Shania, bersama dengan Edward telah memberikan klarifikasi terkait pemberitaan ngawur mengenai mereka. Selain itu, dengan beberapa peringatan mencekam yang dikirim Edward dan Alan pada pihak surat kabar, media itu pun dengan semangat penuh sesal dan takut telah meralat pemberitaan mereka. Wartawan yang paling bertanggung jawab di balik pemberitaan itu—yang dengan semangat baja telah menyambut gembira informasi rahasia dari si agen dadakan, Ellen, lalu mempelopori kinerja teman-temannya untuk menggosok berita itu—dengan terpaksa harus menelan pil pahit, kehilangan pekerjaannya. Pihak manajeman media itu tidak mau ambil resiko dengan terus mempekerjakan sosoknya yang selama ini memang kerap menyebabkan surat kabar itu terancam bahaya karena ide gilanya mengumbar banyak sensasi menyesatkan.
Masalah sepertinya selesai, namun mata Shania yang awas, menangkap adanya sesuatu yang tak beres. Edward yang sebelumnya tampak begitu murka—bahkan setel
Shania dengan tekad bajanya benar-benar berminat membantu Bianca lepas dari jerat perjodohan lalim sang ayah, apalagi setelah dia tahu seperti apa sosok pemuda yang dijodohkan dengan putri tirinya itu. Dengan bantuan sekutu setianya, Alan, Shania berhasil mendapatkan informasi bahwa pemuda yang konon bernama Anton itu adalah teman satu kampus sekaligus satu angkatan sang putra tiri, Alexis Surya Ananta, di Amerika.Informasi sederhana itu lalu ditindaklanjuti Shania dan Alan dengan terpaksa melibatkan sang putra tiri, untuk memberikan tambahan informasi akurat tentang siapa dan bagaimana itu sosok Anton. Shania dan Alan terpaksa memberi tahu Alexis bahwa Bianca telah dijodohkan dengan Anton, dan sontak anak muda itu pun murka. Alexis menyebutkan, Anton tak lebih seperti seorang berandal muda. Dia adalah pemuda tak tahu aturan yang perilakunya ngawur dan tabiatnya kurang ajar. Meski masih terbilang berandal tanggung, namun Alexis jelas tak terima jika adiknya dijodohkan dengan
Sang politikus terkemuka, Tuan Brandon Atmaja, pemimpin sebuah partai politik berlambangkan batu merah delima—yang maknanya tak dipahami Shania, dengan hati senang nan antusias menanti kedatangan tamu istimewanya, yakni Shania, yang telah secara khusus membuat janji dengannya. Ini bukan pertemuan politik—yang membuatnya bosan belakangan ini—melainkan pertemuan pribadi yang disinyalir akan menyenangkan mengingat kepribadian tamunya itu juga menyenangkan. Shania, namanya tertoreh di hati sang politikus sebagai seorang arsitek muda yang cerdas, inspiratif, dan inovatif. Kecantikan fisik dan pemikirannya pun unggul dan berjalan beriringan tak saling mengkhianati. Akumulasi semua faktor itu membuat sosok muda dengan nama yang tengah terang benderang ini selama sekian waktu telah menjadi idola baru bagi Tuan Brandon dan istrinya.Tuan Brandon, mendapati mimpi masa mudanya untuk menjadi seorang arsitek terkenal—yang tak kesampaian akibat k
Shania tengah menyisir rambut Bianca di depan cermin, saat Bianca diam-diam memperhatikan wajah tenangnya itu. Dari hasil analisanya, Bianca mendapati tidak ada sedikitpun ekspresi kecemasan yang tampak di wajah Shania—yang diakui Bianca memang jelita itu—padahal hati Bianca tengah jempalitan tak karuan, dipenuhi kebingungan tak terperi dan membuat dadanya hampir sesak. Berulang kali menghirup nafas panjang, dengan sesekali memejamkan mata, Bianca nampak sekali gusar dan gundah gulana, memikirkan apa yang akan terjadi malam ini. Dia tengah dipersiapkan—sekali lagi, dipersiapkan—oleh sang ibu tiri, untuk mengikuti acara makan malam bersama keluarga Tuan Brandon, kolega ayahnya yang telah mewacanakan perjodohan paling mengerikan sepanjang masa, yang pernah dia dengar.Sang ibu tiri yang memahami benar gejolak hati putri tirinya itu, sekali lagi memintanya tenang. "Kamu membuatku kewalahan merapikan rambutmu, Sayang. Jangan banyak bergerak.
Binar-binar kebahagiaan terpancar sempurna di wajah Shania, Alan, dan Bianca pasca batalnya rencana perjodohan yang digaungkan Edward. Alexis yang dikabari lewat telepon pun turut menyumbang sorak-sorai kepuasan yang semakin menunjukkan status persekutuan mereka, bahwa mereka semua kini berada dalam satu kubu. Tidak ada pertentangan dan bisikan tak sepaham di antara empat hati itu, dan kini mereka telah secara resmi nan sepenuh hati, mengakui bahwa mereka adalah keluarga. Bianca tak lagi menganggap Shania sebagai penyihir jahat, dan alih-alih menghindarinya dengan tidak hormat, kini dia malah tampak begitu dekat dengan istri baru ayahnya itu. Ikrarnya pada diri sendiri untuk selamanya memusuhi Shania praktis terpatahkan, dan kini dia bahkan menghadiahi Shania dengan banyak cinta dan kepercayaan.Meskipun begitu, sebutan nyonya masihlah yang terbaik dari yang bisa diucapkan oleh dua anak Edward teruntuk sang ibu tiri, namun terkait hal itu, Shania tak sedik
Shania masih bersama sang sekutu, Alan, yang ekspresinya terlihat sarat perenungan. Menilik dari gelagatnya—setenang apapun Alan mencoba bersikap—Shania yang telah mengenal Alan dengan cukup baik tak ragu untuk menyimpulkan bahwa pria tersebut menyimpan sesuatu dalam pikirannya. Terdorong rasa ingin tahu, berikut ketidaksukaannya berspekulasi, nyonya muda itu pun bertanya tanpa ragu, "Aku menduga kamu bukan menghadiahiku interupsi hanya untuk menyelamatkanku dari percakapan konyol dengan Bianca, Alan. Apakah ada sesuatu yang penting yang ingin kamu sampaikan?" "Menurutmu begitu?" Alan berkata setengah bercanda. "Lebih baik kamu tidak berbohong. Kamu tahu, berbohong padaku itu percuma." "Kamu sulit untuk dibohongi," Alan memuji. "Tepat sekali! Dan kamu, bukan pembohong yang ulung!" Shania menegaskan. Alan tertawa mendengar ucapan Shania, lalu memandang wanita itu untuk sekejap. Gerak angin di
Edward yang malang, pulang ke rumah dalam keadaan pucat pasi sore itu. Tampang mukanya yang sejatinya terhitung tak mengecewakan—sangat wajar jika menurunkan paras memuaskan pada putra dan putrinya—terlihat takut, bingung, kalut, dan panik. Selama beberapa saat, mimik muka suram itu mengenyahkan pesona dari beberapa sisi menarik di wajahnya, namun sekaligus mengurangi ekspresi pongah nan arogan yang biasanya mendominasi air mukanya. Shania—yang baru saja melepas Alan pulang ke apartemennya—sempat terkejut mendapati sang suami pulang dalam keadaan hampir linglung seperti itu, namun sang suami dengan cepat berkamuflase dengan mengatakan bahwa rasa lelah karena aktivitas seharianlah yang telah membuat cahaya wajahnya itu memudar.Namun, kebohongan Edward nampaknya tak didukung dengan baik oleh garis takdirnya. Shania yang kala itu mengambil sesuatu dari mobilnya mendapati satu tanda mengejutkan tertoreh di bagian depan mobil suaminya,
Berbekal niat lurus dan kemantapan hati, dengan sedikit do'a pertobatan atas dosa yang tak diperbuatnya, Shania berangkat bersama sopir pribadinya yang bersahaja, menuju ke Jalan Sampena. Sang Nyonya melakukan upaya terbaiknya dengan bertanya pada orang-orang di sekitar Jalan Sampena tentang kecelakaan yang baru saja terjadi, dan mendapatkan kabar menyedihkan bahwa korban kecelakaan malang itu diperkirakan mengalami cedera serius, dan telah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Kala itu, Alan telah bergabung dengan duo tersebut, dan turut membantu mencari informasi yang dibutuhkan.Setelah merasa cukup dengan informasi yang mereka dapatkan, kontingen yang merasa tercerahkan itu lalu bergegas menuju ke rumah sakit terdekat dengan formasi yang sedikit berubah. Shania kini berada dalam mobil Alan, dan si sopir tetap berada dalam mobil yang dia bawa sejak awal. Shania duduk dengan resah di samping Alan, dan beberapa kali menyampaikan kalimat-kalimat penyesalan at
Zidan menyambut saudara jauhnya yang dia panggil paman Adrian itu, dengan senyum paling ramah dari yang pernah dia tujukan pada pamannya itu seumur hidupnya. Dia mempersilakan pamannya itu masuk, dan dengan riang meminta istrinya menyuguhinya segelas teh."Duduklah dengan tenang, Paman! Kuharap Paman bisa ikut berbahagia bersamaku," ujar Zidan dengan senyumnya yang jenaka. Sang paman mengernyitkan kening."Ekspresimu ini sangat berbeda dengan hari-hari yang lalu. Kemarin-kemarin wajahmu bagaikan kepingan langit malam, dan sekarang seolah semangat hidupmu telah kembali.""Mengejutkan untukmu, Paman?""Seharusnya begitu! Jika saja aku tidak melihat rombongan keluarga Ananta di depan rumahmu ini, tadi," tukas sang paman yang curiga bahwa keceriaan Zidan terkait dengan kedatangan keluarga kaya itu."Paman mengenal mereka?" tanya Zidan terperangah."Kamu pikir aku