“Itu dia Pak Herlambang ... “Mas Mirza kemudian bergegas mengajakku mendekat.Aku mulai ikut melangkah di samping suamiku.“Pak Herlambang?!” sapa suamiku ketika kami sudah berdiri di dekatnya.Pria yang terlihat memiliki penampilan parlente itu kemudian mulai menoleh ke belakang memandang ke arah kami.Ketika matanya beradu denganku, aku berusaha mengulas senyuman menandakan keramahan yang wajar sebagai bentuk basa-basi.Tapi secepatnya tatapan pria yang terlihat masih muda itu diarahkan kembali kepada suamiku yang kemudian kian mendekat sembari menerima uluran tangan darinya dengan sebuah jabat erat yang diwarnai keramahan.“Pak Mirza, mari-mari duduk.”Pria berambut klimis itu langsung mempersilakan.Mas Mirza langsung membantuku untuk duduk dan mendekatkan
“Bagaimana Nia, kamu setuju kalau Akbar dititipkan?”Mas Mirza menyergapku dengan tatapan penuh tanya.Sepertinya suamiku menyerahkan semua keputusan kepadaku.Sementara Lala menunggu jawabanku dengan tatapan penuh harap. Sejak awal aku tahu kalau perempuan yang tinggal hanya bersama dengan anak tunggalnya yang sekarang sudah SMP itu sangat suka dengan Akbar yang memang begitu menggemaskan.Aku diam untuk beberapa memilih memandang lekat pada bayiku yang sedang bermain sendiri di dalam boks bayi.Saat teringat tentang kebutuhannya pada asiku, segera aku memiliki keyakinan untuk membawa saja buah hati tercintaku untuk pergi bersama kami dengan segala resiko yang tadi sudah disebutkan suamiku.“Sebaiknya kita bawa saja, Akbar bersama kita Mas.”Mendengar jawabanku Lala langsung mendesah kecewa.&
“Budhe Nia, Pakdhe Mirza ... !” Sontak aku menoleh dan langsung tersenyum ketika melihat wajah sumringah Riska ketika menyongsong kami dengan langkahnya yang panjang. Sementara Dina dan Muctar bersama kedua anaknya yang lain berjalan dengan langkah gontai menuju arah yang sama dengan kami. Sekilas aku melihat tatapan Dina yang agak lain, tampak ragu ketika semakin mendekat. Tapi saat ini perhatianku lebih tertuju pada Riska yang selama ini memang cukup dekat dengan kami. “Budhe lama sekali kita nggak ketemu, aku kangen sama budhe.” Setelah itu Riska mendekatiku dan berbisik lirih. “Ibu nggak ngijinin aku buat dolan ke rumahnya Budhe lagi.” Sejenak wajah Riska tampak murung tapi ketika melihat bayiku yang sedang tersenyum riang di dalam stroller, air muka gadis tanggung itu langsung berubah ceria. “Ya Allah, ganteng banget Budhe. Wajahnya kayak Pakdhe Mirza ini.” Riska menjadi sangat antusias dan langsung mendekati bayiku dan mengudangnya. “Ya jelas, bapaknya ganteng jadi ana
Perhatian Erna langsung teralih pada Arman yang sekarang sudah berada di depannya dan mulai ikut memberikan selamat.“Terima kasih,” jawab Erna singkat.“Oh iya, apa kamu datang sendiri Man?” tanya Andika menimpali.Arman diam tak menjawab.“Jadi benar berita itu kalau sekarang Maysaroh sudah pergi membawa anak-anak kalian?” Erna ikut menyahut.Seketika air muka Arman berubah keruh.Sebaliknya Erna malah tersenyum simpul.“Biarkan saja dia pergi, bukankah kamu masih memiliki istri lain yang lebih cantik dan menggoda yang sesuai dengan selera kamu? Jadi kamu nggak usah sedih gini.”Tanggapan Erna sungguh sangat di luar dugaan. Bagaimana mungkin dirinya yang juga seorang istri bisa memiliki pikiran seperti ini, malah menunjukkan kesetujuan atas perselingkuhan
“Jadi bagaimana Pak, Bu, kalian menyetujui usulanku ini kan?”Aku masih ragu, hingga kemudian aku malah melihat senyuman lebar dari wajah suamiku.“Sepertinya itu usulan yang bagus.”Tanpa aku sangka Mas Mirza mengemukakan persetujuannya.Aku langsung menoleh dan memandangnya lekat.“Mas, apa kamu yakin Mas? Kita bahkan belum memiliki ilmu untuk membuka usaha garmen,” tanyaku memberikan alasan.Pria yang memiliki usaha tambang dan jasa pengiriman barang itu langsung menampakkan keseriusan di wajahnya.“Kami akan mendampingi kalian, nanti Bapak dan Ibu akan saya ajak untuk menemui teman-teman saya yang memiliki usaha di bidang yang sama. Kita berkumpul dalam satu komunitas yang sama, sebagai sesama pengusaha muslim dan pastinya kami dengan senang hati akan saling membantu.”
Setelah 25 thKetika mendengar teriakan dari arah depan, dengan penuh rasa ingin tahu aku bersama Mutia langsung menghampiri asal suara.Tak pernah aku sangka kalau sekarang Arman yang datang sambil berteriak lantang dengan wajah kemerahan menampakkan amarah.Melihatnya emosional aku menjadi ragu untuk mendekat lagi, meski pria bertubuh agak bongsor dengan perutnya yang kian membuncit itu mulai menyadari keberadaanku bersama Mutia.Ketika menangkap kemunculanku dengan sorot matanya yang tajam, Arman sendiri yang langsung menyonsongku saat aku sudah menghentikan langkah."Kenapa kamu membuat keributan di rumahku?" sergahku tak nyaman pada adik iparku yang sedang dikukung amarah tanpa aku tahu apa sebabnya.Aku sedikit terkejut karena Arman mengetahui keberadaan rumahku, padahal dia benar-benar mengabaikan pemberitahuan dari Mas Mirza tentang kepindahan kami dari rumah lama.Tak ada satupun dari saudara iparku yang datang, baik saat kami akan pindah rumah atau setelah aku melahirkan.Me
Aku kian lekat menelisik wajah suamiku. “Apa Mas yakin Mas benar-benar tidak tahu keberadaan Maysaroh dan anak-anaknya sekarang?” Mas Mirza termangu membalas tatapanku sejenak lalu menggeleng. “Kalau saja aku tahu, Nia.” Aku kemudian ikut mendesah panjang bersama suamiku. Sepertinya Maysaroh memang benar-benar tak ingin diganggu oleh siapapun bahkan oleh kami berdua yang selama ini cukup dekat dengannya. “Mungkin sudah saatnya Arman belajar untuk membenahi dirinya. Karena dengan segala yang pernah dia miliki dia malah menjadi pribadi yang kurang baik. Sikapnya kepada kita juga sangat berlebihan sama sekali tak peduli dengan kesulitan kita kemarin.” “Mungkin kamu benar. Tapi aku tetap berharap Arman bisa memperbaiki kesalahannya dan dia masih mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan kembali apa yang pernah dia miliki.” Mas Mirza mulai melirikku lalu tersenyum tipis namun terkesan gamang. “Sejak dulu kamu memang terlalu baik, selalu tak pernah mampu melihat kesusahan orang lain m
Aku segera menenangkan suamiku yang sudah mulai terbawa emosi kala mendapati sikap keras kepala Arman.“Kenapa kamu malah menyalahkan wanita sebaik Maysaroh yang bahkan sudah mendampingi kamu sejak awal hingga kamu bisa mendapatkan semuanya?”“Mas salah, aku mendapatkan semua ini atas kerja kerasku sendiri.”“Pikiran kamu benar-benar picik,” sergah Mas Mirza sengit.“Kenapa Mas membela Maysaroh sampai seperti ini? Kenapa Mas membela orang lain bukan adik kamu sendiri?”“Itu semua karena kamu memiliki pemikiran yang salah?”“Kenapa Mas Mirza tidak menanyakan dulu kepadaku apa alasanku lebih memilih Lulu?”Arman masih saja tak mau untuk disalahkan.“Kalau begitu katakan padaku apa kelebihan Lulu hingga kamu mengabaikan istri kamu sendiri Maysa