“Terus aku harus bagaimana dong?”
Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.
“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”
Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.
Ibu memandangku nyinyir.
“Harusnya kamu itu ... “
“Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”
“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”
“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”
“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyawa kamu melayang, saat persalinan.”
Aku mendesah panjang, berusaha menghalau rasa takut yang kembali hadir saat ibu mengungkit tentang resiko kehamilanku.
“Apa kamu nggak memikirkan tentang hal fatal ini Nia?’
Aku memilih menggeleng, menanggapi.
“Sebagai seorang Ibu, aku berharap Ibu mendoakan aku agar aku bisa melalui persalinan ini nantinya dengan baik, juga bayi di dalam kandungku bisa lahir dengan selamat.”
Setelah itu aku bangkit dari kursi, mendadak kepalaku kembali terasa nyeri. Mendengarkan ocehan ibu selalu saja membuatku merasa tertekan dan hatiku diselimuti kabut kecemasan.
“Kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara.”
Aku mendesah panjang melirik sekilas pada ibu yang sudah mendongakkan kepala untuk bisa menatapku dengan sangat tegas.
“Aku mau istirahat ke kamar dulu.”
“Nia anak itu sudah membuat kamu sangat lemah. Aku yakin nantinya dia juga akan membawa sial buat keluarga kita.”
Aku mendengkus geram. Selalu saja ibu menyebut calon bayiku sebagai anak pembawa sial. Sungguh sebuah takhayul yang sangat menyesatkan, dan tak akan pernah aku percayai.
“Anakku ini tak akan pernah membawa sial untuk keluarga kita, sebaliknya dia akan selalu membawa keberuntungan buat kami,” tegasku yakin setelah itu aku berusaha untuk melipir pergi.
Tapi ibu malah mengeraskan suaranya.
“Nia, sekarang semua orang sedang menertawakan kamu karena kamu hamil di usia tua. Kamu sudah membuat malu aku!”
Aku tetap tak membalikkan badan meski langkahku terhenti sejenak.
Aku memilih mengabaikan ucapan ibu seperti juga aku akan menghiraukan omongan orang lain tentang kehamilanku yang disangsikan oleh banyak orang.
***
Aku masih menekuni untuk mentadaburi Al Quran yang ada dalam genggamanku. Menghayati kalamullah, demi mendamaikan hati yang masih saja gelisah karena digempur ucapan nyinyir dari orang terdekatku sendiri.
Sampai akhirnya suamiku mulai masuk ke dalam kamar kami dan perlahan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Sejenak aku menoleh ke arahnya dan mendapati wajah suamiku yang tampak kuyu.
Segera aku akhiri bacaanku dan menutup kembali mushaf.
“Shodaqallahuladzim.”
Setelah itu aku bangkit sambil melipat mukena yang aku pakai lalu menghampiri suamiku yang tampak lelah.
“Mas, apa mau aku pijat?”
Aku menawarkan diri sembari mulai memijat kaki Mas Mirza perlahan.
Tapi nyatanya Mas Mirza malah mengangkat punggungnya, mendekatiku untuk ia bawa berbaring di sampingnya.
“Kamu beristirahat saja di sampingku.”
Setelah itu Mas Mirza mulai memelukku sembari mengelus punggungku seperti kebiasaannya.
“Apa kamu masih merasa pusing dan mual?”
“Kalau malam seperti ini, aku sama sekali tak merasa mual Mas.”
Aku kian menelusupkan wajahku di dada bidangnya yang selalu memberiku kenyamanan. Dengan menghirup aroma tubuh suamiku saja, aku sudah merasa sangat tenang, seperti sekarang yang sudah aku rasakan.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Mas ... “
Aku sedikit mendongakkan kepala, memandang wajah tampan suamiku yang sekarang bahkan sedang mengulas segaris senyumnya untukku.
“Bagaimana tokonya, apa Mas kewalahan sampai kelihatan lelah seperti ini?”
Ketika mendengar pertanyaanku Mas Mirza malah terkekeh. Aku sendiri juga tergelak.
Kami tertawa satir, seakan menertawakan kondisi usaha kami yang memang cenderung sepi akhir-akhir ini.
“Saking kewalahannya aku sampai ketiduran sebentar.”
Kami semakin tergelak.
Tapi setelah itu Mas Mirza malah mengeratkan dekapannya, sembari menatapku lekat.
“Oh iya Nia, mulai besok aku akan meminta Dina untuk membantuku di pasar.”
“Mas yakin?”
“Aku tak memiliki pilihan lain, tapi aku akan selalu mengawasi dan bersikap tegas padanya.”
“Kalau memang itu Mas anggap baik, Mas lakukan saja.”
Setelah itu aku malah mendengar helaan nafas panjang suamiku.
Aku tetap merasa kalau Mas Mirza masih digayuti beban pikiran yang pelik. Meski saat ini Mas Mirza tak mengatakannya, tapi bisa merasakan kalau masih ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suamiku saat ini.
“Mas, aku yakin besok keadaanku akan membaik, Insya Allah mungkin besok aku akan ikut ke toko juga, jadi Mas bisa berkeliling lagi ke desa-desa untuk menjajakan dagangan kita.”
Mas Mirza malah memandangku sangat lekat.
Aku bisa melihat sorot khawatir di kedua matanya.
“Tidak, aku tidak mau kamu memaksakan diri.”
Aku hanya termangu membalas tatapannya.
“Sudah aku katakan sebaiknya kamu fokus dengan kehamilan kamu, tenangkan pikirkan kamu juga. Cukup kamu berdoa saja, biar aku yang berusaha untuk keluarga kita, untuk kamu, untuk ibu juga untuk calon bayi kita.”
“Tapi Mas ... “
“Hussh ..., sudahlah sayang, sekarang tidurlah, agar nanti malam kita bisa bangun untuk menunaikan tahajud.”
Mas Mirza menutupkan telunjuknya di depan bibirku, setelah itu dia kembali memelukku erat, sembari terus memberikan elusan lembut pada punggungku, ingin membuatku nyaman, agar aku bisa segera terlelap.
Nyatanya dalam waktu singkat aku sudah mulai merasa mengantuk, hingga pada akhirnya aku jatuh tertidur di dalam pelukan hangat suami yang aku cintai.
***
Pagi-pagi sekali Mas Mirza sudah berangkat ke pasar. Bahkan saat dia baru saja turun dari mushola setelah sholat subuh Mas Mirza sudah bersiap pergi.
Memang sekarang keramaian pasar terjadi di awal hari. Sementara di siang hari pasar menjadi sangat lengang.
Setelah Mas Mirza berangkat aku memutuskan untuk berbelanja di warung terdekat untuk membeli sayur dan bahan makanan lain.
Aku sudah berjanji pada ibu untuk memasak hari ini. Untunglah hari ini aku tak merasa terlalu mual lagi seperti hari kemarin. Jadi aku bisa melakukan sedikit aktivitas meski aku tahu kalau Mas Mirza tak akan membiarkan aku melakukan apapun dulu, sampai aku benar-benar sehat.
Tapi seharian di rumah tanpa melakukan apapun jelas akan terasa sangat membosankan.
Lagipula aku hanya memasak masakan sederhana pastinya tidak akan sampai terlalu berat.
Sesampainya di warung aku langsung memilih beberapa ikat kangkung juga satu tongkol jagung. Rencananya hari ini aku akan memasak sayur asam.
Tapi ketika aku akan mengulurkan belanjaanku pada Mbak Narti, si empunya warung, aku kemudian baru menyadari kalau sekarang tatapan semua orang sedang terarah padaku.
Sorot mata mereka terlihat dalam dan penuh arti, malah menerbitkan rasa bingung juga penasaranku.
“Ada apa ya?”
***
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina
“Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?”Mas Mirza menegaskan kalimatnya.Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong.Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka.Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar.Meski dalam keadaan kami yang cukup
“Mas ... !”Mas Mirza langsung melirikku tapi saat melihat dadanya yang naik turun aku bisa menduga kalau amarahnya saat ini belum sepenuhnya mereda.Tatapannya kemudian nyalang terarah pada ketiga adiknya yang sudah begitu kelewatan.“Mas, kamu dan Mbak Nia kan nggak punya anak, jadi sudah sewajarnya kalau Mas memberikan warisan pada anak-anak kami. Salah Mas sendiri yang masih bertahan dengan wanita mandul, jadi sampai tua Mas nggak punya keturunan.”Arman kian sarkas mengomentari.Telingaku sudah sangat panas mendengarnya.Pun dengan Mas Mirza yang sekarang tampaknya sudah tak bisa menahan diri.“Siapa bilang Nia mandul, istriku bukan wanita mandul, bahkan sekarang kami sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.”Aku hanya bisa mendesah panjang ketika akhirnya Mas Mirza mulai
“Apa kalian melakukan program bayi tabung, hingga Mbak Nia bisa hamil?” cecar Dina pada kami ketika pengunjung terakhir toko kami sudah berlalu.Aku tak segera menjawab malah menatap pada Mas Mirza dengan lurus. Kali ini entah perkara apalagi yang akan dibuat oleh adik bungsu suamiku itu.Mas Mirza menanggapi dengan jengah, tampak enggan untuk menjawab apapun.“Mas Mirza selalu bilang tak memiliki uang, dan sering ngomong kalau toko tak seramai dulu, tapi kalian malah bisa melakukan program bayi tabung dengan tanpa banyak pertimbangan, di saat aku sedang membutuhkan banyak uang untuk sekolah anak-anakku.”Dina selalu saja menjadikan anak-anaknya sebagai alasan.Riska dan Danny adalah anak-anak baik yang seringkali membongkar kebusukan ibunya sendiri. Bahkan terakhir Riska mengatakan padaku kalau dia berhasil mendapatkan program beasiswa, jadi