“Jadi bagaimana Mbak, apa Mbk dan Mas Mirza bisa menerima ibu di rumah kalian lagi?”
Mona dan Shandy langsung memastikan dengan lugas.
Sementara kemudian ibu mulai melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.
Aku bisa merasakan kalau sekarang ibu sepertinya memendam harapan padaku, meski saat ini ibu tak mengucapkan apapun.
Aku sedikit mengulas senyumku kembali mengarahkan perhatian pada Mona dan Shandy yang sedang menunggu jawabanku.
Saat aku menoleh pada Mas Mirza, senyum suamiku juga ikut terunggah.
“Tentu saja kami tak akan menolak kalau Ibu mau untuk tinggal lagi bersama kami.”
Mas Mirza langsung memberi jawaban tanpa keraguan.
Sontak ibu mulai sepenuhnya memandang ke arah kami meski dia masih memeluk anakku ke dalam dekapannya.
“Ibu boleh tinggal bersama kami la
“Ada apa Mbak Lala?”Tanpa menunggu lama aku segera mendekati tetangga terdekatku yang masih mempertahankan anakku di dalam gendongannya sambil berlari menyongsongku.“Bu, Pak Mirza, Pak Mirza ...!”Mbak Lala dengan nafas tersengal sambil menuding-nuding tangan ke arah rumahnya, menghampiriku dengan gurat kepanikan di wajahnya.“Ada apa Mbak, ada apa dengan suamiku?”Aku semakin tak bisa menyembunyikan kecemasanku.“Itu Pak Mirza jatuh pingsan Bu ...”“Apa pingsan?!”Tanpa menunggu lama aku segera berlari kencang menuju rumah Mbak Lala untuk melihat keadaan suamiku.Sesampainya di sana aku melihat tubuh Mas Mirza tergeletak di lantai rumah dengan wajahnya yang seperti tertekuk ke samping.Segera aku meraih kepal
“Tamu siapa ya?”Aku menjadi penasaran karena tak biasanya ada orang yang mencariku sepagi ini.Ini bahkan belum jam tujuh pagi.“Bentar ya Mas, aku lihat dulu ke depan,” ucapku berpamitan pada suamiku sebelum melangkah ke depan.Mas Mirza menanggapiku dengan anggukan kepala.Barulah aku melangkah ke depan untuk menemui tamuku yang sudah dipersilakan masuk oleh karyawanku yang sekarang kembali melanjutkan pekerjaannya mengemas jilbab-jilbab.Sebagian karyawanku memang sebagian aku lemburkan untuk mengejar penyelesaian pengemasan barang karena memenuhi pesanan yang waktunya kian mepet itu.Sesampainya di ruang depan, aku mendapati Herlambang, pria pengusaha agrobisnis dan beberapa usaha lainnya lagi itu sudah tampak duduk di sofa ruang tamu.Segera aku mendekat sembari mengembangkan senyumku, me
“Diam!”Sontak aku mengarahkan pandangan pada ambang pintu kamar di mana ibu sekarang sedang berkacak pinggang dan berseru kesal.Aku yang sedang berusaha mengangkat tubuh suamiku ingin mengabaikan ulahnya sebentar, yang benar-benar tidak memaklumi dengan keadaan kami saat ini.Sampai kemudian seorang karyawanku menyelinap masuk meski tubuh ibu menghadang di depan pintu.Pemuda tetanggaku yang aku pekerjakan secara serabutan itu dengan sangat tangkas segera membantuku mengangkat tubuh Mas Mirza untuk segera didudukkan kembali di atas kursi roda.Melihat aku yang masih mengabaikan ibu juga ditambah dengan tangis Akbar yang masih saja tak berhenti, membuat wanita yang sudah melahirkan aku itu kian mengunggah kekesalannya.“Anak kamu itu lho nangis terus, berisik sekali, aku pusing mendengarnya.”“
“Tunggu!”Ibu menghadang langkah kami, yang membuat kami langsung berhenti.“Ada apa Bu?” tanyaku lembut.Aku tetap harus mengunggah kesabaran saat berhadapan dengan ibu yang sering kekanakan.“Kamu itu tega banget ya Nia.”Aku mendesah jengah.“Apalagi Bu?”“Kamu mau pergi lagi?”“Aku mau ke rumah sakit, Ibu lihat sendiri kalau kondisi Mas Mirza sedang tidak sehat?”Ibu langsung menatap tajam pada wajah suamiku yang sudah memucat.“Kamu itu punya suami yang bisanya hanya menyusahkan saja.”“Bu ...!”Sebelum aku menyelesaikan kalimatku tangan Mas Mirza langsung menyentuh jemariku seakan menahanku untuk membantah ibuku sendiri.
Segera aku mengusap wajahku yang basah oleh air mata, lalu menjawab salam yang baru saja terlontar.Aku lihat sekarang suamiku malah menatap dengan sangat lekat ke arah pria bertubuh tegap yang sekarang sudah mendekat pada kami.Sekarang aku malah menjadi canggung saat berhadapan dengan Herlambang yang terlihat bersikap biasa. Semua karena tatapan Mas Mirza pada lelaki itu yang menjadi agak lain.Tapi ketika Herlambang akhirnya menyadari wajahku yang basah, kilat khawatir langsung terpancar di matanya.Meski lelaki itu tak menanyakan apapun, tapi tatapannya yang sangat dalam semakin lugas menegaskan tentang kecemasannya padaku.“Maaf, aku cuma ingin mengatakan kalau aku sudah menyelesaikan semua urusan administrasi, dan kata dokter kalau Pak Mirza akan dirawat sampai dua hari ke depan, tapi jika keadaan Pak Mirza sudah lebih baik kemungkinan dapat pulang lebih awal.”
Kian hari Mas Mirza semakin tak bisa aku tinggalkan. Semua ini membuat aku kian pusing untuk mengatur waktu. Mas Mirza selalu ingin aku berada di sisinya, bahkan aku tak bisa menyempatkan waktu untuk mengasuh Akbar yang masih membutuhkan perhatianku.Dengan terpaksa aku menjadi sering menitipkan anakku kepada Mbak Lala atau Bu Emy.Sementara soal usahaku, aku menyerahkan segala wewenang pada Luki, seseorang yang dikirimkan oleh Herlambang untuk membantuku menjalankan usaha konveksi dan toko online yang kian hari kian berkembang pesat. Bahkan sekarang kami sudah memiliki tempat produksi sendiri. Juga lagi-lagi berkat bantuan Herlambang.Ruang gerakku menjadi sangat terbatas. Bahkan aku menjadi tak bisa leluasa untuk menemui Herlambang demi bisa mendengarkan semua penjelasannya tentang perkembangan dan kendala di dalam usahaku.Semua itu tak lagi bisa dimengerti oleh Mas Mirza yang sekara
Aku langsung memusatkan perhatian pada apa yang akan disampaikan oleh adik iparku.Tatapanku lekat menyergap pada sosok pria paruh baya itu yang sekarang keadaannya telah sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Dengan pakaian yang ala kadarnya juga tubuhnya yang agak mengurus membuatku menerka jika Arman sedang menghadapi hidup yang sulit.“Sebenarnya aku malu untuk mengatakan ini,” ucap Arman terlihat sangat ragu.“Katakan saja, Man,” desak Mas Mirza yang keadaannya sekarang cukup membaik dan dia sudah bisa berbicara lebih lancar daripada sebelumnya setelah menjalani serangkaian terapi secara rutin.Aku memilih menunggu pria berwajah kusam itu berbicara tanpa menyela sedikitpun meski saat ini Mas Mirza yang sedang duduk di atas kursi rodanya menoleh ke arahku sebentar.“Aku ingin meminta bantuan,” imbuh Arman lagi.
“Bu Nia ...!”Panggilan itu langsung membuat kepalaku mendongak terarah ke depan untuk memastikan siapa yang sedang datang bertandang.Aku langsung mengulas senyumku ketika melihat sosok Bu Emy ternyata yang datang sembari menggendong anakku yang terlihat begitu nyaman saat bersama wanita tetangga itu.Segera aku mendekat untuk mengambil Akbar dari gendongan wanita yang selama ini masih memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki anak, terlebih setelah dia mendengar kisahku bahwa aku masih bisa mendapatkan Akbar di usiaku yang bahkan sudah menginjak 51 tahun.Tapi ketika aku mendekat Akbar malah menangis. Dia menampik ajakanku.Malah Bu Emy yang kemudian membujuk Akbar agar mau ikut bersamaku.Akbar masih saja menangis dan tangisnya menjadi kian keras.Jelas semua itu sangat menyesakkan dada, mendapati anakku malah lebih dekat