Sungguh aku dan Mas Mirza masih merasa ragu untuk menerima bantuan dari Mutia, meski dia sempat mendesak kami untuk menerima modal darinya.
Aku tak mau merepotkan mantan karyawan kami yang begitu baik hati itu. Nyatanya modal yang kami butuhkan untuk kembali membangun usaha kami itu sangatlah besar.
Meski nantinya Mas Mirza akan menerima juga uang dari hasil penjualan rumah warisan ibu, tapi tetap saja kami masih akan membutuhkan modal tambahan untuk membangun toko kami kembali dan bukan hanya membeli barang dagangan baru.
Tapi ada sebuah keraguan yang menelusup di hati tentang keadaan pasar yang akhir-akhir ini lesu, belum lagi tentang kehamilanku yang sudah menjelang masa persalinan, pun dengan bayi kami yang akan hadir juga menjadi pertimbangan bagi kami dan Mas Mirza untuk menunda dulu pembangunan toko kami.
Dengan alasan ini akhirnya aku dan Mas Mirza sepakat untuk menolak niat bai
MIRZA POVSungguh tak kusangka setelah pengorbanan dan segala bantuan yang kuberikan pada adik-adikku, sekarang saat aku terpuruk dan membutuhkan bantuan mereka, tak ada satupun dari mereka yang memberikan pertolongan.Bahkan saat aku berniat menagih hutangku pada Arman, bukannya uang yang aku dapat malah hinaan yang mengoyak hati. Arman merasa dirinya sangat penting karena saat itu dia sedang dikelilingi teman-temannya yang kebanyakan pejabat itu.Dia bahkan tega mengusir aku dari rumahnya. Padahal dia tahu kalau aku sangat membutuhkan uang itu untuk menebus obat dan biaya rumah sakit istriku yang sekarang masih harus dirawat di rumah sakit pasca melahirkan.Walau Shania berhasil melahirkan secara normal tapi tetap saja dia masih harus diobservasi dalam beberapa hari ke depan karena tekanan darahnya yang cenderung tinggi.Mungkin karena usianya yang sudah terlalu tua untuk melah
Aku melangkah dengan lesu ketika masuk ke dalam ruang perawatan di mana istri dan anakku terlihat sedang menunggu.Bahkan Shania yang sedang menyusui putra kami langsung menyergapku dengan tatapan penuh harap.Sepertinya istriku sangat berharap jika kedatanganku ini dengan membawa kabar gembira.Hatiku merasa tertekan sekarang karena nyatanya aku tak bisa mewujudkan asanya. Aku tak berhasil mendapatkan uang sepeserpun bahkan uang yang harusnya menjadi hakku malah direbut oleh adikku sendiri.“Maafkan aku karena aku belum mendapatkan hasil apapun, bahkan aku masih tak menemukan jalan keluar untuk bisa mendapatkan uang buat kita bayar biaya persalinan. Padahal kan harusnya kamu bisa pulang hari ini juga.”“Memang kita akan pulang hari ini Mas, aku nunggu Mas Mirza dari tadi,” ucap Shania dengan sangat santainya bahkan bibirnya menyunggingkan segaris senyuman
“Tunggu ... !”Ketika kami menoleh ke belakang dan mendapati seorang perawat tergopoh-gopoh mengejar kami, hatiku mulai diliputi oleh rasa penasaran.“Ada apa ya Sus?” tanyaku sembari mendekati sosok berpakaian serba hijau itu.“Maaf, ada barang yang tertinggal, sajadah dan mushaf,” ucap wanita berhijab itu sembari menyerahkan semua barang itu padaku.Aku langsung menerima sembari tersenyum penuh rasa terima kasih.“Terima kasih ya Sus,” ucapku pelan. Sepertinya tadi aku terburu-buru karena terlalu sungkan kalau membuat Mutia dan suaminya menunggu agak lama di saat aku berkemas, jadi justru barang penting itu yang tertinggal.Setelah menerima barang kami yang tertinggal kemudian kami melanjutkan langkah yang tertunda untuk menuju mobil yang ternyata sudah disiapkan oleh Idham di depan
Kembali aku mengagumi ketegaran istriku ketika dia mempersilakan tamu-tamu yang bertandang ke rumah kami dengan segala keramahannya.Terpaksa aku kembali menunda niatku untuk berbelanja. Segera aku mengambil alih dan menjamu para tamu yang masih termasuk saudara jauh istriku.
Shania POVKetika melihat Maysaroh tak berhenti menangis aku langsung mendekap tubuh kurusnya demi bisa melerai kesedihan yang saat ini lugas terunggah.“Katakan pada kami, apa yang terjadi sebenarnya?”Aku bertanya dengan penuh rasa simpati.Untuk beberapa saat aku membiarkan adik ipar suamiku itu menumpahkan tangisku, menunggu segala kesedihannya mereda, hingga akhirnya dia siap untuk menceritakan masalahnya kepada kami.Saat Maysaroh akhirnya mengurai pelukanku sembari mengusap wajahnya yang basah, aku berusaha menenangkannya dengan mengusap lembut lengannya.“Aku tahu kamu ada masalah, ceritakan saja pada kami, barangkali kami bisa membantu kamu.”Mas Mirza kemudian ikut menimpali, “Apa ini tentang Arman?”Ketika mendengar nama suaminya disebut gurat wajah Maysaroh langsung beru
Meski aku masih merisaukan tentang Maysaroh yang sedang bermasalah dengan suaminya, juga tentang rasa kecewaku karena Erna sama sekali tak mengabarkan pada kami tentang rencananya untuk menikahkan anak sulungnya, aku tetap berusaha untuk menampakkan ketenangan diri.Lagipula aku tak bisa ke manapun lebih memfokuskan perhatian pada bayiku.Kehadiran putra kami yang kami beri nama Akbar itu telah menghujani kami dengan banyak kebahagiaan. Meski aku harus menebusnya dengan rasa lelah karena sering begadang untuk bisa menyusui bayiku, nyatanya bahagiaku tak juga berkurang.Walau terkadang tubuh tuaku membutuhkan istirahat yang lebih tapi untunglah Mas Mirza selalu siap siaga membantuku.Kami bergantian menjaga Akbar, mengganti popoknya, memandikannya juga menidurkannya.Kehadiran Akbar telah mengubah dunia kami. Meski kami sering kepayahan karena harus mengurus bayi di
“Memangnya apa yang bisa aku bantu?”Aku bertanya masih dengan mengunggah keramahanku.“Bantu aku untuk bersih-bersih atau merapikan rumah setelah kami hajatan.”Erna mengungkapkan tujuannya dengan terlalu lugas.Sungguh sangat diluar dugaan kalau Erna sudah menanggalkan segala rasa hormatnya pada kami sebagai saudara tua baginya.Aku memilih diam tak menanggapi.Tapi Mas Mirza langsung menyela dengan tegas, “sepertinya kami tidak bisa melakukan permintaan kamu, karena tepat di hari itu kami sudah membuat janji dengan seseorang.”Aku sontak menoleh ke arah suamiku yang masih menyajikan sebentuk ketenangan meski aku bisa membaca dengan jelas di wajahnya kalau sekarang Mas Mirza sudah mulai memendam kegeraman menghadapi tingkah saudara iparnya yang benar-benar tidak tahu diri itu.
“Mas, apa aku boleh tahu Mas mendapatkan uang dari mana?”Aku bertanya dengan lugas.Mas Mirza menentang tatapanku dengan keyakinan yang mengemuka.“Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku sudah bertemu dengan seorang dermawan yang dengan hati tulus bersedia membantu kita?”“Bantuan seperti apa yang akan dia berikan? Apa dia yang akan membeli rumah kita?”Aku menebak penuh rasa penasaran.Suamiku malah menggeleng tegas.“Rumah kita memang sudah aku tawarkan dan sebentar lagi akan ada yang berminat, tapi bukan Pak Herlambang yang membelinya.”“Mas, apa kamu yakin dia menolong kita dengan tulus.”Mas Mirza kembali tersenyum lebar.“Sejak kapan kamu menjadi sangat mudah berprasangka buruk seperti ini?”Aku kembali mendesah pelan.“Mas, setelah apa yang pernah kita alami akan lebih baik jika kita selalu tetap waspada.”“Pasti kamu mengkhawatirkan tentang penipuan yang pernah aku alami.”“Sebagai seorang istri aku hanya mengingatkan Mas.”Mas Mirza kemudian mulai mendekat lalu memegang ked