Aku segera menenangkan suamiku yang sudah mulai terbawa emosi kala mendapati sikap keras kepala Arman.
“Kenapa kamu malah menyalahkan wanita sebaik Maysaroh yang bahkan sudah mendampingi kamu sejak awal hingga kamu bisa mendapatkan semuanya?”
“Mas salah, aku mendapatkan semua ini atas kerja kerasku sendiri.”
“Pikiran kamu benar-benar picik,” sergah Mas Mirza sengit.
“Kenapa Mas membela Maysaroh sampai seperti ini? Kenapa Mas membela orang lain bukan adik kamu sendiri?”
“Itu semua karena kamu memiliki pemikiran yang salah?”
“Kenapa Mas Mirza tidak menanyakan dulu kepadaku apa alasanku lebih memilih Lulu?”
Arman masih saja tak mau untuk disalahkan.
“Kalau begitu katakan padaku apa kelebihan Lulu hingga kamu mengabaikan istri kamu sendiri Maysa
“Ke mana saja kamu selama ini May?” tanyaku semakin tak sabar.Perempuan berhijab itu tak langsung , dia malah memandangi sejenak ketiga anaknya yang sedang mengajak Akbar bermain.“Aku mengajak anak-anak tinggal di luar kota, bahkan aku sudah mengajukan perpindahan ke sekolah lain,” jawab Maysaroh tak sepenuhnya berterus terang.Maysaroh seperti terlihat enggan untuk menyebutkan tempat tinggalnya yang sekarang kepada kami.“Sungguh aku merasa bersalah sama kamu dan anak-anak kamu May,” sahut Mas Mirza kemudian. Tatapan suamiku sekarang berubah luruh saat memandang pada ketiga keponakannya yang sepertinya tampak baik-baik saja itu.“Mas Mirza sama sekali tak bersalah, jelas ini bukan salah Mas Mirza meski Mas Arman itu adik kandung Mas.”Aku mulai menyentuh tangan Maysaroh, aku ingin menegaskan kehadiranku padan
Mirza POV“May, apa kamu kenal dengan pria itu?”Istriku bertanya dengan penuh rasa ingin tahu pada sosok pria bertubuh tegap yang sekarang sedang berjalan menghampiri kami.Aku juga diliputi rasa penasaran sekarang, langsung melemparkan tatapanku ke arah Maysaroh menunggu jawaban dari mantan adik iparku itu.Tapi ketika melihat gestur tubuh Maysaroh yang canggung dengan disertai raut mukanya yang tampak tersipu, aku mulai bisa menebaknya. Meski awalnya terasa sangat sulit untuk bisa menerima jika wanita sebaik Maysaroh tak lagi menjadi bagian dari keluargaku akibat kebodohan adikku sendiri yang sudah menyia-nyiakannya.Aku kira lelaki itu pasti seseorang yang sedang dekat dengan Maysaroh saat ini.Meski tak mudah menerimanya tapi aku berpikir bagaimanapun Maysaroh berhak untuk menata hidupnya lagi d
“Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”Aku mengungkapkan rasa penasaranku.Shania kembali menarik nafasnya dalam-dalam.“Sampai berapa lama kita bisa terus bersama anak kita Mas? Apa kita bisa menyaksikan dia saat dia sudah mendewasa nanti?”Shania mulai mengatakan kegusarannya yang nyatanya juga menjadi kegundahanku.“Bagaimana jika kita sudah meninggalkan dia sebelum dia bisa mandiri?”Saat mendapati Shania kian terbawa dengan kecemasannya segera aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat sembari mengulas senyuman tipis.“Kita masih memiliki Allah yang akan menjaga putra kita.”Aku kian dalam memindai wajah istriku yang sekarang tampak begitu lelah karena kurang beristirahat sejak Akbar semakin aktif dan senang berlarian.
Suara siapa itu Mas?” tanya Shania sembari ingin bangkit dari ranjang.Tapi aku segera menahannya.“Sepertinya itu suara Mbak Lala, Mas, apa sudah terjadi sesuatu sama Akbar ya Mas?”Shania mulai menjadi bertanya-tanya.Aku sendiri juga sudah tak dapat menahan kecemasanku.Segera aku bangkit berniat untuk melangkah ke depan untuk mencaritahu.“Kamu tunggu saja di sini, jangan sampai turun dari ranjang, biar aku yang melihat ke depan.”Setelah memberi peringatan pada istriku aku segera melangkah keluar dari kamar untuk memastikan panggilan wanita yang biasa kami sapa dengan sebutan Mbak Lala itu.Aku menduga kalau terjadi sesuatu pada Akbar anakku. Tapi ternyata ketika melihatnya menggendong Akbar yang sedang memainkan sebuah action figure kecil, aku langsung menghela nafas lega.&n
Shania POVMendengar Sharma mengatakan jika ibu sekarang ingin tinggal bersamaku, tanpa banyak berpikir aku langsung mengiyakan. Aku menganggap itu adalah kesempatan emas untuk bisa menunjukkan bakti sebagai seorang anak yang merupakan sebuah ibadah yang bernilai besar di mata Tuhan.Meski aku tetap meminta ijin pada suamiku terlebih dahulu, karena biar bagaimanapun Mas Mirza adalah kepada rumah tangga untuk keluarga kecil kami ini.“Apa kamu yakin bisa membagi waktu kamu saat menghadapi kerewelan Ibu?” tanya Mas Mirza memastikan kesanggupanku terlebih dahulu.“Ibu memang sifatnya seperti itu, tapi aku yakin Ibu bisa diberi pengertian kok.”Aku tetap berusaha meyakinkan suamiku yang membuat kami kian terseret dalam pembicaraan yang semakin serius selepas Sharma berpamitan pulang.“Ingat Ma, sekarang kita sudah memiliki Akbar yang
“Jadi bagaimana Mbak, apa Mbk dan Mas Mirza bisa menerima ibu di rumah kalian lagi?”Mona dan Shandy langsung memastikan dengan lugas.Sementara kemudian ibu mulai melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa merasakan kalau sekarang ibu sepertinya memendam harapan padaku, meski saat ini ibu tak mengucapkan apapun.Aku sedikit mengulas senyumku kembali mengarahkan perhatian pada Mona dan Shandy yang sedang menunggu jawabanku.Saat aku menoleh pada Mas Mirza, senyum suamiku juga ikut terunggah.“Tentu saja kami tak akan menolak kalau Ibu mau untuk tinggal lagi bersama kami.”Mas Mirza langsung memberi jawaban tanpa keraguan.Sontak ibu mulai sepenuhnya memandang ke arah kami meski dia masih memeluk anakku ke dalam dekapannya.“Ibu boleh tinggal bersama kami la
“Ada apa Mbak Lala?”Tanpa menunggu lama aku segera mendekati tetangga terdekatku yang masih mempertahankan anakku di dalam gendongannya sambil berlari menyongsongku.“Bu, Pak Mirza, Pak Mirza ...!”Mbak Lala dengan nafas tersengal sambil menuding-nuding tangan ke arah rumahnya, menghampiriku dengan gurat kepanikan di wajahnya.“Ada apa Mbak, ada apa dengan suamiku?”Aku semakin tak bisa menyembunyikan kecemasanku.“Itu Pak Mirza jatuh pingsan Bu ...”“Apa pingsan?!”Tanpa menunggu lama aku segera berlari kencang menuju rumah Mbak Lala untuk melihat keadaan suamiku.Sesampainya di sana aku melihat tubuh Mas Mirza tergeletak di lantai rumah dengan wajahnya yang seperti tertekuk ke samping.Segera aku meraih kepal
“Tamu siapa ya?”Aku menjadi penasaran karena tak biasanya ada orang yang mencariku sepagi ini.Ini bahkan belum jam tujuh pagi.“Bentar ya Mas, aku lihat dulu ke depan,” ucapku berpamitan pada suamiku sebelum melangkah ke depan.Mas Mirza menanggapiku dengan anggukan kepala.Barulah aku melangkah ke depan untuk menemui tamuku yang sudah dipersilakan masuk oleh karyawanku yang sekarang kembali melanjutkan pekerjaannya mengemas jilbab-jilbab.Sebagian karyawanku memang sebagian aku lemburkan untuk mengejar penyelesaian pengemasan barang karena memenuhi pesanan yang waktunya kian mepet itu.Sesampainya di ruang depan, aku mendapati Herlambang, pria pengusaha agrobisnis dan beberapa usaha lainnya lagi itu sudah tampak duduk di sofa ruang tamu.Segera aku mendekat sembari mengembangkan senyumku, me