Aku langsung memusatkan perhatian pada apa yang akan disampaikan oleh adik iparku.
Tatapanku lekat menyergap pada sosok pria paruh baya itu yang sekarang keadaannya telah sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Dengan pakaian yang ala kadarnya juga tubuhnya yang agak mengurus membuatku menerka jika Arman sedang menghadapi hidup yang sulit.
“Sebenarnya aku malu untuk mengatakan ini,” ucap Arman terlihat sangat ragu.
“Katakan saja, Man,” desak Mas Mirza yang keadaannya sekarang cukup membaik dan dia sudah bisa berbicara lebih lancar daripada sebelumnya setelah menjalani serangkaian terapi secara rutin.
Aku memilih menunggu pria berwajah kusam itu berbicara tanpa menyela sedikitpun meski saat ini Mas Mirza yang sedang duduk di atas kursi rodanya menoleh ke arahku sebentar.
“Aku ingin meminta bantuan,” imbuh Arman lagi.
“Bu Nia ...!”Panggilan itu langsung membuat kepalaku mendongak terarah ke depan untuk memastikan siapa yang sedang datang bertandang.Aku langsung mengulas senyumku ketika melihat sosok Bu Emy ternyata yang datang sembari menggendong anakku yang terlihat begitu nyaman saat bersama wanita tetangga itu.Segera aku mendekat untuk mengambil Akbar dari gendongan wanita yang selama ini masih memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki anak, terlebih setelah dia mendengar kisahku bahwa aku masih bisa mendapatkan Akbar di usiaku yang bahkan sudah menginjak 51 tahun.Tapi ketika aku mendekat Akbar malah menangis. Dia menampik ajakanku.Malah Bu Emy yang kemudian membujuk Akbar agar mau ikut bersamaku.Akbar masih saja menangis dan tangisnya menjadi kian keras.Jelas semua itu sangat menyesakkan dada, mendapati anakku malah lebih dekat
“Kenapa Mas malah berpikir seperti itu?”Aku kian tegas mengarahkan tatapanku pada Mas Mirza yang juga sedang menatapku lekat.“Kenapa Mas menganggap kita hanya memberikan Akbar kesulitan?”Mas Mirza tak langsung menjawab pertanyaanku.Ada kilat keraguan yang sekarang bahkan aku tangkap di matanya.“Sudah aku bilang tadi jika kita sudah terlalu tua untuk menjadi orang tuanya Akbar.”Aku mendesah jengah. Walau aku sadar betul kalau saat ini usia kami sudah tidak muda lagi, tapi tetap saja Akbar adalah putra kami yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kami dengan sempurna.“Lantas ketuaan kita ini, akan kamu anggap sebagai penghalang bagi kita untuk bisa menjalankan kewajiban sebagai orang tuanya Akbar?”Aku membalik ucapan Mas Mirza yang kemudian mala
“Ngomong-ngomong bantuan apa ya Pak?”Aku menjadi sangat penasaran sekarang terlebih ketika melihat ekspresi suami istri di depanku yang menjadi kian serius.Namun setelah itu Bu Emy tampak mengulas senyumnya dengan anggun.“Begini, Bu Nia, kami ingin membantu Bu Nia untuk mengasuh Akbar.”Aku tersengat gelisah ketika mendengar ucapan wanita itu yang terdengar sangat lugas tanpa keraguan.Aku langsung mengernyit tajam.“Mengasuh bagaimana maksudnya?” tanyaku ingin memperjelas semuanya.Wanita berhijab itu masih menyunggingkan senyumnya kepada kami.Sementara tatapan Mas Mirza sekarang terunggah kian tajam pada pasangan yang sedang menguasai putra kami itu.“Bagaimana kalau Akbar kami angkat menjadi putra kami berdua?” Pak Wasis kian menegaskan maksud
“Apa yang membuat Ibu begitu menginginkan anak kami?”Aku mendesak keras sosok yang tampak bersikeras menginginkan anakku itu.“Kan sudah aku katakan Akbar bahkan lebih terbiasa bersama kami daripada dengan kamu,” tegas Bu Emy dengan suaranya yang tandas.Aku sedikit terperangah ketika melihat sikapnya yang berubah menjadi sengit.“Maaf sepertinya sudah tak ada yang perlu kita bicarakan lagi, sebaiknya kalian pergi karena kami harus menenangkan putra kami.”Kali ini Mas Mirza berucap dengan sangat tegas, bahkan terang-terangan mengusir mereka yang membuat mereka kian menatap kami dengan sangat kecewa.Pak Wasis langsung mendekati istrinya dan menggandeng tangannya untuk mengajaknya keluar dari dalam rumah kami.Pada akhirnya Bu Emy mengalah dan menuruti permintaan suaminya tanpa lagi bisa memaksakan kehendaknya.Mereka pastinya sudah menyadari bahwa pemikiran mereka benar-benar salah. Bagaimanapun mereka menginginkan untuk mengasuh anak kami meski selama ini mereka sudah banyak memban
“Sampai kapan kamu akan bertahan bersama suami kamu yang sudah tidak berguna itu?” sergah ibu ketika mendadak dia mendatangiku saat aku sedang menyiapkan hidangan untuk suami dan anakku.Sontak aku membeliakkan mata tanpa sadar ke arah ibu yang saat ini sedang menumpahkan kekesalannya di depanku.Segera aku mematikan kompor dan memusatkan perhatian padanya. Aku berpikir ibu saat ini hanya membutuhkan perhatian dariku karena memang akhir-akhir aku sangat sibuk, bahkan Mas Mirza saja mengeluhkan tentang kesibukanku.“Bu, tolong jaga ucapan Ibu, bagaimana nanti kalau didengar sama Mas Mirza?” gumamku dengan suara tertahan berharap ibu juga bisa menjaga ucapannya agar tak terlalu keras bila membicarakan tentang suamiku.“Biar saja dia mendengarnya.”Ibu tetap saja tak menahan diri tetap mengunggah kekesalannya dengan sangat lugas.
“Memangnya apa sih yang kamu mau, sayang?” tanyaku menjadi sangat ingin tahu.Aku sedikit melirik pada wajah polos putraku yang sebenarnya masih terlihat sangat menggemaskan itu.“Sebenarnya nggak pengen minta apa-apa,” ucap Akbar kemudian yang sekarang malah membuatku semakin bingung.“Lho katanya tadi kamu mau minta sesuatu?” tanyaku menjadi sangat penasaran.Akbar malah memandangku ragu.“Aku rasa Mama nggak akan mau mengabulkan.”Aku mendesah panjang.“Katakan saja, sayang, kalau mama bisa mama pasti akan memberikan keinginan kamu.”“Aku sebenarnya ingin memiliki orang tua yang lebih muda, sama seperti teman-temanku,” gumam Akbar tertahan yang segera membuatku terkesiap.Aku tak tahu harus mengucapkan apa ketika mendengar
“Sudah sampai sejauh mana hubungan kamu sama dia?”Mas Mirza bertanya dengan sangat lugas yang membuatku langsung menatapnya dengan ekspresi gusar.“Apa maksud Mas?” tanyaku dengan gurat kekagetan yang tak bisa aku tahan.Aku langsung menoleh ke arahnya dengan gestur tubuh menunjukkan kegusaran.“Kurasa sudah cukup jelas kalimatku tadi.”Mas Mirza kian terang menampakkan kecemburuannya.“Mas, tahanlah kecurigaan kamu itu, aku dan Pak Herlambang tak memiliki hubungan apapun.”Aku berusaha menjelaskan dengan nada bicara yang lebih lembut.Mas Mirza masih saja mengunggah kecurigaannya.Selama bertahun-tahun kami menikah, baru dengan Herlambang Mas Mirza mengungkapkan kecemburuannya sefrontal ini.Aku berusaha memahami karena memang
“Suara apa itu Ma?”Akbar bertanya dengan penuh rasa penasaran.Aku mengernyit tipis sembari mengedikkan bahu, sampai kemudian kembali terdengar suara jeritan yang lebih nyaring dengan diiringi suara-suara hardikan yang kini terdengar saling menyahut.Aku menjadi ragu untuk mendekat karena aku bisa dengan jelas mendengar jika saat ini yang sedang bertengkar itu adalah suara ibuku sendiri entah dengan siapa karena sekarang aku malah mendengar suara seorang wanita.Aku semakin gamang untuk membawa anakku masuk.Jelas aku tak ingin membuat anakku melihat pertengkaran yang pastinya dapat membawa pengaruh tidak baik buat tumbuh kembangnya.“Ayo Ma, kita masuk, jangan-jangan Nenek sedang bertengkar dengan Papa sekarang.”Aku masih mengernyit ragu, sangat enggan untuk menuruti keinginan anakku meski hatiku memendam rasa p