“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.
Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.
Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.
Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.
“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”
Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.
“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantinya.”
Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi mereka. Meski kemudian beberapa omongan dari para wanita yang sedang berada di dalam warung ini, entah untuk belanja atau hanya untuk sekedar mendengar gosip terhangat saja, mulai terdengar semakin santer.
“Tapi Jeng Nia kok bisa hamil ya?”
“Jeng Nia kan wanita mandul?”
“Jeng Nia sudah nggak muda lagi lho nggak pantas kalau hamil karena sudah tua dan seharusnya sangat tidak disarankan untuk hamil.”
“Terus kalau nanti anaknya lahir, manggilnya apa ya? Soalnya aku yang sepantaran dengan Jeng malah sudah punya cucu,” celetuk seorang wanita paruh baya yang wajahnya sudah dipenuhi keriput.
“Jangan-jangan nanti anaknya malah nganggap Jeng Nia sebagai neneknya lagi.”
Kali ini Cici ikut menimpali.
“Ya nggak juga kali Ci, Jeng Nia ini kan masih kelihatan cantik, wajahnya aja masih kenceng nggak kayak kamu Mak Janah, yang sudah keriput dan peyot karena gigi Mak Janah sudah banyak yang copot.” Mbak Narti lagi-lagi mengeluarkan pernyataan yang terdengar seperti membelaku.
Padahal aku tahu jelas kalau wanita pemilik warung ini sedang berusaha untuk menjilatku agar aku tetap setia menjadi pelanggan warungnya.
Dulu sewaktu keadaan ekonomi kami berjalan baik, aku sering menggelar acara besar dan selalu memborong sayur dagangan Mbak Narti.
Wanita itu pikir kali ini aku datang memborong lagi.
Tapi aku memilih untuk mengabaikan cecaran semua orang yang terlalu mencampuri urusanku itu.
Segera aku meminta Mbak Narti untuk menghitung belanjaanku.
Seperti dugaanku aku malah ditanggapi nyinyir oleh pemilik warung yang selalu suka memakai gelang emas berjejer hingga menutupi pergelangan tangan.
“Cuma segini aja belanjanya Jeng?”
“Iya Mbak,” jawabku datar.
Dengan sedikit kecewa wanita berusia awal 30 an itu mulai menghitung belanjaanku yang tidak seberapa.
Saat aku menunggu, Mak Janah memanfaatkan kesempatan itu untuk mencecarku lagi.
“Emang sih Ti, sekarang Jeng Nia keliatan masih cantik, tapi lihat deh kalau nanti udah punya anak, pasti keliatan beda. Dia akan jadi kayak aku, jadi tua, karena anak bisa menyedot kekuatan dan kecantikan seorang wanita. Dia bakal nggak bisa punya waktu buat merawat diri. Nggak bakal punya waktu buat pakai skincare atau ikutan senam biar langsing. Bisa-bisa tanpa semua itu Jeng Nia nanti akan keliatan langsung bukan lagi langsing ... “
Ucapan Mak Janah yang panjang lebar malah memancing tawa semua orang.
Aku sangat kesal kenapa aku harus memiliki tetangga toxic seperti mereka. Selalu saja nyinyir dengan hidupku. Saat aku belum bisa hamil aku sangat kenyang menjadi bahan gunjingan mereka. Pas sekarang hamil juga masih saja dibicarakan, bahkan mereka sekarang ngomong langsung di depanku tentang kehamilanku yang mereka bilang sangat tidak pantas.
Meski aku tak mau mendengarkan ucapan wanita paruh baya yang kedua pipinya tampak sangat kendur itu, nyatanya aku merasa sedikit terpengaruh juga. Apa nanti setelah melahirkan keadaanku akan menjadi sangat menyedihkan. Padahal semua yang diomongkan wanita itu tentang diriku sama sekali tidak benar. Sudah sangat lama aku tak memakai skincare, sejak usaha kami mengalami kemunduran dan aku sama sekali tak pernah ikut senam atau kegiatan semacam itu untuk menjaga kelangsingan tubuhku.
Kecantikanku semata adalah anugerah dari Tuhan yang memang sangat aku syukuri, bahkan bentuk tubuhku yang tidak gampang melar ini, benar-benar alami yang membuatku lebih tampak awet muda.
“Jeng jadi sekarang usia kandungannya sudah jalan berapa bulan? Kok belum kelihatan ya perutnya?”
Wanita yang biasa dipanggil Mak Janah itu kembali bertanya.
Walau tak senyinyir tadi dan terdengar wajar, aku masih tetap harus menata hatiku agar tak terlalu terbawa rasa emosional.
“Baru jalan tiga bulan,” jawabku datar.
“Nanti kalau tujuh bulanan pasti bikin acara yang meriah ya Jeng, kan anak pertama, juga nunggunya lama lagi. Jadi nggak sabar untuk diundang,” celetuk Mak Janah lagi.
Aku hanya mengulas senyuman tipis sembari membayar belanjaanku dengan segera.
Aku agak malas menjawab, karena memang aku dan Mas Mirza bahkan belum sampai memikirkan tentang acara seperti itu.
Perhatian kami saat ini lebih tertuju tentang kehamilanku yang ternyata tak mudah untuk dijalani. Kekuatan tubuhku nyaris tersedot karena aku masih belum bisa mengkonsumsi banyak makanan.
Terlebih dengan kondisi toko kami yang akhir-akhir ini semakin sepi. Rasanya aku menjadi pesimis meski hati kecilku tetap tak membenarkannya.
“Insya Allah ... “
Aku hanya menjawab sekedarnya saja.
“Saya permisi dulu ya Ibu-ibu,” ucapku setelah membayar belanjaan yang nggak sampai tiga puluh ribu itu.
Bergegas aku melangkah pergi sebelum telingaku mendengar pertanyaan nyinyir lain kenapa aku hanya belanja sangat sedikit.
Aku sungguh tak menyangka kalau keadaan kami sekarang menjadi terasa sangat berat, terlebih setelah aku bertemu dengan para tetangga julid yang memiliki jiwa kepo yang terlalu maksimal.
***
{“Assalamualaikum, apa kabar Mbak?”} sapa Sharma adikku nomor dua yang sekarang tinggal di Kalimantan, menjadi pemborong di pulau penghasil batu bara terbesar itu.
{“Wa’alaikumsalam, kabar baik Ma. Kamu sendiri gimana? Kemarin nggak ada kendala apapun kan saat perjalanan pulang?”} Ganti aku menanyakan kabar adikku yang sekarang memang sudah kembali ke Kalimantan tepatnya di Balikpapan, setelah beberapa saat lalu sempat pulang untuk mengunjungi ibu yang memilih untuk tinggal bersamaku.
{“Alhamdulillah semuanya lancar, bahkan besoknya aku bisa langsung ke kantor. Eh ... ngomong-ngomong aku mau kasih selamat nih sama Mbak sekaligus mau kasih kejutan sama Mbak.”}
Tanpa sadar aku mengernyitkan kening.
{“Selamat untuk apa?”}
Aku bertanya lugas.
{“Selamat untuk kehamilannya Mbak.”}
Aku terkekeh sejenak menjawab ucapan selamat dari adikku itu.
{“Terima kasih.”}
Setelah itu aku kemudian kembali bertanya.
{“Oh iya katanya tadi juga mau kasih kejutan, emangnya kejutan apa?”}
***
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina
“Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?”Mas Mirza menegaskan kalimatnya.Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong.Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka.Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar.Meski dalam keadaan kami yang cukup
“Mas ... !”Mas Mirza langsung melirikku tapi saat melihat dadanya yang naik turun aku bisa menduga kalau amarahnya saat ini belum sepenuhnya mereda.Tatapannya kemudian nyalang terarah pada ketiga adiknya yang sudah begitu kelewatan.“Mas, kamu dan Mbak Nia kan nggak punya anak, jadi sudah sewajarnya kalau Mas memberikan warisan pada anak-anak kami. Salah Mas sendiri yang masih bertahan dengan wanita mandul, jadi sampai tua Mas nggak punya keturunan.”Arman kian sarkas mengomentari.Telingaku sudah sangat panas mendengarnya.Pun dengan Mas Mirza yang sekarang tampaknya sudah tak bisa menahan diri.“Siapa bilang Nia mandul, istriku bukan wanita mandul, bahkan sekarang kami sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.”Aku hanya bisa mendesah panjang ketika akhirnya Mas Mirza mulai
“Apa kalian melakukan program bayi tabung, hingga Mbak Nia bisa hamil?” cecar Dina pada kami ketika pengunjung terakhir toko kami sudah berlalu.Aku tak segera menjawab malah menatap pada Mas Mirza dengan lurus. Kali ini entah perkara apalagi yang akan dibuat oleh adik bungsu suamiku itu.Mas Mirza menanggapi dengan jengah, tampak enggan untuk menjawab apapun.“Mas Mirza selalu bilang tak memiliki uang, dan sering ngomong kalau toko tak seramai dulu, tapi kalian malah bisa melakukan program bayi tabung dengan tanpa banyak pertimbangan, di saat aku sedang membutuhkan banyak uang untuk sekolah anak-anakku.”Dina selalu saja menjadikan anak-anaknya sebagai alasan.Riska dan Danny adalah anak-anak baik yang seringkali membongkar kebusukan ibunya sendiri. Bahkan terakhir Riska mengatakan padaku kalau dia berhasil mendapatkan program beasiswa, jadi
“Soal apa sih?” tanyaku menjadi penasaran.“Soal suaminya Jeng Nia yang mereka bilang akan jatuh bangkrut.”Aku menarik nafas panjang.Mereka pasti selama ini mengamati perubahan di dalam rumah tangga kami. Tentang aku yang menjadi sangat jarang memborong banyak belanjaan di tokonya Narti, menyumbang sekedarnya saja saat ada tarikan sumbangan, tak lagi mengadakan acara makan-makan setiap satu bulan sekali di malam jumat untuk acara rutin kirim doa. Juga banyak hal lagi lainnya yang sekarang memang tak lagi aku dan Mas Mirza lakukan demi bisa mengatur keuangan keluarga kami dengan baik.Aku terdiam sejenak kemudian memilih menggelengkan kepala saja tanpa berkomentar apapun.Sampai akhirnya arisan dimulai dan dikocok lalu namaku disebut.“Bu Mirza yang dapat!” seru Ibu RT yang juga ketua PKK kampung kami.