“Aku pengen tahu bagaimana rasanya saat Ibu hamil aku dulu?”
Aku kembali mengulangi pertanyaanku.
Ibu mengernyitkan dahi tampak agak terkejut ketika mendengar pertanyaanku.
“Kenapa kamu tanya gitu?”
“Apa aku tidak boleh tahu pengalaman Ibu dulu? Ibu tahu sendiri kan kalau sekarang aku sedang hamil.”
Ibu melirik lagi ke arah perutku yang sudah mulai terlihat membulat.
“Dulu aku hamil kamu, aku masih muda, aku nggak sakit-sakitan kayak kamu.”
Ibu masih saja melontarkan kalimatnya yang sarkas padaku.
Aku tetap berusaha menghadapinya dengan sabar. Bahkan aku mulai mengembangkan senyumku.
“Jadi pas Ibu hamil dulu, Ibu sama sekali nggak pernah merasa sakit?”
Ibu lagi-lagi melirik ke arahku, tapi wanita itu kemudian menarik
"Kapan Mas akan ngasih aku uang buat bayar kontrakan?" sergah Dina semakin tegas.Aku mengernyit tajam ke arahnya. Dina terlihat begitu mendesak, yang membuatku malah curiga.Dengan semua kelakuan Dina yang sudah cukup aku kenal, membuatku tak lagi mudah untuk menaruh rasa percaya kepadanya.Bukan hanya sekali kami dibohongi, telah beberapa kali, Dina menipu kami.Terakhir Dina meminta uang dengan alasan untuk membayar uang sekolah Danny, tapi beberapa hari kemudian Riska malah mendatangi kami dengan mengatakan kalau sudah tiga bulan, adiknya itu belum membayar uang sekolah.Kalau kami tanyakan pada Dina, kenapa dia melakukan kebohongan itu, Dina pasti akan selalu menyalahkan Muchtar dan mengatakan kalau uang itu dipakai untuk berobat suaminya itu.Kami yang selalu menghindari perdebatan, memilih untuk tak memperpanjang masalah itu, mendiamkannya seperti yang sebelumnya selalu kami lakukan.Jadi saat Dina mendadak m
Pak Mirza, Bu Nia ... !”Seorang pemuda berlari mendekat dengan nafas tersengal.Aku melihatnya dengan hati berdebar dengan memendam firasat yang buruk.Ketika pemuda yang merupakan salah seoarang tetangga kami itu sudah berada di hadapanku, aku langsung bertanya.“Ada apa, Nuri?” tanyaku pada pemuda bertubuh ceking itu.Nuri tak langsung menjawab, masih menata nafasnya yang tersengal setelah berlari begitu jauh.Tak berselang lama Mas Mirza yang tadinya berada di dalam masjid ikut segera keluar bersama beberapa orang di sana.“Kamu itu kenapa Nuri, kok berlari kayak kesetanan gitu?” sergah salah seorang pria paruh baya yang sebelumnya ikut mengaji di dalam masjid.“Itu, itu ... Pak Mirza, pasar ... “Nuri malah menjadi tergagap sembari tangannya terus menunjuk-nunjuk ke arah selatan.“Kenapa memangnya? Ada apa dengan pasar?”Mas Mirza ikut membuka suara dan bertanya.“Itu Pak, pasar besar ... kebakaran!”Nuri berucap dengan terengah-engah.Aku yang mendengarnya langsung terkesiap.Ba
“Mas Mirza ... !”Rasanya jantungku sudah nyaris berhenti ketika melihat api di belakang suamiku kian dekat menjilat.Aku sudah menganggap jika tubuh suamiku pasti akan dilalap api yang berkobar yang sudah membakar apapun yang dilewatinya.Tapi di saat yang tepat mendadak beberapa orang petugas pemadam kebakaran dan petugas keamanan langsung menarik tubuh suamiku bersama dengan etalase besar yang sejak awal dipertahankan oleh suamiku.Mereka berhasil membawa suamiku menepi sembari menggeret etalase itu hingga sampai di luar bersama bapak-bapak tetangga kami yang sejak tadi memberikan pertolongan kepada kami.Dengan hati yang bercampur aduk aku langsung menyongsong suamiku dan menghambur ke dalam pelukannya.“Mas, kenapa kamu nekat sekali, Mas ... !”Aku meluapkan kekhawatiranku dengan memukuli dadanya. 
Setelah mendengar keterangan dari dokter jika kondisi kandunganku baik-baik saja, aku langsung menarik nafas lega sembari mengucap syukur.Di tengah kecamuk cobaan yang menerpa kami masih dianugerahi kebahagiaan.Walau semuanya kini berselimut dengan serba ketidakpastian, tapi aku tetap berusaha untuk memandang persoalan dengan positif.“Alhamdulillah keadaan bayi kita baik-baik saja, bahkan Dokter Mira tadi bilang kalau tinggal tiga bulan lagi kamu akan melahirkan.”Mas Mirza yang sejak awal selalu mendampingiku, tetap berusaha untuk membesarkan hatiku.“Lalu dari mana kita akan mendapatkan uang untuk biaya persalinan? Kita bahkan belum mengurus jaminan kesehatan, karena dulu Mas bilang kalau kita memakai kartu jaminan kesehatan saat untuk berobat kita tidak akan mendapatkan pelayanan yang baik, sementara dengan keadaan kita sekarang, kita sudah tidak memiliki
Mirza POVRasanya aku semakin tak kuasa melihat penderitaan istriku. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, secara tidak langsung aku memaksanya untuk bekerja lebih keras. Pontang-panting berusaha menawarkan dagangan kami yang tersisa, untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.Sementara saudara-saudara kandungku yang dulu tak pernah berhenti mendapatkan bantuan dariku sama sekali tak menjenguk dan memberikan uluran tangannya.Terlebih Arman yang dulu pernah aku pinjami sejumlah uang, sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.Saat aku meminjamkan uang pada adikku yang nomor tiga itu, Nia sama sekali tak mengetahuinya.Karena itu dengan diam-diam juga aku berusaha menagihnya dan uang itu akan aku gunakan untuk biaya persalinan istriku nanti.Dua hari sebelum lebaran aku mendatangi rumahnya sembari membawa barang dagangan yang baru saja selesai aku tawarkan
“Jadi sekarang katakan padaku, kapan kamu akan melunasi hutang kamu itu?”Aku kian mendesak, benar-benar mengabaikan tatapan kecewanya yang bisa aku jelas dari sorot kedua matanya.“Untuk sekarang aku masih belum punya uang.”“Kalau begitu kapan kamu punya uang?”Aku masih saja mendesak yang membuat Arman menyergapku dengan sorot matanya yang tajam penuh kekesalan.Aku benar-benar sudah tak mempedulikan semua itu.“Aku tidak meminta seluruhnya dalam waktu dekat ini, aku ingin kamu mencicilnya seberapapun yang kamu miliki.”“Tapi dalam waktu dekat ini, aku juga memiliki banyak kebutuhan.”“Sudah aku katakan cicillah berapapun semampu kamu karena aku memang benar-benar membutuhkan uang itu.”“Kenapa Mas Mirza nekan aku banget? Bukannya uang Mas Mirza juga dipinjam Andika kan? Tagih dia juga dong, kenapa cuma aku saja?”Arman semakin terlihat tidak terima.Aku benar-benar harus mengeluarkan segenap kesabaran menghadapi adikku yang sudah lama memperlakukan aku sebagai sapi perah mereka.S
“Kalau begitu katakan Ibu mau makan nasi apa?”Aku memilih mengalah untuk menghadapi mertuaku yang memang sejak dulu selalu banyak maunya.Kesabaran kami saat ini memang benar-benar sedang diuji. Karena nyatanya ibu memang tidak berubah meski dia tahu bahwa keadaan kami sudah tak lagi seperti dulu, serba kecukupan dan segala keinginannya bisa kami penuhi.Kini kami sedang ditimpa kesulitan, bahkan setelah kebakaran, kami benar-benar berada di dalam titik nadir. Seakan segala usaha yang sedang aku perjuangkan sama sekali sia-sia. Tadi saja saat aku berkeliling, tak ada satupun dagangan yang aku bawa laku terjual.Karena itu tadi aku berinisiatif mendatangi Arman dan meminta uang padanya. Sesuatu yang sekarang malah aku sesali karena tadi adikku itu malah memperlakukan aku seperti pengemis, padahal aku sedang meminta hakku sendiri.“Memangnya kamu punya uang untuk mengabulkan permintaanku? Sok-sokan nawari aku segala.”“Kalau cuma nasi uduk atau nasi padang aku akan membelikannya buat I
“Jadi Ibu mau pergi?”Shania bertanya dengan sangat tenang, sangat di luar perkiraanku, yang membuatku langsung menyergap istriku dengan tatapan bingung.“Nia, jangan seperti ini, nanti Ibu akan benar-benar pergi.”Aku berusaha menenangkan istriku yang tampak sudah kehilangan kesabaran.Sekarang Nia memilih diam malah memalingkan wajah sembari menarik nafas panjang. Tampak sudah sangat lelah menghadapi ujian yang terus menerus datang bertubi-tubi kepada kami, sekarang ditambah dengan sikap ibu yang selalu saja suka semaunya.“Kamu benar-benar menginginkan aku pergi?”Ibu langsung menatap tajam kepada Shania.“Kalau Ibu terus menerus mengeluh seperti ini memang sebaiknya ibu ikut bersama Sharma atau Shandy.”Shania kembali menegaskan perkataannya.Aku segera menghentikan ucapan istriku agar tak semakin menyinggung perasaan ibu.“Nia, jangan seperti ini,” sergahku berusaha menghentikan sikap istriku yang benar-benar lain dari biasanya.Shania sepertinya sudah kehilangan kesabaran mengha