“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”
Aku mulai bertanya dengan gamang.
Mas Mirza masih saja memandangku.
“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”
Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.
“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.
Aku langsung membalas tatapan suamiku.
“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”
Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.
“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”
Aku masih mengulas senyumku.
“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perkasa, apa yang akan Mas bilang?”
Mas Mirza sontak tersipu. Wajah suamiku itu langsung memerah. Suamiku memang cenderung pemalu, dan aku yakin dia pasti lebih memilih melipir pergi bila ada orang yang menyinggung tentang hal itu.
“Nyatanya Mas bisa membuat aku hamil pas sudah setua ini.”
Sekarang Mas Mirza malah terkekeh ketika mendengar ucapanku.
“Kamu sendiri malah semakin menggoda di saat sudah tak lagi muda, buktinya kamu langsung bisa hamil saat sudah memasuki usia 50 tahun.”
Ganti aku yang tergelak.
Namun setelah itu aku langsung memandang lurus penuh arti pada suamiku tercinta, yang selama ini masih gigih untuk bersamaku tanpa mau menduakan aku dengan siapapun di tengah banyaknya desakan dari semua pihak agar dia menikah lagi demi mendapatkan keturunan.
“Sekarang aku malah tak sabar saat semua orang tahu tentang kehamilan kamu, Nia.”
“Yang jelas kita harus siapkan mental untuk menghadapi omongan dan tanggapan orang.”
Aku mulai menimpali.
Mas Mirza tersenyum menanggapiku.
Kami kemudian tersenyum beriringan merasa sangat bahagia meski sebenarnya masih banyak persoalan yang sedang kami hadapi saat ini.
***
“Apa Mas yakin akan membawa dagangan kita berkeliling ke desa-desa?” tanyaku ketika keadaan toko kami kian tak bisa diharapkan.
Bahkan untuk bulan ini saja, kami terpaksa menunggak pembayaran angsuran di bank. Dulu Mas Mirza membuka pinjaman untuk tambahan modal toko, di saat keadaan pasar masih sangat ramai. Tapi kini semakin lama semakin banyak pembeli yang meninggalkan toko kami, karena memang banyak model pakaian yang kami jual mulai ketinggalan jaman.
“Aku harus melakukannya, Nia, agar kita bisa mendapatkan pemasukan.”
Aku mendesah panjang, menjadi tak tega kalau harus melihat Mas Mirza berusaha dengan sangat keras, membawa barang dagangan yang berat dan harus berkeliling di saat usianya yang sudah tidak muda lagi.
“Mas, kenapa keadaan kita malah semakin buruk di saat seharusnya kita berbahagia karena kehamilanku ini?”
“Jangan sampai kamu terpengaruh dengan ucapan ibu yang menganggap anak kita sebagai anak pembawa sial. Anggap saja Allah sedang menguji kita, jadi aku harap kamu bisa berbesar hati.”
Aku mendesah panjang meski setelah itu mengangguk pelan.
“Jadi mulai kapan Mas akan berkeliling?”
Aku mulai menjadi ingin tahu.
“Besok, aku akan mulai berkeliling. Sepulang dari pasar, kalau siang kamu aku tinggal di pasar sendiri nggak apa-apa kan?”
Aku langsung mengangguk tanpa ragu.
“Iya Mas, aku bisa kok tutup toko sendiri.”
Tapi sejurus kemudian wajah Mas Mirza malah terlihat bimbang.
“Tapi nanti kamu pulangnya sama siapa karena motornya akan aku pakai keliling?”
Aku diam tak menjawab.
Sebetulnya kami masih memiliki satu motor yang lain yang sebelumnya sempat dipinjamkan Mas Mirza pada adik kedua Mas Mirza, untuk anaknya sekolah dulu.
Tapi sekarang anak itu sudah lulus dan bahkan sudah bekerja di sebuah toko besar, aku yakin motor itu sudah tak terlalu dibutuhkan.
Namun aku masih saja ragu untuk mengungkapkan pada Mas Mirza agar mengambil motor miliknya itu.
“Aku bisa jalan kaki kok Mas, rumah kita kan dekat pasar juga.”
Aku memilih mengalah tanpa mengungkit sedikitpun tentang motor kami yang dipinjam oleh anak adik Mas Mirza itu.
Mas Mirza terlihat keberatan dengan usulku.
“Tapi kamu sekarang sedang hamil, kamu seharusnya tidak boleh terlalu capek.”
Mas Mirza menarik panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
“Kalau keadaan kita membaik, kamu tak seharusnya bersusah payah seperti ini justru di saat kamu hamil. Padahal dulu kita bisa pergi ke manapun dengan nyaman menaiki mobil yang bahkan sekarang saja belum bisa kita menebusnya.”
Ada rasa sesal yang terselip dalam kalimat suamiku.
Selalu aku tak sanggup melihat wajah murungnya, meski hatiku juga masih memar karena penipuan yang dilakukan teman suamiku hingga menggerus sebagian kekayaan kami itu.
Aku tetap berusaha untuk mengulas senyum demi membesarkan hati suamiku.
“Mas, Allah pasti memiliki rencana yang indah untuk kita berdua, aku yakin Allah akan mengganti segala yang hilang dengan rejeki yang lebih baik.”
Senyum Mas Mirza langsung terkembang kembali.
Hatiku langsung disusupi kelegaan.
“Iya kamu benar, buktinya sekarang kamu mengandung, itu adalah rejeki yang sangat luar biasa.”
Aku kembali mengelus perutku.
“Aku yakin Mas, anak ini pasti akan membawa rejeki sendiri juga.”
Suamiku kembali tersenyum.
“Kita memang tak boleh terlalu mencemaskan persoalan dunia, karena Allah sudah menjamin semuanya.”
Sejurus kemudian terdengar suara adzan berkumandang.
“Sudah adzan, Mas ke masjid dulu ya, setelah sholat kita tutup toko dan langsung pulang.”
Aku mengangguk mengiyakan, lalu mulai melepas langkah suamiku menuju masjid untuk menunaikan sholat berjamaah.
***
Sudah tiga hari ini tubuhku terasa kian lemas. Setiap pagi aku akan selalu memuntahkan semua isi perutku.
Mas Mirza dengan sabar selalu mendampingi, mengelus punggungku dan memijat tengkukku agar bisa sedikit merasa nyaman.
“Apa kita sebaiknya ke dokter lagi, sayang?”
Mas Mirza terlihat jelas mencemaskan aku.
Aku langsung menggeleng, menampik tawaran suamiku. Aku anggap mual dan muntah adalah gejala yang wajar untuk wanita hamil. Jadi mau tak mau aku harus menyiapkan diri untuk menghadapi hal ini.
Walau aku menjadi sangat kepayahan harus mengalami semua itu di saat usiaku tak lagi muda.
Tapi aku harus tetap menguatkan diri, agar aku bisa menjalani kodratku sebagai wanita tanpa keluh kesah apapun.
Lagipula bukankah aku sudah sangat menginginkan melewati fase seperti ini bahkan sejak awal pernikahan kami.
Fase di mana aku harus bersusah payah menjalani kehamilan hingga sampai pada tahap melahirkan, menyusui dan mendidik anak kami ini nantinya, yang seharusnya aku jalani dengan penuh rasa bahagia.
“Tapi Nia, Mas nggak tega melihat kamu seperti ini. Kamu terus saja muntah dan makan kamu juga sangat sedikit. Belum lagi kamu masih memaksakan diri untuk membantuku di toko.”
“Mas, ini tidak akan lama, kehamilanku masih memasuki trimester awal, jadi wajar kalau aku akan selalu muntah setiap pagi.”
Aku berusaha menenangkan suamiku yang masih saja tak berhenti untuk mengkhawatirkan aku.
“Kalau begitu aku buatkan teh hangat ya buat kamu, tanpa gula biar perut kamu menjadi lebih nyaman.”
Tanpa aku minta Mas Mirza langsung berjalan ke dapur untuk membuatkan aku secangkir teh yang aku yakini akan bisa meredakan rasa mual yang masih mengganjal perutku.
Setelah membersihkan mulut dan wastafel, aku ikut menghampiri ke dapur dan langsung duduk di kursi meja makan berdampingan dengan suamiku yang kemudian mulai menggeser teh buatannya di depanku.
“Minumlah dulu, nanti siang aku akan buatkan susu hamil buat kamu, supaya kamu dan anak kita terpenuhi gizinya.”
Aku mengangguk sembari tersenyum.
Setelah sempat kami kesulitan untuk mendapatkan uang hanya demi bisa membeli sekotak susu hamil, akhirnya setelah suamiku berusaha dengan menjajakan barang dagangan secara berkeliling, kami bisa mendapatkan uang itu.
“Kalau kamu masih lemas, sebaiknya kamu nggak usah ikut bantu di toko, kamu istirahat saja.”
Aku langsung menggeleng tegas.
Aku merasa masih cukup kuat dan selalu menjadi tak tega kalau suamiku harus berusaha sendiri.
“Tidak Mas, aku akan tetap ke toko, lagipula pas kemarin sore kita masih kedatangan pembeli, waktu Mas sudah pergi untuk berkeliling.”
Mas Mirza menarik nafas panjang.
Suamiku terlihat masih tampak keberatan.
“Nia, yang terpenting sekarang adalah kesehatan kamu, karena kamu sedang mengandung anak kita. Kamu harus banyak istirahat.”
Mas Mirza kembali mendesah lama, tatapannya kiat lekat memindaiku.
“Sepertinya aku memiliki ide, itu kalau kamu setuju.”
Segera aku membalas tatapan suamiku.
“Ide apa Mas?”
***
“Ide apa Mas?” tanyaku ingin tahu.“Bagaimana kalau kita minta bantuan Dina, agar dia mau membantu kamu di toko, cuma setengah hari saja, pas aku sudah meninggalkan kamu untuk berkeliling?”Mas Mirza terdengar hati-hati menyampaikan idenya.Aku mengernyit tipis, memikirkan dengan baik usulan suamiku.Untuk beberapa saat aku tak memberikan tanggapan, masih gamang untuk memutuskan.Kalau saja adik iparku adalah sosok yang bisa dipercaya, pasti dengan sangat senang hati aku menerima tawaran Mas Mirza.Tapi aku yang sudah lama mengenal adik suamiku itu dengan sifatnya yang suka mengambil uang kami seenaknya, ditambah dengan sikapnya yang suka mengomentari apapun dan siapapun, menjadi harus berpikir dua kali untuk mempekerjakan wanita seperti itu.“Aku tahu, Dina pasti sangat tidak kamu harapkan untuk mendampingi kamu di toko.”Mas Mirza kemudian menghela nafasnya lagi.“Dina memang orangnya susah seperti itu, juga tidak bisa dipercaya, kalau kamu lengah sedikit saja pasti dia mengambil se
“Cukup ... !”Aku menjadi kehilangan kendali.Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.“Kamu membentak ibu?!”Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... ““Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas. Sekarang biar a
“Terus aku harus bagaimana dong?”Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.Ibu memandangku nyinyir.“Harusnya kamu itu ... ““Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyaw
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina