“Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”
Aku mengungkapkan rasa penasaranku.
Shania kembali menarik nafasnya dalam-dalam.
“Sampai berapa lama kita bisa terus bersama anak kita Mas? Apa kita bisa menyaksikan dia saat dia sudah mendewasa nanti?”
Shania mulai mengatakan kegusarannya yang nyatanya juga menjadi kegundahanku.
“Bagaimana jika kita sudah meninggalkan dia sebelum dia bisa mandiri?”
Saat mendapati Shania kian terbawa dengan kecemasannya segera aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat sembari mengulas senyuman tipis.
“Kita masih memiliki Allah yang akan menjaga putra kita.”
Aku kian dalam memindai wajah istriku yang sekarang tampak begitu lelah karena kurang beristirahat sejak Akbar semakin aktif dan senang berlarian.
Suara siapa itu Mas?” tanya Shania sembari ingin bangkit dari ranjang.Tapi aku segera menahannya.“Sepertinya itu suara Mbak Lala, Mas, apa sudah terjadi sesuatu sama Akbar ya Mas?”Shania mulai menjadi bertanya-tanya.Aku sendiri juga sudah tak dapat menahan kecemasanku.Segera aku bangkit berniat untuk melangkah ke depan untuk mencaritahu.“Kamu tunggu saja di sini, jangan sampai turun dari ranjang, biar aku yang melihat ke depan.”Setelah memberi peringatan pada istriku aku segera melangkah keluar dari kamar untuk memastikan panggilan wanita yang biasa kami sapa dengan sebutan Mbak Lala itu.Aku menduga kalau terjadi sesuatu pada Akbar anakku. Tapi ternyata ketika melihatnya menggendong Akbar yang sedang memainkan sebuah action figure kecil, aku langsung menghela nafas lega.&n
Shania POVMendengar Sharma mengatakan jika ibu sekarang ingin tinggal bersamaku, tanpa banyak berpikir aku langsung mengiyakan. Aku menganggap itu adalah kesempatan emas untuk bisa menunjukkan bakti sebagai seorang anak yang merupakan sebuah ibadah yang bernilai besar di mata Tuhan.Meski aku tetap meminta ijin pada suamiku terlebih dahulu, karena biar bagaimanapun Mas Mirza adalah kepada rumah tangga untuk keluarga kecil kami ini.“Apa kamu yakin bisa membagi waktu kamu saat menghadapi kerewelan Ibu?” tanya Mas Mirza memastikan kesanggupanku terlebih dahulu.“Ibu memang sifatnya seperti itu, tapi aku yakin Ibu bisa diberi pengertian kok.”Aku tetap berusaha meyakinkan suamiku yang membuat kami kian terseret dalam pembicaraan yang semakin serius selepas Sharma berpamitan pulang.“Ingat Ma, sekarang kita sudah memiliki Akbar yang
“Jadi bagaimana Mbak, apa Mbk dan Mas Mirza bisa menerima ibu di rumah kalian lagi?”Mona dan Shandy langsung memastikan dengan lugas.Sementara kemudian ibu mulai melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa merasakan kalau sekarang ibu sepertinya memendam harapan padaku, meski saat ini ibu tak mengucapkan apapun.Aku sedikit mengulas senyumku kembali mengarahkan perhatian pada Mona dan Shandy yang sedang menunggu jawabanku.Saat aku menoleh pada Mas Mirza, senyum suamiku juga ikut terunggah.“Tentu saja kami tak akan menolak kalau Ibu mau untuk tinggal lagi bersama kami.”Mas Mirza langsung memberi jawaban tanpa keraguan.Sontak ibu mulai sepenuhnya memandang ke arah kami meski dia masih memeluk anakku ke dalam dekapannya.“Ibu boleh tinggal bersama kami la
“Ada apa Mbak Lala?”Tanpa menunggu lama aku segera mendekati tetangga terdekatku yang masih mempertahankan anakku di dalam gendongannya sambil berlari menyongsongku.“Bu, Pak Mirza, Pak Mirza ...!”Mbak Lala dengan nafas tersengal sambil menuding-nuding tangan ke arah rumahnya, menghampiriku dengan gurat kepanikan di wajahnya.“Ada apa Mbak, ada apa dengan suamiku?”Aku semakin tak bisa menyembunyikan kecemasanku.“Itu Pak Mirza jatuh pingsan Bu ...”“Apa pingsan?!”Tanpa menunggu lama aku segera berlari kencang menuju rumah Mbak Lala untuk melihat keadaan suamiku.Sesampainya di sana aku melihat tubuh Mas Mirza tergeletak di lantai rumah dengan wajahnya yang seperti tertekuk ke samping.Segera aku meraih kepal
“Tamu siapa ya?”Aku menjadi penasaran karena tak biasanya ada orang yang mencariku sepagi ini.Ini bahkan belum jam tujuh pagi.“Bentar ya Mas, aku lihat dulu ke depan,” ucapku berpamitan pada suamiku sebelum melangkah ke depan.Mas Mirza menanggapiku dengan anggukan kepala.Barulah aku melangkah ke depan untuk menemui tamuku yang sudah dipersilakan masuk oleh karyawanku yang sekarang kembali melanjutkan pekerjaannya mengemas jilbab-jilbab.Sebagian karyawanku memang sebagian aku lemburkan untuk mengejar penyelesaian pengemasan barang karena memenuhi pesanan yang waktunya kian mepet itu.Sesampainya di ruang depan, aku mendapati Herlambang, pria pengusaha agrobisnis dan beberapa usaha lainnya lagi itu sudah tampak duduk di sofa ruang tamu.Segera aku mendekat sembari mengembangkan senyumku, me
“Diam!”Sontak aku mengarahkan pandangan pada ambang pintu kamar di mana ibu sekarang sedang berkacak pinggang dan berseru kesal.Aku yang sedang berusaha mengangkat tubuh suamiku ingin mengabaikan ulahnya sebentar, yang benar-benar tidak memaklumi dengan keadaan kami saat ini.Sampai kemudian seorang karyawanku menyelinap masuk meski tubuh ibu menghadang di depan pintu.Pemuda tetanggaku yang aku pekerjakan secara serabutan itu dengan sangat tangkas segera membantuku mengangkat tubuh Mas Mirza untuk segera didudukkan kembali di atas kursi roda.Melihat aku yang masih mengabaikan ibu juga ditambah dengan tangis Akbar yang masih saja tak berhenti, membuat wanita yang sudah melahirkan aku itu kian mengunggah kekesalannya.“Anak kamu itu lho nangis terus, berisik sekali, aku pusing mendengarnya.”“
“Tunggu!”Ibu menghadang langkah kami, yang membuat kami langsung berhenti.“Ada apa Bu?” tanyaku lembut.Aku tetap harus mengunggah kesabaran saat berhadapan dengan ibu yang sering kekanakan.“Kamu itu tega banget ya Nia.”Aku mendesah jengah.“Apalagi Bu?”“Kamu mau pergi lagi?”“Aku mau ke rumah sakit, Ibu lihat sendiri kalau kondisi Mas Mirza sedang tidak sehat?”Ibu langsung menatap tajam pada wajah suamiku yang sudah memucat.“Kamu itu punya suami yang bisanya hanya menyusahkan saja.”“Bu ...!”Sebelum aku menyelesaikan kalimatku tangan Mas Mirza langsung menyentuh jemariku seakan menahanku untuk membantah ibuku sendiri.
Segera aku mengusap wajahku yang basah oleh air mata, lalu menjawab salam yang baru saja terlontar.Aku lihat sekarang suamiku malah menatap dengan sangat lekat ke arah pria bertubuh tegap yang sekarang sudah mendekat pada kami.Sekarang aku malah menjadi canggung saat berhadapan dengan Herlambang yang terlihat bersikap biasa. Semua karena tatapan Mas Mirza pada lelaki itu yang menjadi agak lain.Tapi ketika Herlambang akhirnya menyadari wajahku yang basah, kilat khawatir langsung terpancar di matanya.Meski lelaki itu tak menanyakan apapun, tapi tatapannya yang sangat dalam semakin lugas menegaskan tentang kecemasannya padaku.“Maaf, aku cuma ingin mengatakan kalau aku sudah menyelesaikan semua urusan administrasi, dan kata dokter kalau Pak Mirza akan dirawat sampai dua hari ke depan, tapi jika keadaan Pak Mirza sudah lebih baik kemungkinan dapat pulang lebih awal.”
Cukup lama aku bersimpuh di samping pusara Mas Mirza. Berusaha keras menegarkan diri meski air mataku tetap saja tak bisa aku tahan.Walau aku begitu kehilangan tapi aku enggan hanyut dalam kesedihan yang hanya akan membuat hatiku tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan.Aku tak mau terjebak dalam kekufuran yang hanya akan membuatku tidak bisa menerima kenyataan jika Mas Mirza tidak lagi bersamaku.Akbar yang sejak tadi mendampingi, berusaha menguatkan aku dengan sentuhannya yang selalu aku rasakan pada pundakku.Putraku mampu menempatkan dirinya dengan sangat baik hingga aku merasa tidak sendiri.“Ma, ini sudah digariskan oleh Allah, ikhlaskan Papa, Ma,” gumam Akbar bijak.Aku memandang luruh pada putraku meski sebelah tanganku masih berpegang pada nisan suamiku.Saat memandang Akbar aku merasa jika Mas Mirza seakan masih bersamaku. Wajah mereka terlalu mirip yang membuat hatiku malah menjadi lebih tegar.Aku berusaha menyunggingkan senyumku dan membalas genggaman tangan mun
“Bagaimana kamu mengenal dia?”Aku bertanya penuh rasa penasaran.Sebaliknya Yusuf malah terlihat ragu, bahkan dia kemudian mulai menarik nafas dalam.Sementara istrinya memberi tatapan penuh arti disertai sebuah anggukan ringan yang membuat Yusuf kembali mengarahkan tatapannya padaku.“Sebenarnya Mas Herlambang adalah kakak kandungku, kami bertemu setelah sekian lama terpisah karena keadaan.”“Kakak kamu?”“Tapi sebenarnya ada hal lain juga yang aku rasa Mbak Nia perlu ketahui.”“Tentang apa?” tanyaku sedikit mendesak.“Kalau sebenarnya Mas Herlambang menyimpan sebuah perasaan pada Mbak Nia sejak lama. Karena memang Mas Herlambang sudah begitu lama mengenal Mbak Nia.”“Kami sebelumnya sudah saling mengenal?” tanyaku tak bisa sepenuhnya percaya.“Iya, karena sebenarnya Mas Herlambang sendiri yang sudah membawaku untuk diletakkan di depan rumah ayah dan ibu, Mbak Nia dan ketika itu Mbak Nia sendiri yang menemukan aku terlebih dahulu. Kata Mas Herlambang yang memperhatikan Mbak Nia dari
“Maksud Budhe apa ya?” Riska sekarang malah terlihat ragu.“Apa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Danar?” Aku kembali mendesak.“Budhe, aku tidak bisa memastikan apapun. Untuk sementara aku tak memikirkan semua itu, aku hanya berpikir untuk memperbaiki diriku dulu, seperti yang sudah aku katakan aku ingin masuk pesantren dan belajar ilmu agama, meski sepertinya aku sudah sangat terlambat untuk memulainya Budhe.”“Tidak, jangan pernah berpikir seperti itu.”Aku mulai menggenggam tangan Riska.“Kalau kamu sudah membulatkan tekad kamu seperti itu, budhe akan membantumu. Budhe juga berencana akan memasukkan Akbar ke pesantren dan setelah budhe bisa membujuk Akbar, baru kita akan sama-sama ke sana. Karena kebetulan budhe memiliki adik angkat yang sekarang sudah memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup besar.”Aku mulai mengulas senyumku di depan Riska yang masih menampakkan keresahannya itu.“Nanti kita akan sama-sama datang ke sana.”Aku berusaha meyakinkan Riska lagi.“Te
Sontak aku dan Mas Mirza menjawab salam itu bersamaan, sembari aku menggiring kursi roda yang diduduki Mas Mirza untuk bergerak ke ruang tamu.Aku dan Mas Mirza langsung mengunggah kekagetan saat mendapati sosok Arman sedang berdiri di ambang pintu memandang kami dengan ragu dengan keadaannya yang jauh berbeda, tak lagi seperti dulu yang selalu memakai pakaian rapi dan gayanya yang cenderung angkuh.Bahkan saat terakhir datang dulu adik suamiku itu masih menampakkan sikapnya yang suka memaksa saat meminta untuk bisa tinggal di rumah kami.Tapi kini pria itu terlihat sangat sederhana bahkan gestur tubuhnya terlihat canggung dan ragu saat kami mulai mempersilakan masuk.“Arman, masuklah,” ucapku ramah.Sementara Mas Mirza hanya diam dengan tatapan yang sejak tadi memindai pada diri adiknya yang pastinya membuat suamiku itu bertanya-tanya.“Lama kita tidak bertemu ya,” ungkapku memulai percakapan ketika pria yang sekarang terlihat kurus dan jauh lebih tua itu sudah duduk di hadapan kami.
Saat aku datang, aku melihat wajah sendu Mas Mirza. Tatapannya menjadi nanar ketika aku memandangnya.“Ada apa Mas?” tanyaku penasaran sembari aku duduk di dekatnya yang saat ini Mas Mirza sedang duduk termangu di kursi rodanya.“Tidak ....”Mas Mirza malah memandangku semakin lekat.“Apa ada yang ingin kamu sampaikan Mas?” tanyaku agak mendesak karena aku menjadi sangat penasaran.Mas Mirza kemudian malah menggeleng.“Tidak, tidak ada,” gumam Mas Mirza.Tapi ketika melihat ekspresi wajahnya yang penuh kegundahan aku tetap tak bisa menghalau rasa ingin tahuku.Aku masih tak yakin jika Mas Mirza jujur saat ini.“Katakanlah Mas, apa yang sedang Mas pikirkan saat ini?”Mas Mirza masih termangu sesaat meski kemudian ia mulai menarik nafas panjang.“Aku hanya merasa bosan,” gumam Mas Mirza kemudian sembari memandangi kedua kakinya yang sudah nyaris tiga tahun ini tak bisa digerakkan lagi.Tapi setelah itu Mas Mirza malah tersenyum lebar.“Sudahlah lupakan semua itu, bagaimana keadaan pabri
“Budhe Nia!”Sontak aku menoleh dan memandang dari kejauhan melihat sosok Danar mendekat ke arah kami.Sekarang perhatian kami tertuju pada Danar yang semakin memacu langkahnya.“Apa persoalan kamu di kampus sudah selesai?” tanyaku memastikan karena tadi Danar memang harus datang ke kampus untuk mengurus beberapa hal yang membuatnya tak bisa mengikuti jalannya persidangan yang sudah memasuki fase akhirnya.“Sudah Budhe, semuanya sudah selesai.”Danar mengatur sejenak nafasnya yang tampak tersengal.“Bagaimana sidangnya? Keputusan hakim bagaimana?” tanya Danar menjadi sangat penasaran.“Sudah, Roby kena 10 tahun dan Dina juga ikut dijadikan tersangka meski saat ini dia masih buron.”Sejak di pemakaman nyatanya Dina benar-benar mengikuti apa yang dikatakan oleh
“Kenapa kamu berkata seperti itu?”Aku menjadi penasaran dengan apa yang dikatakan Danar. Aku merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku saat ini.Pria muda yang juga mewarisi kesempurnaan wajah ibunya itu meski kakaknya memiliki wajah yang lebih mirip sang ibu itu malah mendesah panjang.“Mas Didit mungkin tidak akan berubah karena di dalam penjara dia masih saja menjadi pemadat, karena benda haram itu semakin mudah didapat di dalam sana.”Aku terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Danar. Keponakanku itu mengunggah wajah sedihnya yang menunjukkan rasa prihatin atas keadaan sang kakak.“Apa benar yang kamu katakan ini?”“Kurasa Budhe sudah banyak mendengar berita seperti ini di berbagai media,”gumam Danar.Ganti aku yang menarik nafas panjang menjadi tak bisa berk
“Katakan saja apa permintaan kamu Nak?” Aku menunggu Riska mengatakan apa yang sedang diinginkannya saat ini. Tapi sekarang gadis yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menghadapi segala kepedihan hidup itu malah terlihat ragu saat melihatku. “Bantu aku untuk memisahkan diri dari Ibu,” tegas Riska kemudian. Aku terperangah sejenak, tapi kemudian bisa dengan segera memaklumi keinginannya yang barangkali wajar karena memang Riska hancur seperti ini karena ulah ibunya sendiri. Melihat aku diam tak langsung memberikan jawaban Riska kemudian malah memandangku dengan gelisah. “Budhe, aku tak mau hidupku hancur lagi jika Ibu sampai menemukan keberadaanku.” “Jadi ini juga menjadi alasan kamu untuk masuk ke pesantren?” “Tapi aku benar-benar ingin memperdalam ilmu agama Budhe,” tegas Riska pada akhirnya.
“Ayo Bu Nia, tunggu apalagi silakan masuk ....” Tatapan pria itu kian menegas seakan ingin memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Aku merasa tak memiliki pilihan lain yang membuatku akhirnya tetap menerima tumpangan pria itu hingga akhirnya aku sampai ke pabrik tempat usahaku selama ini berjalan. “Terima kasih banyak Pak untuk semua bantuannya,” ucapku sebelum aku keluar dari dalam mobilnya. Lagi-lagi Herlambang mengulas senyumnya. “Tak usah terlalu dipikirkan Bu Nia, oh iya soal pengacara buat mengawal kasusnya Riska, aku sudah melakukan koordinasi dengan beberapa pengacara langgananku, mereka bahkan sudah melakukan tugasnya untuk mengumpulkan semua bukti dengan mengajak dokter yang menangani Riska bekerjasama. Insya Allah kita bisa menyeret pelaku kekejaman pada Riska ke penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Herlambang berucap d