“Ide apa Mas?” tanyaku ingin tahu.
“Bagaimana kalau kita minta bantuan Dina, agar dia mau membantu kamu di toko, cuma setengah hari saja, pas aku sudah meninggalkan kamu untuk berkeliling?”
Mas Mirza terdengar hati-hati menyampaikan idenya.
Aku mengernyit tipis, memikirkan dengan baik usulan suamiku.
Untuk beberapa saat aku tak memberikan tanggapan, masih gamang untuk memutuskan.
Kalau saja adik iparku adalah sosok yang bisa dipercaya, pasti dengan sangat senang hati aku menerima tawaran Mas Mirza.
Tapi aku yang sudah lama mengenal adik suamiku itu dengan sifatnya yang suka mengambil uang kami seenaknya, ditambah dengan sikapnya yang suka mengomentari apapun dan siapapun, menjadi harus berpikir dua kali untuk mempekerjakan wanita seperti itu.
“Aku tahu, Dina pasti sangat tidak kamu harapkan untuk mendampingi kamu di toko.”
Mas Mirza kemudian menghela nafasnya lagi.
“Dina memang orangnya susah seperti itu, juga tidak bisa dipercaya, kalau kamu lengah sedikit saja pasti dia mengambil sesuatu di toko kita, seperti yang selalu selama ini dia lakukan. Tapi aku pikir kalau cuma setengah hari kamu pasti bisa mengendalikannya.”
Mas Mirza mulai menelisikku, yang masih tak memberikan keputusan apapun.
“Tapi kalau kamu merasa nggak nyaman, ya nggak apa-apa aku cuma memikirkan kesehatan kamu saja. Kamu sedang hamil jadi kamu tak bisa sekuat dulu lagi walau keadaan toko kita tak seramai dulu tetap saja kamu akan bekerja keras untuk melayani pembeli yang datang.”
“Kamu tak usah khawatir aku akan mewanti-wanti Dina untuk bisa amanah. Dina itu punya pengalaman untuk berhadapan dengan pembeli, kamu tahu sendiri kan kalau Dina dulu juga pernah punya toko pakaian seperti kita sebelum dia menjualnya karena terlilit hutang.”
Aku segera teringat ketika Dina masih memiliki toko yang berdekatan dengan kami. Dia sering berusaha untuk merebut pelanggan dari kami dengan membanting harga seenaknya. Sampai akhirnya Dina malah terjerat hutang pada lintah darat. Sebagian besar Mas Mirza juga yang menyelesaikan hutang itu, karena uang hasil penjualan toko Dina tetap tak bisa seluruhnya menutup hutang-hutang yang dibuatnya.
Sebagai anak pertama Mas Mirza selalu berkorban untuk adik-adiknya. Karena saat itu keadaan toko kami sedang berjalan lancar, maka aku sama sekali tak keberatan, kalau Mas Mirza membantu keluarganya.
Terlebih saat itu almarhum ibu mertuaku sendiri yang datang meminta pada kami agar kami bisa memberikan bantuan pada Dina.
“Sekali-kali aku harus mengkaryakan dia, bukan hanya selalu memberinya uang cuma-cuma.”
Aku mendesah pelan, lalu mulai mengangguk.
“Ya sudah Mas, mana baiknya saja.”
“Yang jelas, kamu jangan sampai capek, tolong jaga kesehatan kamu supaya anak kita bisa tumbuh dengan baik di dalam rahim kamu.”
Sekarang Mas Mirza mulai mengelus perutku yang mulai perlahan membuncit hingga melenyapkan keraguan yang sempat hadir, tentang kehamilanku saat ini yang sempat aku anggap sebagai sebuah kemustahilan.
“Kalau hari ini kita mendapatkan uang yang lumayan, aku ingin mengajak kamu ke dokter lagi, aku harus berkonsultasi dengan dokter, agar aku bisa memastikan tentang kehamilan kamu, agar kamu dan bayi kita bisa selamat hingga sampai saatnya melahirkan nanti.”
“Kamu jangan terlalu khawatir Mas, aku yakin aku pasti bisa melewati semua ini, Insya Allah, dan pastinya semua dengan ijin Allah, seperti juga dengan kehamilanku yang seperti sebuah keajaiban ini.”
Aku mengulas senyuman tipis sembari ikut mengusap perutku sendiri.
“Aku pikir hanya para nabi yang mendapatkan sebuah keajaiban, nyatanya kita juga mendapatkannya ya Mas, Allah memang Maha Baik.”
Sejenak aku teringat dengan kisah Nabi Zakaria, di mana beliau dan istri beliau sempat dikatakan mandul tapi Allah malah menganugerahi buah hati di saat usia mereka juga tak lagi muda.
“Kamu memang benar sayang,” gumam Mas Mirza yang sekarang diikuti dengan memberikan sebuah kecupan lembut pada dahiku.
“Kita memang harus banyak bersyukur.”
Aku tersenyum menanggapi.
Tapi beberapa saat kemudian mendadak ibu melangkah ke dapur dan langsung memasang wajah cemberut ketika melihat kami duduk berdampingan.
“Sampai kapan kalian akan bermesraan terus seperti itu?”
Tatapan kami langsung beralih pada sosok sepuh di depan kami yang sedang menyergap dengan sorot mata tajam.
“Kapan kamu masak Nia?”
Ibu langsung mendesak tegas.
Aku mendesah sejenak.
Dengan tubuh lemah dan perut yang masih saja terasa mual, aku menjadi tak bertenaga untuk melakukan apapun.
“Aku yang akan memasak Bu,” sahut Mas Mirza cepat sebelum aku memberikan jawaban apapun.
Ibu sontak menjadi bersungut-sungut.
“Paling banter kamu cuma bisa masak nasi goreng sama dadar.”
Ibu menyindir dengan sarkas.
“Di kulkas masih ada asem-asem daging, nanti biar aku hangatkan Bu, adik-adik tadi malam nggak menghabiskan semua masakan kok Bu.”
Aku ikut menimpali dan sedikit mengulik tentang kedatangan kedua adikku yang tinggal di lain kota demi untuk mengucapkan selamat atas kehamilanku, dan mereka membawa banyak buah tangan berupa makanan dan sembako yang jelas menjadi sangat bermanfaat untuk kami, dalam keadaan bisnis suamiku yang berjalan kurang baik akhir-akhir ini.
“Kenapa harus makan makanan lama sih Nia, kamu tahu sendiri kan ibu nggak suka makan menu yang sama untuk setiap kali makan?”
“Tapi asem-asem daging kan makanan kesukaan Ibu, kemarin saja Ibu selalu nggak keberatan untuk makan asem-asem terus. Bahkan Ibu sendiri yang minta kan?”
Aku berusaha untuk membujuk ibuku agar mau makan seadanya. Karena saat ini aku benar-benar tak memiliki tenaga untuk memasak.
Bahkan di toko saja, aku lebih banyak tiduran, karena Mas Mirza yang akan selalu menangani setiap kali ada pembeli, hanya saat Mas Mirza pergi berkeliling, baru aku akan bangun.
Aku harus menghemat tenagaku karena akhir-akhir ini perutku masih menolak kalau isi dengan banyak makanan. Bahkan untuk susu hamil aku hanya mengkonsumsinya dengan beberapa teguk saja.
“Kenapa kamu sekarang jadi jarang masak?” Ibu mulai mengungkapkan protesnya.
“Bu, Nia sedang hamil dan sekarang dia sedang mual dan muntah terus sejak tadi. Jadi biar aku saja yang memasak buat Ibu.”
Mas Mirza berusaha meminta pengertian ibuku.
“Nah, kan sudah aku bilang, anak itu hanya akan merepotkan kamu saja. Apa kamu pikir orang hamil itu gampang? Kamu itu sudah setua ini masih saja keras kepala tetap pengen hamil. Kamu itu tetep saja ngeyel.”
Aku berusaha untuk mengabaikan omongan ibuku yang sering selalu saja menunjukkan ketidaksukaannya atas kehamilanku.
“Anak itu masih di dalam kandungan saja sudah bikin repot, apalagi nanti pas sudah di luar, kamu malah akan dibuat repot. Aku yakin dengan keadaan ekonomi suami kamu yang makin buruk, kalian pasti tidak akan mampu menyewa tenaga pengasuh bayi. Pokoknya aku nggak mau kalian libatkan untuk mengasuh bayi kalian. Aku sudah tua, aku sudah kepala tujuh dan sudah waktunya pensiun melakukan semua hal seperti itu.”
Ibuku mulai berpanjang lebar saat berargumen, selalu saja menunjukkan sikapnya yang antipati dengan kehamilanku.
“Bu, cukup, sudah ...”
Aku melerai ibu sembari memegangi kepalaku yang langsung menjadi pusing saat mendengar ocehannya yang tanpa jeda itu.
“Aku semakin yakin kalau anak itu pembawa sial, buktinya kamu sekarang jadi sakit-sakitan, wajah kamu terus saja pucat, kayak mayat.”
Aku tetap saja melontarkan kekesalannya.
Aku sudah sangat lelah menghadapi sikap ibu yang terus menyudutkan kehamilanku.
Hingga aku benar-benar kehilangan kesabaran.
“Cukup ...!”
***
“Cukup ... !”Aku menjadi kehilangan kendali.Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.“Kamu membentak ibu?!”Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... ““Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas. Sekarang biar a
“Terus aku harus bagaimana dong?”Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.Ibu memandangku nyinyir.“Harusnya kamu itu ... ““Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyaw
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina
“Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?”Mas Mirza menegaskan kalimatnya.Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong.Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka.Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar.Meski dalam keadaan kami yang cukup