Aku langsung menoleh dengan memendam kegelisahan. Aku yakin jika Arman mengetahui jika istrinya memberikan uang pada kami, dia pasti akan memarahi Maysaroh.
“Ini tasnya Mbak Nia ketinggalan,” ucap Arman santai sembari memberikan tasku yang dengan ceroboh sudah aku tinggalkan di rumah Dina.
Ternyata Arman tak mengetahui tentang apa yang sudah diberikan Maysaroh padaku.
“Mentang-mentang nggak ada barang berharganya pakai ditinggal-tinggal,” seloroh Arman sekenanya.
Ucapan Arman memang seringkali terdengar sarkas.
Tapi aku memilih mengabaikannya karena nyatanya sikap istrinya berbanding terbalik dengan lelaki itu.
Gegas Mas Mirza mengajak aku pergi setelah berpamitan sekedarnya pada sang adik yang sudah sering mengecewakan hatinya itu.
***
“Mulai sekarang aku akan ikut bersama Shandy, jadi k
Setelah melewati perenungan dan pengamatan dari keadaan sekeliling kami, akhirnya dengan mantap aku dan Mas Mirza sepakat untuk berjualan es teh di jalan dekat sekolah yang berada tak jauh dari kampung kami.“Kamu yakin kamu tidak akan malu jika kita berjualan es teh di pinggir jalan?”Mas Mirza bertanya sedikit ragu kepadaku yang sekarang sedang menatapnya dengan yakin.“Kenapa mesti malu Mas? Ini pekerjaan halal,” jawabku lugas.Mas Mirza merespon keyakinanku dengan sorot mata bangga.“Kamu istri yang luar biasa, selalu mendukung dan memberi aku semangat.”Tatapan Mas Mirza kian lekat mengukungku.“Terima kasih sayang, aku sangat bersyukur bisa memiliki istri seperti kamu.”Setelah itu Mas Mirza malah menarik nafas dalam.“Tapi
Marni menantang dengan berani.Aku mulai ketar-ketir terlebih saat melihat wajah penuh amarah Mas Mirza.Tapi ketika Mas Mirza mulai berniat untuk mengangkat tangan, aku segera menahan tangan suamiku dan memberi isyarat dengan tatapan mata agar Mas Mirza bisa tetap untuk bersabar.“Sudahlah Marni, ini es teh kamu, sekarang pergilah.”Aku langsung menengahi dengan cepat dan meminta wanita itu untuk segera pergi.“Ini uangnya, kembaliannya seribu, ambil aja, anggap sebagai sedekah karena sekarang kalian memang udah jatuh miskin dan harus diberi sedekah.”Marni tetap saja sangat lugas menghina kami.Wanita itu memang sangat luar biasa nyinyirnya kepada kami, benar-benar sangat menguji kesabaran.“Oh iya jangan lupa kalau ketemu Dina, bilang sama Dina untuk cepetan membayar huta
“Terus kalau kamu nggak bayar apa Marni akan ikut melabrak kami begitu?” Sekarang Mas Mirza mulai mengunggah rasa khawatirnya. Dina diam saja tak menjawab tapi gestur tubuhnya menunjukkan sebuah pembenaran. “Kenapa kamu tak pernah berubah sih Din?” Mas Mirza semakin terlihat kesal. Kali ini kesabaran suamiku menghilang. Dina masih saja sering membuat masalah dengan berhutang seenaknya. “Memangnya kamu pakai buat apa sih uang itu?” Mas Mirza bertanya dengan ekspresi wajahnya yang geram. Aku sendiri tak habis pikir kenapa masih saja banyak yang percaya pada Dina, dan memberikan wanita itu uang yang bisa dihutangi, padahal selama ini Dina sudah sering mangkir dan tak membayar hutangnya. Kalaupun mereka sudah buntu mereka pasti akan mendatangi Mas Mirza. Tapi dengan keadaan kami yang sudah seperti ini, pastinya Mas Mirza tak akan meladeni para penagih hutang lagi. Begitu juga dengan Marni. Biar saja Marni akan melakukan apa, kami sudah pasrah sekarang. Sebaliknya Dina masih saja
“Bu Nia, Pak Mirza, apa kabar?”Sontak kami menoleh demi mengetahui siapa yang sedang menyapa kami saat ini.Ketika melihat sosok yang sangat familiar itu, senyum kami langsung tersungging.“Masya Allah Mutia, kamu apa kabar?”Aku segera menyambut antusias sosok wanita muda yang sekarang terlihat lebih cantik dengan pakaiannya yang bagus dan tampak mahal itu.Wanita itu adalah mantan karyawan kami dulu, yang pertama kali membantu kami di toko hingga toko kami kian ramai sebelum menjadi seperti sekarang, hilang tanpa jejak karena kebakaran.“Bu Nia sendiri gimana kabarnya? Maaf ya Bu, Pak, saya baru tahu kalau toko kalian kebakaran. Baru satu minggu ini saya kembali lagi di kota ini.”Wanita bernama Mutia itu tampak sangat lugas berusaha menunjukkan rasa simpatinya.Mantan karyawan k
“Ada apa ya Mas?”Aku benar-benar tak bisa menahan rasa ingin tahuku.Mas Mirza kemudian segera mendekati saudara-saudaranya yang sekarang tampak sedang menunggu kami di depan pintu.“Dari mana saja sih Mas, kalian?!” sergah Arman terdengar emosional.“Kenapa kalian tak bisa dihubungi sih? Apa kalian semiskin ini sekarang sampai-sampai nggak punya uang buat beli kuota?” Di dalam amarahnya Arman mulai menyindir kami dengan kalimat yang mengandung hinaan.Meski berusaha bersabar hatiku tetap menjadi memar mendengar ucapannya. Secepatnya aku mengambil gawaiku di dalam tas dan menemukan jika benda pipih itu telah mati.Sepertinya aku lupa untuk mengisi daya ponselku, hingga tak ada yang bisa menghubungi kami.Sementara sudah beberapa bulan ini Mas Mirza tak lagi mengisi kuota gawainya karena kami benar-bena
“Kalau begitu katakan padaku apa yang kamu mau?”Mas Mirza bertanya masih dengan menyajikan kesabarannya.Dina melemparkan tatapannya yang tajam ke arah Mas Mirza sebelum kemudian ikut melirik sekilas ke arahku.“Aku mau tetap bisa megang uang juga.”Dina masih mempertahankan sikapnya yang seringkali sangat tidak masuk akal, kian jelas menampakkan ketamakannya terhadap harta saudara-saudaranya.“Kalian semua tahu kan kalau keadaanku ini selalu tak bisa lebih baik, aku masih saja miskin bahkan punya suami yang nggak pernah bisa ngasih aku hidup enak. Pernah nganggur lama dan nggak bisa kerja, kalaupun kerja selalu hasilnya nggak pernah seberapa bila dibanding pengeluaran kami yang banyak.”“Itu semua karena kamu kurang bersyukur Bu,” timpal Muchtar yang sepertinya sudah lelah terus menerus disudutkan itu.
“Jadi Mas bagaimana apa kamu mengijinkan aku tinggal di rumah kamu?”Dina kian mendesak.Aku menunggu dengan harap-harap cemas.“Baiklah, kalau itu yang terbaik menurutmu, tapi perlu kamu tahu kalau kamu harus segera mencari rumah kontrakan secepatnya setelah uang pembagian itu sudah kita terima. Aku nggak mau kamu tinggal terlalu lama di rumah kami. Terlebih sebentar lagi Nia akan melahirkan, dan aku yakin kamu juga nggak akan nyaman tinggal di sini kalau direcoki dengan keberadaan rumah kami.”Keputusan Mas Mirza sedikit mengecewakan aku.Tapi aku berusaha untuk menghormati keputusannya itu dengan tidak mendebatnya.Sebaliknya Erna malah terlihat sinis kepada Dina.“Kamu itu memang tidak tahu diri, kapan kamu itu Dina bisa nggak merepotkan saudara kamu. Masih saja merecoki Mas Mirza.”
Sungguh aku dan Mas Mirza masih merasa ragu untuk menerima bantuan dari Mutia, meski dia sempat mendesak kami untuk menerima modal darinya.Aku tak mau merepotkan mantan karyawan kami yang begitu baik hati itu. Nyatanya modal yang kami butuhkan untuk kembali membangun usaha kami itu sangatlah besar.Meski nantinya Mas Mirza akan menerima juga uang dari hasil penjualan rumah warisan ibu, tapi tetap saja kami masih akan membutuhkan modal tambahan untuk membangun toko kami kembali dan bukan hanya membeli barang dagangan baru.Tapi ada sebuah keraguan yang menelusup di hati tentang keadaan pasar yang akhir-akhir ini lesu, belum lagi tentang kehamilanku yang sudah menjelang masa persalinan, pun dengan bayi kami yang akan hadir juga menjadi pertimbangan bagi kami dan Mas Mirza untuk menunda dulu pembangunan toko kami.Dengan alasan ini akhirnya aku dan Mas Mirza sepakat untuk menolak niat bai