“Terus aku harus bagaimana dong?”
Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.
“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”
Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.
Ibu memandangku nyinyir.
“Harusnya kamu itu ... “
“Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”
“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”
“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”
“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyawa kamu melayang, saat persalinan.”
Aku mendesah panjang, berusaha menghalau rasa takut yang kembali hadir saat ibu mengungkit tentang resiko kehamilanku.
“Apa kamu nggak memikirkan tentang hal fatal ini Nia?’
Aku memilih menggeleng, menanggapi.
“Sebagai seorang Ibu, aku berharap Ibu mendoakan aku agar aku bisa melalui persalinan ini nantinya dengan baik, juga bayi di dalam kandungku bisa lahir dengan selamat.”
Setelah itu aku bangkit dari kursi, mendadak kepalaku kembali terasa nyeri. Mendengarkan ocehan ibu selalu saja membuatku merasa tertekan dan hatiku diselimuti kabut kecemasan.
“Kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara.”
Aku mendesah panjang melirik sekilas pada ibu yang sudah mendongakkan kepala untuk bisa menatapku dengan sangat tegas.
“Aku mau istirahat ke kamar dulu.”
“Nia anak itu sudah membuat kamu sangat lemah. Aku yakin nantinya dia juga akan membawa sial buat keluarga kita.”
Aku mendengkus geram. Selalu saja ibu menyebut calon bayiku sebagai anak pembawa sial. Sungguh sebuah takhayul yang sangat menyesatkan, dan tak akan pernah aku percayai.
“Anakku ini tak akan pernah membawa sial untuk keluarga kita, sebaliknya dia akan selalu membawa keberuntungan buat kami,” tegasku yakin setelah itu aku berusaha untuk melipir pergi.
Tapi ibu malah mengeraskan suaranya.
“Nia, sekarang semua orang sedang menertawakan kamu karena kamu hamil di usia tua. Kamu sudah membuat malu aku!”
Aku tetap tak membalikkan badan meski langkahku terhenti sejenak.
Aku memilih mengabaikan ucapan ibu seperti juga aku akan menghiraukan omongan orang lain tentang kehamilanku yang disangsikan oleh banyak orang.
***
Aku masih menekuni untuk mentadaburi Al Quran yang ada dalam genggamanku. Menghayati kalamullah, demi mendamaikan hati yang masih saja gelisah karena digempur ucapan nyinyir dari orang terdekatku sendiri.
Sampai akhirnya suamiku mulai masuk ke dalam kamar kami dan perlahan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Sejenak aku menoleh ke arahnya dan mendapati wajah suamiku yang tampak kuyu.
Segera aku akhiri bacaanku dan menutup kembali mushaf.
“Shodaqallahuladzim.”
Setelah itu aku bangkit sambil melipat mukena yang aku pakai lalu menghampiri suamiku yang tampak lelah.
“Mas, apa mau aku pijat?”
Aku menawarkan diri sembari mulai memijat kaki Mas Mirza perlahan.
Tapi nyatanya Mas Mirza malah mengangkat punggungnya, mendekatiku untuk ia bawa berbaring di sampingnya.
“Kamu beristirahat saja di sampingku.”
Setelah itu Mas Mirza mulai memelukku sembari mengelus punggungku seperti kebiasaannya.
“Apa kamu masih merasa pusing dan mual?”
“Kalau malam seperti ini, aku sama sekali tak merasa mual Mas.”
Aku kian menelusupkan wajahku di dada bidangnya yang selalu memberiku kenyamanan. Dengan menghirup aroma tubuh suamiku saja, aku sudah merasa sangat tenang, seperti sekarang yang sudah aku rasakan.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Mas ... “
Aku sedikit mendongakkan kepala, memandang wajah tampan suamiku yang sekarang bahkan sedang mengulas segaris senyumnya untukku.
“Bagaimana tokonya, apa Mas kewalahan sampai kelihatan lelah seperti ini?”
Ketika mendengar pertanyaanku Mas Mirza malah terkekeh. Aku sendiri juga tergelak.
Kami tertawa satir, seakan menertawakan kondisi usaha kami yang memang cenderung sepi akhir-akhir ini.
“Saking kewalahannya aku sampai ketiduran sebentar.”
Kami semakin tergelak.
Tapi setelah itu Mas Mirza malah mengeratkan dekapannya, sembari menatapku lekat.
“Oh iya Nia, mulai besok aku akan meminta Dina untuk membantuku di pasar.”
“Mas yakin?”
“Aku tak memiliki pilihan lain, tapi aku akan selalu mengawasi dan bersikap tegas padanya.”
“Kalau memang itu Mas anggap baik, Mas lakukan saja.”
Setelah itu aku malah mendengar helaan nafas panjang suamiku.
Aku tetap merasa kalau Mas Mirza masih digayuti beban pikiran yang pelik. Meski saat ini Mas Mirza tak mengatakannya, tapi bisa merasakan kalau masih ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suamiku saat ini.
“Mas, aku yakin besok keadaanku akan membaik, Insya Allah mungkin besok aku akan ikut ke toko juga, jadi Mas bisa berkeliling lagi ke desa-desa untuk menjajakan dagangan kita.”
Mas Mirza malah memandangku sangat lekat.
Aku bisa melihat sorot khawatir di kedua matanya.
“Tidak, aku tidak mau kamu memaksakan diri.”
Aku hanya termangu membalas tatapannya.
“Sudah aku katakan sebaiknya kamu fokus dengan kehamilan kamu, tenangkan pikirkan kamu juga. Cukup kamu berdoa saja, biar aku yang berusaha untuk keluarga kita, untuk kamu, untuk ibu juga untuk calon bayi kita.”
“Tapi Mas ... “
“Hussh ..., sudahlah sayang, sekarang tidurlah, agar nanti malam kita bisa bangun untuk menunaikan tahajud.”
Mas Mirza menutupkan telunjuknya di depan bibirku, setelah itu dia kembali memelukku erat, sembari terus memberikan elusan lembut pada punggungku, ingin membuatku nyaman, agar aku bisa segera terlelap.
Nyatanya dalam waktu singkat aku sudah mulai merasa mengantuk, hingga pada akhirnya aku jatuh tertidur di dalam pelukan hangat suami yang aku cintai.
***
Pagi-pagi sekali Mas Mirza sudah berangkat ke pasar. Bahkan saat dia baru saja turun dari mushola setelah sholat subuh Mas Mirza sudah bersiap pergi.
Memang sekarang keramaian pasar terjadi di awal hari. Sementara di siang hari pasar menjadi sangat lengang.
Setelah Mas Mirza berangkat aku memutuskan untuk berbelanja di warung terdekat untuk membeli sayur dan bahan makanan lain.
Aku sudah berjanji pada ibu untuk memasak hari ini. Untunglah hari ini aku tak merasa terlalu mual lagi seperti hari kemarin. Jadi aku bisa melakukan sedikit aktivitas meski aku tahu kalau Mas Mirza tak akan membiarkan aku melakukan apapun dulu, sampai aku benar-benar sehat.
Tapi seharian di rumah tanpa melakukan apapun jelas akan terasa sangat membosankan.
Lagipula aku hanya memasak masakan sederhana pastinya tidak akan sampai terlalu berat.
Sesampainya di warung aku langsung memilih beberapa ikat kangkung juga satu tongkol jagung. Rencananya hari ini aku akan memasak sayur asam.
Tapi ketika aku akan mengulurkan belanjaanku pada Mbak Narti, si empunya warung, aku kemudian baru menyadari kalau sekarang tatapan semua orang sedang terarah padaku.
Sorot mata mereka terlihat dalam dan penuh arti, malah menerbitkan rasa bingung juga penasaranku.
“Ada apa ya?”
***
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina
“Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?”Mas Mirza menegaskan kalimatnya.Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong.Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka.Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar.Meski dalam keadaan kami yang cukup
“Mas ... !”Mas Mirza langsung melirikku tapi saat melihat dadanya yang naik turun aku bisa menduga kalau amarahnya saat ini belum sepenuhnya mereda.Tatapannya kemudian nyalang terarah pada ketiga adiknya yang sudah begitu kelewatan.“Mas, kamu dan Mbak Nia kan nggak punya anak, jadi sudah sewajarnya kalau Mas memberikan warisan pada anak-anak kami. Salah Mas sendiri yang masih bertahan dengan wanita mandul, jadi sampai tua Mas nggak punya keturunan.”Arman kian sarkas mengomentari.Telingaku sudah sangat panas mendengarnya.Pun dengan Mas Mirza yang sekarang tampaknya sudah tak bisa menahan diri.“Siapa bilang Nia mandul, istriku bukan wanita mandul, bahkan sekarang kami sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.”Aku hanya bisa mendesah panjang ketika akhirnya Mas Mirza mulai
“Apa kalian melakukan program bayi tabung, hingga Mbak Nia bisa hamil?” cecar Dina pada kami ketika pengunjung terakhir toko kami sudah berlalu.Aku tak segera menjawab malah menatap pada Mas Mirza dengan lurus. Kali ini entah perkara apalagi yang akan dibuat oleh adik bungsu suamiku itu.Mas Mirza menanggapi dengan jengah, tampak enggan untuk menjawab apapun.“Mas Mirza selalu bilang tak memiliki uang, dan sering ngomong kalau toko tak seramai dulu, tapi kalian malah bisa melakukan program bayi tabung dengan tanpa banyak pertimbangan, di saat aku sedang membutuhkan banyak uang untuk sekolah anak-anakku.”Dina selalu saja menjadikan anak-anaknya sebagai alasan.Riska dan Danny adalah anak-anak baik yang seringkali membongkar kebusukan ibunya sendiri. Bahkan terakhir Riska mengatakan padaku kalau dia berhasil mendapatkan program beasiswa, jadi
Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun
“Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari
“Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te
Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.
Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri
“Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh
“Kenapa kamu berkata seperti itu?”Aku menjadi penasaran dengan apa yang dikatakan Danar. Aku merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku saat ini.Pria muda yang juga mewarisi kesempurnaan wajah ibunya itu meski kakaknya memiliki wajah yang lebih mirip sang ibu itu malah mendesah panjang.“Mas Didit mungkin tidak akan berubah karena di dalam penjara dia masih saja menjadi pemadat, karena benda haram itu semakin mudah didapat di dalam sana.”Aku terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Danar. Keponakanku itu mengunggah wajah sedihnya yang menunjukkan rasa prihatin atas keadaan sang kakak.“Apa benar yang kamu katakan ini?”“Kurasa Budhe sudah banyak mendengar berita seperti ini di berbagai media,”gumam Danar.Ganti aku yang menarik nafas panjang menjadi tak bisa berk
“Katakan saja apa permintaan kamu Nak?” Aku menunggu Riska mengatakan apa yang sedang diinginkannya saat ini. Tapi sekarang gadis yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menghadapi segala kepedihan hidup itu malah terlihat ragu saat melihatku. “Bantu aku untuk memisahkan diri dari Ibu,” tegas Riska kemudian. Aku terperangah sejenak, tapi kemudian bisa dengan segera memaklumi keinginannya yang barangkali wajar karena memang Riska hancur seperti ini karena ulah ibunya sendiri. Melihat aku diam tak langsung memberikan jawaban Riska kemudian malah memandangku dengan gelisah. “Budhe, aku tak mau hidupku hancur lagi jika Ibu sampai menemukan keberadaanku.” “Jadi ini juga menjadi alasan kamu untuk masuk ke pesantren?” “Tapi aku benar-benar ingin memperdalam ilmu agama Budhe,” tegas Riska pada akhirnya.
“Ayo Bu Nia, tunggu apalagi silakan masuk ....” Tatapan pria itu kian menegas seakan ingin memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Aku merasa tak memiliki pilihan lain yang membuatku akhirnya tetap menerima tumpangan pria itu hingga akhirnya aku sampai ke pabrik tempat usahaku selama ini berjalan. “Terima kasih banyak Pak untuk semua bantuannya,” ucapku sebelum aku keluar dari dalam mobilnya. Lagi-lagi Herlambang mengulas senyumnya. “Tak usah terlalu dipikirkan Bu Nia, oh iya soal pengacara buat mengawal kasusnya Riska, aku sudah melakukan koordinasi dengan beberapa pengacara langgananku, mereka bahkan sudah melakukan tugasnya untuk mengumpulkan semua bukti dengan mengajak dokter yang menangani Riska bekerjasama. Insya Allah kita bisa menyeret pelaku kekejaman pada Riska ke penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Herlambang berucap d