laku yang memicu dendam pada diri mantan pesuruhnya itu di masa lalu—tentunya setelah upaya keras sang tuan menekan arogansi dan egonya sendiri barang sejenak, yang secara sadar dia lakukan, agar urusan nan ribet itu segera selesai.Tak berniat be
Shania kini berada di dalam mobil Alan untuk menuju ke bandara, sementara sang pemilik mobil mengendarai kendaraannya dengan fokus. Raut muka Shania tampak sedikit resah—hasil dari upayanya yang gagal untuk mencoba menampilkan sikap tenang, dan Alan sepenuhnya sadar semua itu tentunya berasal dari pergumulan yang hebat dalam hatinya. Entah berapa banyak sketsa rumit yang tengah disembunyikan wanita itu dalam pikirannya, dan Alan tak kan membiarkan mereka berpisah begitu saja hari itu, tanpa mengorek keterangan terkait rahasia terselubung itu."Kamu baik-baik saja, Shania?" tanya Alan tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya."Oh," jawab Shania terkejut, "aku baik-baik saja.""Dari mana aku harus memulai pertanyaanku?""Hm?" sang nyonya terkesiap. "Maksudmu?"Alan menarik nafas panjang. Masih dengan ekspresi tenang dia menjawab, "Aku pasti akan senang jika kamu benar-benar baik-baik saja. Tapi ... aku merasa ragu." Al
Agenda Shania selanjutnya setelah mengantar sang putri tiri, adalah mengunjungi kantor polisi. Nyonya muda itu bergidik, sedih, prihatin, dan sempat menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, memikirkan betapa lucu jalan hidupnya. Menikah tanpa cinta, terlibat—atau lebih tepatnya melibatkan diri—dalam drama keluarga nan rumit, menjadi korban penculikan, hingga sekarang tanpa terduga akan harus menyambangi kantor polisi untuk sebuah upaya penyelamatan.Sang nyonya, meski sempat dijejali rasa kesal, tak menemukan alasan untuk membiarkan penculik dirinya mendekam merana di tahanan. Shania telah memahami dengan baik, bahwa sang penculik melakukan aksinya karena didorong perasaan terzalimi, atas semua kesalahan Edward. Sebuah penahanan tak terduga yang dilakukan terhadap Shania di sebuah rumah tua nan menyedihkan itu juga tidak sedikitpun disertai dengan upaya penganiayaan—meski faktanya Shania tetap saja terluka oleh aksi nekat sahabat si penculik. 
Pagi telah menjelang. Mengakhiri malam yang terasa mencekam bagi Shania. Nyonya muda itu membuka matanya yang masih terasa berat—akibat dari jam tidur yang terlalu sedikit, lalu mencoba bangkit, dan duduk dengan loyo di atas tempat tidur. Matanya masih enggan untuk sepenuhnya membuka lebar. Namun untuk sesaat, setelah tanpa sengaja menangkap bayangannya di cermin, nyonya muda itu tersenyum ganjil. Dia memang masih mengantuk, tapi dia ingat dia telah merencanakan sesuatu yang besar hari ini, yang untuk itu dia harus segera bangkit.Shania lalu berusaha keras menghilangkan sisa kantuknya dengan mengucek mata sekedarnya, dan kemudian memaksakan diri untuk turun dari ranjangnya. Setiap langkahnya kemudian menuntunnya untuk menyelesaikan semua aktifitas pagi itu dengan sangat baik, tanpa melewatkan satu bagian pun.Sang putri tiri mengatakan bahwa dia harus mengikuti kelas pagi, dan setelah memastikan gadis itu menyelesaikan sar
Suasana melankolis mendera dua insan yang baru saja mengalami petualangan menyedihkan, hari itu. Alan dan Shania, terlibat dalam kesunyian mencekam sepanjang sisa perjalanan pulang mereka, yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi Alan—namun nampaknya tidak bagi Shania, karena lamunannya seolah telah membawanya ke dunia lain.Shania begitu fokus dengan renungan suramnya sembari membuang pandang ke luar kaca mobil hampir sepanjang perjalanan. Sementara Alan, sembari melakukan upaya terbaiknya untuk menjaga fokusnya dalam menyetir, berulang kali tak mampu menahan diri untuk menoleh dan memandang wanita di sampingnya itu dengan pikiran tak karuan.Perasaan Alan yang penuh empati membuatnya mampu membayangkan betapa kecewanya perasaan sang nyonya atas semua sikap Edward, dan diamnya sang nyonya seolah membenarkan semua perkiraan itu.Meski Alan menyangsikan adanya cinta di hati Shania untuk kakak iparnya—karena