Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.
“Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te
“Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari
Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun
“Hamil?!” Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang sudah aku dengar hingga aku menaikkan nada bicaraku setelah dokter memastikan tentang hasil pemeriksaanku. “Aku hamil Dok?!” Kali ini aku menggeleng sembari tersenyum satir, seakan menertawakan kabar yang sebenarnya sudah terlalu lama aku tunggu, nyaris hampir 25 tahun silam. Rasanya berita ini sangat tak bisa aku terima dengan akalku. Bagaimana mungkin aku yang awalnya memeriksakan diri tentang kemungkinan aku yang sudah mulai memasuiki masa menopause karena sudah satu bulan ini tak lagi mendapat tamu bulanan, malah dikagetkan dengan kabar yang sangat di luar dugaan ini. Untuk saat ini aku menerima kabar itu dengan hati yang penuh kebimbangan. Meski ada rasa bahagia, tapi aku juga tak bisa mengabaikan rasa bimbangku. “Hasil pemeriksaan ini sama sekali tak diragukan Bu,” ucap dokter berhijab di hadapan kami yang sejak tadi berusaha menjelaskan dengan gamblang tentang kehamilanku yang sudah aku ragukan sendiri. Segera aku bis
“Kalau begitu apa yang harus kami lakukan dengan anak yang ada di dalam kandunganku ini?”Aku menegaskan kata-kataku, membalas pernyataannya yang sempat melukai hatiku itu.Nyatanya ibu malah diam meski wajahnya sekarang menjadi bersungut-sungut.“Yang jelas sekarang aku sudah hamil Bu, bahkan kami sudah menunggu kehamilan ini sangat lama.”Aku mulai mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku.Meski awalnya aku sempat bimbang tapi setelah tadi aku melihat sendiri rupa bayiku yang terpampang di layar USG, rasa sayangku langsung terunggah, mengikis segala ragu yang sempat menyergapku ketika aku pertama kali mendengar kabar yang sangat di luar dugaan ini.“Tapi kalian sudah sangat terlalu terlambat,” tegas ibu dengan tatapan yang tajam nan sarkas.“Kalian berdua sudah tua. Usia kamu saja sekarang sudah 51.”Ibu kian lugas menyudutkan.“Nanti kalau pas melahirkan kamu sudah 52, terus pas anak kalian masuk sekolah, kamu sudah 57. Kamu jadi makin tua, dan bisa jadi anak kamu akan manggil
“Assalamualaikum.”Sapaan salam yang terdengar langsung mengalihkan perhatianku bersama Mas Mirza ke arah sosok yang perempuan bertubuh bongsor yang bahkan sedang mengembangkan senyuman manisnya ke arah kami.Aku langsung membalasnya dengan keramahan yang wajar sembari berusaha mengikis segala praduga yang sering tak bisa aku hindari bila melihatnya datang untuk menemui Mas Mirza, kakak tertuanya.“Wa’alaikumsalam, Dina, pagi sekali kamu datang?”Mas Mirza langsung meletakkan sarapannya yang belum ia sentuh.Wanita berwajah lebar itu langsung mendekat, dan hanya sekilas melirikku.Aku sedikit beringsut menjauh untuk memberikan celah pada adik iparku untuk berbicara dengan kakaknya.“Mau sarapan ya Mas?”Dina terlihat mulai berbasa basi.“Ayo kalau mau, bergabung sarapan sekalian,” ajakku segera.Wanita beranak tiga itu langsung menggeleng ketika melihat menu sarapan kami yang kelewat sederhana.“Tumben kok cuma makan tempe?”“Iya, Alhamdulillah disyukuri saja Din, “ balas Mas Mirza da
“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”Aku mulai bertanya dengan gamang.Mas Mirza masih saja memandangku.“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.Aku langsung membalas tatapan suamiku.“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”Aku masih mengulas senyumku.“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perka