“Assalamualaikum.”
Sapaan salam yang terdengar langsung mengalihkan perhatianku bersama Mas Mirza ke arah sosok yang perempuan bertubuh bongsor yang bahkan sedang mengembangkan senyuman manisnya ke arah kami.
Aku langsung membalasnya dengan keramahan yang wajar sembari berusaha mengikis segala praduga yang sering tak bisa aku hindari bila melihatnya datang untuk menemui Mas Mirza, kakak tertuanya.
“Wa’alaikumsalam, Dina, pagi sekali kamu datang?”
Mas Mirza langsung meletakkan sarapannya yang belum ia sentuh.
Wanita berwajah lebar itu langsung mendekat, dan hanya sekilas melirikku.
Aku sedikit beringsut menjauh untuk memberikan celah pada adik iparku untuk berbicara dengan kakaknya.
“Mau sarapan ya Mas?”
Dina terlihat mulai berbasa basi.
“Ayo kalau mau, bergabung sarapan sekalian,” ajakku segera.
Wanita beranak tiga itu langsung menggeleng ketika melihat menu sarapan kami yang kelewat sederhana.
“Tumben kok cuma makan tempe?”
“Iya, Alhamdulillah disyukuri saja Din, “ balas Mas Mirza datar.
“Oh iya Mas, besok Riska harus membayar uang sekolah, apa Mas nggak ada uang sekarang?”
Adik bungsu Mas Mirza itu dengan lugas tanpa terlihat rikuh sama sekali mengungkapkan tujuannya mendatangi kami di pasar.
Suamiku tak segera menjawab, malah melirik ke arahku dan mendesah panjang.
“Untuk saat ini, aku tak memiliki uang, kami sendiri sedang membutuhkan banyak uang, bahkan untuk beberapa bulan ke depan.”
Ganti aku yang menarik nafas lega saat mendengar ketegasan suamiku menolak adiknya yang nyaris selalu tak pernah berhenti untuk merepotkan kakaknya itu.
Gurat masam langsung tersaji di wajah lebar Dina.
“Butuh banyak uang? Buat apa Mas? Kebutuhan kalian kan nggak banyak, bahkan kalian ndak ada anak yang harus dinafkahi,” cecar Dina sengit.
Terlihat Mas Mirza mulai membuka mulut, aku tahu suamiku itu hendak mengungkapkan tentang kehamilanku.
Aku langsung menahan dengan memberi isyarat pada pria penyabar yang sudah 25 tahun menikahiku itu, agar Mas Mirza tak mengatakan apapun.
“Masak Mas yang punya toko pakaian sebesar ini nggak punya uang sama sekali. Riska itu sudah menganggap kalian seperti orang tua sendiri lho, kalau kalian sudah tua nanti aku yakin Riska pasti mau merawat kalian. Aku cuma minta tolong sedikit saja untuk kepentingan yang jelas juga, kenapa Mas Mirza nggak pengertian sih?”
Selalu saja itu yang diucapkan Dina. Aku semakin bisa merasakan dengan jelas kalau wanita itu benar-benar memanfaatkan keadaanku bersama Mas Mirza yang sudah bertahun-tahun tak dikaruniai keturunan. Selalu akan mengandalkan anak-anaknya yang kelak akan disuruhnya untuk merawat kami jika kami sudah tua nanti, tapi tentunya dengan imbalan kami harus turut mencukupi kebutuhan mereka.
Kalau membantu sekedarnya dan sesuai kemampuan kami, aku bisa dengan ikhlas mengijinkan suamiku membantu adiknya itu.
Tapi Dina selalu menjadi tak tahu diri.
Sudah tak terhitung lagi bantuan yang diberikan Mas Mirza untuk Dina dan anak-anaknya. Belum lagi dengan uang yang dulu setiap bulan selalu diberikan Mas Mirza pada kedua adiknya yang lain. Meski mereka sekarang sudah tak lagi terlalu mengganggu kami.
Aku selalu bisa memaklumi karena suamiku adalah anak pertama demikian juga dengan diriku.
Tapi kalau terus menerus dan membuat kami harus mengabaikan kepentingan kami lagi, rasanya aku mulai menjadi keberatan.
Untunglah suamiku juga merasakan hal yang sama, dan sekarang Mas Mirza bisa dengan tegas menyatakan penolakan.
“Sekarang ekonomi sedang lesu, Din, pembeli juga nggak seramai dulu, sampai sekarang saja Mas belum mendapat pelaris, jadi maaf aku belum bisa membantu kalian.”
Mas Mirza berucap dengan terus terang.
Dina langsung bersungut-sungut.
“Bukankah sekarang suami kamu sudah mendapat pekerjaan yang layak? Aku yakin suami kamu juga sudah menafkahi kamu kan.”
“Tapi kebutuhanku juga banyak Mas, harus ngasih makan anak-anak juga.”
Sekarang tatapan Dina mulai memindai pada jariku.
“Mbak Nia kan masih makai cincin Mas, kalau aku pinjam sebentar boleh?”
Aku langsung tersengat kaget ketika wanita yang usianya selisih dua tahun di bawahku mulai mengungkit tentang cincin kawin yang aku pakai.
Dengan lugas aku langsung menggeleng.
“Ini cincin kawin Din, aku nggak mau melepasnya,” jawabku tegas.
“Kamu jangan keterlaluan Din,” sergah Mas Mirza menambahkan.
Dina terlihat begitu kecewa.
“Jadi kalian beneran nggak mau bantu nih?”
Aku dan Mas Mirza menggeleng bersamaan.
“Maaf Din,” ucap Mas Mirza kemudian.
Wanita itu bukan hanya mengunggah wajah masam, tapi juga langsung bangkit dari duduknya dengan deru nafas terlihat tak teratur tampak sedang memendam emosi.
“Kalau gitu aku nggak akan bisa menjamin, masa tua kalian nanti akan ada yang merawat. Kalian benar-benar tak memiliki rasa empati sama sekali.”
Dina kembali mengeluarkan ancamannya sebelum kemudian melangkah pergi begitu saja, tanpa mengucapkan salam seperti kedatangannya tadi.
Aku dan Mas Mirza membiarkan saja kepergiannya.
Rasanya aku telah muak karena sudah terlalu lama dikelilingi oleh orang-orang yang bersikap seperti parasit. Kami selalu saja diperlakukan seperti sapi perah. Jika kami tak dibutuhkan kami tak akan lagi didatangi. Seperti juga kedua adik Mas Mirza yang sekarang sudah sangat jarang menanyakan kabar kami, apalagi datang berkunjung semenjak Mas Mirza sudah tak lagi membiayai anak-anak mereka, setelah semua keponakannya telah lulus kuliah.
Hanya adik bungsu Mas Mirza yang masih datang, karena memang anak-anak Dina masih kecil.
Aku bisa merasa kalau Dina pasti akan datang lagi, karena dia masih sangat membutuhkan uluran tangan kakaknya.
“Sudahlah Nia, jangan terlalu dipikirkan kata-kata Dina. Adikku itu memang orangnya seperti itu. Aku minta maaf ya kalau keluargaku sering menyusahkan.”
Aku langsung menggeleng cepat.
“Kita sama-sama anak pertama Mas, keluargaku juga sering menyusahkan kamu, terutama ibu ...”
“Jangan seperti itu, sudah kewajiban kita untuk membahagiakan hati orang tua, apalagi orang tua kita hanya tinggal ibu kamu.”
Aku terpekur diam menjadi sangat tersentuh karena mendapati kebesaran hati suamiku.
Setelah itu aku lihat Mas Mirza tersenyum lembut padaku.
“Sebaiknya kamu jangan memikirkan apapun lagi, cukup kamu perhatikan saja anak kita yang ada dalam kandungan kamu.”
“Apa Mas berpikir akan menjadikan anak ini sandaran kita bila kita sudah tua nanti?” Aku sedikit mengulik ucapan Dina tadi.
Mas Mirza langsung menggeleng dan tersenyum penuh makna.
Sementara aku terus mengelus perutku yang masih rata yang kadang menerbitkan keraguan apa aku benar-benar hamil, sebuah fakta yang masih saja aku anggap sebagai keajaiban.
“Sekarang saja kita sudah tua, Nia.”
Setelah itu Mas Mirza menghela nafas panjang.
“Anak adalah amanat, kalaupun kita baru sekarang mendapatkannya, insya Allah sebentar lagi, itu artinya Tuhan baru memampukan kita saat ini. Seharusnya kita bersandar hanya pada Allah semata, karena umur manusia itu tak ada yang tahu, dan bagaimana keadaan kita saat tua nanti.”
Aku sungguh membenarkan ucapan Mas Mirza, memang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Tapi aku memang tak akan pernah menyandarkan apapun pada manusia, bahkan juga pada anak yang sedang aku kandung saat ini.
Aku hanya berdoa semoga Tuhan memberikan kami kesehatan yang baik saat tua nanti hingga kami bisa hidup mandiri tanpa harus merepotkan siapapun.
Aku kembali mengelus perutku sebelum kemudian memandang lurus pada wajah suamiku yang juga mengarahkan tatapannya pada perutku.
“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”
***
“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”Aku mulai bertanya dengan gamang.Mas Mirza masih saja memandangku.“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.Aku langsung membalas tatapan suamiku.“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”Aku masih mengulas senyumku.“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perka
“Ide apa Mas?” tanyaku ingin tahu.“Bagaimana kalau kita minta bantuan Dina, agar dia mau membantu kamu di toko, cuma setengah hari saja, pas aku sudah meninggalkan kamu untuk berkeliling?”Mas Mirza terdengar hati-hati menyampaikan idenya.Aku mengernyit tipis, memikirkan dengan baik usulan suamiku.Untuk beberapa saat aku tak memberikan tanggapan, masih gamang untuk memutuskan.Kalau saja adik iparku adalah sosok yang bisa dipercaya, pasti dengan sangat senang hati aku menerima tawaran Mas Mirza.Tapi aku yang sudah lama mengenal adik suamiku itu dengan sifatnya yang suka mengambil uang kami seenaknya, ditambah dengan sikapnya yang suka mengomentari apapun dan siapapun, menjadi harus berpikir dua kali untuk mempekerjakan wanita seperti itu.“Aku tahu, Dina pasti sangat tidak kamu harapkan untuk mendampingi kamu di toko.”Mas Mirza kemudian menghela nafasnya lagi.“Dina memang orangnya susah seperti itu, juga tidak bisa dipercaya, kalau kamu lengah sedikit saja pasti dia mengambil se
“Cukup ... !”Aku menjadi kehilangan kendali.Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.“Kamu membentak ibu?!”Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... ““Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas. Sekarang biar a
“Terus aku harus bagaimana dong?”Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.Ibu memandangku nyinyir.“Harusnya kamu itu ... ““Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyaw
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”