Share

37. Menolak Bantuan

Penulis: Mastuti Rheny
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-11 20:39:23
“Siapa yang kalian bilang anak pembawa sial?”

Aku langsung mencecar begitu kembali melangkah memasuki rumah sepupu ibuku yang aku panggil dengan sebutan Be`k Nah itu.

Aku benar-benar sudah tak bisa menahan rasa kesal di hatiku karena mereka ikut-ikutan mencap anak dalam kandunganku sebagai anak pembawa sial.

Be`k Nah yang tadi sempat getol membicarakan kehamilanku bersama anak-anaknya di belakangku langsung terdiam kelu.

Sementara Mas Mirza yang sejak tadi mendampingiku berusaha untuk menyabarkan aku.

“Sudah Nia, jangan dengarkan mereka, sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini.”

Sejak dulu suamiku memang tipe orang yang tak mau melibatkan diri dengan keributan bersama orang lain, terlebih Be`k Nah termasuk masih keluargaku sendiri.

Tapi untuk kali ini aku benar-benar tak bisa menerima jika anak yang sedang aku kandung ini terus-terusan disudutkan, dianggap sebagai biang kerok atas segala kemalangan yang sedang menimpa kami saat ini.

Kenapa mereka tidak memakai akal sehat mere
Mastuti Rheny

hai readers setia, kasih dong dukungannya dengan ngasih komentar terbaiknya ma kasih

| Sukai
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   38. Suasana Lebaran Yang Berbeda

    “Katakan pada kami, Ibu bertanya pada siapa hingga selalu getol menyimpulkan jika anak yang dikandung Mbak Nia adalah anak pembawa sial?”Sekarang ganti Sharma yang mulai mendesak.Ibu memasang wajah masam, tatapan tajam Sharma terlihat mulai menyudutkannya.Sementara aku hanya bisa beristighfar dalam hati mendapati sikap ibu yang begitu antipati pada calon anakku, yang sebenarnya tidak lain adalah cucu kandungnya sendiri.“Iya biasanya wanita yang hamil di usia tua, nanti anaknya akan membawa banyak masalah. Bukan aku sendiri yang ngomong begini, banyak orang yang bilang begitu. Jadi akan lebih baik nggak punya anak sekalian daripada hamil pas usianya sudah nggak muda lagi,” kilah ibu dengan sekenanya.“Aku belum pernah mendengar kesimpulan seperti ini sebelumnya Bu,” sergah Mas Mirza yang mulai tak bisa diam saja saat ibu terus menyudutkan ak

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-12
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   39. Saling Menagih Hutang

    Kami semua serempak menjawab salam, yang diucapkan oleh Andika dan istrinya.Tak lama setelah itu Arman ikut menyusul datang.Mereka semua datang bersama keluarga mereka masing-masing.Saat melihat keberadaan Mas Mirza bersamaku, tanggapan mereka tak seperti sebelumnya.Gestur tubuh mereka terlihat enggan walau mereka tetap menyalami kami seperti biasanya.Perasaanku yang sedang sensitif segera menyimpan sebuah praduga, bahwa perubahan sikap mereka dipastikan karena keadaan kami sekarang yang sedang terpuruk.Kami sudah tidak memiliki apapun lagi, dan tak lagi menjadi tempat mereka meminta seperti sebelumnya.Jangankan untuk memberikan bantuan uang seperti sebelumnya pada semua adik-adik suamiku, untuk makan dan keperluan sehari-hari kami saja sekarang kami sudah agak kesulitan.“Oh ada Mas Mirza toh,” uca

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   40. Rencana Berjualan Yang Lain

    Aku langsung menoleh dengan memendam kegelisahan. Aku yakin jika Arman mengetahui jika istrinya memberikan uang pada kami, dia pasti akan memarahi Maysaroh.“Ini tasnya Mbak Nia ketinggalan,” ucap Arman santai sembari memberikan tasku yang dengan ceroboh sudah aku tinggalkan di rumah Dina.Ternyata Arman tak mengetahui tentang apa yang sudah diberikan Maysaroh padaku.“Mentang-mentang nggak ada barang berharganya pakai ditinggal-tinggal,” seloroh Arman sekenanya.Ucapan Arman memang seringkali terdengar sarkas.Tapi aku memilih mengabaikannya karena nyatanya sikap istrinya berbanding terbalik dengan lelaki itu.Gegas Mas Mirza mengajak aku pergi setelah berpamitan sekedarnya pada sang adik yang sudah sering mengecewakan hatinya itu.***“Mulai sekarang aku akan ikut bersama Shandy, jadi k

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-14
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   41. Marni Yang Nyinyir

    Setelah melewati perenungan dan pengamatan dari keadaan sekeliling kami, akhirnya dengan mantap aku dan Mas Mirza sepakat untuk berjualan es teh di jalan dekat sekolah yang berada tak jauh dari kampung kami.“Kamu yakin kamu tidak akan malu jika kita berjualan es teh di pinggir jalan?”Mas Mirza bertanya sedikit ragu kepadaku yang sekarang sedang menatapnya dengan yakin.“Kenapa mesti malu Mas? Ini pekerjaan halal,” jawabku lugas.Mas Mirza merespon keyakinanku dengan sorot mata bangga.“Kamu istri yang luar biasa, selalu mendukung dan memberi aku semangat.”Tatapan Mas Mirza kian lekat mengukungku.“Terima kasih sayang, aku sangat bersyukur bisa memiliki istri seperti kamu.”Setelah itu Mas Mirza malah menarik nafas dalam.“Tapi

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-15
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   42. Kembali Berniat Menjual Rumah

    Marni menantang dengan berani.Aku mulai ketar-ketir terlebih saat melihat wajah penuh amarah Mas Mirza.Tapi ketika Mas Mirza mulai berniat untuk mengangkat tangan, aku segera menahan tangan suamiku dan memberi isyarat dengan tatapan mata agar Mas Mirza bisa tetap untuk bersabar.“Sudahlah Marni, ini es teh kamu, sekarang pergilah.”Aku langsung menengahi dengan cepat dan meminta wanita itu untuk segera pergi.“Ini uangnya, kembaliannya seribu, ambil aja, anggap sebagai sedekah karena sekarang kalian memang udah jatuh miskin dan harus diberi sedekah.”Marni tetap saja sangat lugas menghina kami.Wanita itu memang sangat luar biasa nyinyirnya kepada kami, benar-benar sangat menguji kesabaran.“Oh iya jangan lupa kalau ketemu Dina, bilang sama Dina untuk cepetan membayar huta

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-16
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   43. Tetap Berusaha Memberi Bantuan

    “Terus kalau kamu nggak bayar apa Marni akan ikut melabrak kami begitu?” Sekarang Mas Mirza mulai mengunggah rasa khawatirnya. Dina diam saja tak menjawab tapi gestur tubuhnya menunjukkan sebuah pembenaran. “Kenapa kamu tak pernah berubah sih Din?” Mas Mirza semakin terlihat kesal. Kali ini kesabaran suamiku menghilang. Dina masih saja sering membuat masalah dengan berhutang seenaknya. “Memangnya kamu pakai buat apa sih uang itu?” Mas Mirza bertanya dengan ekspresi wajahnya yang geram. Aku sendiri tak habis pikir kenapa masih saja banyak yang percaya pada Dina, dan memberikan wanita itu uang yang bisa dihutangi, padahal selama ini Dina sudah sering mangkir dan tak membayar hutangnya. Kalaupun mereka sudah buntu mereka pasti akan mendatangi Mas Mirza. Tapi dengan keadaan kami yang sudah seperti ini, pastinya Mas Mirza tak akan meladeni para penagih hutang lagi. Begitu juga dengan Marni. Biar saja Marni akan melakukan apa, kami sudah pasrah sekarang. Sebaliknya Dina masih saja

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-17
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   44. Bertemu Kembali Dengan Mutia

    “Bu Nia, Pak Mirza, apa kabar?”Sontak kami menoleh demi mengetahui siapa yang sedang menyapa kami saat ini.Ketika melihat sosok yang sangat familiar itu, senyum kami langsung tersungging.“Masya Allah Mutia, kamu apa kabar?”Aku segera menyambut antusias sosok wanita muda yang sekarang terlihat lebih cantik dengan pakaiannya yang bagus dan tampak mahal itu.Wanita itu adalah mantan karyawan kami dulu, yang pertama kali membantu kami di toko hingga toko kami kian ramai sebelum menjadi seperti sekarang, hilang tanpa jejak karena kebakaran.“Bu Nia sendiri gimana kabarnya? Maaf ya Bu, Pak, saya baru tahu kalau toko kalian kebakaran. Baru satu minggu ini saya kembali lagi di kota ini.”Wanita bernama Mutia itu tampak sangat lugas berusaha menunjukkan rasa simpatinya.Mantan karyawan k

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-18
  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   45. Kunjungan Dari Adik-adik Mas Mirza

    “Ada apa ya Mas?”Aku benar-benar tak bisa menahan rasa ingin tahuku.Mas Mirza kemudian segera mendekati saudara-saudaranya yang sekarang tampak sedang menunggu kami di depan pintu.“Dari mana saja sih Mas, kalian?!” sergah Arman terdengar emosional.“Kenapa kalian tak bisa dihubungi sih? Apa kalian semiskin ini sekarang sampai-sampai nggak punya uang buat beli kuota?” Di dalam amarahnya Arman mulai menyindir kami dengan kalimat yang mengandung hinaan.Meski berusaha bersabar hatiku tetap menjadi memar mendengar ucapannya. Secepatnya aku mengambil gawaiku di dalam tas dan menemukan jika benda pipih itu telah mati.Sepertinya aku lupa untuk mengisi daya ponselku, hingga tak ada yang bisa menghubungi kami.Sementara sudah beberapa bulan ini Mas Mirza tak lagi mengisi kuota gawainya karena kami benar-bena

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-19

Bab terbaru

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   109. Dalam Ketidakpastian

    Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   108. Diambang Perpisahan

    “Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   107. Masuk Pesantren

    “Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   106. Perasaan Riska

    Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   105. Keinginan Suamiku

    Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   104. Sikap Ganjil Herlambang

    “Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   103. Fakta Lain Tentang Didit

    “Kenapa kamu berkata seperti itu?”Aku menjadi penasaran dengan apa yang dikatakan Danar. Aku merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku saat ini.Pria muda yang juga mewarisi kesempurnaan wajah ibunya itu meski kakaknya memiliki wajah yang lebih mirip sang ibu itu malah mendesah panjang.“Mas Didit mungkin tidak akan berubah karena di dalam penjara dia masih saja menjadi pemadat, karena benda haram itu semakin mudah didapat di dalam sana.”Aku terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Danar. Keponakanku itu mengunggah wajah sedihnya yang menunjukkan rasa prihatin atas keadaan sang kakak.“Apa benar yang kamu katakan ini?”“Kurasa Budhe sudah banyak mendengar berita seperti ini di berbagai media,”gumam Danar.Ganti aku yang menarik nafas panjang menjadi tak bisa berk

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   102. Rencana Masa Depan

    “Katakan saja apa permintaan kamu Nak?” Aku menunggu Riska mengatakan apa yang sedang diinginkannya saat ini. Tapi sekarang gadis yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menghadapi segala kepedihan hidup itu malah terlihat ragu saat melihatku. “Bantu aku untuk memisahkan diri dari Ibu,” tegas Riska kemudian. Aku terperangah sejenak, tapi kemudian bisa dengan segera memaklumi keinginannya yang barangkali wajar karena memang Riska hancur seperti ini karena ulah ibunya sendiri. Melihat aku diam tak langsung memberikan jawaban Riska kemudian malah memandangku dengan gelisah. “Budhe, aku tak mau hidupku hancur lagi jika Ibu sampai menemukan keberadaanku.” “Jadi ini juga menjadi alasan kamu untuk masuk ke pesantren?” “Tapi aku benar-benar ingin memperdalam ilmu agama Budhe,” tegas Riska pada akhirnya.

  • SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN   101. Ketakutan Riska

    “Ayo Bu Nia, tunggu apalagi silakan masuk ....” Tatapan pria itu kian menegas seakan ingin memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Aku merasa tak memiliki pilihan lain yang membuatku akhirnya tetap menerima tumpangan pria itu hingga akhirnya aku sampai ke pabrik tempat usahaku selama ini berjalan. “Terima kasih banyak Pak untuk semua bantuannya,” ucapku sebelum aku keluar dari dalam mobilnya. Lagi-lagi Herlambang mengulas senyumnya. “Tak usah terlalu dipikirkan Bu Nia, oh iya soal pengacara buat mengawal kasusnya Riska, aku sudah melakukan koordinasi dengan beberapa pengacara langgananku, mereka bahkan sudah melakukan tugasnya untuk mengumpulkan semua bukti dengan mengajak dokter yang menangani Riska bekerjasama. Insya Allah kita bisa menyeret pelaku kekejaman pada Riska ke penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Herlambang berucap d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status