Alan telah memenuhi janjinya. Makan malam telah dilaksanakan. Meski sedikit bercampur ketegangan, berbumbu insiden menyedihkan, sedikit memilukan, namun juga cukup mengharukan. Shania bersyukur sepenuh hati karena keinginannya terpenuhi. Akan selalu ada yang disebut pengalaman pertama, dan baginya tidak semua hal harus selalu sempurna.
"Puaskah dirimu Nyonya?" tanya Alan dengan sedikit senyum di wajahnya. Ia datang dengan membawa segelas minuman untuk Shania yang tengah berada di salah satu balkon di lantai atas, kembali menikmati pemandangan hamparan bintang seperti malam sebelumnya.
"Ya," jawab Shania tertawa kecil. Sesaat kemudian ia tampak berpikir. "Aku tidak tahu apa yang kini ada di pikiran gadis itu. Entah kesan baik atau kesan buruk yang tersimpan di hatinya. Kehadiranku adalah sesuatu yang nyata, dan aku hanya ingin membuatnya sadar akan hal itu." Shania mendesah pelan sembari berujar, "Tapi aku cenderung yakin, dia menganggapku egois, saat ini, Alan."
"A
Alan masih termenung di malam itu meski Shania telah larut dalam tidurnya. Pria itu mau tak mau terus terusik dengan cerita Shania, yang kurang lebih menunjukkan kekagumannya yang tak tanggung-tanggung terhadap Brenda, dan kepeduliannya yang begitu besar pada Alex dan Bianca.Dari kaca mata Alan, fokus Shania terlihat terus tertuju pada Alex dan Bianca, seolah dia tidak memikirkan dirinya sendiri dan hubungan romansanya dengan Edward. Dugaan Alan mau tak mau mengarah pada kemungkinan bahwa Shania memang menjadikan anak-anak sebagai tujuan utama kedatangannya ke tengah keluarga Ananta. Mungkin Shania berusaha memenuhi keinginan Brenda, dengan menjaga anak-anaknya. Tapi Alan masih ragu, karena jika itu benar, maka pengorbanan Shania terlalu besar.Wanita itu masih muda. Jika dia mendedikasikan hidupnya ke dalam sebuah pernikahan, hanya demi menjaga anak-anak yang bukan merupakan darah dagingnya sendiri, dan sebenarnya telah mulai beranjak dewasa, maka itu adala
Bianca masih termenung memikirkan makan malamnya dengan Shania. Hari ini gadis itu memilih bertahan di rumah, dan membolos dari kuliahnya, karena hatinya yang bimbang membisikinya untuk bertahan di rumah, memalas-malaskan diri, memanjakan kebingungannya, hingga akhirnya kebingungan itu benar-benar terasa semakin menggelisahkan.Bianca sedang merasa terkhianati. Pamannya yang ia gadang-gadang akan membenarkan semua yang ia katakan, nyata-nyata telah memilih berada di samping ibu tirinya untuk membelanya. Baru kali ini ia mendapati pamannya menyakitinya separah itu. Namun karena rasa sayangnya yang begitu besar pada sang paman, sulit bagi Bianca untuk marah padanya.Ia, yang kali ini mendapatkan kesempatan untuk sendiri dalam merenungi kegelisahan hatinya—karena sang ibu tiri pergi untuk bekerja, dan pamannya pergi untuk suatu keperluan—tergoda untuk berpikir tentang alasan yang membuat pamannya yang ia kenal cerdas dan awas, memilih berada di samping Sha
Alan telah secara resmi mengukuhkan pijakan bisnisnya di Indonesia dengan membeli lima puluh persen saham perusahaan Delta Gemilang. Ia memang sengaja membangun bisnis di Indonesia, dan meninggalkan perusahaan lamanya yang ia rintis bersama salah seorang sahabatnya di Australia—ia meninggalkan sejumlah saham miliknya di perusahaan itu, dan mempercayakan kepengurusannya pada sang sahabat.Kini, fokusnya ia tujukan pada perusahaan barunya, Delta Gemilang, yang merupakan salah satu perusahaan properti cukup besar, dengan popularitas sedikit di bawah Lukita Group. Perusahaan ini, di bawah nama besarnya yang ternyata diraih dengan banyak skandal tersembunyi, nyata-nyata menyisakan beban pekerjaan rumah yang tidak mudah. Itulah yang disampaikan oleh Indra, teman Alan yang merupakan pemilik lama dari saham yang kemudian dibeli Alan."Aku awalnya tidak bermaksud menjual saham ini padamu, Alan," ucap Indra serius. "Kamu tahu aku hanya mengeluhkan beratnya hari-hariku yang kutangg
Sorot mata cukup bersahabat menyambut Alan di rumah Ananta. Sorot mata dari sang keponakan laki-laki, Alexis Surya Ananta, yang wajahnya memiliki banyak kemiripan dengan adiknya, Bianca. Pemuda ini memiliki garis wajah tegas, kulit kuning, dan tinggi badan yang sedikit hampir menyamai pamannya, meski badan tak sampai seatletis sang paman. Secara umum anak muda ini masuk kategori tampan, namun terkadang dia masih diam-diam mengagumi ketampanan sang paman."Selamat datang kembali ke rumah, Anak Muda!" sapa Alan ramah."Terima kasih, Om Alan! Aku tersanjung Om segera menyempatkan diri datang ke sini begitu Bianca mengabarkan kedatanganku." Alex menyambut pamannya dengan pelukan sewajarnya dan membawa sang paman masuk ke ruang santai bagi para pria—Alex menyebutnya begitu karena tatanan ruangnya yang begitu maskulin—yang terletak tak jauh dari ruang tamu."Bagaimana kabarmu?" tanya sang paman."Cukup baik, Om.""Hanya cukup baik
Terbersit keinginan dalam hati Shania sore ini, untuk mengunjungi lokasi proyek terbarunya. Beberapa gedung apartemen mewah, akan ia bangun bersama timnya di sebuah lokasi yang dinilai strategis. Lokasi itu digadang-gadang akan menjadi sebuah daya tarik baru, karena sebuah tempat wisata juga akan segera dibangun didekatnya, yang nantinya akan diintegrasikan dengan jalur transportasi yang baik, dan dihubungkan dengan tempat-tempat ikonis di beberapa titik tidak jauh dari daerah itu.Proyek apartemen mewah ini menjadi proyek terbaru Shania di tengah hilir mudik masalah pribadi yang dia miliki. Namun seperti biasa, perempuan itu mengerjakannya dengan penuh dedikasi.Kunjungan sore ini bukan bersifat resmi, tidak berasal dari perintah atasan, juga bukan berasal dari jadwal aktifitas yang dicatat oleh sekertarisnya. Nyonya Muda dengan pikiran sedikit sumpek itu murni melakukannya karena ia tertarik untuk jalan-jalan sepulang kerja.Karena itulah, kali ini dia h
Shania yang kelelahan baik fisik maupun mental kini berada di dalam mobil Alan, yang sejujurnya hatinya tengah tak setenang kelihatannya. Sang sopir, Pak Heru, mengikuti mereka di belakang dengan mengendarai mobil yang telah diperbaiki. Mereka menempuh perjalanan pulang ke rumah Ananta dengan menyimpan kedongkolan yang sama pada si pelaku teror."Aku akan mengatakan sesuatu padamu, tapi kamu jangan terkejut," ucap Alan pelan. Ia lirikkan matanya pada Shania yang ekspresi mukanya kecut, lengkap dengan kelelahan yang memprihatinkan."Katakan, Alan. Aku akan mendengarkanmu," desah Shania. "Aku tidak mengerti sama sekali," Shania tampak berpikir, "bagaimana kamu bisa tahu masalah teror itu, padahal aku tidak pernah memberi tahukan masalah itu pada siapapun, kecuali pada satu sahabat dekatku di kantor, bernama Cecilia—tapi kamu tidak mengenalnya. Tapi baiklah," Shania memelankan intonasi ucapannya, "aku tidak punya energi lagi untuk berpikir. Jika kamu tahu sesu
Perjalanan sang Nyonya Muda dan sekutu setianya sampailah sudah di rumah Ananta. Rumah itu terlihat agak sepi. Hanya aktifitas beberapa pelayan saja yang membuatnya masih terlihat sebagai rumah berpenghuni. Rupanya sang tuan muda yang baru pulang dari luar negeri tengah menyempatkan diri jalan-jalan ke luar bersama sang adik kesayangan. Sementara sang tuan besar, Edward, didapati baru tiba beberapa saat setelah rombongan malang Shania masuk ke rumah.Shania tengah mandi, guna membersihkan diri dan mengusir kelelahan—bahkan kalau bisa melunturkan sekalian kenangan menyedihkan hari itu, sementara Alan duduk termenung di ruang tamu. Pria muda itu telah mewasiatkan pada pelayan rumah untuk membantu Shania mengurus dirinya, memberinya teh herbal kesukaannya, atau memijatnya jika diperlukan.Alan masih dalam posisi duduknya, saat mendapati Edward masuk ke rumah. Edward berhenti sesaat di depan sang adik ipar, hingga tatapan mereka berd
Para penghuni rumah Ananta dijadwalkan akan sarapan bersama, pagi ini. Sebuah kesempatan langka, yang membuat Shania berdecak kagum dan secara tak sungkan membenarkan bahwa sang waktu kadang menyimpan keajaibannya sendiri. Alexis Surya pagi ini telah membuat adiknya mau bertahan untuk makan satu meja dengan Shania, dan Edward pun turut serta, karena secara kebetulan dia berada di rumah, sebelum kembali dijadwalkan mengurus pekerjaannya di luar kota.Alan, yang kebetulan menginap di rumah itu juga memutuskan turut hadir di meja makan untuk sekedar memastikan para keponakannya sarapan dengan baik dan tenang, tanpa membuat kegaduhan. Jika dilihat secara sepintas—dengan mengabaikan isi hati masing-masing hadirin—mereka semua terlihat seperti sebuah keluarga bahagia, meski Shania sadar itu hanyalah sebuah potret semu. Faktanya, anak pertama di rumah itu bahkan tak banyak bertegur sapa dengan ayahnya, selain sekedar ucapan sederhana untuk formalitas&
Dentang jam berlalu. Seolah patuh pada perintah Cecilia, kini Shania telah berada di apartemennya yang dia huni berdua bersama Cecilia. Shania duduk berleha-leha guna mengistirahatkan raganya yang kepayahan karena pekerjaan, sembari menunggu kepulangan sang sahabat—yang saat berpamitan, berlagak tak sudi memberitahukan tempat tujuan kepergiannya. Anehnya, pikiran Shania yang biasanya sulit terusik, kini terasa mengelana kemana-mana, tidak pada tempatnya, dan sedikit membawa suasana hatinya menjadi melankolis. Efek paparan nasihat tak diminta dari Cecilia saat di kantor. Tepat di saat itulah, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Alan, mendadak menanyakan apakah Shania memiliki acara nanti malam, karena jika tidak, sang pemuda meminta ijin untuk menyibukkannya dengan mengajaknya pergi makan malam. Shania tak menolak sedikitpun. Wanita itu tidak tahu apa sebabnya, tapi dia tak sedikitpun berminat menolak setiap ajakan pemuda ini, layaknya penolakan getirny
Menit dan jam berlalu. Meninggalkan segala keriangan para anggota muda keluarga Ananta di Jakarta; di Bali, Shania terlihat tengah sibuk mengurus pekerjaan di kantornya. Wanita itu telah mendirikan perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang konsultasi jasa arsitek di Pulau Dewata, bekerja sama dengan sahabat dekatnya, Cecilia—yang telah memutuskan untuk ikutan hengkang dari Lukita Group, menyusul jejak Shania yang telah lebih dulu membuat bos Lukita Group berduka dengan surat pengunduran dirinya.Shania, mengurus bisnisnya itu dengan keseriusan yang mampu membuat pikirannya tak sempat tertuju pada hal lain di luar pekerjaan. Di tahun pertama perusahaannya berdiri ini, perempuan itu secara total menenggelamkan diri dalam kesibukan, hingga agendanya hanya penuh dengan jadwal-jadwal pekerjaan saja, tak begitu mempedulikan acara senang-senang, atau kumpul-kumpul yang tak jelas haluannya. Pesta-pesta semakin jarang dia kunjungi. Pertemuan ramai-ramai d
Alan tengah berada di rumahnya kala dua keponakan kesayangannya menyambanginya. Pria itu terlihat menyibukkan diri dengan menelepon beberapa orang terkait rencananya untuk sebuah acara, dan baru saja mengakhiri teleponnya yang terakhir ketika dua keponakannya melenggang masuk dengan menyuarakan sapaan yang riang, terutama Bianca.Sang paman, yang dari penglihatan dua keponakannya itu terlihat duduk tak melakukan apapun, memancing salah satu tamu untuk berdecak heran dan tak sungkan menyampaikan ucapan bernada prihatin, "Selamat pagi, Om. Sepi sekali. Rumah sebesar ini, tapi begitu senyap seperti kuburan.""Benarkah?" ujar sang paman yang tak terlihat tersinggung. "Akan kuajak kalian ke konser kapan pun kalian mau kalau kalian ingin suasana yang ramai." Alan memanggil asisten rumah tangganya dan memintanya menyuguhkan minuman bagi dua keponakannya. "Ada apa, anak-anak?" lanjut Alan. "Kalian datang bersamaan, dan tanpa mengabariku dulu.
Fajar menjelang, menebarkan aroma segar embun pagi yang membangkitkan jiwa siapapun yang tak berminat memperpanjang tidurnya. Bianca perlahan membuka matanya yang masih sedikit mengantuk karena peralihannya dari tidur nan melenakan menuju realita dunia nyata yang masih pagi. Namun gadis itu jelas telah cukup siap memulai hari. Tak merasa kurang tidur sedikitpun, karena di malam harinya telah mendapatkan peringatan keras—untuk tak begadang sembarangan—dari sang mantan ibu tiri yang meneleponnya dari Bali, seperti biasa.Wanita cantik yang eksentrik dan penuh kasih, yang dulu sempat bergelar Nyonya Ananta itu memang telah satu setengah tahun ini tinggal di Bali. Bianca tak mengira, bahwa percakapan singkat mereka di mobil, di sebuah pagi saat sang arsitek mengantarnya berangkat ke kampus, adalah upaya terselubung sang arsitek untuk melepas kasihnya sebagai ibu sambung untuk yang terakhir kali.Pelukan penuh kasih itu, d
Sang tuan besar telah kembali ke rumah, tepat setelah dia menyelesaikan urusannya di kantor polisi. Keterangannya yang dirasa sedikit berharga, terkait dosa masa lalunya bersama Adrian, telah dia paparkan dengan penjelasan cukup memadai di kantor para petugas berseragam yang bertugas menumpas kejahatan itu.Tuan besar itu, senada dengan istrinya, telah menyampaikan pemberian maaf atas kasus penculikan nan nista yang dilakukan Adrian—meneladani sikap sang istri yang telah dengan legawa memberi maaf terlebih dahulu. Lalu demi memuaskan hasrat akan rasa keadilan dalam diri Adrian, maka di kesempatan yang sama, sang tuan pun juga menyatakan permintaan maafnya atas segala tingkah laku yang memicu dendam pada diri mantan pesuruhnya itu di masa lalu—tentunya setelah upaya keras sang tuan menekan arogansi dan egonya sendiri barang sejenak, yang secara sadar dia lakukan, agar urusan nan ribet itu segera selesai.Tak berniat be
Shania kini berada di dalam mobil Alan untuk menuju ke bandara, sementara sang pemilik mobil mengendarai kendaraannya dengan fokus. Raut muka Shania tampak sedikit resah—hasil dari upayanya yang gagal untuk mencoba menampilkan sikap tenang, dan Alan sepenuhnya sadar semua itu tentunya berasal dari pergumulan yang hebat dalam hatinya. Entah berapa banyak sketsa rumit yang tengah disembunyikan wanita itu dalam pikirannya, dan Alan tak kan membiarkan mereka berpisah begitu saja hari itu, tanpa mengorek keterangan terkait rahasia terselubung itu."Kamu baik-baik saja, Shania?" tanya Alan tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya."Oh," jawab Shania terkejut, "aku baik-baik saja.""Dari mana aku harus memulai pertanyaanku?""Hm?" sang nyonya terkesiap. "Maksudmu?"Alan menarik nafas panjang. Masih dengan ekspresi tenang dia menjawab, "Aku pasti akan senang jika kamu benar-benar baik-baik saja. Tapi ... aku merasa ragu." Al
Agenda Shania selanjutnya setelah mengantar sang putri tiri, adalah mengunjungi kantor polisi. Nyonya muda itu bergidik, sedih, prihatin, dan sempat menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, memikirkan betapa lucu jalan hidupnya. Menikah tanpa cinta, terlibat—atau lebih tepatnya melibatkan diri—dalam drama keluarga nan rumit, menjadi korban penculikan, hingga sekarang tanpa terduga akan harus menyambangi kantor polisi untuk sebuah upaya penyelamatan.Sang nyonya, meski sempat dijejali rasa kesal, tak menemukan alasan untuk membiarkan penculik dirinya mendekam merana di tahanan. Shania telah memahami dengan baik, bahwa sang penculik melakukan aksinya karena didorong perasaan terzalimi, atas semua kesalahan Edward. Sebuah penahanan tak terduga yang dilakukan terhadap Shania di sebuah rumah tua nan menyedihkan itu juga tidak sedikitpun disertai dengan upaya penganiayaan—meski faktanya Shania tetap saja terluka oleh aksi nekat sahabat si penculik. 
Pagi telah menjelang. Mengakhiri malam yang terasa mencekam bagi Shania. Nyonya muda itu membuka matanya yang masih terasa berat—akibat dari jam tidur yang terlalu sedikit, lalu mencoba bangkit, dan duduk dengan loyo di atas tempat tidur. Matanya masih enggan untuk sepenuhnya membuka lebar. Namun untuk sesaat, setelah tanpa sengaja menangkap bayangannya di cermin, nyonya muda itu tersenyum ganjil. Dia memang masih mengantuk, tapi dia ingat dia telah merencanakan sesuatu yang besar hari ini, yang untuk itu dia harus segera bangkit.Shania lalu berusaha keras menghilangkan sisa kantuknya dengan mengucek mata sekedarnya, dan kemudian memaksakan diri untuk turun dari ranjangnya. Setiap langkahnya kemudian menuntunnya untuk menyelesaikan semua aktifitas pagi itu dengan sangat baik, tanpa melewatkan satu bagian pun.Sang putri tiri mengatakan bahwa dia harus mengikuti kelas pagi, dan setelah memastikan gadis itu menyelesaikan sar
Suasana melankolis mendera dua insan yang baru saja mengalami petualangan menyedihkan, hari itu. Alan dan Shania, terlibat dalam kesunyian mencekam sepanjang sisa perjalanan pulang mereka, yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi Alan—namun nampaknya tidak bagi Shania, karena lamunannya seolah telah membawanya ke dunia lain.Shania begitu fokus dengan renungan suramnya sembari membuang pandang ke luar kaca mobil hampir sepanjang perjalanan. Sementara Alan, sembari melakukan upaya terbaiknya untuk menjaga fokusnya dalam menyetir, berulang kali tak mampu menahan diri untuk menoleh dan memandang wanita di sampingnya itu dengan pikiran tak karuan.Perasaan Alan yang penuh empati membuatnya mampu membayangkan betapa kecewanya perasaan sang nyonya atas semua sikap Edward, dan diamnya sang nyonya seolah membenarkan semua perkiraan itu.Meski Alan menyangsikan adanya cinta di hati Shania untuk kakak iparnya—karena