“Apa kalian melakukan program bayi tabung, hingga Mbak Nia bisa hamil?” cecar Dina pada kami ketika pengunjung terakhir toko kami sudah berlalu.
Aku tak segera menjawab malah menatap pada Mas Mirza dengan lurus. Kali ini entah perkara apalagi yang akan dibuat oleh adik bungsu suamiku itu.
Mas Mirza menanggapi dengan jengah, tampak enggan untuk menjawab apapun.
“Mas Mirza selalu bilang tak memiliki uang, dan sering ngomong kalau toko tak seramai dulu, tapi kalian malah bisa melakukan program bayi tabung dengan tanpa banyak pertimbangan, di saat aku sedang membutuhkan banyak uang untuk sekolah anak-anakku.”
Dina selalu saja menjadikan anak-anaknya sebagai alasan.
Riska dan Danny adalah anak-anak baik yang seringkali membongkar kebusukan ibunya sendiri. Bahkan terakhir Riska mengatakan padaku kalau dia berhasil mendapatkan program beasiswa, jadi
“Soal apa sih?” tanyaku menjadi penasaran.“Soal suaminya Jeng Nia yang mereka bilang akan jatuh bangkrut.”Aku menarik nafas panjang.Mereka pasti selama ini mengamati perubahan di dalam rumah tangga kami. Tentang aku yang menjadi sangat jarang memborong banyak belanjaan di tokonya Narti, menyumbang sekedarnya saja saat ada tarikan sumbangan, tak lagi mengadakan acara makan-makan setiap satu bulan sekali di malam jumat untuk acara rutin kirim doa. Juga banyak hal lagi lainnya yang sekarang memang tak lagi aku dan Mas Mirza lakukan demi bisa mengatur keuangan keluarga kami dengan baik.Aku terdiam sejenak kemudian memilih menggelengkan kepala saja tanpa berkomentar apapun.Sampai akhirnya arisan dimulai dan dikocok lalu namaku disebut.“Bu Mirza yang dapat!” seru Ibu RT yang juga ketua PKK kampung kami.
“Minta uang lagi buat apa Bu?” tanyaku jengah pada ibu yang kembali meminta uang saat kami baru saja pulang dari pasar.“Pakai nanya buat apa? Biasanya kamu itu nggak pernah nanya-nanya juga,” balas ibu dengan bersungut-sungut.Mas Mirza langsung menyentuh lembut pundakku berusaha untuk meredam emosiku yang sudah mulai meletup karena saat ini aku sudah menyergap ibuku sendiri dengan tatapan tajam.Saat bapak masih hidup dulu, beliau yang selalu menjadi sasaran keegoisan ibu, sekarang giliran aku yang harus merasakannya.Sejak dulu ibu memang tipikal orang yang manja dan egois. Segala permintaannya harus dipenuhi. Bapak yang selalu meratukan ibu, kala itu selalu bisa melakukannya, tapi sekarang aku, rasanya aku sudah nyaris kehilangan kesabaran.“Nia nanya baik-baik Bu.”Mas Mirza menatap lembut ke arah ibuku yang masih saja menampakkan wajah masamnya.“Ibu minta uang buat apalagi? Bukankah kemarin kami sudah memberinya saat Nia dapat arisan?”“Itu sudah habis, buat beli bedak dan make
“Katakan sebenarnya apa yang sedang terjadi?” tanya Mas Mirza tegas.Nyatanya Andika dan Arman malah memandang tajam ke arah Dina yang masih setia menunduk.Aku segera bisa menduga jika saat ini pasti Dina sudah membuat masalah.“Sebaiknya Mas tanyakan saja pada Dina,” tegas Andika kian menampakkan kegeraman pada adik bungsunya itu.Tatapan Mas Mirza segera beralih pada wanita bertubuh besar di dekatnya. Perawakan Dina memang berbeda dengan suamiku yang sejak muda memiliki tubuh proporsional. Wanita berumur menjelang 50 tahun itu setelah memiliki dua anak tubuhnya kian hari kian melar.“Ada apa Din?” tanyaku Mas Mirza baik-baik.Tapi Dina malah menanggapi pertanyaan suamiku dengan sikapnya yang culas.“Apa Mas mau menyalahkan aku juga? Iya begitu?!”Dina membentak dengan
“Mas, bagaimana Mas?”Dina kian mendesak.Sampai akhirnya suamiku menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala.Sontak Dina membeliakkan mata, menatap suamiku dengan sorot kecewa.“Kenapa Mas bisa berubah pelit seperti ini?”Dina langsung menyalahkan dengan sengit.Muchtar langsung mendekat berusaha menenangkan istrinya yang menjadi emosi.“Memang harusnya seperti itu,” sahut Arman cepat.Tatapan lelaki bertubuh gendut itu lalu mengarah pada Dina yang sekarang tampak berubah cemas.“Kalau Mas Mirza membantu Dina, kami jadi iri, selama ini Mas selalu saja membantu dia, melupakan aku dan Mas Andika yang sebenarnya juga membutuhkan bantuan.”Arman kemudian mecebik sinis.“Sebenarnya cuma sama aku saja Mas Mir
“Katakan saja syarat kamu Din?!” sergah Erna tak sabar.“Jangan seperti ini Umi, jangan terlalu keras,” ucap Andika berusaha menegur istrinya yang malah ditanggapi dengan tatapan nyalang dari Erna yang memang selalu kesal dengan sikap suaminya yang tidak pernah tegas.“Kamu itu sama kayak Mas Mirza selalu saja membela Dina yang semakin tidak tahu diri ini.”“Tapi kan Dina hutang juga karena terpaksa.”Andika malah membela adik bungsunya itu.Aku masih memilih diam, semakin lama semakin jengah mendengar perdebatan mereka. Tidak Dina, tidak juga Erna keduanya selalu saja tak pernah mau dikalahkan dan selalu saja menentang suami mereka.“Sudah aku bilang jangan bela Dina, dia itu makin lama makin ngelunjak kalau dia kita kasih hati.”Erna menampakkan kebencian yang teramat sangat pa
“Sekarang kamu jujur, kamu pasti menyesal kan sekarang? Iya Kan?”Arman kian menyudutkan Dina.Dina semakin murka yang membuat wanita itu menggebrak meja dengan keras.Semua orang langsung terkesiap.Aku bahkan sampai sedikit terlunjak ketika mendapati gebrakan Dina yang begitu keras.Mas Mirza langsung menggenggam tanganku lagi, mulai mencemaskan aku yang menjadi sangat kaget.“Sudahlah, kurasa kita sudah mendapatkan penyelesaian dari permasalahan Dina. Meski dengan berat hati kita harus terpaksa menjual rumah karena memang aku sudah tidak memiliki tabungan untuk menalangi rumah ini. Dina akan menyelesaikan hutangnya dengan uang hasil penjualan rumah, untuk tempat tinggal dia bersama keluarganya nanti, aku yang akan mencarikan Dina kontrakan.”Semua mendengarkan dengan seksama dan langsung memberi persetujuan.
“Apa itu Mas?”Aku mengernyit tipis.“Apa yang harus aku ketahui tentang kebahagiaan kita saat ini?”Mas Mirza malah menyunggingkan segaris senyuman, yang selalu mampu menghipnotisku membawa hatiku ke dalam sebuah rasa nyaman.“Bahwa Allah selalu mengirimkan anugerahnya di saat yang tepat.”Aku mengerutkan dahi, malah tak bisa memahami makna ucapan suamiku yang terkesan terlalu dalam itu.Padahal sebelumnya aku menerima anugerah ini dengan segala kebingungan yang meraja, karena memang calon buah hati kami hadir di saat kondisi perekonomian kami sedang turun.Aku malah disusupi ketakutan jika nantinya kami tidak bisa memberikan yang terbaik untuk calon anak kami nantinya. Tapi sekarang suamiku malah menyebut jika anugerah kehamilanku ini hadir di saat yang tepat.“Kenapa Mas me
“Aku pengen tahu bagaimana rasanya saat Ibu hamil aku dulu?”Aku kembali mengulangi pertanyaanku.Ibu mengernyitkan dahi tampak agak terkejut ketika mendengar pertanyaanku.“Kenapa kamu tanya gitu?”“Apa aku tidak boleh tahu pengalaman Ibu dulu? Ibu tahu sendiri kan kalau sekarang aku sedang hamil.”Ibu melirik lagi ke arah perutku yang sudah mulai terlihat membulat.“Dulu aku hamil kamu, aku masih muda, aku nggak sakit-sakitan kayak kamu.”Ibu masih saja melontarkan kalimatnya yang sarkas padaku.Aku tetap berusaha menghadapinya dengan sabar. Bahkan aku mulai mengembangkan senyumku.“Jadi pas Ibu hamil dulu, Ibu sama sekali nggak pernah merasa sakit?”Ibu lagi-lagi melirik ke arahku, tapi wanita itu kemudian menarik