“Bu Nia, Pak Mirza, apa kabar?”Sontak kami menoleh demi mengetahui siapa yang sedang menyapa kami saat ini.Ketika melihat sosok yang sangat familiar itu, senyum kami langsung tersungging.“Masya Allah Mutia, kamu apa kabar?”Aku segera menyambut antusias sosok wanita muda yang sekarang terlihat lebih cantik dengan pakaiannya yang bagus dan tampak mahal itu.Wanita itu adalah mantan karyawan kami dulu, yang pertama kali membantu kami di toko hingga toko kami kian ramai sebelum menjadi seperti sekarang, hilang tanpa jejak karena kebakaran.“Bu Nia sendiri gimana kabarnya? Maaf ya Bu, Pak, saya baru tahu kalau toko kalian kebakaran. Baru satu minggu ini saya kembali lagi di kota ini.”Wanita bernama Mutia itu tampak sangat lugas berusaha menunjukkan rasa simpatinya.Mantan karyawan k
“Ada apa ya Mas?”Aku benar-benar tak bisa menahan rasa ingin tahuku.Mas Mirza kemudian segera mendekati saudara-saudaranya yang sekarang tampak sedang menunggu kami di depan pintu.“Dari mana saja sih Mas, kalian?!” sergah Arman terdengar emosional.“Kenapa kalian tak bisa dihubungi sih? Apa kalian semiskin ini sekarang sampai-sampai nggak punya uang buat beli kuota?” Di dalam amarahnya Arman mulai menyindir kami dengan kalimat yang mengandung hinaan.Meski berusaha bersabar hatiku tetap menjadi memar mendengar ucapannya. Secepatnya aku mengambil gawaiku di dalam tas dan menemukan jika benda pipih itu telah mati.Sepertinya aku lupa untuk mengisi daya ponselku, hingga tak ada yang bisa menghubungi kami.Sementara sudah beberapa bulan ini Mas Mirza tak lagi mengisi kuota gawainya karena kami benar-bena
“Kalau begitu katakan padaku apa yang kamu mau?”Mas Mirza bertanya masih dengan menyajikan kesabarannya.Dina melemparkan tatapannya yang tajam ke arah Mas Mirza sebelum kemudian ikut melirik sekilas ke arahku.“Aku mau tetap bisa megang uang juga.”Dina masih mempertahankan sikapnya yang seringkali sangat tidak masuk akal, kian jelas menampakkan ketamakannya terhadap harta saudara-saudaranya.“Kalian semua tahu kan kalau keadaanku ini selalu tak bisa lebih baik, aku masih saja miskin bahkan punya suami yang nggak pernah bisa ngasih aku hidup enak. Pernah nganggur lama dan nggak bisa kerja, kalaupun kerja selalu hasilnya nggak pernah seberapa bila dibanding pengeluaran kami yang banyak.”“Itu semua karena kamu kurang bersyukur Bu,” timpal Muchtar yang sepertinya sudah lelah terus menerus disudutkan itu.
“Jadi Mas bagaimana apa kamu mengijinkan aku tinggal di rumah kamu?”Dina kian mendesak.Aku menunggu dengan harap-harap cemas.“Baiklah, kalau itu yang terbaik menurutmu, tapi perlu kamu tahu kalau kamu harus segera mencari rumah kontrakan secepatnya setelah uang pembagian itu sudah kita terima. Aku nggak mau kamu tinggal terlalu lama di rumah kami. Terlebih sebentar lagi Nia akan melahirkan, dan aku yakin kamu juga nggak akan nyaman tinggal di sini kalau direcoki dengan keberadaan rumah kami.”Keputusan Mas Mirza sedikit mengecewakan aku.Tapi aku berusaha untuk menghormati keputusannya itu dengan tidak mendebatnya.Sebaliknya Erna malah terlihat sinis kepada Dina.“Kamu itu memang tidak tahu diri, kapan kamu itu Dina bisa nggak merepotkan saudara kamu. Masih saja merecoki Mas Mirza.”
Sungguh aku dan Mas Mirza masih merasa ragu untuk menerima bantuan dari Mutia, meski dia sempat mendesak kami untuk menerima modal darinya.Aku tak mau merepotkan mantan karyawan kami yang begitu baik hati itu. Nyatanya modal yang kami butuhkan untuk kembali membangun usaha kami itu sangatlah besar.Meski nantinya Mas Mirza akan menerima juga uang dari hasil penjualan rumah warisan ibu, tapi tetap saja kami masih akan membutuhkan modal tambahan untuk membangun toko kami kembali dan bukan hanya membeli barang dagangan baru.Tapi ada sebuah keraguan yang menelusup di hati tentang keadaan pasar yang akhir-akhir ini lesu, belum lagi tentang kehamilanku yang sudah menjelang masa persalinan, pun dengan bayi kami yang akan hadir juga menjadi pertimbangan bagi kami dan Mas Mirza untuk menunda dulu pembangunan toko kami.Dengan alasan ini akhirnya aku dan Mas Mirza sepakat untuk menolak niat bai
MIRZA POVSungguh tak kusangka setelah pengorbanan dan segala bantuan yang kuberikan pada adik-adikku, sekarang saat aku terpuruk dan membutuhkan bantuan mereka, tak ada satupun dari mereka yang memberikan pertolongan.Bahkan saat aku berniat menagih hutangku pada Arman, bukannya uang yang aku dapat malah hinaan yang mengoyak hati. Arman merasa dirinya sangat penting karena saat itu dia sedang dikelilingi teman-temannya yang kebanyakan pejabat itu.Dia bahkan tega mengusir aku dari rumahnya. Padahal dia tahu kalau aku sangat membutuhkan uang itu untuk menebus obat dan biaya rumah sakit istriku yang sekarang masih harus dirawat di rumah sakit pasca melahirkan.Walau Shania berhasil melahirkan secara normal tapi tetap saja dia masih harus diobservasi dalam beberapa hari ke depan karena tekanan darahnya yang cenderung tinggi.Mungkin karena usianya yang sudah terlalu tua untuk melah
Aku melangkah dengan lesu ketika masuk ke dalam ruang perawatan di mana istri dan anakku terlihat sedang menunggu.Bahkan Shania yang sedang menyusui putra kami langsung menyergapku dengan tatapan penuh harap.Sepertinya istriku sangat berharap jika kedatanganku ini dengan membawa kabar gembira.Hatiku merasa tertekan sekarang karena nyatanya aku tak bisa mewujudkan asanya. Aku tak berhasil mendapatkan uang sepeserpun bahkan uang yang harusnya menjadi hakku malah direbut oleh adikku sendiri.“Maafkan aku karena aku belum mendapatkan hasil apapun, bahkan aku masih tak menemukan jalan keluar untuk bisa mendapatkan uang buat kita bayar biaya persalinan. Padahal kan harusnya kamu bisa pulang hari ini juga.”“Memang kita akan pulang hari ini Mas, aku nunggu Mas Mirza dari tadi,” ucap Shania dengan sangat santainya bahkan bibirnya menyunggingkan segaris senyuman
“Tunggu ... !”Ketika kami menoleh ke belakang dan mendapati seorang perawat tergopoh-gopoh mengejar kami, hatiku mulai diliputi oleh rasa penasaran.“Ada apa ya Sus?” tanyaku sembari mendekati sosok berpakaian serba hijau itu.“Maaf, ada barang yang tertinggal, sajadah dan mushaf,” ucap wanita berhijab itu sembari menyerahkan semua barang itu padaku.Aku langsung menerima sembari tersenyum penuh rasa terima kasih.“Terima kasih ya Sus,” ucapku pelan. Sepertinya tadi aku terburu-buru karena terlalu sungkan kalau membuat Mutia dan suaminya menunggu agak lama di saat aku berkemas, jadi justru barang penting itu yang tertinggal.Setelah menerima barang kami yang tertinggal kemudian kami melanjutkan langkah yang tertunda untuk menuju mobil yang ternyata sudah disiapkan oleh Idham di depan