Mirza POV
Rasanya aku semakin tak kuasa melihat penderitaan istriku. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, secara tidak langsung aku memaksanya untuk bekerja lebih keras. Pontang-panting berusaha menawarkan dagangan kami yang tersisa, untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.
Sementara saudara-saudara kandungku yang dulu tak pernah berhenti mendapatkan bantuan dariku sama sekali tak menjenguk dan memberikan uluran tangannya.
Terlebih Arman yang dulu pernah aku pinjami sejumlah uang, sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.
Saat aku meminjamkan uang pada adikku yang nomor tiga itu, Nia sama sekali tak mengetahuinya.
Karena itu dengan diam-diam juga aku berusaha menagihnya dan uang itu akan aku gunakan untuk biaya persalinan istriku nanti.
Dua hari sebelum lebaran aku mendatangi rumahnya sembari membawa barang dagangan yang baru saja selesai aku tawarkan
“Jadi sekarang katakan padaku, kapan kamu akan melunasi hutang kamu itu?”Aku kian mendesak, benar-benar mengabaikan tatapan kecewanya yang bisa aku jelas dari sorot kedua matanya.“Untuk sekarang aku masih belum punya uang.”“Kalau begitu kapan kamu punya uang?”Aku masih saja mendesak yang membuat Arman menyergapku dengan sorot matanya yang tajam penuh kekesalan.Aku benar-benar sudah tak mempedulikan semua itu.“Aku tidak meminta seluruhnya dalam waktu dekat ini, aku ingin kamu mencicilnya seberapapun yang kamu miliki.”“Tapi dalam waktu dekat ini, aku juga memiliki banyak kebutuhan.”“Sudah aku katakan cicillah berapapun semampu kamu karena aku memang benar-benar membutuhkan uang itu.”“Kenapa Mas Mirza nekan aku banget? Bukannya uang Mas Mirza juga dipinjam Andika kan? Tagih dia juga dong, kenapa cuma aku saja?”Arman semakin terlihat tidak terima.Aku benar-benar harus mengeluarkan segenap kesabaran menghadapi adikku yang sudah lama memperlakukan aku sebagai sapi perah mereka.S
“Kalau begitu katakan Ibu mau makan nasi apa?”Aku memilih mengalah untuk menghadapi mertuaku yang memang sejak dulu selalu banyak maunya.Kesabaran kami saat ini memang benar-benar sedang diuji. Karena nyatanya ibu memang tidak berubah meski dia tahu bahwa keadaan kami sudah tak lagi seperti dulu, serba kecukupan dan segala keinginannya bisa kami penuhi.Kini kami sedang ditimpa kesulitan, bahkan setelah kebakaran, kami benar-benar berada di dalam titik nadir. Seakan segala usaha yang sedang aku perjuangkan sama sekali sia-sia. Tadi saja saat aku berkeliling, tak ada satupun dagangan yang aku bawa laku terjual.Karena itu tadi aku berinisiatif mendatangi Arman dan meminta uang padanya. Sesuatu yang sekarang malah aku sesali karena tadi adikku itu malah memperlakukan aku seperti pengemis, padahal aku sedang meminta hakku sendiri.“Memangnya kamu punya uang untuk mengabulkan permintaanku? Sok-sokan nawari aku segala.”“Kalau cuma nasi uduk atau nasi padang aku akan membelikannya buat I
“Jadi Ibu mau pergi?”Shania bertanya dengan sangat tenang, sangat di luar perkiraanku, yang membuatku langsung menyergap istriku dengan tatapan bingung.“Nia, jangan seperti ini, nanti Ibu akan benar-benar pergi.”Aku berusaha menenangkan istriku yang tampak sudah kehilangan kesabaran.Sekarang Nia memilih diam malah memalingkan wajah sembari menarik nafas panjang. Tampak sudah sangat lelah menghadapi ujian yang terus menerus datang bertubi-tubi kepada kami, sekarang ditambah dengan sikap ibu yang selalu saja suka semaunya.“Kamu benar-benar menginginkan aku pergi?”Ibu langsung menatap tajam kepada Shania.“Kalau Ibu terus menerus mengeluh seperti ini memang sebaiknya ibu ikut bersama Sharma atau Shandy.”Shania kembali menegaskan perkataannya.Aku segera menghentikan ucapan istriku agar tak semakin menyinggung perasaan ibu.“Nia, jangan seperti ini,” sergahku berusaha menghentikan sikap istriku yang benar-benar lain dari biasanya.Shania sepertinya sudah kehilangan kesabaran mengha
“Menurutmu apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan uang itu?”Aku bertanya dengan nada pesimis.Shania langsung menatapku lurus, dengan sorot mata yang digayuti kecemasan.“Mas, kumohon jangan menyerah, walau sesulit apapun keadaan sejatinya selalu akan ada kemudahan. Percayalah kita pasti bisa menemukan jalan keluar.”Aku mulai mendesah panjang.“Seandainya kita tak pernah memakai uang pemberian Sharma pasti kita masih memiliki sedikit tabungan.”Aku semakin tak bisa menghempaskan penyesalanku.“Mas kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi jangan pernah menyesali apapun yang sudah terjadi,” ucap Shania tulus tampak sangat gigih berusaha untuk membesarkan hatiku.“Sebenarnya aku ada sebuah ide, tapi aku tetap harus meminta persetujuan da
“Siapa yang datang maghrib-maghrib begini?”Shania bertanya penuh rasa penasaran.Tanpa menjawab pertanyaan istriku aku langsung melangkah ke depan untuk membuka pintu demi mengetahui siapa yang bertamu saat maghrib seperti ini.Istriku dengan sigap mengikuti di belakang sembari membawa segelas air putih. Aku tahu dia bermaksud agar aku membatalkan puasaku terlebih dahulu sebelum menemui tamu yang datang ke rumah kami.Karena itu aku langsung meminum air yang disodorkan istriku terlebih dahulu sebelum membuka pintu.“Terima kasih, sayang,” ucapku saat bangkit dari duduk sembari menyerahkan gelas yang telah kosong kepada Shania.Setelah itu aku baru membuka pintu dan agak terkejut dengan kedatangan beberapa orang keluarga jauh kami, yang memang selalu datang setiap kali menjelang lebaran.Dadaku langsung terasa sesa
“Ada apa lagi Bu?” tanya Shania lembut menahan dirinya untuk tak terbawa kekesalan ibu.“Aku sudah memutuskan, kalau aku tidak akan ikut kalian lagi.”Ibu menegaskan ucapannya sembari duduk di dekat kami berdua.“Kalian sepertinya memang sudah miskin sekarang, ujian kalian terus datang bertubi-tubi. Aku miris melihatnya. Aku juga kesal ... “Ibu terus saja mengungkapkan isi hatinya dengan wajah bersungut-sungut.“Untuk yang tadi saja, kalau nggak aku yang ngasih mereka uang zakat, kalian pasti akan kelabakan mencari uang buat ngasih mereka. Aku tahu kalian sekarang sudah tidak memiliki uang lagi kan?”“Terima kasih Bu, karena tadi Ibu sudah menyelamatkan kami,” ucapku kemudian.“Kamu nggak usah ngomong, semua ini sebenarnya salah kamu sendiri. Kalau saja kamu mendengarku ke
Shania POVAku semakin tak habis pikir dengan adik iparku yang sejak awal tak pernah berhenti merecoki kami dengan tuntutannya untuk selalu dipinjami uang.Meski sekarang aku bersyukur karena sikap Mas Mirza yang sudah bisa lebih tegas pada adiknya yang dulu kerapkali selalu dikabulkan apapun permintaannya itu. Karena memang nyatanya untuk saat ini kami sudah tak memiliki apapun lagi.Setidaknya aku bisa bersyukur dan menarik nafas lega karena Mas Mirza semakin memberikan aku perhatian lebih, walau untuk saat ini kami masih kelimpungan untuk menyediakan uang sebagai persiapan persalinan.Sekarang ketika melihat adikku Sharma sudah datang bersama keluarganya menjelang hari lebaran, aku tak bisa menutupi rasa bahagiaku saat menyambutnya.Aku langsung mendekat mengabaikan keberadaan Dina di sini.Sementara ibu yang sudah terlebih dahulu menyadari kedatangan mere
“Jadi katakan siapa di antara kalian yang mau untuk menampungku?”Ibu kian tegas memandangi kedua adikku.Sebaliknya Sharma dan Shandy malah menatapku dengan bimbang.“Katakan apa yang bisa kami bantu Mbak. Aku tahu pasti Mbak Nia sedang kesusahan sekarang?”Sharma segera bertanya dengan penuh perhatian.Aku terpekur diam malah tak tahu harus berucap apa. Untuk beberapa saat aku kemudian melirik pada Mas Mirza yang juga hanya bisa membisu.“Mbak kamu itu sekarang sudah jatuh miskin, pas puasa-puasa saja aku cuma dikasih makan nasi bungkus sama Mbak kamu. Untung kalian masih ngirim uang buat aku jadi aku masih bisa beli makanan lainnya.”Ibu langsung menyahut dengan cepat dengan menyajikan segala kekesalan yang sekarang dia tumpahkan begitu gamblang kepada kedua adikku.Shandy kemudian langsung menatapku dengan penuh simpati.“Mbak nggak usah khawatir, aku akan membantu memberikan modal agar Mbak bisa membuka toko lagi.”Tanpa banyak pertimbangan adik bungsuku itu langsung menawarkan b