Dugaan bijak Shania tak salah. Tepat sasaran tanpa sedikit pun meleset. Bianca memang mengajak Alan keluar dari rumah, dengan alasan mengajaknya makan malam, meski motif yang sebenarnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menjauhkan dirinya dan paman kesayangannya itu dari sang ibu tiri. Alan, yang kemampuan empatinya sangat bisa diandalkan, memahami kondisi hati sang keponakan yang sedang tidak stabil, dan alhasil mengabulkan permintaan itu demi menghibur hatinya.
"Bianca," ucap Alan di dalam mobil, di tengah perjalanan mereka, "jika Om Alan tidak ada di rumah saat ini, apakah kamu akan pergi jalan-jalan keluar bersama teman-temanmu?"
"Tentu saja!" jawab Bianca tersenyum simpul. "Itu akan lebih menyenangkan daripada berada di rumah bersama ibu tiri itu."
Alan melirikkan matanya sekejap pada sang keponakan, yang tampak menikmati ekspresi kebenciannya dengan sepenuh hati. "Kamu sudah sering melakukannya sejak kepergian ibumu, Sayang. Om rasa ibu tirimu t
Malam yang dinanti tiba. Alan menyebutnya malam pertaruhan. Pertaruhan akan kredibilitasnya sebagai seorang paman bagi Bianca, dan sekutu tunggal bagi Shania.Sebagai seorang paman, ia berkewajiban menjaga—baik fisik maupun perasaan—sang keponakan, dan sebagai sekutu Shania, ia merasa berkewajiban memastikan Shania aman dari serangan-serangan tajam sang keponakan yang nampaknya akan menjadi sebuah keniscayaan.Sementara Shania sendiri, menyebut malam ini adalah malam pembuktian. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih seorang wanita tangguh bak batu karang, yang sanggup menghadapi tantangan apapun di depannya—karena ia merasa ragu identitasnya agak sedikit berubah setelah beberapa hari bertahan hidup di tengah keluarga Ananta yang aneh.Selain itu, Shania juga harus membuktikan pada sang putri tiri, bahwa dirinya adalah seorang ibu tiri yang baik dan sama sekali tak pantas di anggap sebagai tokoh antagonis dal
Alan telah memenuhi janjinya. Makan malam telah dilaksanakan. Meski sedikit bercampur ketegangan, berbumbu insiden menyedihkan, sedikit memilukan, namun juga cukup mengharukan. Shania bersyukur sepenuh hati karena keinginannya terpenuhi. Akan selalu ada yang disebut pengalaman pertama, dan baginya tidak semua hal harus selalu sempurna."Puaskah dirimu Nyonya?" tanya Alan dengan sedikit senyum di wajahnya. Ia datang dengan membawa segelas minuman untuk Shania yang tengah berada di salah satu balkon di lantai atas, kembali menikmati pemandangan hamparan bintang seperti malam sebelumnya."Ya," jawab Shania tertawa kecil. Sesaat kemudian ia tampak berpikir. "Aku tidak tahu apa yang kini ada di pikiran gadis itu. Entah kesan baik atau kesan buruk yang tersimpan di hatinya. Kehadiranku adalah sesuatu yang nyata, dan aku hanya ingin membuatnya sadar akan hal itu." Shania mendesah pelan sembari berujar, "Tapi aku cenderung yakin, dia menganggapku egois, saat ini, Alan.""A
Alan masih termenung di malam itu meski Shania telah larut dalam tidurnya. Pria itu mau tak mau terus terusik dengan cerita Shania, yang kurang lebih menunjukkan kekagumannya yang tak tanggung-tanggung terhadap Brenda, dan kepeduliannya yang begitu besar pada Alex dan Bianca.Dari kaca mata Alan, fokus Shania terlihat terus tertuju pada Alex dan Bianca, seolah dia tidak memikirkan dirinya sendiri dan hubungan romansanya dengan Edward. Dugaan Alan mau tak mau mengarah pada kemungkinan bahwa Shania memang menjadikan anak-anak sebagai tujuan utama kedatangannya ke tengah keluarga Ananta. Mungkin Shania berusaha memenuhi keinginan Brenda, dengan menjaga anak-anaknya. Tapi Alan masih ragu, karena jika itu benar, maka pengorbanan Shania terlalu besar.Wanita itu masih muda. Jika dia mendedikasikan hidupnya ke dalam sebuah pernikahan, hanya demi menjaga anak-anak yang bukan merupakan darah dagingnya sendiri, dan sebenarnya telah mulai beranjak dewasa, maka itu adala
Bianca masih termenung memikirkan makan malamnya dengan Shania. Hari ini gadis itu memilih bertahan di rumah, dan membolos dari kuliahnya, karena hatinya yang bimbang membisikinya untuk bertahan di rumah, memalas-malaskan diri, memanjakan kebingungannya, hingga akhirnya kebingungan itu benar-benar terasa semakin menggelisahkan.Bianca sedang merasa terkhianati. Pamannya yang ia gadang-gadang akan membenarkan semua yang ia katakan, nyata-nyata telah memilih berada di samping ibu tirinya untuk membelanya. Baru kali ini ia mendapati pamannya menyakitinya separah itu. Namun karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang paman, sulit bagi Bianca untuk marah padanya.Ia, yang kali ini mendapatkan kesempatan untuk sendiri dalam merenungi kegelisahan hatinya—karena sang ibu tiri pergi untuk bekerja, dan pamannya pergi untuk suatu keperluan—tergoda untuk berpikir tentang alasan yang membuat pamannya yang ia kenal cerdas dan awas, memilih berada di samping Sha
Alan telah secara resmi mengukuhkan pijakan bisnisnya di Indonesia dengan membeli lima puluh persen saham perusahaan Delta Gemilang. Ia memang sengaja membangun bisnis di Indonesia, dan meninggalkan perusahaan lamanya yang ia rintis bersama salah seorang sahabatnya di Australia—ia meninggalkan sejumlah saham miliknya di perusahaan itu, dan mempercayakan kepengurusannya pada sang sahabat.Kini, fokusnya ia tujukan pada perusahaan barunya, Delta Gemilang, yang merupakan salah satu perusahaan properti cukup besar, dengan popularitas sedikit di bawah Lukita Group. Perusahaan ini, di bawah nama besarnya yang ternyata diraih dengan banyak skandal tersembunyi, nyata-nyata menyisakan beban pekerjaan rumah yang tidak mudah. Itulah yang disampaikan oleh Indra, teman Alan yang merupakan pemilik lama dari saham yang kemudian dibeli Alan."Aku awalnya tidak bermaksud menjual saham ini padamu, Alan," ucap Indra serius. "Kamu tahu aku hanya mengeluhkan beratnya hari-hariku yang kutangg
Sorot mata cukup bersahabat menyambut Alan di rumah Ananta. Sorot mata dari sang keponakan laki-laki, Alexis Surya Ananta, yang wajahnya memiliki banyak kemiripan dengan adiknya, Bianca. Pemuda ini memiliki garis wajah tegas, kulit kuning, dan tinggi badan yang sedikit hampir menyamai pamannya, meski badan tak sampai seatletis sang paman. Secara umum anak muda ini masuk kategori tampan, namun terkadang dia masih diam-diam mengagumi ketampanan sang paman."Selamat datang kembali ke rumah, Anak Muda!" sapa Alan ramah."Terima kasih, Om Alan! Aku tersanjung Om segera menyempatkan diri datang ke sini begitu Bianca mengabarkan kedatanganku." Alex menyambut pamannya dengan pelukan sewajarnya dan membawa sang paman masuk ke ruang santai bagi para pria—Alex menyebutnya begitu karena tatanan ruangnya yang begitu maskulin—yang terletak tak jauh dari ruang tamu."Bagaimana kabarmu?" tanya sang paman."Cukup baik, Om.""Hanya cukup baik
Terbersit keinginan dalam hati Shania sore ini, untuk mengunjungi lokasi proyek terbarunya. Beberapa gedung apartemen mewah, akan ia bangun bersama timnya di sebuah lokasi yang dinilai strategis. Lokasi itu digadang-gadang akan menjadi sebuah daya tarik baru, karena sebuah tempat wisata juga akan segera dibangun didekatnya, yang nantinya akan diintegrasikan dengan jalur transportasi yang baik, dan dihubungkan dengan tempat-tempat ikonis di beberapa titik tidak jauh dari daerah itu.Proyek apartemen mewah ini menjadi proyek terbaru Shania di tengah hilir mudik masalah pribadi yang dia miliki. Namun seperti biasa, perempuan itu mengerjakannya dengan penuh dedikasi.Kunjungan sore ini bukan bersifat resmi, tidak berasal dari perintah atasan, juga bukan berasal dari jadwal aktifitas yang dicatat oleh sekertarisnya. Nyonya Muda dengan pikiran sedikit sumpek itu murni melakukannya karena ia tertarik untuk jalan-jalan sepulang kerja.Karena itulah, kali ini dia h
Shania yang kelelahan baik fisik maupun mental kini berada di dalam mobil Alan, yang sejujurnya hatinya tengah tak setenang kelihatannya. Sang sopir, Pak Heru, mengikuti mereka di belakang dengan mengendarai mobil yang telah diperbaiki. Mereka menempuh perjalanan pulang ke rumah Ananta dengan menyimpan kedongkolan yang sama pada si pelaku teror."Aku akan mengatakan sesuatu padamu, tapi kamu jangan terkejut," ucap Alan pelan. Ia lirikkan matanya pada Shania yang ekspresi mukanya kecut, lengkap dengan kelelahan yang memprihatinkan."Katakan, Alan. Aku akan mendengarkanmu," desah Shania. "Aku tidak mengerti sama sekali," Shania tampak berpikir, "bagaimana kamu bisa tahu masalah teror itu, padahal aku tidak pernah memberi tahukan masalah itu pada siapapun, kecuali pada satu sahabat dekatku di kantor, bernama Cecilia—tapi kamu tidak mengenalnya. Tapi baiklah," Shania memelankan intonasi ucapannya, "aku tidak punya energi lagi untuk berpikir. Jika kamu tahu sesu