“Jadi bagaimana Pak, Bu, kalian menyetujui usulanku ini kan?”
Aku masih ragu, hingga kemudian aku malah melihat senyuman lebar dari wajah suamiku.
“Sepertinya itu usulan yang bagus.”
Tanpa aku sangka Mas Mirza mengemukakan persetujuannya.
Aku langsung menoleh dan memandangnya lekat.
“Mas, apa kamu yakin Mas? Kita bahkan belum memiliki ilmu untuk membuka usaha garmen,” tanyaku memberikan alasan.
Pria yang memiliki usaha tambang dan jasa pengiriman barang itu langsung menampakkan keseriusan di wajahnya.
“Kami akan mendampingi kalian, nanti Bapak dan Ibu akan saya ajak untuk menemui teman-teman saya yang memiliki usaha di bidang yang sama. Kita berkumpul dalam satu komunitas yang sama, sebagai sesama pengusaha muslim dan pastinya kami dengan senang hati akan saling membantu.”
Setelah 25 thKetika mendengar teriakan dari arah depan, dengan penuh rasa ingin tahu aku bersama Mutia langsung menghampiri asal suara.Tak pernah aku sangka kalau sekarang Arman yang datang sambil berteriak lantang dengan wajah kemerahan menampakkan amarah.Melihatnya emosional aku menjadi ragu untuk mendekat lagi, meski pria bertubuh agak bongsor dengan perutnya yang kian membuncit itu mulai menyadari keberadaanku bersama Mutia.Ketika menangkap kemunculanku dengan sorot matanya yang tajam, Arman sendiri yang langsung menyonsongku saat aku sudah menghentikan langkah."Kenapa kamu membuat keributan di rumahku?" sergahku tak nyaman pada adik iparku yang sedang dikukung amarah tanpa aku tahu apa sebabnya.Aku sedikit terkejut karena Arman mengetahui keberadaan rumahku, padahal dia benar-benar mengabaikan pemberitahuan dari Mas Mirza tentang kepindahan kami dari rumah lama.Tak ada satupun dari saudara iparku yang datang, baik saat kami akan pindah rumah atau setelah aku melahirkan.Me
Aku kian lekat menelisik wajah suamiku. “Apa Mas yakin Mas benar-benar tidak tahu keberadaan Maysaroh dan anak-anaknya sekarang?” Mas Mirza termangu membalas tatapanku sejenak lalu menggeleng. “Kalau saja aku tahu, Nia.” Aku kemudian ikut mendesah panjang bersama suamiku. Sepertinya Maysaroh memang benar-benar tak ingin diganggu oleh siapapun bahkan oleh kami berdua yang selama ini cukup dekat dengannya. “Mungkin sudah saatnya Arman belajar untuk membenahi dirinya. Karena dengan segala yang pernah dia miliki dia malah menjadi pribadi yang kurang baik. Sikapnya kepada kita juga sangat berlebihan sama sekali tak peduli dengan kesulitan kita kemarin.” “Mungkin kamu benar. Tapi aku tetap berharap Arman bisa memperbaiki kesalahannya dan dia masih mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan kembali apa yang pernah dia miliki.” Mas Mirza mulai melirikku lalu tersenyum tipis namun terkesan gamang. “Sejak dulu kamu memang terlalu baik, selalu tak pernah mampu melihat kesusahan orang lain m
Aku segera menenangkan suamiku yang sudah mulai terbawa emosi kala mendapati sikap keras kepala Arman.“Kenapa kamu malah menyalahkan wanita sebaik Maysaroh yang bahkan sudah mendampingi kamu sejak awal hingga kamu bisa mendapatkan semuanya?”“Mas salah, aku mendapatkan semua ini atas kerja kerasku sendiri.”“Pikiran kamu benar-benar picik,” sergah Mas Mirza sengit.“Kenapa Mas membela Maysaroh sampai seperti ini? Kenapa Mas membela orang lain bukan adik kamu sendiri?”“Itu semua karena kamu memiliki pemikiran yang salah?”“Kenapa Mas Mirza tidak menanyakan dulu kepadaku apa alasanku lebih memilih Lulu?”Arman masih saja tak mau untuk disalahkan.“Kalau begitu katakan padaku apa kelebihan Lulu hingga kamu mengabaikan istri kamu sendiri Maysa
“Ke mana saja kamu selama ini May?” tanyaku semakin tak sabar.Perempuan berhijab itu tak langsung , dia malah memandangi sejenak ketiga anaknya yang sedang mengajak Akbar bermain.“Aku mengajak anak-anak tinggal di luar kota, bahkan aku sudah mengajukan perpindahan ke sekolah lain,” jawab Maysaroh tak sepenuhnya berterus terang.Maysaroh seperti terlihat enggan untuk menyebutkan tempat tinggalnya yang sekarang kepada kami.“Sungguh aku merasa bersalah sama kamu dan anak-anak kamu May,” sahut Mas Mirza kemudian. Tatapan suamiku sekarang berubah luruh saat memandang pada ketiga keponakannya yang sepertinya tampak baik-baik saja itu.“Mas Mirza sama sekali tak bersalah, jelas ini bukan salah Mas Mirza meski Mas Arman itu adik kandung Mas.”Aku mulai menyentuh tangan Maysaroh, aku ingin menegaskan kehadiranku padan
Mirza POV“May, apa kamu kenal dengan pria itu?”Istriku bertanya dengan penuh rasa ingin tahu pada sosok pria bertubuh tegap yang sekarang sedang berjalan menghampiri kami.Aku juga diliputi rasa penasaran sekarang, langsung melemparkan tatapanku ke arah Maysaroh menunggu jawaban dari mantan adik iparku itu.Tapi ketika melihat gestur tubuh Maysaroh yang canggung dengan disertai raut mukanya yang tampak tersipu, aku mulai bisa menebaknya. Meski awalnya terasa sangat sulit untuk bisa menerima jika wanita sebaik Maysaroh tak lagi menjadi bagian dari keluargaku akibat kebodohan adikku sendiri yang sudah menyia-nyiakannya.Aku kira lelaki itu pasti seseorang yang sedang dekat dengan Maysaroh saat ini.Meski tak mudah menerimanya tapi aku berpikir bagaimanapun Maysaroh berhak untuk menata hidupnya lagi d
“Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”Aku mengungkapkan rasa penasaranku.Shania kembali menarik nafasnya dalam-dalam.“Sampai berapa lama kita bisa terus bersama anak kita Mas? Apa kita bisa menyaksikan dia saat dia sudah mendewasa nanti?”Shania mulai mengatakan kegusarannya yang nyatanya juga menjadi kegundahanku.“Bagaimana jika kita sudah meninggalkan dia sebelum dia bisa mandiri?”Saat mendapati Shania kian terbawa dengan kecemasannya segera aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat sembari mengulas senyuman tipis.“Kita masih memiliki Allah yang akan menjaga putra kita.”Aku kian dalam memindai wajah istriku yang sekarang tampak begitu lelah karena kurang beristirahat sejak Akbar semakin aktif dan senang berlarian.
Suara siapa itu Mas?” tanya Shania sembari ingin bangkit dari ranjang.Tapi aku segera menahannya.“Sepertinya itu suara Mbak Lala, Mas, apa sudah terjadi sesuatu sama Akbar ya Mas?”Shania mulai menjadi bertanya-tanya.Aku sendiri juga sudah tak dapat menahan kecemasanku.Segera aku bangkit berniat untuk melangkah ke depan untuk mencaritahu.“Kamu tunggu saja di sini, jangan sampai turun dari ranjang, biar aku yang melihat ke depan.”Setelah memberi peringatan pada istriku aku segera melangkah keluar dari kamar untuk memastikan panggilan wanita yang biasa kami sapa dengan sebutan Mbak Lala itu.Aku menduga kalau terjadi sesuatu pada Akbar anakku. Tapi ternyata ketika melihatnya menggendong Akbar yang sedang memainkan sebuah action figure kecil, aku langsung menghela nafas lega.&n
Shania POVMendengar Sharma mengatakan jika ibu sekarang ingin tinggal bersamaku, tanpa banyak berpikir aku langsung mengiyakan. Aku menganggap itu adalah kesempatan emas untuk bisa menunjukkan bakti sebagai seorang anak yang merupakan sebuah ibadah yang bernilai besar di mata Tuhan.Meski aku tetap meminta ijin pada suamiku terlebih dahulu, karena biar bagaimanapun Mas Mirza adalah kepada rumah tangga untuk keluarga kecil kami ini.“Apa kamu yakin bisa membagi waktu kamu saat menghadapi kerewelan Ibu?” tanya Mas Mirza memastikan kesanggupanku terlebih dahulu.“Ibu memang sifatnya seperti itu, tapi aku yakin Ibu bisa diberi pengertian kok.”Aku tetap berusaha meyakinkan suamiku yang membuat kami kian terseret dalam pembicaraan yang semakin serius selepas Sharma berpamitan pulang.“Ingat Ma, sekarang kita sudah memiliki Akbar yang