Share

8. Ocehan Tetangga

Author: Mastuti Rheny
last update Last Updated: 2023-06-12 15:41:40

“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.

Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.

Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.

Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.

“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”

Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.

“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong  Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantinya.”

Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi mereka. Meski kemudian beberapa omongan dari para wanita yang sedang berada di dalam warung ini, entah untuk belanja atau hanya untuk sekedar mendengar gosip terhangat saja, mulai terdengar semakin santer.

“Tapi Jeng Nia kok bisa hamil ya?”

“Jeng Nia kan wanita mandul?”

“Jeng Nia sudah nggak muda lagi lho nggak pantas kalau hamil karena sudah tua dan seharusnya sangat tidak disarankan untuk hamil.”

“Terus kalau nanti anaknya lahir, manggilnya apa ya? Soalnya aku yang sepantaran dengan Jeng malah sudah punya cucu,” celetuk seorang wanita paruh baya yang wajahnya sudah dipenuhi keriput.

“Jangan-jangan nanti anaknya malah nganggap Jeng Nia sebagai neneknya lagi.”

Kali ini Cici ikut menimpali.

“Ya nggak juga kali Ci, Jeng Nia ini kan masih kelihatan cantik, wajahnya aja masih kenceng nggak kayak kamu Mak Janah, yang sudah keriput dan peyot karena gigi Mak Janah sudah banyak yang copot.” Mbak Narti lagi-lagi mengeluarkan pernyataan yang terdengar seperti membelaku.

Padahal aku tahu jelas kalau wanita pemilik warung ini sedang berusaha untuk menjilatku agar aku tetap setia menjadi pelanggan warungnya.

Dulu sewaktu keadaan ekonomi kami berjalan baik, aku sering menggelar acara besar dan selalu memborong sayur dagangan Mbak Narti.

Wanita itu pikir kali ini aku datang memborong lagi.

Tapi aku memilih untuk mengabaikan cecaran semua orang yang terlalu mencampuri urusanku itu.

Segera aku meminta Mbak Narti untuk menghitung belanjaanku.

Seperti dugaanku aku malah ditanggapi nyinyir oleh pemilik warung yang selalu suka memakai gelang emas berjejer hingga menutupi pergelangan tangan.

“Cuma segini aja belanjanya Jeng?”

“Iya Mbak,” jawabku datar.

Dengan sedikit kecewa wanita berusia awal 30 an itu mulai menghitung belanjaanku yang tidak seberapa.

Saat aku menunggu, Mak Janah memanfaatkan kesempatan itu untuk mencecarku lagi.

“Emang sih Ti, sekarang Jeng Nia keliatan masih cantik, tapi lihat deh kalau nanti udah punya anak, pasti keliatan beda. Dia akan jadi kayak aku, jadi tua, karena anak bisa menyedot kekuatan dan kecantikan seorang wanita. Dia bakal nggak bisa punya waktu buat merawat diri. Nggak bakal punya waktu buat pakai skincare atau ikutan senam biar langsing. Bisa-bisa tanpa semua itu Jeng Nia nanti akan keliatan langsung bukan lagi langsing ... “

Ucapan Mak Janah yang panjang lebar malah memancing tawa semua orang.

Aku sangat kesal kenapa aku harus memiliki tetangga toxic seperti mereka. Selalu saja nyinyir dengan hidupku. Saat aku belum bisa hamil aku sangat kenyang menjadi bahan gunjingan mereka. Pas sekarang hamil juga masih saja dibicarakan, bahkan mereka sekarang ngomong langsung di depanku tentang kehamilanku yang mereka bilang sangat tidak pantas.

Meski aku tak mau mendengarkan ucapan wanita paruh baya yang kedua pipinya tampak sangat kendur itu, nyatanya aku merasa sedikit terpengaruh juga. Apa nanti setelah melahirkan keadaanku akan menjadi sangat menyedihkan. Padahal semua yang diomongkan wanita itu tentang diriku sama sekali tidak benar. Sudah sangat lama aku tak memakai skincare, sejak usaha kami mengalami kemunduran dan aku sama sekali tak pernah ikut senam atau kegiatan semacam itu untuk menjaga kelangsingan tubuhku.

Kecantikanku semata adalah anugerah dari Tuhan yang memang sangat aku syukuri, bahkan bentuk tubuhku yang tidak gampang melar ini, benar-benar alami yang membuatku lebih tampak awet muda.

“Jeng jadi sekarang usia kandungannya sudah jalan berapa bulan? Kok belum kelihatan ya perutnya?”

Wanita yang biasa dipanggil Mak Janah itu kembali bertanya.

Walau tak senyinyir tadi dan terdengar wajar, aku masih tetap harus menata hatiku agar tak terlalu terbawa rasa emosional.

“Baru jalan tiga bulan,” jawabku datar.

“Nanti kalau tujuh bulanan pasti bikin acara yang meriah ya Jeng, kan anak pertama, juga nunggunya lama lagi. Jadi nggak sabar untuk diundang,” celetuk Mak Janah lagi.

Aku hanya mengulas senyuman tipis sembari membayar belanjaanku dengan segera.

Aku agak malas menjawab, karena memang aku dan Mas Mirza bahkan belum sampai memikirkan tentang acara seperti itu.

Perhatian kami saat ini lebih tertuju tentang kehamilanku yang ternyata tak mudah untuk dijalani. Kekuatan tubuhku nyaris tersedot karena aku masih belum bisa mengkonsumsi banyak makanan.

Terlebih dengan kondisi toko kami yang akhir-akhir ini semakin sepi. Rasanya aku menjadi pesimis meski hati kecilku tetap tak membenarkannya.

“Insya Allah ... “

Aku hanya menjawab sekedarnya saja.

“Saya permisi dulu ya Ibu-ibu,” ucapku setelah membayar belanjaan yang nggak sampai tiga puluh ribu itu.

Bergegas aku melangkah pergi sebelum telingaku mendengar pertanyaan nyinyir lain kenapa aku hanya belanja sangat sedikit.

Aku sungguh tak menyangka kalau keadaan kami sekarang menjadi terasa sangat berat, terlebih setelah aku bertemu dengan para tetangga julid yang memiliki jiwa kepo yang terlalu maksimal.

***

{“Assalamualaikum, apa kabar Mbak?”} sapa Sharma adikku nomor dua yang sekarang tinggal di Kalimantan, menjadi pemborong di pulau penghasil batu bara terbesar itu.

{“Wa’alaikumsalam, kabar baik Ma. Kamu sendiri gimana? Kemarin nggak ada kendala apapun kan saat perjalanan pulang?”} Ganti aku menanyakan kabar adikku yang sekarang memang sudah kembali ke Kalimantan tepatnya di Balikpapan, setelah beberapa saat lalu sempat pulang untuk mengunjungi ibu yang memilih untuk tinggal bersamaku.

{“Alhamdulillah semuanya lancar, bahkan besoknya aku bisa langsung ke kantor. Eh ... ngomong-ngomong aku mau kasih selamat nih sama Mbak sekaligus mau kasih kejutan sama Mbak.”}

Tanpa sadar aku mengernyitkan kening.

{“Selamat untuk apa?”}

Aku bertanya lugas.

{“Selamat untuk kehamilannya Mbak.”}

Aku terkekeh sejenak menjawab ucapan selamat dari adikku itu.

{“Terima kasih.”}

Setelah itu aku kemudian kembali bertanya.

{“Oh iya katanya tadi juga mau kasih kejutan, emangnya kejutan apa?”}

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uyay Kim Song
ibunya stres
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   9. Sesumbar Uang Sumbangan

    {“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak

    Last Updated : 2023-06-13
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   10. Rencana Lain

    “Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m

    Last Updated : 2023-06-13
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   11. Enggan Dibilang Miskin

    “Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”

    Last Updated : 2023-06-14
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   12. Adik Ipar Nyinyir

    “Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina

    Last Updated : 2023-06-15
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   13. Menuntut Warisan

    “Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?”Mas Mirza menegaskan kalimatnya.Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong.Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka.Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar.Meski dalam keadaan kami yang cukup

    Last Updated : 2023-06-16
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   14. Istriku Bukan Wanita Mandul

    “Mas ... !”Mas Mirza langsung melirikku tapi saat melihat dadanya yang naik turun aku bisa menduga kalau amarahnya saat ini belum sepenuhnya mereda.Tatapannya kemudian nyalang terarah pada ketiga adiknya yang sudah begitu kelewatan.“Mas, kamu dan Mbak Nia kan nggak punya anak, jadi sudah sewajarnya kalau Mas memberikan warisan pada anak-anak kami. Salah Mas sendiri yang masih bertahan dengan wanita mandul, jadi sampai tua Mas nggak punya keturunan.”Arman kian sarkas mengomentari.Telingaku sudah sangat panas mendengarnya.Pun dengan Mas Mirza yang sekarang tampaknya sudah tak bisa menahan diri.“Siapa bilang Nia mandul, istriku bukan wanita mandul, bahkan sekarang kami sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.”Aku hanya bisa mendesah panjang ketika akhirnya Mas Mirza mulai

    Last Updated : 2023-06-17
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   15. Gunjingan Yang Terus Bergulir

    “Apa kalian melakukan program bayi tabung, hingga Mbak Nia bisa hamil?” cecar Dina pada kami ketika pengunjung terakhir toko kami sudah berlalu.Aku tak segera menjawab malah menatap pada Mas Mirza dengan lurus. Kali ini entah perkara apalagi yang akan dibuat oleh adik bungsu suamiku itu.Mas Mirza menanggapi dengan jengah, tampak enggan untuk menjawab apapun.“Mas Mirza selalu bilang tak memiliki uang, dan sering ngomong kalau toko tak seramai dulu, tapi kalian malah bisa melakukan program bayi tabung dengan tanpa banyak pertimbangan, di saat aku sedang membutuhkan banyak uang untuk sekolah anak-anakku.”Dina selalu saja menjadikan anak-anaknya sebagai alasan.Riska dan Danny adalah anak-anak baik yang seringkali membongkar kebusukan ibunya sendiri. Bahkan terakhir Riska mengatakan padaku kalau dia berhasil mendapatkan program beasiswa, jadi

    Last Updated : 2023-06-17
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   16. Membayar Doa

    “Soal apa sih?” tanyaku menjadi penasaran.“Soal suaminya Jeng Nia yang mereka bilang akan jatuh bangkrut.”Aku menarik nafas panjang.Mereka pasti selama ini mengamati perubahan di dalam rumah tangga kami. Tentang aku yang menjadi sangat jarang memborong banyak belanjaan di tokonya Narti, menyumbang sekedarnya saja saat ada tarikan sumbangan, tak lagi mengadakan acara makan-makan setiap satu bulan sekali di malam jumat untuk acara rutin kirim doa. Juga banyak hal lagi lainnya yang sekarang memang tak lagi aku dan Mas Mirza lakukan demi bisa mengatur keuangan keluarga kami dengan baik.Aku terdiam sejenak kemudian memilih menggelengkan kepala saja tanpa berkomentar apapun.Sampai akhirnya arisan dimulai dan dikocok lalu namaku disebut.“Bu Mirza yang dapat!” seru Ibu RT yang juga ketua PKK kampung kami.

    Last Updated : 2023-06-18

Latest chapter

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   109. Dalam Ketidakpastian

    Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   108. Diambang Perpisahan

    “Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   107. Masuk Pesantren

    “Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   106. Perasaan Riska

    Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   105. Keinginan Suamiku

    Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   104. Sikap Ganjil Herlambang

    “Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   103. Fakta Lain Tentang Didit

    “Kenapa kamu berkata seperti itu?”Aku menjadi penasaran dengan apa yang dikatakan Danar. Aku merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku saat ini.Pria muda yang juga mewarisi kesempurnaan wajah ibunya itu meski kakaknya memiliki wajah yang lebih mirip sang ibu itu malah mendesah panjang.“Mas Didit mungkin tidak akan berubah karena di dalam penjara dia masih saja menjadi pemadat, karena benda haram itu semakin mudah didapat di dalam sana.”Aku terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Danar. Keponakanku itu mengunggah wajah sedihnya yang menunjukkan rasa prihatin atas keadaan sang kakak.“Apa benar yang kamu katakan ini?”“Kurasa Budhe sudah banyak mendengar berita seperti ini di berbagai media,”gumam Danar.Ganti aku yang menarik nafas panjang menjadi tak bisa berk

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   102. Rencana Masa Depan

    “Katakan saja apa permintaan kamu Nak?” Aku menunggu Riska mengatakan apa yang sedang diinginkannya saat ini. Tapi sekarang gadis yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menghadapi segala kepedihan hidup itu malah terlihat ragu saat melihatku. “Bantu aku untuk memisahkan diri dari Ibu,” tegas Riska kemudian. Aku terperangah sejenak, tapi kemudian bisa dengan segera memaklumi keinginannya yang barangkali wajar karena memang Riska hancur seperti ini karena ulah ibunya sendiri. Melihat aku diam tak langsung memberikan jawaban Riska kemudian malah memandangku dengan gelisah. “Budhe, aku tak mau hidupku hancur lagi jika Ibu sampai menemukan keberadaanku.” “Jadi ini juga menjadi alasan kamu untuk masuk ke pesantren?” “Tapi aku benar-benar ingin memperdalam ilmu agama Budhe,” tegas Riska pada akhirnya.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   101. Ketakutan Riska

    “Ayo Bu Nia, tunggu apalagi silakan masuk ....” Tatapan pria itu kian menegas seakan ingin memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Aku merasa tak memiliki pilihan lain yang membuatku akhirnya tetap menerima tumpangan pria itu hingga akhirnya aku sampai ke pabrik tempat usahaku selama ini berjalan. “Terima kasih banyak Pak untuk semua bantuannya,” ucapku sebelum aku keluar dari dalam mobilnya. Lagi-lagi Herlambang mengulas senyumnya. “Tak usah terlalu dipikirkan Bu Nia, oh iya soal pengacara buat mengawal kasusnya Riska, aku sudah melakukan koordinasi dengan beberapa pengacara langgananku, mereka bahkan sudah melakukan tugasnya untuk mengumpulkan semua bukti dengan mengajak dokter yang menangani Riska bekerjasama. Insya Allah kita bisa menyeret pelaku kekejaman pada Riska ke penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Herlambang berucap d

DMCA.com Protection Status