“Cukup ... !”
Aku menjadi kehilangan kendali.
Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.
“Kamu membentak ibu?!”
Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.
Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.
“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”
Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.
Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.
“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... “
“Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas. Sekarang biar aku saja yang melakukannya.”
Mas Mirza langsung melangkah menuju almari es, tapi nyatanya ibu malah berdecih kesal.
“Sudah nggak usah, biar aku makan di luar saja. Untungnya kemarin anakku Sharma ngasih aku uang. Nggak seperti kamu Nia yang sekarang sudah jarang ngasih aku uang.”
Ketika mendengar ucapan ibu, kepalaku semakin terasa berdenyut.
Aku tidak menahannya hingga ibu memilih pergi begitu saja meninggalkan rumah, entah akan pergi ke mana. Aku berusaha untuk tak terlalu mengkhawatirkan beliau karena aku masih terkukung dengan rasa tak enak di tubuhku.
Sampai akhirnya Mas Mirza mendekat dan mengusap punggungku dengan lembut.
“Ayo sebaiknya kamu beristirahat di kamar, aku akan buatkan kamu teh tawar hangat.
“Nggak usah Mas, biar aku sendiri yang membuatnya, Mas bersiap saja ke pasar.”
Suamiku yang selalu saja menunjukkan perhatiannya yang besar itu menggeleng tegas, jelas tak bisa mengabaikan keadaanku yang sedang sangat lemah sekarang.
“Kesehatan kamu lebih penting, biar aku di rumah saja untuk menjaga kamu.”
Sekarang Mas Mirza sudah bersimpuh di dekatku, yang sedang duduk di atas kursi meja makan.
“Mas, aku baik-baik saja, sakitku ini karena aku sedang mengandung, lama-lama tubuhku bisa menyesuaikan diri. Sebaiknya Mas ke pasar, banyak keperluan yang harus dicukupi saat ini. Bahkan kita juga harus menabung untuk biaya persalinan nanti.”
Aku menatap lurus wajah Mas Mirza, wajah suamiku yang sekarang tampak digayuti beban yang sarat.
Lelaki yang aku cintai itu lalu menarik nafas panjang, seakan membenarkan semua ucapanku.
Tatapannya segera berubah luruh memandangku dengan penuh arti.
“Kamu benar, saat ini aku memang harus berusaha lebih keras, tapi ... “
Mas Mirza kembali memandangku dengan gurat duka di wajahnya yang terumbar lugas.
Aku hanya bisa memandangnya menunggu melanjutkan kalimat.
“Aku juga tak tega meninggalkan kamu sendirian, dengan keadaan kamu yang seperti ini. Jika saja kita masih memiliki sedikit pegangan seperti dulu, aku pasti akan mempekerjakan seseorang untuk menjaga toko, dan aku bisa selalu berada di sisimu.”
“Mas, jangan seperti ini, justru seharusnya kita bersyukur dengan keadaan kita sekarang. Bukankah Allah sudah mengabulkan doa kita hingga aku akhirnya hamil seperti keinginan kita selama ini?”
Mas Mirza kembali menarik nafas dalam.
“Tapi aku tak pernah menyangka kalau segalanya akan menjadi sulit seperti ini.”
“Mas sendiri yang mengatakan kalau kita harus mensyukuri kehamilanku ini, dan Mas juga yang bilang kalau aku pasti bisa melakukannya, sebagaimana wanita lain yang sudah pernah menghadirkan kehidupan baru ke dunia dari dalam rahimnya.”
Aku berusaha meyakinkan suamiku yang sekarang malah menatapku dengan penuh keraguan.
“Entah mengapa sekarang aku malah takut, Nia ... “
“Apa yang Mas takutkan?”
Aku mengernyit bingung.
“Aku takut terjadi sesuatu sama kamu, dan aku ... “
Mas Mirza kembali menatapku sangat lekat.
“Aku takut kehilangan kamu Nia.”
Aku terdiam. Kecemasan menghinggapi perlahan, tapi segera aku menggumamkan dzikir, mengagungkan Tuhan yang sudah menggariskan takdir kami.
Nyatanya aku bisa segera meraih sebentuk ketegaran, hingga aku bisa menyuguhkan segaris senyuman yang dengan cepat kemudian berubah menjadi kekehan ringan.
Mas Mirza mengernyit tak paham.
“Kenapa kamu malah tertawa?”
Aku tersenyum kian lebar.
“Mas, kamu makin tua kok makin bucin sih sama aku.”
Suamiku langsung mendesah jengah meski senyumnya kemudian juga turut terunggah.
Aku lalu menangkup kedua pipi suamiku dan memandangnya lekat, masih dengan senyuman yang lugas tersaji.
“Percayalah aku akan baik-baik saja, karena aku nggak mau suamiku yang ganteng ini dimiliki oleh wanita lain dulu. Aku nggak bakal pergi dulu selama kamu masih seganteng ini.”
Mas Mirza menanggapi kegombalanku dengan cebikan datar.
“Aku ini sudah tua, sekarang kamu sendiri yang malah jadi bucin.”
Aku kembali tergelak ketika mendengar ucapan suamiku.
Nyatanya Mas Mirza kemudian juga tak bisa menahan tawanya.
Dengan cara kami sendiri kami akhirnya bisa menghalau kegelisahan dan kesedihan. Karena hati ini akan selalu kami sandarkan pada Dia yang menguasai seluruh alam semesta.
***
“Jadi kamu tetap bersikeras untuk mempertahankan kehamilan kamu itu?” tanya ibu lugas ketika kami hanya berdua di dalam rumah.
Aku yang sedang santai sembari menonton siaran televisi, segera mengalihkan perhatian pada ibu yang baru saja datang dan langsung duduk di dekatku.
Aku tak langsung menanggapi ucapan ibu, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa Ibu sudah sarapan?”
Ibu malah menatapku jengah.
“Aku mau sarapan atau tidak, sekarang kamu kan udah nggak peduli lagi.”
Aku mengulas senyuman tipis.
“Kalau nanti aku sehat lagi, aku pasti akan memasak lagi buat Ibu. Ngomong-ngomong Ibu mau aku masakkan apa?”
Ibu malah menyergapku dengan tatapan lugas.
“Kok kita malah membahas masakan sih.”
Ibu mencebik kesal.
Wanita sepuh yang deretan gigi depannya tak lagi utuh itu langsung menyergapku dengan tatapan tajam. Semakin bertambahnya usia ibu, kelogisan berpikir ibu juga sedikit terkikis. Sebagai seorang anak jelas aku harus bisa memahami keadaannya yang memang sangat alamiah ini. Karena pada akhirnya dan mungkin sebentar lagi aku akan mengalaminya.
Sekarang saja usiaku sudah lebih dari 50 tahun, dan aku sudah mulai merasakan tanda-tanda penuaan dengan tumbuhnya beberapa helai uban di rambutku meski kemunculannya berada di area tertutup.
“Lha emangnya tadi Ibu mau ngomong apa?”
Ibu menyergah sengit.
“Tentang kehamilan kamu itu.”
Ibu melirik ke arah perutku yang masih terlihat rata.
“Kamu itu terbilang cantik di usia kamu yang sudah tidak muda lagi. Bahkan teman-teman sepantaran kamu banyak yang sudah kayak nenek-nenek.”
Aku mengalihkan perhatianku pada ibu mengabaikan tayangan televisi yang sebelumnya aku tonton.
“Mereka kan memang sudah nenek-nenek karena mereka ada yang sudah punya cucu. Aku juga sudah nenek-nenek kalau ada keponakanku yang sudah punya anak nanti.”
Meski begitu aku tetap mengunggah sebongkah kesabaran untuk menghadapi ibuku yang sering bersikap sangat menyebalkan.
“Kamu itu cantik karena kamu nggak dipusingkan dengan anak-anak Nia. Kamu sadar nggak itu Nia?”
Aku menarik nafas panjang segera bisa menangkap arah pembicaraan ini.
Wajah ibu masih saja menyajikan kesebalan.
“Harusnya kamu itu nggak perlu hamil Nia. Lihatlah sekarang saja kamu jadi lebih sering sakit, nggak bisa makan enak, juga nggak lagi berdandan.”
Ibu memindai seluruh diriku yang memang saat ini aku tampil sangat polos tanpa riasan bahkan hanya memakai daster biasa yang warnanya sudah agak memudar.
“Tapi sekarang aku terlanjur hamil Bu.”
Aku berucap dengan datar dan membalas pindaian mata ibu dengan lebih lugas.
“Terus aku harus bagaimana dong?”
***
“Terus aku harus bagaimana dong?”Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.Ibu memandangku nyinyir.“Harusnya kamu itu ... ““Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyaw
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina
“Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?”Mas Mirza menegaskan kalimatnya.Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong.Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka.Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar.Meski dalam keadaan kami yang cukup
“Mas ... !”Mas Mirza langsung melirikku tapi saat melihat dadanya yang naik turun aku bisa menduga kalau amarahnya saat ini belum sepenuhnya mereda.Tatapannya kemudian nyalang terarah pada ketiga adiknya yang sudah begitu kelewatan.“Mas, kamu dan Mbak Nia kan nggak punya anak, jadi sudah sewajarnya kalau Mas memberikan warisan pada anak-anak kami. Salah Mas sendiri yang masih bertahan dengan wanita mandul, jadi sampai tua Mas nggak punya keturunan.”Arman kian sarkas mengomentari.Telingaku sudah sangat panas mendengarnya.Pun dengan Mas Mirza yang sekarang tampaknya sudah tak bisa menahan diri.“Siapa bilang Nia mandul, istriku bukan wanita mandul, bahkan sekarang kami sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.”Aku hanya bisa mendesah panjang ketika akhirnya Mas Mirza mulai