Shania POV
Aku semakin tak habis pikir dengan adik iparku yang sejak awal tak pernah berhenti merecoki kami dengan tuntutannya untuk selalu dipinjami uang.
Meski sekarang aku bersyukur karena sikap Mas Mirza yang sudah bisa lebih tegas pada adiknya yang dulu kerapkali selalu dikabulkan apapun permintaannya itu. Karena memang nyatanya untuk saat ini kami sudah tak memiliki apapun lagi.
Setidaknya aku bisa bersyukur dan menarik nafas lega karena Mas Mirza semakin memberikan aku perhatian lebih, walau untuk saat ini kami masih kelimpungan untuk menyediakan uang sebagai persiapan persalinan.
Sekarang ketika melihat adikku Sharma sudah datang bersama keluarganya menjelang hari lebaran, aku tak bisa menutupi rasa bahagiaku saat menyambutnya.
Aku langsung mendekat mengabaikan keberadaan Dina di sini.
Sementara ibu yang sudah terlebih dahulu menyadari kedatangan mere
“Jadi katakan siapa di antara kalian yang mau untuk menampungku?”Ibu kian tegas memandangi kedua adikku.Sebaliknya Sharma dan Shandy malah menatapku dengan bimbang.“Katakan apa yang bisa kami bantu Mbak. Aku tahu pasti Mbak Nia sedang kesusahan sekarang?”Sharma segera bertanya dengan penuh perhatian.Aku terpekur diam malah tak tahu harus berucap apa. Untuk beberapa saat aku kemudian melirik pada Mas Mirza yang juga hanya bisa membisu.“Mbak kamu itu sekarang sudah jatuh miskin, pas puasa-puasa saja aku cuma dikasih makan nasi bungkus sama Mbak kamu. Untung kalian masih ngirim uang buat aku jadi aku masih bisa beli makanan lainnya.”Ibu langsung menyahut dengan cepat dengan menyajikan segala kekesalan yang sekarang dia tumpahkan begitu gamblang kepada kedua adikku.Shandy kemudian langsung menatapku dengan penuh simpati.“Mbak nggak usah khawatir, aku akan membantu memberikan modal agar Mbak bisa membuka toko lagi.”Tanpa banyak pertimbangan adik bungsuku itu langsung menawarkan b
“Siapa yang kalian bilang anak pembawa sial?” Aku langsung mencecar begitu kembali melangkah memasuki rumah sepupu ibuku yang aku panggil dengan sebutan Be`k Nah itu. Aku benar-benar sudah tak bisa menahan rasa kesal di hatiku karena mereka ikut-ikutan mencap anak dalam kandunganku sebagai anak pembawa sial. Be`k Nah yang tadi sempat getol membicarakan kehamilanku bersama anak-anaknya di belakangku langsung terdiam kelu. Sementara Mas Mirza yang sejak tadi mendampingiku berusaha untuk menyabarkan aku. “Sudah Nia, jangan dengarkan mereka, sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini.” Sejak dulu suamiku memang tipe orang yang tak mau melibatkan diri dengan keributan bersama orang lain, terlebih Be`k Nah termasuk masih keluargaku sendiri. Tapi untuk kali ini aku benar-benar tak bisa menerima jika anak yang sedang aku kandung ini terus-terusan disudutkan, dianggap sebagai biang kerok atas segala kemalangan yang sedang menimpa kami saat ini. Kenapa mereka tidak memakai akal sehat mere
“Katakan pada kami, Ibu bertanya pada siapa hingga selalu getol menyimpulkan jika anak yang dikandung Mbak Nia adalah anak pembawa sial?”Sekarang ganti Sharma yang mulai mendesak.Ibu memasang wajah masam, tatapan tajam Sharma terlihat mulai menyudutkannya.Sementara aku hanya bisa beristighfar dalam hati mendapati sikap ibu yang begitu antipati pada calon anakku, yang sebenarnya tidak lain adalah cucu kandungnya sendiri.“Iya biasanya wanita yang hamil di usia tua, nanti anaknya akan membawa banyak masalah. Bukan aku sendiri yang ngomong begini, banyak orang yang bilang begitu. Jadi akan lebih baik nggak punya anak sekalian daripada hamil pas usianya sudah nggak muda lagi,” kilah ibu dengan sekenanya.“Aku belum pernah mendengar kesimpulan seperti ini sebelumnya Bu,” sergah Mas Mirza yang mulai tak bisa diam saja saat ibu terus menyudutkan ak
Kami semua serempak menjawab salam, yang diucapkan oleh Andika dan istrinya.Tak lama setelah itu Arman ikut menyusul datang.Mereka semua datang bersama keluarga mereka masing-masing.Saat melihat keberadaan Mas Mirza bersamaku, tanggapan mereka tak seperti sebelumnya.Gestur tubuh mereka terlihat enggan walau mereka tetap menyalami kami seperti biasanya.Perasaanku yang sedang sensitif segera menyimpan sebuah praduga, bahwa perubahan sikap mereka dipastikan karena keadaan kami sekarang yang sedang terpuruk.Kami sudah tidak memiliki apapun lagi, dan tak lagi menjadi tempat mereka meminta seperti sebelumnya.Jangankan untuk memberikan bantuan uang seperti sebelumnya pada semua adik-adik suamiku, untuk makan dan keperluan sehari-hari kami saja sekarang kami sudah agak kesulitan.“Oh ada Mas Mirza toh,” uca
Aku langsung menoleh dengan memendam kegelisahan. Aku yakin jika Arman mengetahui jika istrinya memberikan uang pada kami, dia pasti akan memarahi Maysaroh.“Ini tasnya Mbak Nia ketinggalan,” ucap Arman santai sembari memberikan tasku yang dengan ceroboh sudah aku tinggalkan di rumah Dina.Ternyata Arman tak mengetahui tentang apa yang sudah diberikan Maysaroh padaku.“Mentang-mentang nggak ada barang berharganya pakai ditinggal-tinggal,” seloroh Arman sekenanya.Ucapan Arman memang seringkali terdengar sarkas.Tapi aku memilih mengabaikannya karena nyatanya sikap istrinya berbanding terbalik dengan lelaki itu.Gegas Mas Mirza mengajak aku pergi setelah berpamitan sekedarnya pada sang adik yang sudah sering mengecewakan hatinya itu.***“Mulai sekarang aku akan ikut bersama Shandy, jadi k
Setelah melewati perenungan dan pengamatan dari keadaan sekeliling kami, akhirnya dengan mantap aku dan Mas Mirza sepakat untuk berjualan es teh di jalan dekat sekolah yang berada tak jauh dari kampung kami.“Kamu yakin kamu tidak akan malu jika kita berjualan es teh di pinggir jalan?”Mas Mirza bertanya sedikit ragu kepadaku yang sekarang sedang menatapnya dengan yakin.“Kenapa mesti malu Mas? Ini pekerjaan halal,” jawabku lugas.Mas Mirza merespon keyakinanku dengan sorot mata bangga.“Kamu istri yang luar biasa, selalu mendukung dan memberi aku semangat.”Tatapan Mas Mirza kian lekat mengukungku.“Terima kasih sayang, aku sangat bersyukur bisa memiliki istri seperti kamu.”Setelah itu Mas Mirza malah menarik nafas dalam.“Tapi
Marni menantang dengan berani.Aku mulai ketar-ketir terlebih saat melihat wajah penuh amarah Mas Mirza.Tapi ketika Mas Mirza mulai berniat untuk mengangkat tangan, aku segera menahan tangan suamiku dan memberi isyarat dengan tatapan mata agar Mas Mirza bisa tetap untuk bersabar.“Sudahlah Marni, ini es teh kamu, sekarang pergilah.”Aku langsung menengahi dengan cepat dan meminta wanita itu untuk segera pergi.“Ini uangnya, kembaliannya seribu, ambil aja, anggap sebagai sedekah karena sekarang kalian memang udah jatuh miskin dan harus diberi sedekah.”Marni tetap saja sangat lugas menghina kami.Wanita itu memang sangat luar biasa nyinyirnya kepada kami, benar-benar sangat menguji kesabaran.“Oh iya jangan lupa kalau ketemu Dina, bilang sama Dina untuk cepetan membayar huta
“Terus kalau kamu nggak bayar apa Marni akan ikut melabrak kami begitu?” Sekarang Mas Mirza mulai mengunggah rasa khawatirnya. Dina diam saja tak menjawab tapi gestur tubuhnya menunjukkan sebuah pembenaran. “Kenapa kamu tak pernah berubah sih Din?” Mas Mirza semakin terlihat kesal. Kali ini kesabaran suamiku menghilang. Dina masih saja sering membuat masalah dengan berhutang seenaknya. “Memangnya kamu pakai buat apa sih uang itu?” Mas Mirza bertanya dengan ekspresi wajahnya yang geram. Aku sendiri tak habis pikir kenapa masih saja banyak yang percaya pada Dina, dan memberikan wanita itu uang yang bisa dihutangi, padahal selama ini Dina sudah sering mangkir dan tak membayar hutangnya. Kalaupun mereka sudah buntu mereka pasti akan mendatangi Mas Mirza. Tapi dengan keadaan kami yang sudah seperti ini, pastinya Mas Mirza tak akan meladeni para penagih hutang lagi. Begitu juga dengan Marni. Biar saja Marni akan melakukan apa, kami sudah pasrah sekarang. Sebaliknya Dina masih saja