“Memangnya apa yang bisa aku bantu?”
Aku bertanya masih dengan mengunggah keramahanku.
“Bantu aku untuk bersih-bersih atau merapikan rumah setelah kami hajatan.”
Erna mengungkapkan tujuannya dengan terlalu lugas.
Sungguh sangat diluar dugaan kalau Erna sudah menanggalkan segala rasa hormatnya pada kami sebagai saudara tua baginya.
Aku memilih diam tak menanggapi.
Tapi Mas Mirza langsung menyela dengan tegas, “sepertinya kami tidak bisa melakukan permintaan kamu, karena tepat di hari itu kami sudah membuat janji dengan seseorang.”
Aku sontak menoleh ke arah suamiku yang masih menyajikan sebentuk ketenangan meski aku bisa membaca dengan jelas di wajahnya kalau sekarang Mas Mirza sudah mulai memendam kegeraman menghadapi tingkah saudara iparnya yang benar-benar tidak tahu diri itu.
“Mas, apa aku boleh tahu Mas mendapatkan uang dari mana?”Aku bertanya dengan lugas.Mas Mirza menentang tatapanku dengan keyakinan yang mengemuka.“Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku sudah bertemu dengan seorang dermawan yang dengan hati tulus bersedia membantu kita?”“Bantuan seperti apa yang akan dia berikan? Apa dia yang akan membeli rumah kita?”Aku menebak penuh rasa penasaran.Suamiku malah menggeleng tegas.“Rumah kita memang sudah aku tawarkan dan sebentar lagi akan ada yang berminat, tapi bukan Pak Herlambang yang membelinya.”“Mas, apa kamu yakin dia menolong kita dengan tulus.”Mas Mirza kembali tersenyum lebar.“Sejak kapan kamu menjadi sangat mudah berprasangka buruk seperti ini?”Aku kembali mendesah pelan.“Mas, setelah apa yang pernah kita alami akan lebih baik jika kita selalu tetap waspada.”“Pasti kamu mengkhawatirkan tentang penipuan yang pernah aku alami.”“Sebagai seorang istri aku hanya mengingatkan Mas.”Mas Mirza kemudian mulai mendekat lalu memegang ked
“Itu dia Pak Herlambang ... “Mas Mirza kemudian bergegas mengajakku mendekat.Aku mulai ikut melangkah di samping suamiku.“Pak Herlambang?!” sapa suamiku ketika kami sudah berdiri di dekatnya.Pria yang terlihat memiliki penampilan parlente itu kemudian mulai menoleh ke belakang memandang ke arah kami.Ketika matanya beradu denganku, aku berusaha mengulas senyuman menandakan keramahan yang wajar sebagai bentuk basa-basi.Tapi secepatnya tatapan pria yang terlihat masih muda itu diarahkan kembali kepada suamiku yang kemudian kian mendekat sembari menerima uluran tangan darinya dengan sebuah jabat erat yang diwarnai keramahan.“Pak Mirza, mari-mari duduk.”Pria berambut klimis itu langsung mempersilakan.Mas Mirza langsung membantuku untuk duduk dan mendekatkan
“Bagaimana Nia, kamu setuju kalau Akbar dititipkan?”Mas Mirza menyergapku dengan tatapan penuh tanya.Sepertinya suamiku menyerahkan semua keputusan kepadaku.Sementara Lala menunggu jawabanku dengan tatapan penuh harap. Sejak awal aku tahu kalau perempuan yang tinggal hanya bersama dengan anak tunggalnya yang sekarang sudah SMP itu sangat suka dengan Akbar yang memang begitu menggemaskan.Aku diam untuk beberapa memilih memandang lekat pada bayiku yang sedang bermain sendiri di dalam boks bayi.Saat teringat tentang kebutuhannya pada asiku, segera aku memiliki keyakinan untuk membawa saja buah hati tercintaku untuk pergi bersama kami dengan segala resiko yang tadi sudah disebutkan suamiku.“Sebaiknya kita bawa saja, Akbar bersama kita Mas.”Mendengar jawabanku Lala langsung mendesah kecewa.&
“Budhe Nia, Pakdhe Mirza ... !” Sontak aku menoleh dan langsung tersenyum ketika melihat wajah sumringah Riska ketika menyongsong kami dengan langkahnya yang panjang. Sementara Dina dan Muctar bersama kedua anaknya yang lain berjalan dengan langkah gontai menuju arah yang sama dengan kami. Sekilas aku melihat tatapan Dina yang agak lain, tampak ragu ketika semakin mendekat. Tapi saat ini perhatianku lebih tertuju pada Riska yang selama ini memang cukup dekat dengan kami. “Budhe lama sekali kita nggak ketemu, aku kangen sama budhe.” Setelah itu Riska mendekatiku dan berbisik lirih. “Ibu nggak ngijinin aku buat dolan ke rumahnya Budhe lagi.” Sejenak wajah Riska tampak murung tapi ketika melihat bayiku yang sedang tersenyum riang di dalam stroller, air muka gadis tanggung itu langsung berubah ceria. “Ya Allah, ganteng banget Budhe. Wajahnya kayak Pakdhe Mirza ini.” Riska menjadi sangat antusias dan langsung mendekati bayiku dan mengudangnya. “Ya jelas, bapaknya ganteng jadi ana
Perhatian Erna langsung teralih pada Arman yang sekarang sudah berada di depannya dan mulai ikut memberikan selamat.“Terima kasih,” jawab Erna singkat.“Oh iya, apa kamu datang sendiri Man?” tanya Andika menimpali.Arman diam tak menjawab.“Jadi benar berita itu kalau sekarang Maysaroh sudah pergi membawa anak-anak kalian?” Erna ikut menyahut.Seketika air muka Arman berubah keruh.Sebaliknya Erna malah tersenyum simpul.“Biarkan saja dia pergi, bukankah kamu masih memiliki istri lain yang lebih cantik dan menggoda yang sesuai dengan selera kamu? Jadi kamu nggak usah sedih gini.”Tanggapan Erna sungguh sangat di luar dugaan. Bagaimana mungkin dirinya yang juga seorang istri bisa memiliki pikiran seperti ini, malah menunjukkan kesetujuan atas perselingkuhan
“Jadi bagaimana Pak, Bu, kalian menyetujui usulanku ini kan?”Aku masih ragu, hingga kemudian aku malah melihat senyuman lebar dari wajah suamiku.“Sepertinya itu usulan yang bagus.”Tanpa aku sangka Mas Mirza mengemukakan persetujuannya.Aku langsung menoleh dan memandangnya lekat.“Mas, apa kamu yakin Mas? Kita bahkan belum memiliki ilmu untuk membuka usaha garmen,” tanyaku memberikan alasan.Pria yang memiliki usaha tambang dan jasa pengiriman barang itu langsung menampakkan keseriusan di wajahnya.“Kami akan mendampingi kalian, nanti Bapak dan Ibu akan saya ajak untuk menemui teman-teman saya yang memiliki usaha di bidang yang sama. Kita berkumpul dalam satu komunitas yang sama, sebagai sesama pengusaha muslim dan pastinya kami dengan senang hati akan saling membantu.”
Setelah 25 thKetika mendengar teriakan dari arah depan, dengan penuh rasa ingin tahu aku bersama Mutia langsung menghampiri asal suara.Tak pernah aku sangka kalau sekarang Arman yang datang sambil berteriak lantang dengan wajah kemerahan menampakkan amarah.Melihatnya emosional aku menjadi ragu untuk mendekat lagi, meski pria bertubuh agak bongsor dengan perutnya yang kian membuncit itu mulai menyadari keberadaanku bersama Mutia.Ketika menangkap kemunculanku dengan sorot matanya yang tajam, Arman sendiri yang langsung menyonsongku saat aku sudah menghentikan langkah."Kenapa kamu membuat keributan di rumahku?" sergahku tak nyaman pada adik iparku yang sedang dikukung amarah tanpa aku tahu apa sebabnya.Aku sedikit terkejut karena Arman mengetahui keberadaan rumahku, padahal dia benar-benar mengabaikan pemberitahuan dari Mas Mirza tentang kepindahan kami dari rumah lama.Tak ada satupun dari saudara iparku yang datang, baik saat kami akan pindah rumah atau setelah aku melahirkan.Me
Aku kian lekat menelisik wajah suamiku. “Apa Mas yakin Mas benar-benar tidak tahu keberadaan Maysaroh dan anak-anaknya sekarang?” Mas Mirza termangu membalas tatapanku sejenak lalu menggeleng. “Kalau saja aku tahu, Nia.” Aku kemudian ikut mendesah panjang bersama suamiku. Sepertinya Maysaroh memang benar-benar tak ingin diganggu oleh siapapun bahkan oleh kami berdua yang selama ini cukup dekat dengannya. “Mungkin sudah saatnya Arman belajar untuk membenahi dirinya. Karena dengan segala yang pernah dia miliki dia malah menjadi pribadi yang kurang baik. Sikapnya kepada kita juga sangat berlebihan sama sekali tak peduli dengan kesulitan kita kemarin.” “Mungkin kamu benar. Tapi aku tetap berharap Arman bisa memperbaiki kesalahannya dan dia masih mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan kembali apa yang pernah dia miliki.” Mas Mirza mulai melirikku lalu tersenyum tipis namun terkesan gamang. “Sejak dulu kamu memang terlalu baik, selalu tak pernah mampu melihat kesusahan orang lain m