Edward yang malang, pulang ke rumah dalam keadaan pucat pasi sore itu. Tampang mukanya yang sejatinya terhitung tak mengecewakan—sangat wajar jika menurunkan paras memuaskan pada putra dan putrinya—terlihat takut, bingung, kalut, dan panik. Selama beberapa saat, mimik muka suram itu mengenyahkan pesona dari beberapa sisi menarik di wajahnya, namun sekaligus mengurangi ekspresi pongah nan arogan yang biasanya mendominasi air mukanya. Shania—yang baru saja melepas Alan pulang ke apartemennya—sempat terkejut mendapati sang suami pulang dalam keadaan hampir linglung seperti itu, namun sang suami dengan cepat berkamuflase dengan mengatakan bahwa rasa lelah karena aktivitas seharianlah yang telah membuat cahaya wajahnya itu memudar.
Namun, kebohongan Edward nampaknya tak didukung dengan baik oleh garis takdirnya. Shania yang kala itu mengambil sesuatu dari mobilnya mendapati satu tanda mengejutkan tertoreh di bagian depan mobil suaminya,
Berbekal niat lurus dan kemantapan hati, dengan sedikit do'a pertobatan atas dosa yang tak diperbuatnya, Shania berangkat bersama sopir pribadinya yang bersahaja, menuju ke Jalan Sampena. Sang Nyonya melakukan upaya terbaiknya dengan bertanya pada orang-orang di sekitar Jalan Sampena tentang kecelakaan yang baru saja terjadi, dan mendapatkan kabar menyedihkan bahwa korban kecelakaan malang itu diperkirakan mengalami cedera serius, dan telah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Kala itu, Alan telah bergabung dengan duo tersebut, dan turut membantu mencari informasi yang dibutuhkan.Setelah merasa cukup dengan informasi yang mereka dapatkan, kontingen yang merasa tercerahkan itu lalu bergegas menuju ke rumah sakit terdekat dengan formasi yang sedikit berubah. Shania kini berada dalam mobil Alan, dan si sopir tetap berada dalam mobil yang dia bawa sejak awal. Shania duduk dengan resah di samping Alan, dan beberapa kali menyampaikan kalimat-kalimat penyesalan at
Zidan menyambut saudara jauhnya yang dia panggil paman Adrian itu, dengan senyum paling ramah dari yang pernah dia tujukan pada pamannya itu seumur hidupnya. Dia mempersilakan pamannya itu masuk, dan dengan riang meminta istrinya menyuguhinya segelas teh."Duduklah dengan tenang, Paman! Kuharap Paman bisa ikut berbahagia bersamaku," ujar Zidan dengan senyumnya yang jenaka. Sang paman mengernyitkan kening."Ekspresimu ini sangat berbeda dengan hari-hari yang lalu. Kemarin-kemarin wajahmu bagaikan kepingan langit malam, dan sekarang seolah semangat hidupmu telah kembali.""Mengejutkan untukmu, Paman?""Seharusnya begitu! Jika saja aku tidak melihat rombongan keluarga Ananta di depan rumahmu ini, tadi," tukas sang paman yang curiga bahwa keceriaan Zidan terkait dengan kedatangan keluarga kaya itu."Paman mengenal mereka?" tanya Zidan terperangah."Kamu pikir aku
Mata Adrian berbinar-binar penuh antusiame saat menelepon si nyonya muda, Shania. Semangatnya begitu berapi-api untuk mengelabui Shania, demi mewujudkan skenario jahatnya membalaskan dendam terpendam pada Edward. Pria dengan sisa luka lama itu mengatakan bahwa dia secara terpaksa menghubungi sang nyonya, karena didorong semangat kemanusiaan serta keprihatinan melihat kondisi keponakan jauhnya yang tiga hari sebelumnya tertabrak oleh Tuan Edward. Dalam hatinya, pria itu mensyukuri perjumpaan mereka yang hanya sekilas di depan rumah Zidan, sehingga tak sulit bagi Shania untuk mendapatkan gambaran mengenai dirinya, begitu Adrian menyebutkan identitasnya.Pria itu memoles cerita karangannya dengan mengatakan bahwa dia mendapatkan nomor ponsel Shania dari sang keponakan—narasi yang sudah barang tentu dusta, karena meski Zidan memang memegang nomor Shania, peninggalan dari sang Nyonya, namun nuraninya yang jernih telah membisikinya untuk tidak membagikan n
Setelah menempuh perjalanan panjang cukup dramatis, sampailah Shania di depan sebuah rumah tua, yang karena tuanya, kayu-kayu dari bangunan rumah sederhana itu nampak sekali kusam dan suram, seolah lelah menghadapi dunia. Beberapa ornamen penghias yang menempel di dinding luar bagian depan rumah, alih-alih menyuguhkan nuansa rumah, malah justru menampilkan cita rasa museum—tepatnya, museum kuno yang terlupakan—karena ornamen-ornamen tersebut berlenggang tak beraturan dan terhuyung-huyung terkena angin, dengan beberapa ujung yang terlepas dari baut pengaitnya. Halaman rumah pun tampak kotor dengan dedaunan yang melayang-layang kesana-kemari setiap kali angin membelai mereka, dan sekali lagi, tak ada penampakan manusia di sekitaran rumah itu. "Tak terlihat seperti rumah berpenghuni," gumam Shania pada dirinya sendiri.Shania belum melepaskan satu tangannya dari pintu mobil, dan masih terhanyut dalam pengamatan nan saksama terhadap rumah kuno itu dari j
Adrian masih terhanyut dalam amarahnya. Tangannya mengepal erat, dengan wajah yang merah padam. Rahang terlihat mengencang dengan gigi yang mengeretak. Tak ketinggalan, sorot matanya pun memerah, seolah tak luput ambil bagian, menyempurnakan rona murka di wajahnya. Shania yang khawatir lawan bicaranya itu akan pingsan karena amarahnya sendiri, segera saja berusaha untuk mengurangi intensitas emosi pria itu dengan berujar tenang, "Syaraf Anda tegang, Pak Adrian. Tidak baik untuk kesehatan. Anda bisa menderita sakit kepala tegang, atau bahkan serangan jantung. Jangan lupa resiko lainnya yang tak kalah buruk, stroke."Adrian mendengus geram mendapat peringatan itu. Lirikan tajam mengarah pada Shania, namun sesaat kemudian pria itu tampak bisa mengendalikan dirinya dengan baik, karena sedikit pikiran warasnya yang tersisa membenarkan ucapan Shania. Pria itu mendesah keras. "Apakah Anda masih ingin mendengarkan alasan kemarahan saya pada Edward, Nyonya?" 
Adrian, yang telah menyelesaikan percakapan serius nan misteriusnya, berlenggang memasuki ruangan, dan mendapati Shania tengah terdiam mematung dalam posisi duduk tegak di kursi, dengan pandangan yang tegang dan fokus ke sebuah titik, tampak serius memikirkan sesuatu. Sang nyonya terlihat khusyuk sekali dengan perenungannya, hingga tak secuilpun memberikan perhatian pada Adrian, bahkan tak menyadari bergabungnya pria itu kembali bersamanya. Tak berkeinginan membuat sang nyonya yang tengah tercenung kaget, Adrian dengan penuh perhitungan berdeham dengan saksama, sekali saja, dan praktis konsetrasi Shania terbuyarkan olehnya."Sedang memikirkan sesuatu, Nyonya?" ucap Adrian dengan lagak tak berdosa, sembari duduk dengan tenangnya.Shania terdiam sesaat, menatap Adrian dengan muak, lalu berkata, "Apakah bisa seorang korban penculikan berdiam tenang tanpa memikirkan sesuatu?""Ayolah, Nyonya," timpal Adrian, "tenanglah! Anda
Shania tertegun sesaat, mendengar penuturan nan resah Alan. Nyonya muda itu bahkan belum sempat memberitahukan kabar petualangannya, namun sang sekutu ternyata telah lebih dulu menangkap sinyal magis dari situasinya yang memang mengkhawatirkan. Dalam kekagumannya akan ikatan batin yang erat itu, sang nyonya dikejutkan dengan suara mengagetkan Alan yang semakin serius."Shania!" seru Alan. "Kenapa diam saja? Apa semuanya baik-baik saja?""Oh," jawab sang nyonya terkejut, "iya. Oh, maksudku tidak. Tidak begitu baik.""Tidak begitu—apa maksudmu?""Em, begini, kamu tidak perlu ke rumah. Aku tidak ada di rumah. Alan, apa kamu ingat Pak Adrian? Saudara jauh Pak Zidan? Yang waktu itu berpapasan dengan kita di depan rumah Pak Zidan?""Orang mencurigakan itu?""Yah!" Shania membenarkan. "Aku ingin mengabarimu, Alan, bahwa dugaanmu itu ternyata benar!"
Derap langkah penuh kecemasan dari dua insan antagonis yang baru saja tercerahkan oleh sebuah kesadaran mencekam, terasa seakan memenuhi ruangan di rumah kecil itu. Tak perlu berjalan lama—karena jarak antar ruangan di rumah itu memang sangat dekat, Adrian dan Andrew segera saja sampai di depan ruangan kamar tempat Shania ditahan, dan dengan ekspresi serius penuh gaya, Adrian membuka pintu kamar dengan dorongan kuat tanpa ragu.Begitu pintu tua itu dibuka, mereka dapati sang nyonya dengan tenang tengah mengerjakan pekerjaan kantornya, di bawah sinar lampu yang tak lagi menyala dengan maksimal. Sang nyonya berujar dengan kalem, dengan pandangan tetap mengarah pada berkas yang dia kerjakan di atas meja, seolah tak terpengaruh dengan ketergesa-gesaan dua orang yang membuka pintu kamarnya, "Payahnya Anda, Pak Adrian." Shania mendesah prihatin. "Anda bilang ruangan ini bersih, padahal saya masih harus direpotkan untuk mengusap debu di atas meja sebelum mengguna