Home / Rumah Tangga / SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN / 3. Anak Bukan Sandaran Di Hari Tua

Share

3. Anak Bukan Sandaran Di Hari Tua

Author: Mastuti Rheny
last update Last Updated: 2023-05-20 18:17:30

“Assalamualaikum.”

Sapaan salam yang terdengar langsung mengalihkan perhatianku bersama Mas Mirza ke arah sosok yang perempuan bertubuh bongsor yang bahkan sedang mengembangkan senyuman manisnya ke arah kami.

Aku langsung membalasnya dengan keramahan yang wajar sembari berusaha mengikis segala praduga yang sering tak bisa aku hindari bila melihatnya datang untuk menemui Mas Mirza, kakak tertuanya.

“Wa’alaikumsalam, Dina, pagi sekali kamu datang?”

Mas Mirza langsung meletakkan sarapannya yang belum ia sentuh.

Wanita berwajah lebar itu langsung mendekat, dan hanya sekilas melirikku.

Aku sedikit beringsut menjauh untuk memberikan celah pada adik iparku untuk berbicara dengan kakaknya.

“Mau sarapan ya Mas?”

Dina terlihat mulai berbasa basi.

“Ayo kalau mau, bergabung sarapan sekalian,” ajakku segera.

Wanita beranak tiga itu langsung menggeleng ketika melihat menu sarapan kami yang kelewat sederhana.

“Tumben kok cuma makan tempe?”

“Iya, Alhamdulillah disyukuri saja Din, “ balas Mas Mirza datar.

“Oh iya Mas, besok Riska harus membayar uang sekolah, apa Mas nggak ada uang sekarang?”

Adik bungsu Mas Mirza itu dengan lugas tanpa terlihat rikuh sama sekali mengungkapkan tujuannya mendatangi kami di pasar.

Suamiku tak segera menjawab, malah melirik ke arahku dan mendesah panjang.

“Untuk saat ini, aku tak memiliki uang, kami sendiri sedang membutuhkan banyak uang, bahkan untuk beberapa bulan ke depan.”

Ganti aku yang menarik nafas lega saat mendengar ketegasan suamiku menolak adiknya yang nyaris selalu tak pernah berhenti untuk merepotkan kakaknya itu.

Gurat masam langsung tersaji di wajah lebar Dina.

“Butuh banyak uang? Buat apa Mas? Kebutuhan kalian kan nggak banyak, bahkan kalian ndak ada anak yang harus dinafkahi,” cecar Dina sengit.

Terlihat Mas Mirza mulai membuka mulut, aku tahu suamiku itu hendak mengungkapkan tentang kehamilanku.

Aku langsung menahan dengan memberi isyarat pada pria penyabar yang sudah 25 tahun menikahiku itu, agar Mas Mirza tak mengatakan apapun.

“Masak Mas yang punya toko pakaian sebesar ini nggak punya uang sama sekali. Riska itu sudah menganggap kalian seperti orang tua sendiri lho, kalau kalian sudah tua nanti aku yakin Riska pasti mau merawat kalian. Aku cuma minta tolong sedikit saja untuk kepentingan yang jelas juga, kenapa Mas Mirza nggak pengertian sih?”

Selalu saja itu yang diucapkan Dina. Aku semakin bisa merasakan dengan jelas kalau wanita itu benar-benar memanfaatkan keadaanku bersama Mas Mirza yang sudah bertahun-tahun tak dikaruniai keturunan. Selalu akan mengandalkan anak-anaknya yang kelak akan disuruhnya untuk merawat kami jika kami sudah tua nanti, tapi tentunya dengan imbalan kami harus turut mencukupi kebutuhan mereka.

Kalau membantu sekedarnya dan sesuai kemampuan kami, aku bisa dengan ikhlas mengijinkan suamiku membantu adiknya itu.

Tapi Dina selalu menjadi tak tahu diri.

Sudah tak terhitung lagi bantuan yang diberikan Mas Mirza untuk Dina dan anak-anaknya. Belum lagi dengan uang yang dulu setiap bulan selalu diberikan Mas Mirza pada kedua adiknya yang lain. Meski mereka sekarang sudah tak lagi terlalu mengganggu kami.

Aku selalu bisa memaklumi karena suamiku adalah anak pertama demikian juga dengan diriku.

Tapi kalau terus menerus dan membuat kami harus mengabaikan kepentingan kami lagi, rasanya aku mulai menjadi keberatan.

Untunglah suamiku juga merasakan hal yang sama, dan sekarang Mas Mirza bisa dengan tegas menyatakan penolakan.

“Sekarang ekonomi sedang lesu, Din, pembeli juga nggak seramai dulu, sampai sekarang saja Mas belum mendapat pelaris, jadi maaf aku belum bisa membantu kalian.”

Mas Mirza berucap dengan terus terang.

Dina langsung bersungut-sungut.

“Bukankah sekarang suami kamu sudah mendapat pekerjaan yang layak? Aku yakin suami kamu juga sudah menafkahi kamu kan.”

“Tapi kebutuhanku juga banyak Mas, harus ngasih makan anak-anak juga.”

Sekarang tatapan Dina mulai memindai pada jariku.

“Mbak Nia kan masih makai cincin Mas, kalau aku pinjam sebentar boleh?”

Aku langsung tersengat kaget ketika wanita yang usianya selisih dua tahun di bawahku mulai mengungkit tentang cincin kawin yang aku pakai.

Dengan lugas aku langsung menggeleng.

“Ini cincin kawin Din, aku nggak mau melepasnya,” jawabku tegas.

“Kamu jangan keterlaluan Din,” sergah Mas Mirza menambahkan.

Dina terlihat begitu kecewa.

“Jadi kalian beneran nggak mau bantu nih?”

Aku dan Mas Mirza menggeleng bersamaan.

“Maaf Din,” ucap Mas Mirza kemudian.

Wanita itu bukan hanya mengunggah wajah masam, tapi juga langsung bangkit dari duduknya dengan deru nafas terlihat tak teratur tampak sedang memendam emosi.

“Kalau gitu aku nggak akan bisa menjamin, masa tua kalian nanti akan ada yang merawat. Kalian benar-benar tak memiliki rasa empati sama sekali.”

Dina kembali mengeluarkan ancamannya sebelum kemudian melangkah pergi begitu saja, tanpa mengucapkan salam seperti kedatangannya tadi.

Aku dan Mas Mirza membiarkan saja kepergiannya.

Rasanya aku telah muak karena sudah terlalu lama dikelilingi oleh orang-orang yang bersikap seperti parasit. Kami selalu saja diperlakukan seperti sapi perah. Jika kami tak dibutuhkan kami tak akan lagi didatangi. Seperti juga kedua adik Mas Mirza yang sekarang sudah sangat jarang menanyakan kabar kami, apalagi datang berkunjung semenjak Mas Mirza sudah tak lagi membiayai anak-anak mereka, setelah semua keponakannya telah lulus kuliah.

Hanya adik bungsu Mas Mirza yang masih datang, karena memang anak-anak Dina masih kecil.

Aku bisa merasa kalau Dina pasti akan datang lagi, karena dia masih sangat membutuhkan uluran tangan kakaknya.

“Sudahlah Nia, jangan terlalu dipikirkan kata-kata Dina. Adikku itu memang orangnya seperti itu. Aku minta maaf ya kalau keluargaku sering menyusahkan.”

Aku langsung menggeleng cepat.

“Kita sama-sama anak pertama Mas, keluargaku juga sering menyusahkan kamu, terutama ibu ...”

“Jangan seperti itu, sudah kewajiban kita untuk membahagiakan hati orang tua, apalagi orang tua kita hanya tinggal ibu kamu.”

Aku terpekur diam menjadi sangat tersentuh karena mendapati kebesaran hati suamiku.

Setelah itu aku lihat Mas Mirza tersenyum lembut padaku.

“Sebaiknya kamu jangan memikirkan apapun lagi, cukup kamu perhatikan saja anak kita yang ada dalam kandungan kamu.”

“Apa Mas berpikir akan menjadikan anak ini sandaran kita bila kita sudah tua nanti?” Aku sedikit mengulik ucapan Dina tadi.

Mas Mirza langsung menggeleng dan tersenyum penuh makna.

Sementara aku terus mengelus perutku yang masih rata yang kadang menerbitkan keraguan apa aku benar-benar hamil, sebuah fakta yang masih saja aku anggap sebagai keajaiban.

“Sekarang saja kita sudah tua, Nia.”

Setelah itu Mas Mirza menghela nafas panjang.

“Anak adalah amanat, kalaupun kita baru sekarang mendapatkannya, insya Allah sebentar lagi, itu artinya Tuhan baru memampukan kita saat ini. Seharusnya kita bersandar hanya pada Allah semata, karena umur manusia itu tak ada yang tahu, dan bagaimana keadaan kita saat tua nanti.”

Aku sungguh membenarkan ucapan Mas Mirza, memang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Tapi aku memang tak akan pernah menyandarkan apapun pada manusia, bahkan juga pada anak yang sedang aku kandung saat ini.

Aku hanya berdoa semoga Tuhan memberikan kami kesehatan yang baik saat tua nanti hingga kami bisa hidup mandiri tanpa harus merepotkan siapapun.

Aku kembali mengelus perutku sebelum kemudian memandang lurus pada wajah suamiku yang juga mengarahkan tatapannya pada perutku.

“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”

                                                                  

***

Related chapters

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   4. Sebuah Ide

    “Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”Aku mulai bertanya dengan gamang.Mas Mirza masih saja memandangku.“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.Aku langsung membalas tatapan suamiku.“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”Aku masih mengulas senyumku.“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perka

    Last Updated : 2023-05-20
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   5. Keajaiban Seperti Para Nabi

    “Ide apa Mas?” tanyaku ingin tahu.“Bagaimana kalau kita minta bantuan Dina, agar dia mau membantu kamu di toko, cuma setengah hari saja, pas aku sudah meninggalkan kamu untuk berkeliling?”Mas Mirza terdengar hati-hati menyampaikan idenya.Aku mengernyit tipis, memikirkan dengan baik usulan suamiku.Untuk beberapa saat aku tak memberikan tanggapan, masih gamang untuk memutuskan.Kalau saja adik iparku adalah sosok yang bisa dipercaya, pasti dengan sangat senang hati aku menerima tawaran Mas Mirza.Tapi aku yang sudah lama mengenal adik suamiku itu dengan sifatnya yang suka mengambil uang kami seenaknya, ditambah dengan sikapnya yang suka mengomentari apapun dan siapapun, menjadi harus berpikir dua kali untuk mempekerjakan wanita seperti itu.“Aku tahu, Dina pasti sangat tidak kamu harapkan untuk mendampingi kamu di toko.”Mas Mirza kemudian menghela nafasnya lagi.“Dina memang orangnya susah seperti itu, juga tidak bisa dipercaya, kalau kamu lengah sedikit saja pasti dia mengambil se

    Last Updated : 2023-05-20
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   6. Terlanjur Hamil

    “Cukup ... !”Aku menjadi kehilangan kendali.Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.“Kamu membentak ibu?!”Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... ““Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas. Sekarang biar a

    Last Updated : 2023-06-10
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   7. Sesuatu Yang Sedang Disembunyikan Suamiku

    “Terus aku harus bagaimana dong?”Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.Ibu memandangku nyinyir.“Harusnya kamu itu ... ““Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyaw

    Last Updated : 2023-06-11
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   8. Ocehan Tetangga

    “Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin

    Last Updated : 2023-06-12
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   9. Sesumbar Uang Sumbangan

    {“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak

    Last Updated : 2023-06-13
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   10. Rencana Lain

    “Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m

    Last Updated : 2023-06-13
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   11. Enggan Dibilang Miskin

    “Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”

    Last Updated : 2023-06-14

Latest chapter

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   109. Dalam Ketidakpastian

    Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   108. Diambang Perpisahan

    “Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   107. Masuk Pesantren

    “Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   106. Perasaan Riska

    Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   105. Keinginan Suamiku

    Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   104. Sikap Ganjil Herlambang

    “Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   103. Fakta Lain Tentang Didit

    “Kenapa kamu berkata seperti itu?”Aku menjadi penasaran dengan apa yang dikatakan Danar. Aku merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku saat ini.Pria muda yang juga mewarisi kesempurnaan wajah ibunya itu meski kakaknya memiliki wajah yang lebih mirip sang ibu itu malah mendesah panjang.“Mas Didit mungkin tidak akan berubah karena di dalam penjara dia masih saja menjadi pemadat, karena benda haram itu semakin mudah didapat di dalam sana.”Aku terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Danar. Keponakanku itu mengunggah wajah sedihnya yang menunjukkan rasa prihatin atas keadaan sang kakak.“Apa benar yang kamu katakan ini?”“Kurasa Budhe sudah banyak mendengar berita seperti ini di berbagai media,”gumam Danar.Ganti aku yang menarik nafas panjang menjadi tak bisa berk

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   102. Rencana Masa Depan

    “Katakan saja apa permintaan kamu Nak?” Aku menunggu Riska mengatakan apa yang sedang diinginkannya saat ini. Tapi sekarang gadis yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menghadapi segala kepedihan hidup itu malah terlihat ragu saat melihatku. “Bantu aku untuk memisahkan diri dari Ibu,” tegas Riska kemudian. Aku terperangah sejenak, tapi kemudian bisa dengan segera memaklumi keinginannya yang barangkali wajar karena memang Riska hancur seperti ini karena ulah ibunya sendiri. Melihat aku diam tak langsung memberikan jawaban Riska kemudian malah memandangku dengan gelisah. “Budhe, aku tak mau hidupku hancur lagi jika Ibu sampai menemukan keberadaanku.” “Jadi ini juga menjadi alasan kamu untuk masuk ke pesantren?” “Tapi aku benar-benar ingin memperdalam ilmu agama Budhe,” tegas Riska pada akhirnya.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   101. Ketakutan Riska

    “Ayo Bu Nia, tunggu apalagi silakan masuk ....” Tatapan pria itu kian menegas seakan ingin memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Aku merasa tak memiliki pilihan lain yang membuatku akhirnya tetap menerima tumpangan pria itu hingga akhirnya aku sampai ke pabrik tempat usahaku selama ini berjalan. “Terima kasih banyak Pak untuk semua bantuannya,” ucapku sebelum aku keluar dari dalam mobilnya. Lagi-lagi Herlambang mengulas senyumnya. “Tak usah terlalu dipikirkan Bu Nia, oh iya soal pengacara buat mengawal kasusnya Riska, aku sudah melakukan koordinasi dengan beberapa pengacara langgananku, mereka bahkan sudah melakukan tugasnya untuk mengumpulkan semua bukti dengan mengajak dokter yang menangani Riska bekerjasama. Insya Allah kita bisa menyeret pelaku kekejaman pada Riska ke penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Herlambang berucap d

DMCA.com Protection Status