Alan telah secara resmi mengukuhkan pijakan bisnisnya di Indonesia dengan membeli lima puluh persen saham perusahaan Delta Gemilang. Ia memang sengaja membangun bisnis di Indonesia, dan meninggalkan perusahaan lamanya yang ia rintis bersama salah seorang sahabatnya di Australia—ia meninggalkan sejumlah saham miliknya di perusahaan itu, dan mempercayakan kepengurusannya pada sang sahabat.
Kini, fokusnya ia tujukan pada perusahaan barunya, Delta Gemilang, yang merupakan salah satu perusahaan properti cukup besar, dengan popularitas sedikit di bawah Lukita Group. Perusahaan ini, di bawah nama besarnya yang ternyata diraih dengan banyak skandal tersembunyi, nyata-nyata menyisakan beban pekerjaan rumah yang tidak mudah. Itulah yang disampaikan oleh Indra, teman Alan yang merupakan pemilik lama dari saham yang kemudian dibeli Alan.
"Aku awalnya tidak bermaksud menjual saham ini padamu, Alan," ucap Indra serius. "Kamu tahu aku hanya mengeluhkan beratnya hari-hariku yang kutangg
Sorot mata cukup bersahabat menyambut Alan di rumah Ananta. Sorot mata dari sang keponakan laki-laki, Alexis Surya Ananta, yang wajahnya memiliki banyak kemiripan dengan adiknya, Bianca. Pemuda ini memiliki garis wajah tegas, kulit kuning, dan tinggi badan yang sedikit hampir menyamai pamannya, meski badan tak sampai seatletis sang paman. Secara umum anak muda ini masuk kategori tampan, namun terkadang dia masih diam-diam mengagumi ketampanan sang paman."Selamat datang kembali ke rumah, Anak Muda!" sapa Alan ramah."Terima kasih, Om Alan! Aku tersanjung Om segera menyempatkan diri datang ke sini begitu Bianca mengabarkan kedatanganku." Alex menyambut pamannya dengan pelukan sewajarnya dan membawa sang paman masuk ke ruang santai bagi para pria—Alex menyebutnya begitu karena tatanan ruangnya yang begitu maskulin—yang terletak tak jauh dari ruang tamu."Bagaimana kabarmu?" tanya sang paman."Cukup baik, Om.""Hanya cukup baik
Terbersit keinginan dalam hati Shania sore ini, untuk mengunjungi lokasi proyek terbarunya. Beberapa gedung apartemen mewah, akan ia bangun bersama timnya di sebuah lokasi yang dinilai strategis. Lokasi itu digadang-gadang akan menjadi sebuah daya tarik baru, karena sebuah tempat wisata juga akan segera dibangun didekatnya, yang nantinya akan diintegrasikan dengan jalur transportasi yang baik, dan dihubungkan dengan tempat-tempat ikonis di beberapa titik tidak jauh dari daerah itu.Proyek apartemen mewah ini menjadi proyek terbaru Shania di tengah hilir mudik masalah pribadi yang dia miliki. Namun seperti biasa, perempuan itu mengerjakannya dengan penuh dedikasi.Kunjungan sore ini bukan bersifat resmi, tidak berasal dari perintah atasan, juga bukan berasal dari jadwal aktifitas yang dicatat oleh sekertarisnya. Nyonya Muda dengan pikiran sedikit sumpek itu murni melakukannya karena ia tertarik untuk jalan-jalan sepulang kerja.Karena itulah, kali ini dia h
Shania yang kelelahan baik fisik maupun mental kini berada di dalam mobil Alan, yang sejujurnya hatinya tengah tak setenang kelihatannya. Sang sopir, Pak Heru, mengikuti mereka di belakang dengan mengendarai mobil yang telah diperbaiki. Mereka menempuh perjalanan pulang ke rumah Ananta dengan menyimpan kedongkolan yang sama pada si pelaku teror."Aku akan mengatakan sesuatu padamu, tapi kamu jangan terkejut," ucap Alan pelan. Ia lirikkan matanya pada Shania yang ekspresi mukanya kecut, lengkap dengan kelelahan yang memprihatinkan."Katakan, Alan. Aku akan mendengarkanmu," desah Shania. "Aku tidak mengerti sama sekali," Shania tampak berpikir, "bagaimana kamu bisa tahu masalah teror itu, padahal aku tidak pernah memberi tahukan masalah itu pada siapapun, kecuali pada satu sahabat dekatku di kantor, bernama Cecilia—tapi kamu tidak mengenalnya. Tapi baiklah," Shania memelankan intonasi ucapannya, "aku tidak punya energi lagi untuk berpikir. Jika kamu tahu sesu
Perjalanan sang Nyonya Muda dan sekutu setianya sampailah sudah di rumah Ananta. Rumah itu terlihat agak sepi. Hanya aktifitas beberapa pelayan saja yang membuatnya masih terlihat sebagai rumah berpenghuni. Rupanya sang tuan muda yang baru pulang dari luar negeri tengah menyempatkan diri jalan-jalan ke luar bersama sang adik kesayangan. Sementara sang tuan besar, Edward, didapati baru tiba beberapa saat setelah rombongan malang Shania masuk ke rumah.Shania tengah mandi, guna membersihkan diri dan mengusir kelelahan—bahkan kalau bisa melunturkan sekalian kenangan menyedihkan hari itu, sementara Alan duduk termenung di ruang tamu. Pria muda itu telah mewasiatkan pada pelayan rumah untuk membantu Shania mengurus dirinya, memberinya teh herbal kesukaannya, atau memijatnya jika diperlukan.Alan masih dalam posisi duduknya, saat mendapati Edward masuk ke rumah. Edward berhenti sesaat di depan sang adik ipar, hingga tatapan mereka berd
Para penghuni rumah Ananta dijadwalkan akan sarapan bersama, pagi ini. Sebuah kesempatan langka, yang membuat Shania berdecak kagum dan secara tak sungkan membenarkan bahwa sang waktu kadang menyimpan keajaibannya sendiri. Alexis Surya pagi ini telah membuat adiknya mau bertahan untuk makan satu meja dengan Shania, dan Edward pun turut serta, karena secara kebetulan dia berada di rumah, sebelum kembali dijadwalkan mengurus pekerjaannya di luar kota.Alan, yang kebetulan menginap di rumah itu juga memutuskan turut hadir di meja makan untuk sekedar memastikan para keponakannya sarapan dengan baik dan tenang, tanpa membuat kegaduhan. Jika dilihat secara sepintas—dengan mengabaikan isi hati masing-masing hadirin—mereka semua terlihat seperti sebuah keluarga bahagia, meski Shania sadar itu hanyalah sebuah potret semu. Faktanya, anak pertama di rumah itu bahkan tak banyak bertegur sapa dengan ayahnya, selain sekedar ucapan sederhana untuk formalitas&
Alexis Surya Ananta tengah bersama sang adik di dalam mobil, di tengah perjalanan ke kampus. Sang kakak beberapa kali melirikkan matanya yang awas akan ketidakberesan adiknya itu, dan mendapati bahwa setiap lirikannya pada sang adik semakin menguatkan kecurigaannya bahwa adiknya itu memang mengetahui sesuatu di balik pemberitaan menyedihkan, pagi ini.Ketenangan Bianca tidak wajar. Senyum senang nan licik banyak tersungging di bibirnya yang tipis. Desah nafas kepuasan menggambarkan seolah-olah hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya yang belum genap dua puluh satu tahun itu. Sang kakak terpaksa geleng-geleng kepala. Dia merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan sang adik ke jalan yang benar."Bianca," ucap Alex berlagak polos, "kakakmu ini merasa sudah banyak sekali menghabiskan waktu di luar negeri, sampai-sampai sekarang kesulitan menebak apa saja yang bisa membuatmu senang. Coba katakan, selain mengalahkan teman-teman p
Alexis Surya baru mendapatkan kesempatannya untuk berbincang dengan pamannya di sore hari, saat sang paman tengah berada di rumah, bersama dengan sang ibu tiri. Mereka tengah berbincang tentang rencana klarifikasi Shania dan Edward ke depan media, yang memang telah disetujui Edward. Shania juga menceritakan kehebohan yang sempat terjadi di kantornya hari ini, yang terjadi akibat pemberitaan terkutuk itu. Turut termaktub dalam cerita itu, sang sahabat, Cecilia Amora, yang hari ini terlihat seperti hilang akal, sedih, prihatin, terguncang, meradang, hingga ikut mengutuk si pembuat berita, sebagai wujud simpati yang dalam atas kemalangan Shania. Alan mendengarkannya dengan sabar, dan sesekali sedikit membumbuinya dengan anggukan kepala maklum, desahan nafas prihatin, dan menggeleng-gelengkan kepala sesuai porsi yang dibutuhkan.Duo sekutu itu secara otomatis menghentikan keseruan perbincangan mereka, saat Alex datang dan mulai berkata, "Om Alan, jika Om punya waktu, aku ingin bi
Shania, bersama dengan Edward telah memberikan klarifikasi terkait pemberitaan ngawur mengenai mereka. Selain itu, dengan beberapa peringatan mencekam yang dikirim Edward dan Alan pada pihak surat kabar, media itu pun dengan semangat penuh sesal dan takut telah meralat pemberitaan mereka. Wartawan yang paling bertanggung jawab di balik pemberitaan itu—yang dengan semangat baja telah menyambut gembira informasi rahasia dari si agen dadakan, Ellen, lalu mempelopori kinerja teman-temannya untuk menggosok berita itu—dengan terpaksa harus menelan pil pahit, kehilangan pekerjaannya. Pihak manajeman media itu tidak mau ambil resiko dengan terus mempekerjakan sosoknya yang selama ini memang kerap menyebabkan surat kabar itu terancam bahaya karena ide gilanya mengumbar banyak sensasi menyesatkan.Masalah sepertinya selesai, namun mata Shania yang awas, menangkap adanya sesuatu yang tak beres. Edward yang sebelumnya tampak begitu murka—bahkan setel